Giat Kerja Bakti Warga Rw. 16 Cililitan

Minggu, 8 Desember 2024 - Komunitas

LPJ Triwulan 3 Kopma UIN Jakarta 2024

Jum'at, 6 Desember 2024 - Koperasi

LMS UNJ Error, Menyulitkan Pejuang Sarjana

Rabu, 4 Desember 2024 - Teknologi Kampus

Munas Dekopin Menuju Indonesia Emas

Minggu, 1 Desember 2024 - Koperasi

Beli Isuzu Sekarang Juga! Sebelum Menyesal

Jum'at, 29 November 2024 - Otomotif

Nasionalisasi Cara Venezuela*

Perpustakaan Hibah - Program nasionalisasi perusahaan asing oleh Presiden Venezuela Hugo Chavez, pelopor gerakan neososialisme Amerika Latin, semakin mendapat angin.

Perasaan berada di atas angin muncul setelah sebuah lembaga arbitrase internasional menetapkan, Venezuela hanya membayar kurang dari 10 persen kompensasi yang dituntut perusahaan minyak raksasa ExxonMobil dari Amerika Serikat dalam sebuah kasus persengketaan.

Lembaga arbitrase, Badan Perdagangan Internasional (ICC) yang bermarkas di Paris, menetapkan Venezuela cukup membayar 908 juta dollar AS. Padahal, Exxon menuntut 10 milliar dollar AS. Sekalipun jauh di bawah tuntutan Exxon, perusahaan minyak nasional Venezuela menegaskan hanya bersedia membayar 225 juta dollar AS atau sekitar sepertiga dari putusan ICC. Angka itu dikeluarkan setelah dipotong utang Exxon dan pembelian kembali surat-surat berharga terkait proyek nasionalisasi.

Namun, pertarungan Exxon dengan pemerintah Venezuela belum berakhir. Masih ditunggu putusan badan arbitrase internasional lain, Tribunal Arbitrase Bank Dunia, yang bisa saja memaksa Venezuela membayar jauh lebih tinggi. Venezuela juga harus berhadapan dengan beberapa perusahaan minyak raksasa, antara lain Conoco-Philips, dalam 20 kasus persengketaan sejak program nasionalisasi dilakukan pada 2007.

Program nasionalisasi Venezuela tergolong tidak kasar karena pengambilalihan perusahaan asing dilakukan dengan memberikan kompensasi berdasarkan kesepakatan bersama atau sesuai dengan nilai aset yang ditafsir badan arbitrase nasional. Kebijakan Chavez didasarkan neososialisme yang mengedepankan kemandirian ekonomi yang memihak kepentingan rakyat banyak, bukan kepentingan kaum kapitalis semata.

Sekalipun masih banyak tantangan, pemerintahan Chavez merayakan putusan ICC sebagai sebuah kemenangan program nasionalisasi melawan dominasi perusahaan multinassional, seperti Exxon. Lebih dari itu, putusan ICC dianggap sebagai kemenangan gerakan neososialisme di Amerika Latin dalam pertarungan kapitalisme AS yang antara lain disimbolisasi pada Exxon.

Gerakan neososialisme di Amerika Latin memang meluas selama satu dasawarsa terakhir, yang secara diametral berhadapan dengan program liberalisasi dan kapitalisme yang dikampanyekan AS. Pertarungan ideologis itu sekaligus menggambarkan hubungan AS dengan para tetangganya di Selatan tidak harmonis.

AS dinilai kurang memperhatikan pembangunan para tetangga yang berada di perkarangan belakangnya, tetapi lebih menjalin kerja sama dan persahabatan dengan negara Eropa dan Asia. Belakangan ini AS berusaha merangkul negara-negara di Amerika Latin, tetapi prasangka ideologis dan penghalang psikologis terlanjur sudah mengeras.

*Artikel ini pernah dimuat di Opini Kompas pada hari Rabu, 4 Januari 2012.

Kreasi Otomotif dari Solo*

Perpustakaan Hibah - “Anak-anak ini luar biasa. Mereka ternyata bisa kalau diberi kesempatan.” Itulah komentar Sukiyat, unsur pimpinan Kiat Motor.

Sukiyat adalah pendamping anak muda Solo dalam membuat mobil SUV yang diserahterimakan kepada Wali Kota Solo Joko Widodo, yang langsung menjadikannya sebagai kendaraan dinas. Ada dua hal yang ingin kita garis bawahi. Pertama, prestasi yang dicapai anak muda Solo dengan mobil Kiat Esemka-nya. Kedua, komitmen spontan Wali Kota Solo untuk menggunakan mobil kreasi pemuda di daerahnya sebagai kendaraan dinas.

SUV Kiat Esemka tidak secanggih produk negara otomotif maju, seperti Jepang atau Korea, tetapi produk itu harus kita hargai setinggi-tingginya karena melambangkan satu spirit kebangkitan. Tiga atau empat dasawarsa kita terlena di bidang otomotif. Akibatnya, ketika jalanan di kota Indonesia macet karena melubernya produk otomotif (dan karena minimnya infrastruktur jalan raya kita), Indonesia sudah paripurna sebagai pasar otomotif negara lain yang bisanya hanya menyerap model baru.

Memang adanya pabrik perakitan mobil asing memberi lapangan kerja dan kesempatan memasok komponen atau bagian kendaraan. Namun, dibandingkan harga jual produk jadinya, kontribusi nasional hanya presentase kecil.

Yang selama ini terjadi lalu konsumen Indonesia dengan lahap menelan apa saja produk otomotif asing, hingga kemana pun kita menoleh di jalan raya, merek mobil yang kita lihat, ya, tak bisa lain kecuali itu-itu saja.

Pengamat mengatakan, kalau Indonesia berpenduduk beberapa juta orang, tidak ada faedahnya mengembangkan industri otomotif. Namun, ketika jutaan penduduk negara ini punya kesanggupan membeli mobil, lalu kita tidak punya inisiatif apa pun mengembangkan kemampuan otomotif nasional, ini satu kekeliruan besar.

Sekarang ini kita tidak dalam posisi membuat mobil canggih seperi Honda Accord, Toyota Lexus, atau Mercedes-Benz. Namun, kalau mimpi pun tidak ada untuk bisa membuat Kijang Innova, atau Avanza, ini keterlaluan.

Selain anak muda Solo, sejumlah insinyur mesin ITB juga diketahui punya inisiatif mengembangkan kemampuan otomotif. Disadari, tidak semua pihak sepandangan dengan upaya ini. Namun, demi kemandirian, terciptanya kesempatan berkreasi bagi anak bangsa, dan demi kemajuan perekonomian kita masa datang, upaya seperti dilakukan pemuda Solo harus kita bela, kita lindungi, dan kita dukung. Mereka harus kita beri penghargaan.

Bagi kalangan mapan di bidang otomotif, upaya pemuda Solo hanya dilihat sebagai langkah sia-sia. Upaya yang sudah lebih jelas, seperti Proton di Malaysia, pun oleh kalangan proasing sering dipandang sebelah mata. Harus kita buktikan bahwa kita juga-seperti Malaysia-bisa.

Dalam upaya inilah, kita membutuhkan sosok visioner penuh komitmen, seperti Wali Kota Solo atau-dulu-mendiang Presiden Soeharto yang mencanangkan program mobil nasional, lepas dari gagalnya program tersebut.

*Artikel ini pernah dimuat di Opini Kompas pada hari Rabu, 4 Januari 2012.