Hampir lebih dari satu tahun mahasiswa UIN Jakarta berada dalam kebimbangan dan kevakuman terkait sistem kepemerintahan mahasiswa yang ada. Sejak dibekukannya BEM-Universitas (Badan Eksekutif Mahasiswa), mahasiswa kian diombang-ambing dalam kebimbangan dalam menentukan sikap. Hal ini berakibat fatal kepada berlangsungnya roda kepemimpinan yang berlangsung di mahasiswa itu sendiri. Berbagai problem mulai datang menghampiri, dimulai dari tidak leluasanya mahasiswa dalam melaksanakan kegiatan Propesa (Program Pengenalan Studi dan Almamater), hingga sulitnya mengucurkan anggaran kegiatan bagi BEM pada masing-masing tingkatan, yang berujung pada banyaknya dana mahasiswa yang telah mengendap dan hilang entah kemana.
Tentunya semua permasalahan ini tak datang secara alami. Ia tidak datang karena perintah kun fayakuun, tapi semua problem yang timbul tak lain dan tak bukan merupakan kesalahan sistemik yang telah dilakukan oleh pihak Rektorat dan Dekanat terkait ikut campurnya mereka dalam menentukan arah kedaulatan di tubuh lembaga kemahasiswaan. Hal ini dapat dibuktikan dengan hadirnya SK Rektor yang dikeluarkan oleh kampus terkait mekanisme pemilihan pimpinan lembaga kemahasiswaan yang semua itu merupakan produk turunan dari SK Dirjen tentang POK (Pedoman Organisasi Kemahasiswaan). Apa sebenarnya yang diinginkan oleh kampus terkait hal ini? Kenapa senat menjadi pilihan Rektorat untuk menertibkan lembaga kemahasiswaan yang selama ini dianggap sebagai biamg kerok dari setiap keributan yang terjadi dalam pemilu raya kampus?
Jawabannya mungkin tak dapat kita temukan di bangku perkuliahan, ataupun dapat kita baca dalam silabus mata kuliah yang diberikan. Semua ini tidak lain diciptakan untuk mengembalikan mahasiswa ke zaman di mana mahasiswa hanya ditugaskan untuk untuk taat pada peraturan kampus hingga membentuk mental mahasiswa yang anti kritik, akademis buta, dan tidak peka terhadap realita yang ada. Bukankah anggaran yang ada merupakan hak kita untuk kita pakai guna aktualisasi pengembangan kreatifitas dan intelektualitas kita di dalam kampus? Bukankah kita berhak untuk menikmati sistem demokrasi yang juga merupakan sistem yang dianut negara kita ini?
Senat merupakan sistem baru dalam pemilihan ketua lembaga kemahasiswaan yang ada di kampus, yang juga belum jelas mekanismenya, yang ternyata juga memangkas proses demokrasi bagi mahasiswa itu sendiri. Bila SG (Student Government) dianggap buruk dan dapat merugikan mahasiswa, mengapa di dalam statuta UIN terdapat pasal yang mengatakan bahwa “Lembaga Kemahasiswaan diatur oleh, dari, dan untuk mahasiswa”. Siapa sebenarnya yang telah menjadi pikun, atau pura-pura lupa terhadap aturan dalam negeri sendiri?
Saatnya kita sebagai mahasiswa yang berdaulat bangkit, memperjuangkan hak-hak kita, menuntut apa yang seharusnya tak diganggu oleh pihak Rektorat dan Dekanat. Dengan ini, kami mahasiswa UIN Jakarta menuntut kepada pihak Rektorat terutama Rektor dan PUREK III Bidang Kemahasiswaan, untuk segera memenuhi tuntutan kami sebagai berikut:
- Cabut SK Rektor mengenai pelaksanaan Senat di kampus UIN Jakarta.
- Berlakukan kembali SG sebagai sistem baku dalam lembaga kemahasiswaan UIN Jakarta.
0 comments:
Posting Komentar