Giat Kerja Bakti Warga Rw. 16 Cililitan

Minggu, 8 Desember 2024 - Komunitas

LPJ Triwulan 3 Kopma UIN Jakarta 2024

Jum'at, 6 Desember 2024 - Koperasi

LMS UNJ Error, Menyulitkan Pejuang Sarjana

Rabu, 4 Desember 2024 - Teknologi Kampus

Munas Dekopin Menuju Indonesia Emas

Minggu, 1 Desember 2024 - Koperasi

Beli Isuzu Sekarang Juga! Sebelum Menyesal

Jum'at, 29 November 2024 - Otomotif

Bekerjanya Hukum di Masyarakat

Oleh Moh. Hibatul Wafi*

Dalam bekerjanya hukum di masyarakat, harus ada ciri-ciri antara lain :
  1. Kaidah normatif, merupakan ketentuan-ketentuan hukum yang diambil dari nilai-nilai yang ada di dalam hidup masyarakat, yang lebih spesifik.
  2. Adanya lembaga hukum yang bekerja karena lembaga tersebut sebagai alat hukum bagi kehidupan masyarakat, misalnya Pengadilan Agama.
  3. Substansi hukum merupakan isi dari suatu hukum, misalnya peraturan perundang-undangan.
  4. Budaya hukum merupakan aturan yang menurut perilaku dan sikap.
  5. Keadilan hukum.
Dalam penegakan hukum, ada istilah egimoni piltik atau eginomi kekuasaan. Menurut Karl Marx, penegakan hukum mempunyai otoritas kekuasaan atau negara. Setiap negara apa pun itu harus mempunyai tujuan bernegara. Menurut Mahfud MD, negara berasumsikan sebagai hukum produk politik terlahir dari aturan, aturan itu sendiri berasal dari DPR dan hukum dipengaruhi oleh politik.

Des Sole, yaitu membuat kebijakan yang memberikan kemaslahatan kepada masyarakat. Des Sein, yaitu sebuah kenyataan. Civil Society, contoh : NU, LSM, dan lembaga-lembaga lainnya.

*Pernah dicatat pada masa perkuliahan 21 Februari 2011.

Politik Ideologi Penegakan Hukum

Oleh Moh. Hibatul Wafi*

Politik Hukum
Politik adalah permainan kekuasaan yang di dalam masyarakat tidak ada hukum (hukum rimba), melarat, dan berbudaya rendah pun tetapi politik tetap ada. Politik berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan dan sistem politik untuk tercapainya tujuan bersama yang telah ditetapkan. Dalam hal ini adanya penggunaan kekuasaan agar tujuan tersebut dapat terlaksana, perlu dipahami bahwa tujuan yang telah ditetapkan tersebut merupakan tujuan politik dan bukan tujuan individu.

Poltik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi pembangunan hukum yang berintikan pembuatan serta pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan, seperti pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada, termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.

Ideologi Penegakan Hukum
Hampir seluruh pendiri sosiologi dan ilmu sosial lahir dari spekulasi, akibatnya sosilogi seringkali berteman erat dengan ideologi-ideologi berat dunia, khususnya sosiologi hukum yang dijadikan sebagai dependent variable.

Salah satu fungsi hukum adalah alat penyelesaian sengketa atau konflik, sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial. Hukum berperan sebagai agen kekuasaan (pihak eksekutif), maka hukum sebagai instrumen Negara dan hukum dapat dipisahkan dari masyarakatnya.

Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat. Hukum sebagai dasar penolong bagi mereka yang diuntungkan dan bukan sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi pencari keadilan, tetapi sebaliknya hukum di Indonesia sekarang bersifat politik dan menjadi suatu lumrah bagi pejabat-pejabat negara memakai hukum sebagai tameng untuk melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

*Kajian diatas merupakan catatan dari mata kuliah Sosiologi Hukum, dengan bimbingan dosen pak Asep Syarifuddin di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Catatan 21 Februari 2011.

Sejarah dan Pemikiran Tokoh Sosiologi Hukum

Oleh Moh. Hibatul Wafi

Sesuai dengan judul diatas, makalah ini pernah disajikan dalam suatu kajian perkuliahan di salah satu Universitas Islam Negeri di Jakarta yang dibimbing oleh Asep Syafruddin selaku dosennya dalam mata kuliah Sosiologi Hukum.

Dalam penyampaian topik tersebut, terdapat tokoh-tokoh yang membicarakan mengenai ilmu sosial dalam hukum di kehidupan masyarakat, diantaranya Montesquieu (1689-1755), Friederich Karl Von Saviguy (1770-1861), dan Herbert Spencer (1820-1903).

Menurut Montesquieu, beliau menganggap hukum sebagai suatu kebudayaan masyarakat tertentu, dan dijelaskan dalam buku Spirit Of Laws (1886), yakni bahwa hukum merupakan hasil dari berbagai faktor dalam masyarakat, seperti adat istiadat, lingkungan fisik, dan perkembangan masa lampau sehingga hukum hanya dapat dimengerti dalam kerangka kehidupan masyarakat, dimana hukum itu berkembang. Hukum itu bersifat relatif. Dalam pemikiran ini terdapat konstitusi yang mencakup 3 (tiga) tipe kekuasaan hukum yang berbeda yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
  1. Legislatif berfungsi sebagai menetapkan hukum baru.
  2. Eksekutif berfungsi sebagai mengatur pelaksanaan dan merangkap hukum.
  3. Yudikatif berfungsi sebagai menafsirkan hukum.
Sedangkan menurut Friederich, hukum tidak seharusnya disusun dengan sengaja oleh pembentuk hukum secara fundamental, hukum terbentuk oleh adat istiadat dan kepercayaan popular atau kekuatan-kekuatan internal yang bekerja secara diam-diam.

Catatan 21 Februari 2011

Sejarah Dewan Perwakilan Rakyat

Oleh Moh. Hibatul Wafi

DESENTRALISASI
Ketika kekuasaan untuk mengatur pemerintahan di tanah jajahan terpusat di tangan gubernur jenderal yang berkedudukan di Buitenzorg (sekarang Bogor), dapat dikatakan mekanisme birokrasi yang berjenjang, boleh jadi cukup efektif dalam melaksanakan kebijakan kolonial. Akan tetapi, segi positif ini tidak cukup beralasan untuk tetap dipertahankan dalam mempertimbangkan sebuah sentralisasi kekuasaan, mengingat tugas-tugas kepemerintahan pada kenyataannya tetap harus ditangani oleh para ambtenaar pangreh praja setempat. Jalur prosedur yang panjang berliku hanya akan menciptakan birokrasi yang menyesakkan dan menghambat gerak efisiensi kerja.

Berbagai urusan dan masalah spesifik yang muncul di daerah akan dapat ditangani dengan baik jika desentralisasi pemerintahan kolonial dipraktikkan. Tidak hanya banyak tugas dapat didelegasikan kepada dewan-dewan daerah (gewestelijke raden), tetapi suatu kebijakan yang sudah disesuaikan dengan masalah khusus dari suatu daerah akan dapat dilaksanakan dengan baik di wilayah tersebut. Undang-Undang Desentralisasi memungkinkan dibentuknya dewan-dewan daerah, walau pada tahun-tahun pertama undang-undang tersebut dijalankan tidak banyak perubahan yang dapat dimunculkan.

Desentralisasi adalah konsekuensi dari Politik Etis (Etische Politiek) yang gencar dikampanyekan sejak akhir abad XX. Desentralisasi adalah sasaran utama dari para pendukung Politik Etis. Bagi mereka, desentralisasi diartikan sebagai desentralisasi dari Den Haag ke Batavia, dari Batavia ke daerah-daerah lain di Hindia Belanda, dan dari Belanda kepada bangsa Indonesia.

Berbagai peraturan yang berkenaan dengan desentralisasi diundangkan antara tahun 1903 hingga 1905:
  1. Decentralisatie Wet (Undang-Undang Desentralisasi) tanggal 23 Juli 1903 yang dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie No. 329.
  2. Decentralisatie Besluit (Keputusan Pemerintahan tentang Desentralisasi) yang dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie Tahun 1905 No. 137.
  3. Locale Raden Ordonnantie (Ordonansi tentang Dewan-Dewan Lokal) yang dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie Tahun 1905 No. 181.
Implementasi dari Ordonansi Dewan-Dewan Lokal adalah dengan pembentukan sejumlah gemeente (kotapraja) di kota-kota besar di Jawa. Sebuah gemeente diperintah oleh seorang walikota (burgemeester) yang dalam tugas-tugasnya didampingi oleh sebuah Dewan Kotapraja (Gemeente Raad).

Yang patut disimak dalam gemeente ini adalah bahwa pembentukannya lebih dilandasi atas dasar besar-kecilnya jumlah warga penduduk bangsa Eropa yang bermukim di suatu tempat. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Batavia adalah kota pertama yang mendapat status wilayah kotapraja sebagaimana tercantum dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie Tahun 1905 No. 204, dan wilayah Meester-Cornelis (sekarang Jatinegara) menurut Staatsblad van Nederlandsch Indie Tahun 1905 No. 206. Kemudian Buitenzorg (sekarang Bogor) mendapat status kotapraja seperti dinyatakan dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie Tahun 1905 No. 208. Status kotapraja yang diberikan kepada Batavia, Meester-Cornelis, dan Buitenzorg dinyatakan mulai berlaku sejak 1 April 1905. Pada tahun-tahun selanjutnya, lima kota lain di Pulau Jawa yang mendapat status kotapraja adalah Semarang, Bandung, Sukabumi, Tegal, dan Surabaya.

Sejak waktu itu, berbagai kota yang memiliki warga penduduk bangsa Eropa yang jumlahnya dianggap cukup signifikan memperoleh status gemeente (kotapraja). Pada tahun 1939 telah terbentuk 32 kotapraja, 19 diantaranya berada di Pulau Jawa. Tahun 1935, Gemeente Meester-Cornelis lalu digabungkan dengan Batavia, maka artinya untuk wilayah Keresidenan Batavia hanya ada satu kotapraja.

DEWAN KOTAPRAJA (GEMEENTE RAAD)
Dewan Kotapraja (Gemeente Raad) adalah badan perwakilan pada tingkat kota-praja yang anggota-anggotanya dipilih untuk masa kerja empat tahun. Menurut Kiesordonnantie (Ordonansi tentang Pemilihan) yang dikeluarkan 1 Januari 1908, mereka yang memiliki hak untuk memilih adalah laki-laki, kawula Belanda (Nederlandsch-onderdaan), berusia sekurang-kurang 21 tahun, dapat membaca-menulis bahasa Belanda (untuk pemilih bumiputra harus menguasai bahasa Melayu dan bahasa daerah tempat yang bersangkutan tinggal), berdomisili di kotapraja tersebut, dan membayar pajak pendapatan minimal sebesar 300 gulden per tahun. Syarat untuk menjadi anggota Dewan Kotapraja tidak jauh berbeda kecuali dari segi umur, yaitu harus minimal 25 tahun, dan penguasaan bahasa Belanda yang cukup.

Melihat persyaratan tersebut di atas, baik untuk menjadi pemilih maupun calon anggota yang akan dipilih, dominasi penduduk warga Eropa dalam keanggotaan Dewan Kotapraja tampak jelas. Seperti terlihat pada keanggotaan Dewan Kotapraja Batavia dari tahun 1905 sampai 1929, ada 173 warga Eropa, 67 Bumiputra, dan 19 warga Cina, serta 10 Timur Asing yang umumnya adalah warga Arab.

Anggota warga bumiputra yang peranannya menonjol dalam kegiatan Dewan Kotapraja Batavia adalah Mohammad Husni Thamrin yang menjadi anggota Dewan selama 1919-1927. Thamrin juga pernah menjadi anggota Badan Pekerja Harian dari Dewan Kotapraja yang disebut College van Burgemeester en Wethouders. Dewan-dewan daerah lainnya, seperti Dewan Kabupaten (Regentschapsraad) dan Dewan Provinsi (Provinciale Raad), dibentuk mengikuti adanya perubahan pemerintahan tahun 1922.

DEWAN RAKYAT (VOLKSRAAD)
Pembentukan Dewan Rakyat (Volksraad) pada tahun 1918, juga merupakan implementasi dari Undang-Undang Desentralisasi. Diskusi mengenai pembentukan Volksraad sudah mulai muncul sejak tahun 1915, bahkan dalam arena pergerakan kebangsaan Indonesia. Wacana tentang Volksraad berkaitan dengan adanya gerakan Indie Werbaar (Pertahanan Sipil Hindia).

Pembentukan Indie Werbaar diprakarsai oleh Vaderlandsch Club, suatu organisasi politik dari kelompok penduduk Belanda yang bermukim di koloni Hindia Belanda. Melihat Perang Dunia I di daratan Eropa, mereka khawatir perang akan meluas ke wilayah jajahan. Untuk itu, dirasa perlu adanya gerakan membentuk pertahanan sipil untuk menjaga koloni di Hindia Belanda.

Tanggapan positif dari kaum pergerakan kebangsaan Indonesia untuk turut serta dalam gerakan Indie Werbaar dapat dilihat dari sudut kesempatan untuk berpartisipasi dalam dewan semiparlemen buatan pemerintah kolonial itu. Keikutsertaan kaum pergerakan nasionalisme Indonesia akan membuat posisi tawar mereka cukup tinggi untuk dapat masuk dalam perwakilan rakyat (Volksraad).

Sebaliknya warga golongan Timur Asing, terutama golongan Tionghoa, menolak keras untuk bergabung dalam kewajiban mempertahankan negeri Hindia Belanda melalui Indie Werbaar. Dalam hal ini, orang Cina mempertimbangkan keikutsertaan mereka dari sudut kedudukan status sipil warga Cina yang ambigu. Sebagai Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), mereka dimasukkan dalam status sebagai kawula Belanda (Nederlandsch-onderdaan) yang disamakan dengan warga bumiputra (geleijkgesteld met de inlanders). Kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang di mata komunitas Tionghoa banyak melahirkan perlakuan diskriminatif mendasari penolakan mereka untuk bergabung dalam gerakan Indie Werbaar guna menjaga koloni ini dari serangan pihak luar.

Di pihak lain, penolakan warga Tionghoa untuk turut membela negeri tempat mereka bermukim, oleh kaum pergerakan kebangsaan Indonesia, diartikan sebagai sikap oportunistis orang Cina. Oleh karenanya, sudah dapat dipastikan perbedaan sikap dari kedua komunitas tersebut menimbulkan friksi antara gerakan kebangsaan Indonesia dan gerakan kebangkitan Tionghoa.

Perang Dunia I tidak meluas ke tanah jajahan. Volksraad secara resmi dibentuk pada 16 Desember 1916. Siding pertama Volksraad dibuka oleh Gubernur Jenderal J.P. Grraf van Limburg Stitum pada tanggal 18 Mei 1918.

Anggota Volksraad terdiri dari mereka yang diangkat dan yang ditunjuk serta mereka yang dipilih berdasarkan pilihan mereka yang memiliki hak memilih (kiesrecht). Pada awal pembentukan Dewan Rakyat ini ada 19 anggota yang diangkat (5 diantaranya anggota Indonesia), dengan seorang ketua Dewan.

Pemilihan anggota parlemen buatan pemerintah kolonial ini dilaksanakan melalui dewan-dewan lokal yang telah terlebih dahulu didirikan. Dewan-dewan lokal tersebut, baik Dewan Kabupaten (Regentschapsraad), maupun Dewan Kotapraja (Gemeente Raad), sampai Dewan Provinsi (Provinciale Raad), menjadi semacam badan pemilihan yang akan menetapkan wakil-wakil rakyat yang dipilih menurut daerah masing-masing.

Pada tahun 1921, jumlah anggota Volksraad menjadi 49 orang, 39% dari mereka adalah orang Indonesia. Pada tahun 1927, anggota Volksraad bertambah menjadi 60 orang, dengan jumlah anggota Indonesia juga meningkat. Keseimbangan antara anggota Indonesia dan anggota Eropa (ditambah dengan anggota Timur Asing) akhirnya mencapai 50%, walaupun dewan-dewan pemilih masih saja dipenuhi oleh golongan konservatif.

Anggota Volksraad bertugas selama satu periode persidangan, yaitu empat tahun. Persidangan diadakan di Batavia. Volksraad juga memiliki Badan Pekerja Harian (College van Gedelegeerden) yang beranggotakan lima belas orang dengan seorang ketua.

Pada tahun 1925 diperkenalkan apa yang disebut staatsinrichting atau konstitusi bagi koloni Hindia Belanda, yang berdampak kepada berkurangnya peranan Dewan Hindia (Raad van Nederlandsch-Indie). Peranan Dewan Hindia lalu lebih sebagai dewan penasihat, sementara Volksraad mendapat kekuasaan legislatif yang terbatas.

Dengan adanya Volksraad, maka masalah anggaran Hindia Belanda dan undang-undang yang menyangkut urusan dalam negeri dirancang, dibicarakan, dan diputuskan dalam persidangan dewan ini. Meskipun demikian, gubernur jenderal dan para kepala departemen tidak bertanggung jawab kepada Volksraad. Oleh karenanya, sekalipun merupakan badan semiparlemen di Hindia Belanda, Volksraad tidak memiliki kekuasaan untuk menggeser atau menyingkirkan para petinggi birokrasi kolonial. Ini artinya Volksraad tidak pernah menjadi parlemen atau dewan perwakilan rakyat yang sesungguhnya. Pembentukan Volksraad tidak lebih dari sebuah tanda pernyataan untuk menunjukkan bahwa penguasa kolonial memang membuka kesempatan bagi masyarakat di tanah jajahan untuk berpartisipasi dalam mengatur kehidupan mereka. Walaupun demikian, dalam perjalanan selanjutnya, Volksraad lebih sering terjebak dalam pertarungan politik kaum pergerakan nasionalis Indonesia.

NB: Artikel ini sengaja ditulis ulang karena ditugaskan pada hari Selasa, 03 Februari 2015, dan pernah dicetak dalam buku Hindia Belanda.