Oleh Prof. Rhenald Kasali (UI)
Mungkin kita semua sepakat, anak-anak yang pintar di sekolah belum tentu pintar dalam kehidupan.
Sayangnya banyak orang tua yang masih berpikir, kalau anaknya juara kelas, pintar di sekolah, pasti akan pintar dalam menjalani hidup.
Untuk itulah sering kita lihat orang tua yang amat protektif, membuat anak merasa sudah belajar walau itu hanya di sekolah. Sedangkan perjalanannya menuju sekolah, pergaulannya, kebiasaannya mengambil keputusan dalam keadaan sulit, selalu disterilisasi orang tua.
Apalagi bila orang tua punya kuasa, banyak koneksi, punya uang, maka semua itu akan disterilisasi lebih luas lagi. Padahal yang membentuk orang tuanya hari ini sukses sudah jelas: orang tua mereka tak seprotektif mereka.
Kalau sudah begitu, apa hasilnya?
Anda lihat sendiri, banyak anak-anak pandai di sekolah tak berdaya saat di-bully kawan-kawannya, kurang bergaul, dan bila dikejar anjing di kampung, ia tidak bisa melompat, larinya tercekat.
Dan di usia dewasa, ia bisa menjadi sosok yang sulit bagi teman-teman, pasangan, dan kolega-koleganya. Ia akan merasa terus pandai, seakan-akan kecerdasannya tetap tak berubah.
Ke Luar Negeri Bagus
Pepatah mengatakan, dunia ini ibarat sebuah buku. Mereka yang tak melakukan perjalanan (hanya kuliah saja), hanya membaca satu halaman.
Terilhami oleh Susi Pudjiastuti, saya pun menugaskan mahasiswa ke mancanegara. Tidak main-main. Satu orang satu negara.
Menteri Kelautan dan Perikanan ini, sejak remaja sudah menyewa truk dari kampungnya di Pangandaran, hanya bersama seorang sopir, ia pergi membeli ikan ke Cirebon atau Indramayu, lalu berjualan ke Pasar Ikan di Jakarta.
Bila dulu saya menugaskan tiga orang satu negara, sejak kehadiran Ibu Susi di kelas itu, saya mengubahnya menjadi satu negara-satu orang.
Syaratnya, tidak boleh di antar, dan tak boleh ada yang menjemput. Itu pun harus pergi ke negara yang tak berbahasa Melayu.
Anda tahu siapa musuh program ini?
Para mahasiswa melaporkan, ada dua pihak. Pertama adalah orang tua yang selalu beranggapan anaknya bak princess. Orang tua bahkan merespon dengan negatif, takut anaknya kesasar. Padahal doktrin kelas itu sejak awal sangat jelas, "Berpikir karena kesasar."
Setiap kali orang tua protes, saya selalu bilang, "Memang kalau tersasar, mengapa?"
Dari situ, sebagian tiba-tiba tersentak dan tertegun sendiri karena hampir semua orang tua pasti pernah kesasar, dan toh akhirnya pulang juga dengan selamat. Malah menjadi semakin pandai, lebih percaya diri.
Sebagian lagi, responnya begitulah, memindahkan anaknya ke kelas lain. Mereka mengambil keputusan untuk anaknya yang sudah dewasa dengan menghentikan sebuah proses belajar yang penting untuk membangun hidup mereka.
Orang tua juga mengatur banyak hal. Tiket pesawat, rute tujuan, menginap di mana, siapa yang jemput, makan apa, pakaian dan perlengkapan, sampai SIM Card dan obat-obatan.
Padahal anaknya gaul, sehat, senang berpetualang. Dan kalau diatur, ia malah menjadi merasa tak dipercaya, bahkan malu dengan kawan-kawannya.
Bagi saya, ini semua bisa membuata anak kurang terlatih menghadapi kesulitan. Sebab setiap kali menghadapi persoalan kecil saja, mereka bisa menghindar dan cepat-cepat minta bantuan.
Dan musuh kedua adalah, para dosen sendiri. Ya, para akademisi percaya anak pintar itu tak boleh banyak bermain. Baca, baca, baca, buat tugas. Padahal anak-anak pintar itu terlalu serius, terlalu steril, dan kurang bermain.
Anda tahu apa yang dilakukan orang tua agar anak-anaknya diterima di perguruan tinggi yang bagus?
Mungkin Anda bisa lihat bagaimana treatment orang tua sejak anaknya masih kecil. Jangankan untuk menuju perguruan tinggi, untuk diterima di SMP yang bagus saja, sejak kelas 5 SD anak-anak itu sudah dilatih pulang sore atau malam hari, ikut les ini dan itu. Katanya untuk diterima di SMP A harus ikut bimbingan belajar di B.