Oleh Dede Supriyatna*
Tubuhnya tak terlalu tinggi, dengan tubuh berperawakan kurus. Jemarinya sedang asik menghisap sebatang rokok. Terkadang tatapannya kosong seperti sedang memikirkan sesuatu. dan sesekali, ia tak ragu untuk mengeluarkan senyuman. Begitulah kira-kira gambaran dari pemilik nama Yayan bun Yamin, seorang pemuda asal Tasikmalaya.
Ia meninggalkan kampung halamannya, guna mencari ilmu dan sekarang terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Ushulludin, UIN Jakarta. Selama perjalanan kuliah yang telah ditempuh, ia masih mencoba untuk berbagi dengan orang-orang kampung halamannya.
Apa yang dibagi ke warga kampung Tambak Baya, Desa Marga Laksana, Kecamatan Sukaraja, Kabupatan Tasik bukanlah sebuah uang, atau materi lainya, namun ia bersama dengan sahabat-sahabatnya dan juga siapa saja yang mau ikut untuk ngobrol bareng mengenai bacaan yang ada di dalam buku, atau bahasa lainya, yakni bedah buku. Apa yang dibedah dari buku tersebut, diharapakan kita dapat mempraktekkan apa yang ada di dalam buku.
Memang waktu itu, sebelum buku-buku yang dibedah kami ambil dari perpustakaan dengan nama Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Cendikia yang sekarang telah mempunyai buku mencapai ratusan buku dari buku komik untuk anak-anak, cerpen, novel, agama, tafsir, pendidikan, pertanian, kesehatan, dan juga buku masak yang biasa dibaca oleh ibu-ibu. Selaian itu, dalam perpustakaan telah memiliki satu unit komputer.
Kira-kira satu tahun yang lalu saat TBM Cendikia awal hadirnya, tepatnya diresmikan pada tanggal 28 Okterber 2010. Dengan niatan awalnya kami hanya berharap bagaimana caranya agar masyarakat tak terlalu buta dengan ilmu pengatahuan. Dan salah satu yang menjadi alasan kami, yakni perasaan prihatin perasaan prihatin menyaksikan anak-anak SD sudah asik dengan berkerja yang tak jarang membuat mereka berhenti untuk melanjutkan pendidikannya.
Lalu saya coba obrolkan dengan ketiga sahabat, yakni Arta yang lulusan SD dan sekarang sudah berumah tangga, Budi lulusan SMP, dan juga Abdul lulusan Aliyah. Maka dari obrolan kecil, pada akhirnya kami menemukan kesepakatan untuk mebuat perpustakaan dengan mendiami kontrakan dengan harga sewa mencapai Rp 100.000,-.
“jangan tanya masalah uang sewa?” sebab untuk menutup dana sewa dan kebutuhan peralatan seperti pembuatan rak buka, dan lain-lainya. “kami menggunakan uang pribadi, masing-masing dari kami untuk mengeluarkan dana sebesar tiga puluh ribu perbulan”. Dan ketiga sahabat saya selain meraka sebagai donatur, mereka juga bertugas untuk menjaga perpustakaan secara bergiliri.
Sedangkan, mengenai bukunya sendiri digunakan buku yang saya miliki, dan untuk awalnya saya menghubungi beberapa lembaga, penerbit, dan segala macam untuk meminta bantuan dalam bentuk buku. Dan saya bersyukur dari proposal yang saya sebar, hanya Republika yang hingga kini belum memberikan buku.
Pernah suatu ketika, saat itu, kala musimg-musimnya bom buku. Dan certia ini adalah cerita yang begitu mengesankan diantara cerita-cerita yang lainnya, yakni saat saya dengan senang hati datang ke penerbit Kompas karena proposal pengajuan buku saya telah diterima. Akhirnya saya datang ke Kompas untuk mengambil buku yang telah disiapkan.
Lalu dari Kompas saya melanjukan perjalan sendiri ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menemui salah satu anggota dewan. Karena dari Kompas yang terletak di Palmerah tak ada kendaraan yang langsung ke DPR maka saya putuskan untuk berjalan kaki sambil memanggul kardus yang berisikan buku-buku.
Sesampainya di DPR dan kebetulan waktu itu, musim bom buku, akhirnya buku-buku yang berada di kardus diacak-acak untuk diperiksa. Setiap buku diperiksa sampai perlembar buku, sehingga memakan waktu 1,5 Jam. Dan setelah selesai diperiksa, saya harus merapihkan dan memaksukan buku satu-persatu ke dalam kardus kembali, mereka hanya mengacak-acak tanpa mau membantu merapihkan kembali. Mungkin mereka mengira saya adalah teroris, dan hal ini juga, membuat saya terlambat untuk bertemu dengan salah satu anggota dewan.
Tapi, entah mengapa saya menjalankan itu semua dengan rasa senang hati, mungkin rasa semangat untuk menciptakan pengetahuan di kampung halaman, meskipun teguran dari orang tua. Sebab tak lain, karena persoalan kuliah.
Memang pada semester V, kuliah saya sedikit terganggu, tapi saya telah dapat mengejar kuliah yang tertinggal. Dan untuk saat ini saya harus pulang ke Kampung halaman sebulan sekali untuk membahas bersama warga, dan terkadang kami membuat sesuatu bersama warga, semisal membuat es krim dari jagung untuk menu maupun caranya kami ambil dari buku.
Atas kami lakukan diharapkan menambahkan semangat membaca, memang mereka yang baca tidak kami pungut biaya sama sekali, jika ada diantara mereka yang hendak menjadi donator kami terima. tapi, yang jelas kami mempersilahkan siapapun yang datang untuk membaca tanpa dipungut biaya, mereka mau datang untuk membaca saja, saya sudah senang.
Dan untuk yang membaca telah mencapai telah rata-rata perhari pernah didatangi hingga mencapai 80 orang, bahkan pernah ada seorang yang mencari refrensi untuk skripsi ke TBM Cendikia.
*Aktif menulis di Angkringanwarta.
0 comments:
Posting Komentar