Jendolan

Oleh Dede Supriyatna*

Ada yang suka, ada juga tidak, dan ada di antara keduanya yang biasa-biasa saja. Untuk kata biasa-biasanya tak perlu perdebatan, sebagaimana halnya antara yang suka maupun yang tidak, sebuah perdebatan yang tak akan bertemu benang mereh apalagi jika keduanya benar-benar memliki sifat fanatik. Lalu untuk apa mereka berdebat, tanyakan saja pada mereka.

Sebagimana halnya obralan yang sudah acap kali mereka lakukan. Pagi itu, rutinitas kembali terjadi, sambil bersantai setelah bergelut dengan dapur. Apa yang mereka obrolkan dari persoalan masakan, si anu, dan tak ketinggalan persolan Negara, sebagaimana mereka bertanya-tanya tentang dengan perasaan aneh dengan di bawah kelopak mata SBY, di bawah kelopak yang membentuk jendolan, dan saat mereka menyaksikan kala SBY berbicara di hadapan para kader partai Demokrat, ia sedang berbicara menjadi seorang pembina dari partai demokrat.

Selintas tentangnya mewarnai obralan pagi hari itu, obralan para ibu-ibu. Dari satu hingga menjadi obralan yang hangat diantara mereka. Memang jika kita umpamakan bahwa SBY adalah sebuah teks maka tak akan lepas dari sang penafsir teks tersebut. Apa yang hendak ditafsirkan adalah hak dari sang penafsir itu sendiri, walaupun pada akhirnya bersifat multi tafsir.

Mereka yang berbincang mempertanyakan perihal jendol kelopak mata SBY,  Tak hanya itu,  perbincangan mereka yang ngalor-ngidul merembat pada tentang bendahara partai demokrat Nazaruddin. Mereka menggunjing perihal bendahara tersebut, “gregetan dah, gw,” dengan tampang penuh sewot ujar salah satu ibu tersebut. [Selengkapnya]

0 comments:

Posting Komentar