Paket Al-Qur'an Yang Terseret

Rabu, 26 November 2025 - Berita Fakta

Terima Kasih

Minggu, 23 November 2025 - Sticker

Pengajian Bulanan MT. Al-Khairat Kebayoran Lama

Minggu, 23 November 2025 - Dakwah

SULINGJAR 2025

Senin, 6 Oktober 2025 - Pendidikan

Akibat RUU TNI Disahkan

Minggu, 23 Maret 2025 - Pendidikan Politik

Psikologi Guru Tak Layak Jadi Pemimpin

Minggu, 23 Maret 2025 - Hukum Pidana Pendidikan

Free E-Course Arabic Quantum

Sabtu, 4 Januari 2025 - Lembaga Privat

Jum'at Bersih dan Indah

Jum'at, 3 Januari 2025 - Komunitas

Gedung Rektorat UIN Jakarta Terbakar

Senin, 30 Desember 2024 - Kampus

Rental Mobil - Hijas Trans 77 - 081319091084

Innova Reborn Manual/Matic (Solar/Pertalite), Suzuki Ertiga Manual/Matic, Toyota Avanza Manual, Daihatsu Terrios Manual, Toyota Kijang Innova Manual

Kemandirian “Rumah” Ilmu Pengetahuan

Oleh Sulistyowati Irianto*

Sejak putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2009 mengakhiri status universitas sebagai badan hukum mandiri, terjadi debat yang tidak berkesudahan tentang apakah universitas harus otonom atau tidak.

Di sinilah awal kekacauan tentang apakah artinya “otonomi” dalam perspektif kepentingan universitas sebagai lembaga produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan.

Otonomi sebagai suatu terminologi dalam ilmu pengetahuan dikacaukan dengan pengertian awam sehingga timbul salah pengertian, bahkan konflik, yang tidak menguntungkan bagi kelangsungan pendidikan tinggi Indonesia. Otonomi seperti apa yang dibutuhkan oleh universitas bagi keberlangsungannya? Ada baiknya kita belajar dari Magna Charta Universitatum.

Para rektor universitas di Eropa berkumpul dalam perayaan 800 tahun universitas tertua Bologna, tahun 1988, dan menetapkan Magna Charta Univrsitatum. Mereka mempertimbangkan masa depan umat manusia yang akan sangat bergantung pada perkembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Penelitian yang dihasilkan universitas dianggap sangat penting. Tanggung jawab universitas adalah menyebarluaskan ilmu pengetahuan di kalangan generasi muda yang akan mengabdikan dirinya kepada masyarakat dan bangsa.

Dalam konteks ini, universitas wajib mendidik generasi muda dan mengajar mereka untuk menajamkan suara hati serta menhormati prinsip dan nilai dasar tentang kebenaran dan kejujuran. Suara hati adalah kepekaan untuk menimbang baik dan buruk, benar dan salah.

Prinsip Dasar
Pertama, universitas adalah institusi sendi dalam masyarakat yang harus dikelola secara khusus karena menghasilkan dan menguji ilmu pengetahuan berdasarkan riset dan pengajaran. Oleh karena itu, universitas harus otonom secara moral dan intelektual, terbebas dari otoritas politik dan kekuasaan ekonomi.

Kedua, pengajaran dan riset universitas tak dapat dipisahkan dari perkembangan kebutuhan dan panggilan masyarakat serta kemajuan ilmu pengetahuan.

Ketiga, kebebasan dalam riset dan pengajaran adalah prinsip dasar kehidupan universitas yang harus dihormati. Universitas harus menjamin penolakan terhadap intoleransi, selalu terbuka terhadap dialog, tempat ideal bertemunya para pengajar yang mampu mengkomunikasikan ilmu pengetahuan, serta sangat difasilitasi untuk mengembangkannya melalui riset dan inovasi.

Universitas adalah tempat bagi mahasiswa yang berhak, berkemampuan, dan berkeinginan memperkaya pemikirannya dengan ilmu pengetahuan.

Keempat, universitas berada di garis depan dalam pengembangan tradisi memuliakan kemanusiaan. Kepeduliannya secara konstan ditujukan untuk mencapai ilmu pengetahuan universal dan memenuhi panggilannya melampaui batas geografi, politik, dan mendukung kebutuhan vital untuk memahami keberagaman budaya.

Untuk dapat mewujudkan prinsip dasar itu dibutuhkan cara efektif, seperti menyediakan instrumen yang memadai untuk menjamin kebebasan riset dan pengajaran; membuat regulasi dalam mengangkat pengajar dan memperhatikan status kepegawaian mereka serta melindungi hak-hak mahasiswa untuk bertukar informasi, bekerja sama dengan para pengajar dalam kerja akademik.

Kasus UI
Penyelesaian kasus Universitas Indonesia dikhawatirkan akan berakhir dengan menjadikan UI sebagai satuan kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jika hal ini terjadi, runtuhlah simbol kejayaan dan prinsip dasar kemandirian universitas. Kaum cerdik pandai universitas hanya akan menjadi kepanjangan tangan kepentingan politik pemerintah, kemungkinan juga partai politik. Lebih buruk lagi, preseden ini bisa diikuti oleh perguruan tinggi negeri terkemuka lain di Indonesia.

Universitas adalah kekuatan moral. Oleh karena itu, otonomi universitas haruslah dipertahankan demi kelangsungan pendidikan tinggi untuk menghasilkan manusia Indonesia yang cerdas dan berkarakter.

Otonomi dalam pengertian ini adalah keseluruhan kemampuan institusi untuk mencapai misinya berdasarkan pilihannya sendiri. Otonomi butuh kesempurnaan dalam bidang akademik, tata kelola, dan manajemen keuangan. Jika hal itu tidak terjadi, otonomi telah disalahgunakan.

Otonomi universitas jangan sekali-kali dikaitkan dengan komersialisasi pendidikan, tak menentunya nasib pegawai, dan tata kelola universitas yang tidak terkontrol. Justeru kemandirian universitas harus menjamin kesejahteraan lahir batin setiap pengajarnya, tata kelola yang baik dan intoleran terhadap korupsi dan penyimpangan.

Otonomi dan akuntabilitas adalah dua sisi dari koin yang sama. Akuntabilitas memampukan institusi untuk meregulasi kebebasan yang ada padanya dengan cara otonom. Untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi, perlu perubahan tata kelola yang mendasar dari tingkat universitas, fakultas, sampai program studi secara menyeluruh.

Jika hal ini tak dilakukan, kita berutang kepada generasi muda mahasiswa yang kelak akan menentukan arah bangsa dan peradaban manusia secara global.

*Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia. Dan artikel ini pernah dimuat di Opini Kompas pada hari Rabu, 4 Januari 2012.

“Biar Negara Hangus Terbakar...”

Oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif*

Revolusi mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada 1945-1949 sungguh kritikal, melelahkan, tetapi syarat dengan harapan untuk menang. Ia menyisakan berjuta pengalaman suka duka, heroisme, dan idealisme dengan kualitas hampir tanpa cacat.

Sebagai anak kampung yang tersuruk di lembah Bukit Barisan dalam usia di bawah 14 tahun, saya tidak menyumbang apa pun untuk kepentingan revolusi itu. Sekiranya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pimpinan Sjafruddin Prawiranegara tidak menjadikan kampung saya, Sumpur Kudus, sebagai salah satu pusat pemerintahan gerilya selama beberapa minggu pada 1949, kampung ini-seperti ribuan desa lain di seluruh Nusantara-tidak akan pernah dicatat dalam peta perjuangan kemerdekaan.

Semboyan Perjuangan
Sebagai anak kampung yang lugu dengan pendidikan Sekolah Rakyat (SR) pada 1942-1947, tidak banyak yang singgah dalam memori saya tentang percikan api revolusi di lingkungan pedesaan yang terisolasi itu. Namun, bait lagu atau semboyan yang rasanya berbunyi: “Biar negara hangus terbakar, asal tidak dijajah lagi”, masih bertahan di otak saya sampai hari ini.

Saya tidak tahu siapa pencipta lagu atau semboyan yang sangat nasionalistis itu, yang getarannya dirasakan jauh sampai ke pelosok yang tak dikenal. Rakyat udik pun telah lama menjatuhkan talak tiga terhadap apa yang bernama penjajahan. Semboyan ini pun bergema pada saat-saat yang menentukan itu: merdeka atau mati!

Maka, tidak mengherankan apabila rakyat desa menyambut para pejuang kemerdekaan dengan semangat pengorbanan yang teramat tulus. Segalanya diberikan: harta dan jiwa tanpa mengharap imbalan apa pun. Inilah pengorbanan yang paling otentik yang dikenal dalam masa revolusi. Pemimpin dan rakyat hidup berdampingan tanpa jarak. Kesederhanaan adalah fenomena keseharian saat itu.

“Biar negara hangus terbakar” melambangkan sebuah tekad yang teramat kuat untuk menjadi bangsa merdeka. Sistem penjajahan pada masa lampau itu asing sifatnya harus segera dihalau, sekali dan untuk selama-lamanya.

Karena bercorak serba asing, apakah penjajah itu berhidung mancung atau bermata sipit, kita dengan sangat mudah mengenalinya. Kelakuannya serupa: zalim, diskriminatif, eksploitatif, opresif, dan represif. Rakyat terjajah tak dianggap manusia penuh. Semua kelakuan buruk dan busuk ini menyatu dengan sistem penjajahan itu.

Namun, setelah merdeka muncul kesulitan karena yang berkuasa telah digantikan oleh anak bangsa sendiri, sekalipun kelakuan buruk bisa saja berlanjut. Penguasa baru itu, yang saya kategorikan sebagai londo ireng, tidak jarang pula meneruskan sifat-sifat penjajahan yang tidak hirau dengan masalah keadilan dan nasib rakyat banyak. Akibatnya, sila kelima Pancasila berupa Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia masih tetap menggantung di awan tinggi, belum membumi untuk dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Zaman Bergerak, Sikap Berubah
Pada era 1950-an, beberapa tahun pascarevolusi, kesederhanaan gaya hidup para elite kita masih sangat terlihat. Bahkan, seorang perdana menteri hanya memakai baju hem lengan pendek saat dilantik Presiden. Kesenjangan sosial-ekonomi belum dirasakan benar. Maklumlah, negara dalam kondisi miskin.

Ada, memang, pertentangan ideologi politik antarpartai yang cukup tajam, tetapi tak pernah berdarah-darah. Jika ada darah yang tertumpah, itu semata-mata untuk melumpuhkan pemberontakan, seperti kasus DI/TII, dan sebelumnya terjadi pula pemberontakan PKI Madiun yang memang harus ditumpas.

Pada akhir 1950-an, dipicu oleh kesenjangan antara daerah dan pusat serta semakin dominannya pengaruh komunisme, pergolakan daerah sulit untuk dihindari dan penyelesaiannya pun berdarah-darah. Sesuatu yang sangat disayangkan.

Akan tetapi, gaya hidup para elite masih dalam batas normal. Kesederhanaan belum lagi meninggalkan panggung politik nasional. Pesta pora perkawinan yang ekstra mewah, seperti yang terlihat belakangan, jarang sekali terjadi. Roh proklamasi dengan pesan kesederhanaan dan egalitariannya masih belum pupus dari kehidupan para elite. APBN dan APBD ketika itu tak dijadikan sapi perahan oleh perselingkuhan penguasa atau politisi dan pengusaha.

Dengan bergeraknya zaman, berlaku pulalah pergeseran kelakuan. Batas-batas moral telah dilanggar semau gue. Sebagian pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif tanpa rasa malu telah sama berkubang dalam dosa dan dusta. Pernyataan-pernyataan politik dan hukum telah kehilangan otentisitasnya karena pada umumnya adalah untuk melestarikan kekuasaan dan berebut tulang. Dalam kondisi semacam ini, tuan dan puan akan sia-sia berharap perbaikan kehidupan rakyat banyak secara menyeluruh. Kekuasaan telah dijadikan tujuan.

Ironisnya, ia sering dibungkus dalam bahasa lembut, tetapi culas, demi kekuasaan dan uang. Teramat kecil jumlah anak bangsa ini yang masih berpikir tentang masa depan bangsa dan negara. Kepentingan kekinian yang serba pragmatis telah menjadi “agama”, mengalahkan tujuan jangka jauh bagi kelangsungan negara kepulauan yang cantik tetapi merana ini.

To have more and to use more (semakin banyak memiliki dan semakin banyak pula menggunakan), tulis Erich Fromm, adalah sifat masyarakat konsumeristik. Dikatakan bahwa masyarakat ini telah menghasilkan barang-barang tunaguna dan pada tingkat yang sama telah melahirkan pula manusia tak berguna. Namun, sudah demikian burukkah masyarakat Indonesia sekarang? Saya rasa belum, tetapi gejala ke arah itu telah semakin terang benderang. Jika tidak dibendung dengan seksama oleh seluruh kekuatan akal sehat yang sesungguhnya masih hidup dalam jiwa bangsa ini, jalan ke arah itu makin terbuka.

Akhirnya...
Semboyan masa revolusi yang berbunyi “Biar negara hangus terbakar, asal tidak dijajah lagi” telah digeser oleh filosofi pragmatis para elite: “Biar negara jadi sapi perahan dan korupsi merajalela, asal aku tetap berkuasa”. Lagi-lagi, kekuasaan telah dijadikan tujuan tertinggi.

Inilah penguasa londo ireng yang berlagak santun, tetapi hati nuraninya telah lama lumpuh. Dan, kelumpuhan nurani ini pulalah yang menjadi sumber utama dari segala macam ketidakberesan yang sedang menerpa Indonesia sekarang.

*Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah dan artikel ini pernah dimuat di Opini Kompas pada hari Rabu, 4 Januari 2012.

Beasiswa BCA Finance 2010

Setelah sukses dengan program “Beasiswa BCA Finance 2009” yang telah diberikan kepada 20 mahasiswa berprestasi tahun lalu senilai total Rp 360.000.000 (tiga ratus enam puluh juta rupiah), maka tahun ini, menyambut HUT Kemerdekaan Republik Indonesia Ke-65 dan disertai tekad kuat untuk turut mencerdaskan kehidupan bangsa, BCA Finance kembali menggulirkan program “BEASISWA BCA FINANCE 2010”. Beasiswa akan diberikan kepada 35 orang mahasiswa berprestasi yang kurang mampu secara ekonomi.

Total Beasiswa yang akan diberikan oleh BCA Finance adalah senilai Rp 420.000.000,- (empat ratus dua puluh juta rupiah). Beasiswa diberikan dalam bentuk SPP maksimum Rp 1.000.000,- dan uang saku Rp 1.000.000,- per semester, sejak dinyatakan sebagai penerima beasiswa hingga maksimal sampai dengan semester 8.

Adapun persyaratan yang harus dipenuhi oleh mahasiswa pelamar adalah sbb :
  1. Mahasiswa/i Program Strata 1 (S1).
  2. Minimal telah menyelesaikan semester 2.
  3. Mengisi Formulir Beasiswa (download di www.bcafinance.co.id).
  4. Melampirkan Transkrip Nilai semester terakhir  dengan IPK min 3,00.
  5. Melampirkan Surat Keterangan Tidak  Mampu dari Institusi yang berwenang  dari daerah sesuai KTP mahasiswa.
  6. Melampirkan Surat Rekomendasi  dari Pihak Perguruan Tinggi.
  7. Mengajukan surat permohonan beasiswa kepada PT. BCA Finance.
  8. Melampirkan fotokopi Kartu Mahasiswa dan KTP.
  9. Menyertakan 2 (dua) lembar pas foto berwarna ukuran 4 x 6.
  10. Menyertakan surat keterangan dari pihak kampus mengenai besarnya biaya kuliah tiap semester (SPP) dan atau biaya mata kuliah per kredit (SKS).
  11. Mencantumkan Nama Universitas dan Nama Kota di sudut kiri atas amplop.
  12. Tidak sedang menerima beasiswa dari pihak manapun.
Berkas persyaratan paling lambat kami terima tanggal 24 September 2010 (Cap Pos) yang dikirimkan ke :
                PT BCA Finance
                Up. Corporate Planning
                Wisma BCA Pondok Indah Lt. 8
                Jl. Metro Pondok Indah No. 10
                Jakarta 12310

Daftar nama penerima beasiswa akan kami umumkan pada tanggal 22 Oktober2010 melalui Website BCA Finance :  www.bcafinance.co.id

Penerima beasiswa terpilih akan diundang ke Kantor Pusat BCA Finance di Jakarta selama dua hari untuk mengikuti acara “Meet & Greet” berupa ramah tamah dengan pihak Manajemen BCAF, tour de office, dan konferensi pers. Biaya transportasi dan akomodasi sepenuhnya ditanggung oleh BCA Finance.

Keputusan hasil penerima beasiswa adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Proses penyaringan akhir dilaksanakan oleh tim seleksi BCA Finance.

Akademis Versus Aktivis

Oleh Redaksi Buletin Hakam Peradilan Agama
Edisi November 2009

Mendengar kata “akademis” secara langsung kita sudah tahu bahwa mahasiswa yang mendapat predikat akademis adalah yang rajin kuliah, cerdas, aktif dalam diskusi, suka membaca buku, dan indeks prestasinya cumlaude. Orang tua bila diberi pertanyaan, “Mau gak punya putra putri yang mendapat predikat akademis sebagaimana criteria di atas ?”. Pasti mereka secara kompak akan menjawab, “Mau”. Memang orang tua yang membiayai kuliah pasti berharap putra putrinya akan menjadi manusia yang cerdas, baik cerdas otaknya dan juga hatinya alia shaleh.

Menjadi akademis sejati memang perlu perjuangan yang tidak mudah. Di samping harus rajin kuliah, juga rajin berdiskusi agar dirinya terbiasa mengeluarkan pendapat dan mengasah ide-ide yang ada dalam otaknya. Orang yang biasa berdiskusi akan memiliki mental berani dan cepat tanggap dalam mengatasi permasalahan. Nah, dalam berdiskusi juga harus punya modal, yakni pengetahuan yang luas. Jangan jadi “tong kosong nyaring bunyinya”, bersuara tapi gak ada isinya. Oleh karena itu, membaca buku itu sangat penting. Apalagi kampus sudah menyediakan fasilitas perpustakaan yang cukup memadai. Selain itu, media pengetahuan bukan hanya buku, ada surat kabar, majalah, internet, televisi, dan lain-lain.

Selain tipe mahasiswa akademis, ada juga tipe mahasiswa aktivis. Mendengar kata “aktivis” pasti kita tahu bahwa mahasiswa yang mendapat predikat ini adalah orang yang aktif di organisasi, baik di kampus maupun di luar kampus. Kesehariannya sibuk dengan organisasi, mulai rapat, membuat acara, mengurus proposal, seminar, diskusi, bahkan melakukan aksi bila dibutuhkan. Menjadi aktivis memang hal yang membanggakan, selain akan memiliki banyak teman, pasti akan banyak pengalaman yang tidak didapatkan di bangku perkuliahan.

Tidak semua mahsiswa mau menjadi aktivis. Alasannya tidak diizinkan orang tua, takut kuliah terlantar, takut indeks prestasi berantakan, atau bahkan malas karena masih senang jalan-jalan, hura-hura, dan menikmati masa muda untuk senang-senang. Apakah benar pendapat sebagian orang bila menjadi mahasiswa aktivis, kuliah akan terlantar dan indeks prestasi berantakan ? Bisa tidak menjadi aktivis sekaligus menjadi akademis?

Pendapat sebagian orang bahwa mahasiswa aktivis itu kuliahnya terlantar dan indeks prestasinya berantakan, memang benar dan salah. Benar karena ada sebagian aktivis yang jarang masuk kuliah dan indeks prestasinya hancur berantakan. Salah karena ada juga aktivis yang tetap rajin kuliah dan indeks prestasinya baik, bahkan ada yang cumlaude. Jadi benar atau salahnya pendapat tadi tergantung pribadi masing-masing aktivis, apakah ia bisa mengatur kesibukan di organisasi dengan waktu kuliah atau tidak?

Mahasiswa aktivis bisa menjadi akademis sekaligus. Aktivis dan akademis bukanlah kedua hal yang saling bertentangan, justru keduanya bisa saling berjalan beriringan dan saling mengisi kekurangan. Nah yang bahaya adalah mahasiswa no aktivis or akademis, yakni sudah tidak mau aktif di organisasi juga kuliahnya malas, tidak suka diskusi apalagi membaca buku di perpustakaan. Mahasiswa seperti ini yang harus lenyap dari muka bumi. Oleh karena itu, menjadi aktivis yang aktif di organisasi sekaligus menjadi akademis yang cerdas, rajin, dan memiliki indeks prestasi tinggi bukanlah keniscayaan. Kemampuan mengatur waktu adalah kunci suksesnya seorang aktivis akademis. Jadi, menjadi aktivis sekaligus akademis, Why Not ???

Workshop Jurnalistik Untuk Mahasiswa FSH

Oleh Redaksi Buletin Hakam Peradilan Agama
Edisi November 2009

Sebuah susunan kepanitiaan Fakultas Syari’ah dan Hukum yang terdiri dari beberapa orang dosen, telah mengadakan workshop jurnalistik bagi beberapa orang mahasiswa perwakilan masing-masing prodi. Melalui workshop yang berlangsung selama dua hari itu 20-21 Oktober diharapkan dapat merangsang dan memicu kembali semangat tulis menulis mahasiswa FSH yang belakangan ini mulai luntur dan jarang terdengar.

Pada hari pertama, acara dibuka langsung oleh Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum, Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MH, MM, dalam sambutannya beliau berpesan agar mahasiswa lebih berkreatifitas lagi dalam dunia tulis menulis.

Acara yang dilaksanakan di ruang teater lantai 6 dan ruang rapat dekan ini, dibagi menjadi beberapa sesi penyampaian materi terkait dunia jurnalistik. Di antara materi itu seputar manajemen jurnal dan bulletin, teknis penulisan artikel ilmiah, teknik wawancara, penulisan berita, dan feature, bahkan pengelolaan website berita. Setiap meteri disampaikan oleh dosen-dosen yang berkompeten dan sudah bergelimang dalam dunia jurnalistik, sebut saja Drs. Nanang Syaikhu, Dr. Syahrul Adam, dan Ilham Aufa S.EI. pada acara penutupan oleh Pudek III FSH, beliau menyampaikan bahwa sebagai follow up dari workshop itu, akan diberikan suntikan dana bagi setiap prodi yang mengajukan proposal untuk membuat sebuah jurnal ataupun bulletin prodi. Oleh karena itu, ditekankan pada semua peserta untuk segera merancang bulletin tersebut dalam waktu dekat ini, sebagaimana Hakam dari konsentrasi Peradilan Agama, dan Mu’amalatuna dari Perbankan Syari’ah.