Oleh Dr. Sudirman Abbas
A. PENDAHULUAN
Penyebaran Islam dengan segala aspek yang terkandung di dalamnya telah berlangsung sejak lama di Nusantara (Indonesia), kapan mulainya, masih tetap menjadi perbedaan pendapat, karena ia disebarkan oleh pedagang-pedagang Arab, Parsi, dan Gujarat yang sulit ditentukan kapan sampainya di Nusantara. Ahli sejarah mencatat, telah lama terdapat komunitas Islam di daerah pantai Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan pulau-pulau lainnya, yang kemudian diikuti dengan berdirinya beberapa kerajaan yang bercorak Islam, seperti Pasai, Perlak, Demak, Pajang, Mataram, dan lain-lain.
Kerajaan Mataram Islam di Jawa Tengah telah memainkan peranan penting dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa khususnya dan daerah-daerah lain umumnya, di samping kerajaan-kerajaan Islam lainnya.
Dengan berdirinya kerajaan Islam tersebut, diperkirakan penguasa dan rakyatnya mengamalkan ajaran Islam dalam bentuk ibdah dan muamalah, yang secara umum dapat disebut dengan “hukum Islam”, baik secara kultural maupun institusional.
Menurut analisis Daud Ali, hukum Islam yang berlaku di Indonesia dapat dipilah menjadi dua; Pertama, hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis, yaitu hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan benda yang disebut hukum muamalah (perdata). Bagian ini menjadi hukum positif berdasarkan atau ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan, seperti perkawinan, warisan, dan wakaf. Kedua, hukum Islam yang bersifat normatif yang mempunyai sanksi kemasyarakatan. Ini bisa berupa ibadah murni atau hukum pidana. Ini menurutnya, tidak – atau terutama masalah pidana belum – memerlukan peraturan perundangan. Karena yang terakhir ini, lebih jelas sebagai tergantung kepada tingkat iman dan taqwa serta kesadaran kaum muslimin sendiri. (Rafiq, 1995 : 23)
Bila melihat pada masa lampau, khususnya kerajaan Mataram bagaimana pemberlakuan hukum Islam tersebut, baik secara kultural – normatif maupun formal yuridis – institusional.
B. HISTORIS SEJARAH
Kerajaan Mataram merupakan kerajaan Islam di Jawa Tengah yang berdiri sejak runtuhnya Kesultanan Pajang pada tahun 1582 M. Riwayatnya menjadi salah satu episode penting dalam perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara (Indonesia) karena peranan penting yang dimainkannya sejak abad ke 16 sampai datangnya penetrasi Barat di Jawa Tengah. (Tim Redaksi, 3, 1993 : 198)
Pada mulanya daerah Mataram merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Pajang. Sebagai balas jasa atas pengabdian terhadap Kesultanan Pajang, Sultan Hadiwijoyo (1550-1582) menghadiahkan daerah ini kepada Kiai Agung Pemanahan. Daerah ini oleh Kiai Agung Pemanahan dibangun sebagai tempat pemukiman baru dan persawahan. Ia membangun pusat kekuasaan Plered dan menyiapkan strategi untuk menundukkan para penguasa yang menentang kehadirannya serta menaklukkan daerah-daerah sekitarnya. Pada tahun 1575, Kiai Agung Pemanahan meninggal dunia dan digantikan oleh putranya Sutowijoyo atau Pangeran Ngabehi Lor Ing Pasar. Sutowijoyo berusaha membebaskan diri dari Pajang, sehingga membawa ketegangan yang menimbulkan peperangan. Dalam peperangan itu Kesultanan Pajang mengalami kekalahan. Pada tahun 1582, Pangeran Ngabehi Lor Ing Pasar mengangkat dirinya sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati Ing Alogo setelah Sultan Pajang meninggal dunia. Ia mulai membangun kerajaannya dan kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke Kotagede. (Graaf, 1989 : 281-282; Tim Redaksi, 3, 1993 : 199)
Untuk memperluas daerah kekuasaannya ia melancarkan ekspansi ke daerah lain, seperti Madiun, Surabaya, Kediri, Jipang, Pasuruan, Tuban, dan lain-lain. Ia terus-menerus memperluas kekuasaan sampai ia meninggal pada tahun 1601. Kemudian digantikan oleh putranya Mas Jolang atau Panembahan Krapyak, yang memerintah pada tahun 1601-1613. Setelah Pangeran Krapyak meninggal, ia digantikan oleh Raden Mas Ransang yang berkuasa pada tahun 1613-1645. Pada masa pemerintahannyalah kerajaan Mataram meraih kejayaan terbesar, baik dalam bidang ekspansi militer maupun dalam bidang agama dan kebudayaan. Dialah raja Mataram pertama yang menerima pengakuan dari Makkah sebagai seorang sultan, kemudian mengambil gelar selengkapnya “Sultan Agung Anyakrakusuma Senopati Ing Alogo Ngabdurrahman” (secara harfiah berarti raja yang agung, pangeran yang sakti, panglima perang, dan pemangku amanah Tuhan Yang Maha Kasih). (Tim Redaksi, I, 1993 : 66; Tim Penulis, I, 1992 : 68)
Raja-raja Mataram sesudah Sultan Agung adalah Amangkurat I (Sunan Tegalwangi) memerintah pada tahun 1645-1677; Amangkurat II (Adipati Anom) memerintah pada tahun 1677-1703; Amangkurat III (Sunan Mas) memerintah pada tahun 1703-1708; Paku Buwono I (Sunan Puger) memerintah pada tahun 1708-1719; Amangkurat IV (Sunan Prabu Mangkunegara) memerintah pada tahun 1719-1727; Paku Buwono II memerintah pada tahun 1727-1749. Pada tahun-tahun berikutnya kekuasaan Mataram semakin sulit karena berhadapan dengan penjajahan Belanda. Wilayah kekuasaan Mataram semakin terpecah belah setelah berakhirnya Perang Giyanti (1755). Berdasarkan perjanjian Giyanti, Mataram dipecah menjadi dua, yakni Mataram Surakarta dan Mataram Yogyakarta. Pada tahun 1757 dan 1813, perpecahan terjadi lagi dengan munculnya Mangkunegara dan Pakualam. Setelah perpecahan itu penguasa Mataram Surakarta dan Mataram Yogyakarta sampai sekarang dapat dilihat pada halaman berikut.
C. PENGARUH ISLAM PADA MATARAM
Pengaruh Islam terhadap kerajaan Mataram dan masyarakatnya tidak terlepas dari pengaruh penyebaran agama Islam di Jawa pada umumnya. Menurut Babad Tanah Djawi, penyebaran agama Islam di Jawa dilakukan oleh Wali Songo, sembilan orang mubaligh yang dianggap sebagai orang saleh. Mereka itu adalah: (Muchtarom, 1988 : 21)
- Sunan Gresik, yang wafat di Gresik tahun 1419 dan dikenal sebagai Maulana Malik Ibrahim atau Maulana Maghribi. Orang percaya bahwa ia mubaligh Islam pertama di Jawa yang datang untuk berdagang dan mencapai pangkat Syahbandar serta mendirikan pesantren untuk murid-muridnya.
- Sunan Ampel atau Raden Rahmat, wafat tahun 1427, yang mendirikan pesantren di Ampel dekat Surabaya. Ia telah mengusulkan Raden Fatah sebagai khalifah di Demak dengan gelar Sultan Syah Sri Alam Akbar al-Fatah.
- Sunan Bonang atau Makhdam Ibrahim, wafat tahun 1525, adalah putra Sunan Ampel. Ia memimpin pengislaman di Jawa bagian Pantai Timur Laut. Makamnya di Bonang (Tuban).
- Sunan Drajat atau Syarifuddin, wafat tahun 1572, seorang putra yang lain dari Sunan Ampel.
- Sunan Giri atau Raden Paku, wafat tahun 1530. Ia mendakwahkan Islam di sebelah Timur Pulau Jawa.
- Sunan Kudus atau Ja’far Sadiq, wafat tahun 1560, berpengaruh pada pengislaman di sepanjang Pantai Utara Jawa Tengah dan dimakamkan di Kudus.
- Sunan Murya atau Raden Prawoto, adalah tokoh yang menggunakan gamelan (orkes tradisional Jawa) untuk menghimbau orang masuk Islam, dan dimakamkan di Gunung Murya dekat Kudus.
- Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, mengislamkan Jawa Barat dan meninggal tahun 1570.
- Sunan Kalijaga atau Raden Syahid, wafat tahun 1585, mengislamkan Jawa Tengah bagian Selatan. Ia berpengaruh di antara kaum bangsawan.
Para wali itu mempunyai pesantrennya masing-masing, tempat para santri menelaah ajaran Islam. Para Wali Songo bukan saja pembuka kurun baru dalam Islam di Jawa yang mengakhiri zaman Jawa Hindu-Buddha, melainkan juga menguasai zaman berikut yang dikenal sebagai “Jaman Kuwalen” (zaman para wali). Mereka merupakan angkatan pertama para pemimpin religius-politik Jawa Islam. Para wali tersebut semuanya berkerabat dengan para bangsawan setempat melalui perkawinan atau karena keturunan.
Islam di Jawa tidak menyebabkan diadakannya umat tersendiri atau pemisahan antara kaum Hindu-Buddha dan Muslim. Metode pengislaman disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat dan sejalan dengan metode yang sebelumnya dipakai dalam penyebaran Hindu-Buddha, sebab para wali terutama Sunan Kalijaga masuk ke pedalaman Jawa, mendirikan pemukiman-pemukiman religius, di sana bersaing dengan ajaran Hindu-Buddha di bidang kesaktian. Di mana-mana diadakan usaha khusus untuk mengislamkan masyarakat dan untuk mendakwahkan Islam dengan menggunakan wayang. (Muchtarom, 1988 : 24)
Penyebaran Islam yang hampir merata di Pulau Jawa berbarengan dengan berdirinya kerajaan Mataram yang bercorak Islam, digerakkan dari istana sultan, membawa pengaruh kuat terhadap semakin meluasnya perkembangan Islam di tengah-tengah masyarakat. Ajaran Islam diamalkan secara bertahap menyesuaikan dengan kebiasaan masyarakat. Pemuka agama menghendaki pemberlakuan hukum Islam melalui saran dan nasehat kepada penguasa untuk ditetapkan sebagai kebijaksanaan kerajaan. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga terhadap Panembahan Senopati. Kebijakan-kebijakan itu berpuncak pada masa kekuasaan Mataram yang dipegang oleh Sultan Agung, sehingga banyak perubahan dilakukan untuk pelaksanaan ajaran (hukum) Islam.
D. PEMBERLAKUAN HUKUM ISLAM
Raja Mataram yang paling besar jasanya dalam pemberlakuan hukum Islam, baik dalam bentuk kultural maupun institusional adalah Sultan Agung. Dicatat oleh ahli sejarah, di samping sukses dalam pengembangan wilayah, ia juga memperlihatkan keberhasilan dalam bidang agama dan kebudayaan, karena ekspansi dalam perluasan wilayah disemangati oleh keinginan untuk mengislamkan daerah-daerah tersebut.
Diungkapkan, betapa Sultan Agung telah berhasil membangun ibukota Mataram di Kerta dan mendirikan Keraton Plered yang seringkali dikaitkan dengan lahirnya peradaban Jawa. Peninggalan Sultan Agung yang legendaris adalah usaha pembaharuannya dalam kalender Jawa. Sebagaimana diketahui, sebelum masuk pengaruh Islam, kalender yang dikenal di Jawa didasarkan pada sistem matahari yang lebh terkenal dengan kalender Saka. Sementara Islam memakai kalender dengan sistem bulan (Qamariyah) yang juga disebut sebagai kalender Hijriyah. Sultan Agung mencoba menyelaraskan kedua sistem itu dengan menyatukannya serta menjadikannya sebagai kalender resmi Mataram. Ciri kalender tersebut adalah penggunaan sistem bulan (Hijriyah) dengan menggunakan tahun Saka. Dalam sistem baru ini terdapat perubahan nama bulan, misalnya bulan Safar dalam tahun Hijriyah menjadi Sapar dalam tahun Jawa, Rajab menjadi Rejeb, Zulkaedah menjadi Dulkangidah, Muharam menjadi Sura, dan Ramadhan menjadi Pasa. Ciri lain terlihat pada hari yang dikenal sebagai hari pasaran yaitu Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing, Wuku, dan Wuwu (dua yang terakhir tidak ditemukan lagi sekarang). Sistem ini diresmikan pada tanggal 8 Agustus 1633 / 1 Muharam 1043 atau 1 Sura 1555 tahun Jawa.
Upacara peninggalan leluhur sejak zaman Majapahit, seperti “Asmawenda dan Asmaradhahana” tetap dilakukan. Misalnya, dalam upacara Garebeg yang telah dimodifikasi, dikenal tiga macam bentuk, yakni Garebeg Pasa, Garebeg Besar pada hari Idul Adha, dan Garebeg Mulud pada saat memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw.
Kerajaan Mataram Islam memiliki andil besar dalam pengembangan dan penyiaran Islam di Jawa. Banyak usaha yang dilakukan pada masa itu, antara lain pendirian rumah-rumah ibadah, penerjemahan naskah Arab, penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa, dan pendirian pesantren-pesantren. (Tim Redaksi, 3, 1993 : 202)
Di luar peranan politik militer, Sultan Agung dikenal sebagai penguasa yang besar perhatiannya terhadap perkembangan Islam di tanah Jawa. Ia adalah pemimpin taat beragama, sehingga banyak memperoleh simpatik dari kalangan ulama. Ia secara teratur pergi ke masjid dan para pembesar diharuskan mengikutinya. Untuk memperkuat suasana keagamaan, tradisi khitan, memendekkan rambut, dan menggunakan tutup kepala berwarna putih dinyatakan sebagai ketentuan syariat yang harus ditaati. Struktur serta jabatan kepenghuluan di dalam sistem kekuasaan kerajaan. Tradisi keagamaan seperti shalat Jum’at di masjid, Garebeg Puasa Ramadhan, dan upaya pengamalan syariat Islam merupakan bagian tak terpisahkan dari tatanan intern istana. Dialah yang membangun tempat pemakaman keluarga raja di Imogiri (12 km di sekatan Yogyakarta), sementara raja-raja pendahulunya dimakamkan di sebelah masjid Kotagede. (Tim Redaksi, I, 1993 : 67)
Selain itu menarik diungkapkan apa yang dikemukakan oleh Zaini Ahmad Noeh, bahwa di antara bentuk dan sistem pemerintahan kerajaan Islam di Indonesia yang nampaknya meninggalkan ciri-ciri pada sistem pemerintahan Republik Indonesia dewasa ini, adalah kerajaan Mataram di Jawa, terutama ciri dalam menempatkan bidang agama sebagai bagian dari pemerintahan umum. Jabatan keagamaan di tingkat desa disebut Kaum, Amil, Modin, Kayim, Lebai, dan sebagainya selalu ada di samping Kepala Desa. Pada tingkat kecamatan atau kewedanaan selalu ada seorang Penghulu Naib, yang kini dikenal sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Pejabat Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk (NTR). Pada tingkat kabupaten, seorang bupati didampingi oleh seorang Patih untuk bidang-bidang pemerintahan umum dan seorang Penghulu Kabupaten di bidang agama. Pada tingkat pemerintahan pusat kerajaan Mataram, baik untuk Surakarta maupun Yogyakarta dijumpai jabatan Kanjeng Penghulu atau Penghulu Agung. Penghulu Agung dan Penghulu Kabupaten berfungsi pula sebagai “Hakim” pada majelis Pengadilan Agama yang ada waktu itu. Fungsi dan jabatan itu tetap berlaku, sekalipun kekuasaan untuk mengangkat dan pemberian wewenang itu diambil alih oleh penguasa Kolonial Belanda. Pengangkatan atau pemberian wewenang, yakni “tauliyah” oleh penguasa Belanda tidak mengurangi legitimasi mereka dalam melaksanakan tugas peradilan sesuai dengan ketentuan Fiqh. Bahkan adanya Departemen Agama dalam tata pemerintahan Republik Indonesia dewasa ini merupakan kelanjutan dan perkembangan sistem pelaksanaan tugas pemerintahan di bidang agama semenjak kerajaan Mataram. (Lev, 1986 : 3-4)
Melihat kepada sistem pemerintahan bahwa adat istiadat dan kebiasaan pemerintahan di Jawa adalah bentuk susunan pemerintahan Mataram di mana ada tiga serangkai jabatan, yaitu Raja/Bupati, Patih, dan Penghulu (termasuk tata kotanya dengan pola; Keraton, Alun-Alun, dan Masjid) sebagai manifestasi gelar Raja Mataram yang berbunyi: Hingkang Sinuhun (yang dipertuan), Senopati Hing Ngalogo (Panglima Perang), Sayidin Panagatama Kalipatullah (Pengatur Urusan Agama sebagai Pengganti Rasulullah). Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya disebut “Kaum”, yang jumlahnya untuk setiap ibukota (pusat dan kabupaten) selalu tidak kurang dari 40 orang, jumlah itu adalah untuk memenuhi syarat sahnya shalat Jum’at sesuai ajaran Madzhab Syafi’i dan mereka memperoleh tanah jabatan (ambtserven) di belakang masjid besar yang disebut kampung kauman. Adapun sasaran tugas mereka adalah pelayanan bidang peribadatan dan urusan-urusan yang temasuk hukum keluarga/perkawinan. Sedangkan tugas mengatur dunia dibebankan kepada Pepatih Dalem (Patih) sebagai pelaksana pemerintahan umum dan sekaligus pemerintahan militer. (Noeh, 1994 : 105)
Untuk pengangkatan penghulu ada ditemukan surat perintah dari Raja (Tauliyah Imam) yang berisi (terjemahannya) sebagai berikut: (Noeh, 1994 : 113-114)
Surat Perintah !
- Aku mengangkat-mu menjadi penghulu. Aku izinkan untuk melaksanakan hukum Syara’ dan sebagainya, yang termasuk jenis bab ibadah, dan yang pantas engkau percayakan kepada anak buahku Pamutihan. Ibadah yang engkau percayakan seperti Imam shalat Jum’at dan shalat berjama’ah dan sebagainya.
- Dan hukumku yang aku berikan dalam serambiku bentuknya seperti talak, waris, wasiat, suami-isteri, atau barang gono gini dan sebagainya, selanjutnya pelaksanaan keputusan aku percayakan kepadamu. Apa sudah benar serta mufakat ijtihad dari anak buahku Ketib Ulama dan sebagainya.
- Dan aku percayakan kepada dikau kahidupan agama dari anak buahku di Surakarta semuanya, sekuatmu cara dikau mengajarkan, begitu pula anak buahku Pradikan dan Kaum dan sebagainya, yang termasuk dalam pegawaiku Pamutihan bagi semaraknya agama Rasul, cara engkau melaksanakan apa yang benar menurut hukum, aku juga sudah percayakan padamu.
- Adapun tentang Hak-ku sebagai Wali Hakim dan menikahkan anak buahku rakyat, yang sudah jelas pemeriksaannya, pada hari ini aku serahkan kepadamu, tentang izin pernikahannya tadi seterusnya sampai terlaksana, menurut apa yang sudah menjadi adat. Ke semuanya itu dalam cara engkau melaksanakan apa yang sudah aku perintahkan tersebut semua, hendaknya teliti serta hati-hati dan hendaknya tabah berani menurut apa yang benar diputus oleh pengadilanku.
Dengan demikian terlihat bahwa lembaga peradilan agama sejak zaman kerajaan Mataram sudah ada walaupun masih bernama Pengadilan Surambi, untuk menyelesaikan maslah hukum Islam yang hidup di tengah-tengah masyarakat waktu itu, di samping urusan peribadatan dan pendidikan.
Dalam hal ini, Abdul Gani Abdullah mengemukakan bahwa lembaga Peradilan Agama lahir di Jawa-Madura sejak adanya suatu kasus hukum Islam di antara pemeluk agama Islam, terutama kasus dalam bidang perkawinan, perceraian, kewarisan, dan lain-lain. Sudah dapat diperkirakan bahwa pada awal penyebaran Islam di Jawa dan Madura terdapat kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian atau kasus kewarisan. Perselisihan antara suami-isteri lebih banyak frekuensinya dibandingkan dengan kematian pewaris yang menjadi titik tolak lahirnya kasus kewarisan.
Sejak saat adanya tuntutan penyelesaian kasus-kasus tersebut mulai adanya tuntutan diselenggarakannya lembaga peradilan agama dalam lingkungan masyarakat hukum yang bersangkutan. Lahir dan bentuk majelis hakimnya cenderung diwujudkan dengan keadaan sosial politik masyarakat hukum itu sendiri. Dengan demikian Islam datang ke Pulau Jawa dan Madura (termasuk Mataram – pen.) tidaklah membawa seperangkat lembaga peradilan agama dengan segala perlengkapan majelis hakimnya sehingga pada saatnya lembaga itu dapat difungsikan atau diterapkan untuk menyelesaikan kasus-kasus seperti yang digambarkan di atas. Tidak pula peradilan itu merupakan suatu kebulatan lengkap yang dibawa agama Islam yang harus diterapkan begitu saja. Akan tetapi Islam datang membawa kaedah-kaedah pokok tentang perlunya lembaga peradilan agama bagi sekelompok masyarakat. Kaedah-kaedah pokok itu memberii ajaran ijtihad yang membuka kemungkinan dijadikannya keadaan masyarakat hukum tertentu sebagai pertimbangan dalam menetapkan hukum dan atau lembaga peradilannya.
Agama Islam datang ke Jawa dan Madura (termasuk Mataram – pen.) menawarkan tiga kelembagaan peradilan agama untuk diterapkan dengan pertimbangan keadaan sosial politik masyarakat hukum, yakni bentuk Tauliyah dari Imam, bentuk Tauliyah dari Ahl al hilli wa al aqdi, dan bentuk Tahkim. Bentuk-bentuk itu menunjukkan bahwa agama Islam tidak menyuguhkan konsep peradilan menurut perspektif yang bermaksud menerapkan suatu perangkat peradilan yang telah dirakit sebelum adanya masyarakat Islam. Dengan kata lain, bahwa Islam tidak menyiapkan suatu perangkat peradilan. Akan tetapi suatu konsep di mana pada suatu keadaan, konsep peradilan itu dapat dilaksanakan dengan memberiikan tekanan penerapan sesuai dengan keadaan sosial politik masyarakat hukum Islam dan dengan sendirinya keadaan itulah yang menentukan bentuk kelembagaan dan sistem peradilan agama itu.
Proses lembaga peradilan agama yang demikian telah mencapai tingkat Tauliyah Imam, seperti yang terjadi dengan lahirnya Pengadilan Surambi pada masa kerajaan Mataram, di mana Sultan Agung memiliki “Perangkat Tauliyah” dalam kedudukannya sebagai imam. Dalam kedudukannya sebagai Sultan, ia memegang dan memimpin majelis tertinggi pengadilan itu.
Pengadilan Surambi itu, pada asalnya merupakan bagian dari Pengadilan Perdata dalam lingkungan kerajaan Mataram yang selalu mengadakan sidang-sidang majelis hakimnya di serambi masjid yang menjadi pangkal tolak lahirnya Pengadilan Surambi. Pengadilan Surambi mempunyai wewenang, yakni Pertama, untuk melaksanakan tugas sebagai sebuah lembaga pengadilan untuk memeriksa dan memutus perkara yang berkaitan dengan masalah perkawinan, perceraian, dan segala akibatnya serta masalah kewarisan. Kedua, Pengadilan Surambi difungsikan sebagai lembaga pemberi nasehat atau sebuah pertimbangan untuk memberi nasehat atau pertimbangan kepada Sultan menurut hukum Islam. Jika suatu keputusan Sultan yang belum mendapat pertimbangan dari Pengadilan Surambi, maka keputusan belum dapat dilaksanakan. Proses yang demikian dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan, apakah keputusan yang akan dilaksanakan itu terdapat indikasi yang menunjukkan pertentangan dengan hukum Islam atau tidak. Hal itulah yang menempatkan lembaga Pengadilan Surambi itu sebagai salah satu lembaga pendamping Sultan. (Abdullah, 1987 : 38-41)
Kekuasaan dan wewenang Peradilan Agama dipersempit dan dibatasi oleh kaum kolonial dengan mengeluarkan berbagai ordonansi, peraturan-peraturan, dan sebagainya. Hal inipun diperlakukan terhadap kerajaan Mataram setelah kolonial Belanda dapat menguasainya, sehingga pelaksanaan hukum Islam setelah pengaruh kolonial Belanda itu menjadi tersendat-sendat.
Djamil Latif mengungkapkan bahwa Peradilan Agama di Indonesia sebenarnya merupakan instansi yang sudah cukup tua usianya. Lebih tua dari Departemen Agama sendiri dan bahkan lebih tua dari usia negara kita. Ia sudah ada sejak munculnya kerajaan Islam di bumi Nusantara ini. Ia muncul berbarengan dengan berdirinya kerajaan Samudera Pasai, Aceh, Demak, Mataram, Banten, Cirebon, dan lain-lain. Pada saat mula timbulnya peradilan agama tidak hanya mengurus perkara-perkara yang berhubungan pribadi saja (Al-Akhwal Asy-Syakhsiyyah) atau lebih sempit dari itu (nikah, talak, dan rujuk) tetapi juga hukum perdata dalam arti luas. Tegasnya Peradilan Agama merupakan Peradilan Umum bagi umat Islam pada waktu itu, yang menyelesaikan segala persoalan yang berkaitan dengan hukum Islam dan umat Islam. (Latif, 1983 : 9)
E. PENUTUP
Baik secara kultural maupun institusional hukum Islam telah pernah diberlakukan pada kerajaan Mataram, walaupun ada penyesuaian dengan adat sebelumnya Hindu-Buddha. Secara institusional terbukti dengan adanya jabatan terntentu yang menangani masalah agama di samping Raja/Sultan/Bupati/Senopati. Jabatan ini mulai dari tingkat pemerintah pusat (keraton) sampai tingkat desa dengan adanya istilah Penghulu Agung, Penghulu Kabupaten, Penghulu Naib, Kaum, Amil, Modin, dan lain-lain. Petugas agama tersebut lebih banyak melaksanakan tugasnya di masjid dan untuk menyelesaikan perkara yang diajukan kepada mereka dilakukan di serambi masjid, sehingga dikenal dengan Pengadilan Surambi. Di antara wewenang petugas agama tersebut adalah:
- Mengurus masalah ibadah masyarakat.
- Mengurus masalah pendidikan dengan adanya pesantren-pesantren (walaupun dalam bentuk sederhana).
- Menyelesaikan perkara yang diajukan kepada mereka yang meliputi perkawinan, perceraian, warisan, tanah wakaf, dan lain-lain.
- Memberikan pertimbangan kepada pejabat dalam mengambil suatu kebijaksanaan di wilayah kekuasaannya.
Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdul Gani, Badan Hukum Syara’ Kesultanan Bima 1947-1957 Sebuah Studi Kasus Peradilan Agama, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1987.
Berg, L.W.C. Van Den, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, Jakarta: INIS, 1989.
Graaf, H.J. De, Runtuhnya Istana Mataram, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987.
, Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa Peralihan dari Majapahit ke Mataram, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989.
, Puncak Kekuasaan Mataram, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990.
Latif, Djamil, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1983.
Lev., Daniel S., Peradilan Agama Islam di Indonesia, Terjemahan H. Zaini Ahmad Noeh, Jakarta: Intermasa, 1986.
Muchtarom, Zaini, Santri dan Abangan di Jawa, Jakarta: INIS, 1988.
Noeh, Zaini Ahmad, Kepustakaan Jawa sebagai Sumber Sejarah Perkembangan Hukum Islam, dalam “Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia”, Sebuah Kenangan 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH., Jakarta: PP-IKAHI, 1994.
Rahardjo, Sutjipto, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni, 1983.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
TIM Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.
TIM Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.
Diketik oleh : Moh. Hibatul Wafi
0 comments:
Posting Komentar