PT. HIJAS LINE TUJUH TUJUH - HIJAS TRANS 77

Amanah Akademis Terhadap Mahasiswa Syari'ah & Hukum

Dr. Phil. JM. Muslimin, MA.*

Documenter - Agenda aplikasi Syari’ah di Indonesia masih sering dipahami sebatas penerapan hukum pidana syari’ah yang dipersepsikan sebagai antitesa prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Syari’ah dalam konteks ini belum dimaknai sebagai nilai-nilai luhur yang digali dari prinsip Ilahiah (transcendental) yang berisi ajaran tentang pembebasan (liberation) dan kemanusiaan (humanistic values), suatu ajaran yang berintikan paduan antara visi ketuhanan dan pengalaman riil manusia sepanjang sejarahnya dalam menemukan formula resolusi konflik (nilai dan formula hukum) untuk keberlangsungan eksistensialnya secara lahiriyah maupun bathiniyah. Allah berfirman:
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik." (QS. Al-Imran: 110)
"Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui." (QS. Al-Jatsiyah: 18)
Satu hal yang patut disyukuri, dewasa ini seiring mulai meratanya pendidikan Islam di berbagai pelosok negeri, pemahaman tentang syari’ah terasa mulai membaik. Ada kemauan berbagai pihak untuk memahami, mendalami, dan mempraktekkan hakikat syari’ah. Pada sektor bisnis keuangan dan perbankan misalnya, mulai digali dan diterapkan nilai-nilai syari’ah. Terkait kehormatan perempuan dan sikap serba boleh (permissif) sudah ada UU Anti Pornografi dan Pornoaksi (UU APP). Di beberapa kegiatan (termasuk tayangan popular sinetron media elektronik), masyarakat juga semakin akrab dengan terminology syari’ah, ada tayangan film berjudul Ketika Cinta Bertasbih, Sang Murabbi, Laskar Pelangi, dan lain-lain yang tersirat dan tersurat di dalamnya tentang perlunya manusia Indonesia selalu berpijak dari jiwa masyarakatnya (volksgeist) yang berlandaskan hakikat syari’ah.

Terlepas dari kekurangan yang ada, secara langsung maupun tidak langsung, kondisi ini diprediksikan dapat secara lambat tetapi pasti menghilangkan sikap antipati terhadap syari’ah (syari’ah phobia). Jika situasi demikian terus berlangsung, maka pada gilirannya akan menciptakan suasana yang ramah bagi adanya “ruang dialog” antara syari’ah, perundang-undangan positif, dan realitas kekinian secara obyektif, partisipatif, demokratis dan tidak terbayang-bayangi oleh beban sejarah.

Dialog antara syari’ah dan realitas kemasyarakatan modern terus perlu dilakukan. Syari’ah tidak boleh menjadi nilai dan kerangka pemahaman yang memfosil, syari’ah memiliki daya fleksibilitas dan kreatifitas yang tinggi seperti telah ditunjukkan oleh para pemikirnya sepanjang zaman. Ibarat pohon, syari’ah dapat ditanam dimanapun meski dengan kondisi kesuburan tanah yang berbeda-beda.

Dengan kata lain, dalam konteks negara kebangsaan (nation state) seperti Indoneisa, syari’ah dapat berfungsi sebagai substansi nilai yang potensial untuk memberikan akar bagi tumbuhnya ketaatan yang murni (pure legal obedience) dan tulus terhadap konstitusi dan perundang-undangan yang ada. Ia hadir untuk memberikan makna bahwa hidup berbangsa dan bernegara memerlukan ruh, semangat ketulusan, rasa memiliki dan komitmen terhadap konsensus serta keputusan hukum bersama, sebagai kelanjutan dari adanya kedalaman penghayatan dan keterpanggilan yang tumbuh dan berkembang dari pemaknaan hidup yang berdimensi keahlian (religious meaning of life).

Pada keterkaitan pemaknaan yang demikian, maka perangkat dan produk perundang-undangan yang ada bukanlah semata aturan duniawi (profane) yang hanya layak untuk dijadikan acuan kognitif dan otak-atik pengertian semantic perundang-undangan (Begriff und Normwissenschaft) dalam sengketa dan pendebatan teknis yuridis formil, tetapi lahir dan ada untuk ditaati dan dijadikan pedoman berdasarkan ketulusan dan kemurnian prinsip ketaatan. Maka melalui syari’ah, manusia Indonesia pada dasarnya dapat diajarkan untuk “hormat konstitusi dan taat kitab suci”. Allah berfirman:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. # Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa’: 58-59)
Karena syari’ah pada prakteknya juga dapat dimaknai sebagai seperangkat nilai yang sudah dikembangkan sebagai suatu disiplin ilmu, maka teoretisasi dan sejarah pemikiran syari’ah sudah melahirkan derivasi epistemologis dan tekhnis keilmuan secar relatif detail. Dikenallah kemudian, klasifikasi bidang keilmuan syari’ah yang dipengaruhi oleh tradisi keilmuan hukum sipil/continental (civil law): hukum tentang perseorangan dan keluarga (Fiqh al-Akhwal as-Syakhsiyyah), hukum tentang harta benda (al-Ahkam al-Maliyyah), hukum publik/pidana (al-Ahkam al-Jinayyah), dan seterusnya.

Sayangnya, karena dualisme tradisi pendidikan (pendidikan umum dan keagamaan) di negara-negara Muslim, maka tradisi keilmuan yang bersifat saling memperkarya dan meminjam antara ilmu-ilmu syari’ah dan ilmu hukum tidak dapat berkembang. Lebih jauh, secara perlahan-lahan seiring dengan memudarnya tradisi ijtihad, maka proses saling meminjam dan memperkarya itu berubah menjadi tradisi keilmuan dan sikap ilmuwan yang defensif, menolak, dan tertutup. Arah dan penajaman spesialisasi keilmuan, kemudian lebih menunjang keberlangsungan dualisme tersebut. Dus, tidak mudah untuk mengembangkan keilmuan syari’ah secara dialektis: saling meminjam dan mengisi diantara keilmuan syari’ah dan hukum.

Tidak dapat dipungkiri, memang ada problem filosofis dan ontologi keilmuan antara ilmu syari’ah dan ilmu hukum. Satu contoh saja, dalam ilmu-ilmu syari’ah dikenal nilai hukum yang tidak dapat berubah (qathiyyat). Sementara, dalam ilmu hukum (terutama madzhab Freirechtslehre) nilai hukum itu diciptakan oleh manusia dan sepenuhnya bergantung kepada kesepakatan manusia tentang apa yang dianggap sebagai nilai yang berubah dan nilai yang tetap.

Contoh yang lain adalah bentuk sanksi dalam hukum. Dalam pandangan sebagian besar fuqaha, bentuk sanksi dalam tradisi pemikiran hukum Islam sudah final dan tidak ada ruang kreasi manusia di dalamnya. Bentuk itu sudah sedemikian rupa diberikan oleh Allah. Sementara, dalam pemikiran pemidanaan dalam perspektif ilmu hukum dan kriminologi, sanksi itu dapat dimodifikasi tergantung pada apakah pijakan pikiran tentang sanksi itu bersifat rehabilitatif atau tekanannya pada pemberian hukuman yang berat dan berupa fisik yang arahnya adalah menimbulkan efek jera bagi si pelaku sekaligus peringatan bagi manusia yang lain (bersifat fisik dan personal).

Dalam perspektif rehabilitatif, maka pandangannya adalah kesalahan individu itu bersifat juga kesalahan kolektif. Manusia mencuri bukan karena semata kesalahan yang bersangkutan, tetapi hal itu juga didorong oleh sistem sosial ekonomi yang membuat dia sebagai pencuri. Dengan demikian tugas pemidanaan adalah menormalkan kembali si pelaku kejahatan dan tidak hanya fokus pada penjeraan dengan hukuman fisik. Dalam perspektif demikian, tidak ada istilah penjara, tetapi yang ada adalah Lembaga Pemasyarakatan. Di sisi lain, sanksi dalam perspektif personal dan fisik lebih memfokuskan pada tindak kriminalitas yang dilakukan adalah kesalahan individu dan hukuman yang diberikan harus berorientasi pada pembebanan fisik untuk pelaku sehingga menimbulkan efek jera baginya dan peringatan bagi ‘calon’ pelaku. Maka dalam kerangka demikian, pelaku tindak pidana dimasukkan ke dalam Penjara.

Daerah model pemikiran dan contoh praktek tersebut masih dapat diperbanyak dan lebih diperdalam. Untuk pendalaman dan penajaman, setiap mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta sudah selayaknya mulai berfikir untuk:
  1. Memperkaya literatur bacaan tentang ilmu-ilmu kesyari’ahan dan ilmu hukum dalam bingkai pemikiran semi popular dan kontemporer.
  2. Ikut meletakkan pondasi awal bagi berkembangnya ilmu-ilmu kesyari’ahan dan ilmu hukum dalam perspektif perbandingan.
  3. Memperbanyak diskursus acuan epistemologi pemikiran kesyari’ahan dalam merespon problematika kontemporer.
  4. Terlibat aktif dalam arus ilmiah yang dapat digunakan untuk pengkayaan teoritis, praktek keilmuan dan alternatif solusi, khususnya di bidang hukum dan syari’ah.
  5. Mendorong untuk terus adanya proses pembelajaran yang integratif, antara teori dan praktek profesi keilmuan.
Inilah amanah akademis yang diemban setiap mahasiswa Fakultas Syari'ah & Hukum!

*Pembantu Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Syari'ah & Hukum UIN Syarif Hidayatullah. Pernah dimuat dalam Buletin Hakam Peradilan Agama, Edisi November 2009.

0 comments:

Posting Komentar