Penguasaan Hak Atas Tanah

Kata “penguasaan” merupakan kata benda dan kata kerjanya adalah “menguasai” yang berasal dari kata dasar “kuasa” dengan imbuhan huruf “i”, sehingga pengertian “penguasaan” dan “menguasai” dalam hukum agraria dapat dipakai dalam arti fisik dan yuridis.

Secara perdata, penguasaan yuridis dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Akan tetapi ada juga penguasaan yuridis yang memberi wewenang untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, yang pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain. Misalnya kalau tanah yang dimiliki disewakan kepada pihak lain dan penyewa yang menguasainya secara fisik, atau tanah tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya, berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah-tanah yang bersangkutan secara fisik kepadanya.

Dalam hukum agraria dikenal penguasaan yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Kreditor pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan bangunan, tetapi penguasaannya secara fisik tetap ada yang empunya tanah.

Secara publik, pengertian “penguasaan” dan “menguasai” sebagaimana dikatakan dalam Pasal 2 UUPA yang menyatakan bahwa ayat:
  1. Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
  2. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk: (a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut. (b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa. (c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
  3. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur.
  4. Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dilaksanakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Selain itu, dalam UUPA diatur dan ditetapkan hirarkis hak-hak penguasaan atas tanah dalam, yaitu:
  1. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal 1, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata, dan publik.
  2. Hak menguasai dari negara yang disebut dalam Pasal 2, semata-mata beraspek publik.
  3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam Pasal 3, beraspek perdata dan publik.
  4. Hak-hak perorangan/individual, semuanya beraspek perdata, terdiri atas: (a) Hak-hak atas tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara langsung atupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa yang disebut dalam Pasal 16 dan Pasal 53. (b) Hak-hak jaminan atas tanah yang disebut “Hak Tanggungan” dalam Pasal 25, Pasal 33, Pasal 39, dan Pasal 51.
Semua hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriterium atau pembeda diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam UUPA.

Hak-hak yang dimaksudkan misalnya Hak Milik dalam Pasal 20, yang memberi wewenang untuk menggunakan tanah yang dihaki tanpa batas waktu. Hak Guna Usaha yang disebut dalam Pasal 28 dibatasi jangka waktu penggunaan tanahnya. Hak Guna Bangunan, Hak Tanggungan sebagai hak penguasaan atas tanah, juga berisikan kewenangan bagi kreditor untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan bangunan. Akan tetapi, bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur cidera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas hutang debitur kepadanya.

Berbeda halnya Hak Menguasai dari negara yang meliputi semua tanah tanpa ada yang terkecuali. Hak Menguasai, negara tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah secara fisik dan menggunakannya seperti hak atas tanah, karena sifatnya semata-mata hukum publik, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA di atas. Hal ini, apabila negara sebagai penyelenggara memerlukan tanah untuk melaksanakan tugasnya, tanah yang bersangkutan akan diberikan kepadanya oleh negara selaku Badan Penguasa, melalui Lembaga Pemerintah yang berwenang. Tanah diberikan kepada lembaga tersebut dengan satu hak atas tanah, untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, bukan sebagai Badan Penguasa yang mempunyai Hak Menguasai yang disebut dalam Pasal 2 UUPA, tetapi sebagai badan hukum seperti halnya perorangan dan badan-badan hukum perdata yang diberi dan menjadi pemegang hak atas tanah.

Disamping itu juga, ada pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam UUPA, ada yang disebut sebagai “Lembaga Hukum”, ada pula sebagai “Hubungan_Hubungan Hukum Konkrit”.

Hak penguasaan atas tanah merupakan suatu “Lembaga Hukum”, apabila belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya. Sebagai contoh dapat disebut Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, dan Hak Sewa Untuk Bangunan.

Hak penguasaan atas tanah yang merupakan suatu “Hubungan Hukum Konkrit” (biasanya disebut dengan hak), apabila telah dihubungkan dengan tanah tertentu sebagai obyeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subyek atau pemegang haknya. Sebagai contoh adalah hak-hak atas tanah yang disebut dalam ketentuan Konversi UUPA.

Dengan pendekatan pengertian hak penguasaan atas tanah sebagai “Lembaga Hukum” dan “Hubungan Hukum Konkrit”, ketentuan-ketentuan hukum yang mengaturnya dapat disusun dan dipelajari dalam suatu sistematika yang khas dan masuk akal.

Dikatakan “khas”, karena hanya dijumpai dalam hukum tanah yang tercantum dalam UUPA dan tidak dijumpai dalam hukum lain. Dikatakan “masuk akal” karena mudah ditangkap dan ikuti oleh logikanya.
  1. Ketentuan-Ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai “Lembaga Hukum”, seperti: (a) Memberi nama pada hak penguasaan yang bersangkutan. (b) Menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib, dan dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya. (c) Mengatur hal-hal mengenai subyeknya, siap yang boleh menjadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya. (d) Mengatur hal-hal mengenai tanahnya.
  2. Ketentuan-Ketentuan Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai “Hubungan Hukum Konkrit”, diantaranya: (a) Mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu hubungan hukum yang konkrit, dengan nama atau sebutan yang dimaksudkan dalam 1a diatas. (b) Mengatur hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain. (c) Mengatur hal-hal mengenai pemindahannya kepada pihak lain. (d) Mengatur hal-hal mengenai hapusnya. (e) Mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya.
*Makalah ini pernah diunduh oleh Moh. Hibatul Wafi pada tanggal 11 Desember 2009 dalam data pribadinya di laptop pada masa studinya, sebagai pencarian tugas makalah hukum.

0 comments:

Posting Komentar