Cara Mengajukan Gugatan (Posita & Petitum) Serta Komulasi Gugatan

Oleh: Moh. Andreansyah, M. Ibnu Rahman, dan Siti Ummu Kulsum*

A. Cara Mengajukan Gugatan.

Gugatan disebut sebagai tuntutan hak yang mengandung sengketa atau disebut sebagai tuntutan perdata (burgelijke vordering) yang terdapat dalam pasal 118 ayat 1 HIR (pasal 142 ayat 1 RBg). Gugatan dapat diajukan baik secara tertulis (pasal 118 ayat 1, 142 ayat 1 RBg) maupun secara lisan (pasal 120 HIR, 144 ayat 1 RBg).

Dalam perkara gugatan ada suatu sengketa yang harus diselesaikan dan diputuskan oleh pengadilan. Di sini Hakim berfungsi sebagai hakim yang mengadili dan memutus siapa di antara pihak-pihak yang benar dan siapa yang tidak benar. 

Apabila suatu perkara tidak dapat diselesaikan secara damai oleh pihak-pihak yang berperkara, maka jalan terakhir yang dapat ditempuh adalah minta penyelesaian melalui pengadilan. Untuk itu penggugat mengajukan gugatan kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang. Dalam HIR dan RBg hanya mengatur tentang caranya mengajukan gugatan, sedang tentang mengenai isi dari pada gugatan tidak ada ketentuannya.

Dalam mengajukan gugatan ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam surat gugatan yang harus termuat pokok-pokoknya:
  1. Keterangan lengkap mengenai pihak-pihak yang berperkara (identity of the parties), yaitu nama, umur, alamat, pekerjaan, agama.
  2. Dasar gugatan (posita/fundamentum petendi) yang memuat uraian tentang kejadian atau peristiwa (factual grounds), dan uraian tentang hukum (legal grounds).
  3. Tuntutan yang dimohonkan penggugat agar diputuskan oleh hakim (petitum). Tuntutan dapat dirinci lagi menjadi dua macam, yaitu tuntutan primer (primary clain), yang merupakan tuntutan pokok; dan tuntutan subsider (subsidiary clain), yang merupakan tuntutan pengganti bila tuntutan pokok ditolak oleh hakim. 
Dalam identity of the parties atau ciri-ciri penggugat dan tergugat status kawin atau tidak perlu dicantumkan. Dalam fundamentum petendi atau dasar tuntutan terdiri dari dua bagian, yaitu bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa dan bagian yang menguraikan tentang hukum. Uraian tentang kejadian merupakan penjelasan duduknya perkara, sedang uraian tentang hukum ialah uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari pada tuntutan.

Dalam surat gugatan, dasar gugatan harus jelas dan tegas serta mendukung tuntutan (petitum) penggugat, agar petitum itu mendapatkan jawabannya di dalam dictum atau amar putusan. Setiap peristiwa atau kejadian yang mendukung hubungan hukum harus diuraikan secara kronologis dan sistematis, sehingga setiap kalimat tuntutan diharapkan dapat diterima oleh pengadilan, agar hakim mudah memahami isi petitum, yang bertujuan untuk memudahkan hakim menilai apakah dasar gugatan merupakan sebab yang menjadi alasan penggugat minta dikabulkan isi tuntutannya. Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 16 Desember 1970 berpendapat bahwa tuntutan yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat berakibat tidak diterimanya tuntutan tersebut. Jadi, Mahkamah Agung menyamakan tuntutan yang “tidak jelas” dengan yang “tidak sempurna”.

Dalam Ilmu Hukum Acara Perdata dikenal dua macam teori tentang penyusunan surat gugatan, yaitu:
  1. Substantieringstheorie, yang menyatakan bahwa dalam surat gugatan perlu disebutkan atau diuraikan rentetan kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan.
  2. Individualiseringstheorie, yang menyatakan bahwa kejadian-kejadian yang disebutkan dalam surat gugatan harus cukup menunjukkan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan, sedangkan sejarah terjadinya tidak perlu disebutkan sekaligus dalam surat gugatan, karena hal itu dapat dikemukakan dalam sidang disertai pembuktiannya. 
Dalam cara mengajukan yang tidak kalah pentingnya, yang harus diperhatikan adalah kemana gugatan diajukan. Secara garis besar, pasal 118 HIR/142 RBg mengatur hal tersebut yang mengatakan:
  1. Gugatan perdata yang dalam tingkat pertama, masuk wewenang pengadilan negeri.
  2. Jika tidak diketahui tempat tinggal penggugat, gugatan diajukan pada pengadilan negeri tempat kediaman tergugat.
  3. Apabila tergugat terdiri dari dua orang atau lebih, gugat diajukan pada tempat tinggal salah seorang dari para tergugat, dipilih oleh penggugat.
  4. Apabila pihak tergugat ada dua orang, yaitu yang seorang misalnya adalah yang berhutang dan yang lain penjaminnya, maka gugatan harus diajukan kepada pengadilan negeri pihak yang berhutang.
  5. Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak dikenal, gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri tempat tinggal penggugat.
  6. Atau kalau gugatan itu tentang benda tidak bergerak, dapat juga diajukan kepada pengadilan negeri dimana barang tetap itu terletak. 
B. Komulasi Gugatan.

Perkara perdata secara sederhana memang hanya melibatkan dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat dalam suatu sengketa yang diajukan ke muka sidang pengadilan. Namun demikian, dalam kenyataan sering terjadi, dalam suatu perkara terrdiri lebih dari satu orang penggugat melawan beberapa orang tergugat. Dan dapat juga penggugat mengajukan lebih dari satu tuntutan dalam satu perkara sekaligus.

Gabungan dari beberapa tuntutan dalam satu surat gugatan itulah yang sering dikatakan dengan komulasi gugatan. Hal ini diperbolehkan untuk mempermudah proses beracara dan menghindari kemungkinan dibuat putusan-putusan kontradiktif satu sama lain, dan bermanfaat dari segi proseduril serta tidak bertentangan dari prinsip cepat dan murah.

Secara teoritis dikenal dua macam komulasi gugatan, yaitu:
  1. Komulasi obyektif, penggabungan beberapa objek atau tuntutan ke dalam satu surat gugatan perkara sekaligus. Dengan kata lain, tuntutan beraneka macam tetapi perkaranya tunggal.
  2. Komulasi subyektif, penggabungan dua atau lebih subyek hukum dalam satu surat gugatan. 
Undang-Undang tidak melarang penggugat mengajukan gugatan terhadap beberapa orang tergugat, sesuai dengan pasal 4, 81, 107 Rv, 127 HIR, 151 RBg, 1283, 1284 BW, 18 WvK.  Terhadap komulasi subyektif ini tergugat dapat mengajukan keberatannya kepada hakim, demikian pula sebaliknya tergugat diberikan hak untuk meminta dilakukan komulasi subyektif, yaitu mengikutsertakan tergugat-tergugat lain dalam satu gugatan yang sama.

Tangkisan tergugat ini yang menyatakan bahwa masih ada orang lain yang diikutsertakan dalam sengketa sebagai pihak yang berkepentingan disebut dengan exception plurium litis consortium. Seyogyanya tuntutan-tuntutan yang diajukan terhadap banyak tergugat harus ada hubungan atau koneksitas satu sama lain.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir, Prof. Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
Kamarusdiana, S.Ag., MH., Buku Daras Hukum Acara Perdata, Ciputat: Fakultas Syari’ah dan Hukum, 2006.
Makaro, Moh. Taufik, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Mertokusumo, Prof. DR. Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1977.
Rasaid, SH., M. Nur, Hukum Acara Perdata, Padang: Sinar Grafika, 1995.

*Mahasiswa Program Studi Peradilan Agama Jurusan Akhwal Asy-Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2008.

1 komentar: