Sampurasun Aki Lengser dalam Pernikahan Adat Sunda

Sabtu, 21 Desember 2024 - Budaya

Hydro Jet System

Sabtu, 14 Desember 2024 - Teknologi

Giat Kerja Bakti Warga Rw. 16 Cililitan

Minggu, 8 Desember 2024 - Komunitas

LPJ Triwulan 3 Kopma UIN Jakarta 2024

Jum'at, 6 Desember 2024 - Koperasi

LMS UNJ Error, Menyulitkan Pejuang Sarjana

Rabu, 4 Desember 2024 - Teknologi Kampus

Tak Ada Penyewa, Kami Hanya Berjualan

Oleh Angkringanwarta*

Kamis (5/6) dini hari, kira-kira waktu telah menunjukan pukul 03.00 WIB, secara tiba-tiba terdengar ketukan pintu terdengar begitu keras, dan sepertinya sedang tergesa-gesa. Saya pun terpaksa membukanya, sebab berharap pemilik rumah untuk membuka pintu tak kian kunjung. Setelah pintu terbuka dengan cepat ia berujar “mana ibu?” pernyataanya terasa begitu tergesa-gesa, dan diikuti dengan reaksiku yang secepat kilat aku membangunkan seorang sehabat yang merpukan pemilik dari rumah tersebut, ia masih tergelatak nyaman tak jauh dari keberadaan saya... Selengkapnya

*Sebuah media online.

Habis Dulu, Baru Mudik

Oleh Dede Supriyatna*

Makanan itu, mengingatkan saya tatkala masih duduk di Sekolah Dasar (SD). Saat sesorang memanggul sambil tangannya menggerakan sebuah kotak kaleng bekas minyak rambut lavender, di tengah kaleng tersebut terdapat tali yang mengikat besi kecil, sambil melangkahkan kaki, tangannya memeganggan bambu yang dijadikan pegangan keleng teresebut diputar-putar sehingga akan mengeluarkan bunyi hasil dari benturan antar besi kecil dengan kaleng tersebut.

kala suara itu terdengar, maka saya bersama teman-teman akan berlari menemuinya, biasanya untuk mendapatkan makanan tersebut, kami cukup dengan menukar benda-benda rusak yang dapat di daur ulang, atau dengan uang sebagai alat tukar untuk mendapatkan makanan itu.

Dan saat ini (27/8), saya dapati makanan tersebut di panggul oleh laki-laki kurus, umurnya telah mencapai 60 tahun. Laki-laki itu, memanggul kaleng, ada dua keleng yang dibawa olehnya, ke dua kaleng tersebut berukuran sama, untuk ukurannya tersebut hampir sama dengan kaleng kerupuk yang berada di warung-warung klontong, cuma untuk kaleng yang disini telah terdapat sedikit tambahan sehingga ukuran menjadi lebih besar.

Lalu ia letakan barang panggulannya, sambil mengucapkan sesuatu, bahwa ia hendak beristirahat. Ia amati sesaat kaleng-kaleng tersebut terdapat tulisan “harum manis.” Sebaris kata yang menunjukan nama makanan tersebut, makanan yang masih sama dengan yang beberapa tahun lalu, yakni rambut-rambut lengket, berwarna merah dan berasa manis, yang diapit oleh kerupuk tipis yang terasa renyah. Mungkin dari rasa manis tersebut, menjadikan orang-orang memangginya dengan sebutan harum manis.

Sesudah ia letakan kedua kaleng panggulannya, ia langkahkan kakinya mendekat sebuah tempat duduk yang terletak di samping gerobak rokok. Dari wajahnya terlihat bagaimana ia mengatur napas. Selang beberapa saat, “enggak mudik, pak?” kata-kata pertama yang saya lontarkan padanya. “Seandainya habis, saya baru akan mudik, masih banyak” ucapan yang terlontar darinya sebagai jawaban. Lalu ia tambahkan ungkapan saya berjualan di depan mall Giant yang terletak tak jauh dari terminal Lebak Bulus, dan untuk sampai ke tempat saya berjualan, saya menempuh waktu selama satu jam.” Seusai berujar, ia hisap dalam-dalam sebatang rokok kretek.

“Saya mulai berjualan kira-kira pukul 11.00 WIB, baru ke luar dari kontrakan dan sampai jam sekarang.” waktu HP, waktu telah menunjukan pukul 23.00 WIB. Sebuah kontrakan yang terletak di daerah Rempoa, tepatnya di kampung Setu. 

Untuk pendapatan dari hasil penjualan tersebut, tak menentu terkadang mendapatkan Rp 50.000,- , itu juga yang laku paling berapa, dan untuk sekarang yang laku baru sebanyak tujuh bungkus, untuk satu bungkus seharga Rp 7.000,- dan berisi beberapa keping harum manis.

Dari uang tersebut akan dipakai untuk kembali memebeli makanan tersebut, dan juga untuk memenuhui kebutuhan sehari-hari. Jadi belum cukup untuk mudik. Sebenarnya, saya sudah merasa kangen sama keluarga, di kampung halaman telah menunggu istri dan anak-anak ke dua anak saya. Pak Robi hanya melamunkan dirinya, seperti sedang menghanyal, lalu ia lanjutkan tentang seorang istri dan anak-anaknya. Sebenarnya saya telah mempunyai empat orang anak, anak laki-laki yang pertama meninggal saat masih bayi dan meninggal karena sakit, sedangkan yang kedua meninggal juga, saat ia sedang melahirkan anak. Dan yang tersisa anak laki-laki yang sedang duduk di kelas tiga Sekolah Menengah Pertama (SMP), sedangkan yang terakhir merupakan perempuan berumur 2 tahun.

Dari Brebes saya merantau ke Jakarta sekitar tahun '75-an, saat itu jalanan di pasar Jum’at yang tepat di hadapan kami belum seramai sekarang, dan masih kecil. Kendaraan yang masih ada, yakni oplet dan roda niaga.

Untuk sampai ke Jakarta dari kampung halaman saya, memakan waktu yang cukup lama, jika berangkat jam 06.00WIB, maka bisa sampai jam 21.00,an. Dan waktu itu, saya turun di terminal Polau Gadung, terminal pertama di Jakarta.

Untuk awal mula saya merantau saya mengikuti kakak saya berkerja sebagai sopir, dan karena dilarang oleh orang tua maka saya berjualan, saya berjualan sudah bermacam-macam dari rujak bebek, ketoprak, dan harum manis.

Malam pun semakin larut. Setelah merasa cukup untuk beristirahat ia pun letakan pundaknya di bawah sebelah bambu yang digunakan sebagai jembatan antar ke dua kaleng tersebut. Lalu ia angkat angkat bambu tersebut dengan pundaknya.

*Aktif menulis di Sosok Angkringanwarta.

Dianggap Teroris, 1,5 Jam diperiksa

Oleh Dede Supriyatna*

Tubuhnya tak terlalu tinggi, dengan tubuh berperawakan kurus. Jemarinya sedang asik menghisap sebatang rokok. Terkadang tatapannya kosong seperti sedang memikirkan sesuatu. dan sesekali, ia tak ragu untuk mengeluarkan senyuman. Begitulah kira-kira gambaran dari pemilik nama Yayan bun Yamin, seorang pemuda asal Tasikmalaya.

Ia meninggalkan kampung halamannya, guna mencari ilmu dan sekarang terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Ushulludin, UIN Jakarta. Selama perjalanan kuliah yang telah ditempuh, ia masih mencoba untuk berbagi dengan orang-orang kampung halamannya.

Apa yang dibagi ke warga kampung Tambak Baya, Desa Marga Laksana, Kecamatan Sukaraja, Kabupatan Tasik bukanlah sebuah uang, atau materi lainya, namun ia bersama dengan sahabat-sahabatnya dan juga siapa saja yang mau ikut untuk ngobrol bareng mengenai bacaan yang ada di dalam buku, atau bahasa lainya, yakni bedah buku. Apa yang dibedah dari buku tersebut, diharapakan kita dapat mempraktekkan apa yang ada di dalam buku.

Memang waktu itu, sebelum buku-buku yang dibedah kami ambil dari perpustakaan dengan nama Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Cendikia yang sekarang telah mempunyai buku mencapai ratusan buku dari buku komik untuk anak-anak, cerpen, novel, agama, tafsir, pendidikan, pertanian, kesehatan, dan juga buku masak yang biasa dibaca oleh ibu-ibu. Selaian itu, dalam perpustakaan telah memiliki satu unit komputer.

Kira-kira satu tahun yang lalu saat TBM Cendikia awal hadirnya, tepatnya diresmikan pada tanggal 28 Okterber 2010. Dengan niatan awalnya kami hanya berharap bagaimana caranya agar masyarakat tak terlalu buta dengan ilmu pengatahuan. Dan salah satu yang menjadi alasan kami, yakni perasaan prihatin perasaan prihatin menyaksikan anak-anak SD sudah asik dengan berkerja yang tak jarang membuat mereka berhenti untuk melanjutkan pendidikannya.

Lalu saya coba obrolkan dengan ketiga sahabat, yakni Arta yang lulusan SD dan sekarang sudah berumah tangga, Budi lulusan SMP, dan juga Abdul lulusan Aliyah. Maka dari obrolan kecil, pada akhirnya kami menemukan kesepakatan untuk mebuat perpustakaan dengan mendiami kontrakan dengan harga sewa mencapai Rp 100.000,-.

“jangan tanya masalah uang sewa?” sebab untuk menutup dana sewa dan kebutuhan peralatan seperti pembuatan rak buka, dan lain-lainya. “kami menggunakan uang pribadi, masing-masing dari kami untuk mengeluarkan dana sebesar tiga puluh ribu perbulan”. Dan ketiga sahabat saya selain meraka sebagai donatur, mereka juga bertugas untuk menjaga perpustakaan secara bergiliri.

Sedangkan, mengenai bukunya sendiri digunakan buku yang saya miliki, dan untuk awalnya saya menghubungi beberapa lembaga, penerbit, dan segala macam untuk meminta bantuan dalam bentuk buku. Dan saya bersyukur dari proposal yang saya sebar, hanya Republika yang hingga kini belum memberikan buku.

Pernah suatu ketika, saat itu, kala musimg-musimnya bom buku. Dan certia ini adalah cerita yang begitu mengesankan diantara cerita-cerita yang lainnya, yakni saat saya dengan senang hati datang ke penerbit Kompas karena proposal pengajuan buku saya telah diterima. Akhirnya saya datang ke Kompas untuk mengambil buku yang telah disiapkan.

Lalu dari Kompas saya melanjukan perjalan sendiri ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menemui salah satu anggota dewan. Karena dari Kompas yang terletak di Palmerah tak ada kendaraan yang langsung ke DPR maka saya putuskan untuk berjalan kaki sambil memanggul kardus yang berisikan buku-buku.

Sesampainya di DPR dan kebetulan waktu itu, musim bom buku, akhirnya buku-buku yang berada di kardus diacak-acak untuk diperiksa. Setiap buku diperiksa sampai perlembar buku, sehingga memakan waktu 1,5 Jam. Dan setelah selesai diperiksa, saya harus merapihkan dan memaksukan buku satu-persatu ke dalam kardus kembali, mereka hanya mengacak-acak tanpa mau membantu merapihkan kembali. Mungkin mereka mengira saya adalah teroris, dan hal ini juga, membuat saya terlambat untuk bertemu dengan salah satu anggota dewan.

Tapi, entah mengapa saya menjalankan itu semua dengan rasa senang hati, mungkin rasa semangat untuk menciptakan pengetahuan di kampung halaman, meskipun teguran dari orang tua. Sebab tak lain, karena persoalan kuliah.

Memang pada semester V, kuliah saya sedikit terganggu, tapi saya telah dapat mengejar kuliah yang tertinggal. Dan untuk saat ini saya harus pulang ke Kampung halaman sebulan sekali untuk membahas bersama warga, dan terkadang kami membuat sesuatu bersama warga, semisal membuat es krim dari jagung untuk menu maupun caranya kami ambil dari buku.

Atas kami lakukan diharapkan menambahkan semangat membaca, memang mereka yang baca tidak kami pungut biaya sama sekali, jika ada diantara mereka yang hendak menjadi donator kami terima. tapi, yang jelas kami mempersilahkan siapapun yang datang untuk membaca tanpa dipungut biaya, mereka mau datang untuk membaca saja, saya sudah senang.

Dan untuk yang membaca telah mencapai telah rata-rata perhari pernah didatangi hingga mencapai 80 orang, bahkan pernah ada seorang yang mencari refrensi untuk skripsi ke TBM Cendikia.

*Aktif menulis di Angkringanwarta.

Kuliah, Peras Keringat Dulu

Oleh Ayip Tayana*

Pada akhir pekan, saat matahari masih malu-malu menampakkan sinarnya, orang-orang masih terlelap tidur, namun botol susu, tempat makan, dan botol minuman berbahan plastik itu sudah berbaris rapih seakan sedang upacara bendera. Tepat di belakang botol itu ada seorang pemuda bertopi coklat dengan sorot mata yang tajam.

Barisan benda plastik adalah itu, adalah barang dagangannya, Abdul Muis harus merapihkan barang sebelum para pembeli berdatangan. Pemuda kelahiran Cirebon 7 Januari, telah berjualan selama kurang lebih 2,5 tahun, bertempatkan di pasar Sandratex Ciputat Tangerang Selatan (Tangsel), yang memang kebetulan pasar itu, bukan pada hari Sabtu dan Minggu.

”Untuk lebih tepatnya, saya berjualan dimulai semenjak bulan Ramadhan 1431 H lalu” ujarnya sambil mengambil secangkir kopi yang ada disebelahnya. Hal ini harus ditempuhnya tak lain bertujuan untuk meneruskan pendidikan saya. Sekarang saya sudah semester VII, Jurusan Psikologi, UIN Jakarta.

Mungkin ini, jalan yang harus ditempuh untuk memenuhi biaya dan kehidupan sehari-hari, dan belajar mandiri. Awalnya, saya menjadi desain pada salah satu percetakan yang bertempat di Ciputat, waktu itu, saya masih semester II.

Namun, Pemuda yang ditinggal Ayahnya sejak duduk dibangku kelas 6 SD merasa kurang cocok dengan pekerjaan tersebut, sehingga diputuskan untuk memilih berdagang. ”Aku enggak betah diem, mas, inginnya gerak terus, ngadepin dengan computer, kan buat BT”.

Terkadang saat berjualan, ia ditemani oleh teman satu kampung yang kebetulan sama-sama kuliah di UIN Jakarta. Sahabat karibnya, yakni Eef juga telah berteman dari kecil. Sahabat karibnya, acapkali membantu berjualan.

Meskipun sebagian waktunya digunakan untuk memeras keringat, dan juga kuliah, ia juga merupakan seorang aktivis, hal ini terlihat dari kegiatanya yang mengikuti sebuah organisasi ekstra kampus dan pernah menjabat sebagai elit kampus.

Kedudukan sebagai elit kampus, membuat dia merasa malu untuk berterus terang perihal pekerjaannya sebagai pedagan kaki lima. Namun, dari kebiasaannya berjualan membuat dia membuang jauh-jauh rasa tersebut.

Meskipun, demikian ia tak menjadikan pribadi yang sombong dalam persahabatan, ia merupakan sahabat yang baik hati. Hal ini, diungkapkan Ayip salah satu teman kosan lainnya. Ayip menambahkan, semisal dalam persolan uang, ”Aku sering pinjam uang ke dia, tapi dia ga mau nagih.”

Bahkan ada keinginan untuk memeberikan hasil berjualan untuk orang tuanya, tapi untuk saat ini saya belum bisa. Dari hasil penjulan sendiri hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari, dan sebisa mungkin saya tabung untuk kebutuhan kuliah.

Dan ia tambahkan jadwal jualannya bukan hanya pada pagi di hari Sabtu dan Minggu pagi, melainkan pada malam haripun ia berjualan di Jalan Jambu dan kampung Sawah, hal itu bermula dari seorang sesama pedagang yang menelepon.

*Aktif menulis di Angkringanwarta.