Giat Kerja Bakti Warga Rw. 16 Cililitan

Minggu, 8 Desember 2024 - Komunitas

LPJ Triwulan 3 Kopma UIN Jakarta 2024

Jum'at, 6 Desember 2024 - Koperasi

LMS UNJ Error, Menyulitkan Pejuang Sarjana

Rabu, 4 Desember 2024 - Teknologi Kampus

Munas Dekopin Menuju Indonesia Emas

Minggu, 1 Desember 2024 - Koperasi

Beli Isuzu Sekarang Juga! Sebelum Menyesal

Jum'at, 29 November 2024 - Otomotif

Lowongan Kerja Staff IT & Marketing PT. Monex


Dibutuhkan karyawan dan karyawati untuk menduduki posisi sebagai berikut :
  • STAFF IT ( Kode : IT )
  • FINANCE CONSULTANT ( Kode : FC )
Kualifikasi :
  1. Pria/Wanita. (IT & FC)
  2. Fresh graduate min. SMK/sederajat. (IT & FC)
  3. Memiliki relasi yang luas. (FC)
  4. Bertanggung jawab dan berpenampilan menarik. (IT & FC)
  5. Mampu mengoperasikan komputer. (IT & FC)
  6. Menguasai internet, pembuatan web design, MySQL, PHP, Joomla. (IT)
  7. Pengalaman dalam bidang marketing. (FC)
Bagi yang memenuhi kualifikasi diatas, dapat datang langsung ke PT. MONEX INVESTINDO FUTURES di Gedung Menara Salemba Lt. 9 pukul 13.00 WIB - on time.

Paket Umroh NRA Tour & Travel

SPECIAL OFFER FOR MUAMALAT
Harga dalam paket tersebut belum termasuk :
  1. Handling Airport dan Perlengkapan senilai Rp. 1.100.000,-
  2. Biaya suntik meningitis senilai Rp. 500.000,-
  3. Biaya kelengkapan dokumen mahram bagi peserta wanita <45 tahun yang ber-umroh sendirian tanpa muhrimnya senilai Rp. 500.000,-
  4. Pembuatan passport.
  5. Biaya penambahan nama tiga suku kata di passport senilai Rp. 250.000,-
  6. Segala bentuk keperluan pribadi (laundry, telepon, dll).
  7. Ticket domestic ke dan dari Jakarta serta akomodasi penginapan selama di Jakarta (jika calon jamaah berasal dari luar Jakarta).

Teori Receptio in Complexu Versus Teori Receptie

Oleh Dr. Sudirman Abbas

PENDAHULUAN

Dalam sejarah hukum di Indonesia, banyak literatur menyebutkan bahwa pada mulanya sebelum Belanda datang ke negeri ini sebagai penjajah dalam bidang perdagangan, pada mulanya dan akhirnya menjadi penjajah secara menyeluruh dan berkuasa, yang berlaku adalah hukum Islam yang berjalan dalam adat dan kebiasaan masyarakat waktu itu. Hal ini bisa dilihat dalam penjelasan Daniel S. Lev yang menjelaskan bahwa Pengadilan Agama (Islam) sudah ada pada setiap kabupaten di pulau Jawa pada abad ke-16 (1980: 25). Pengadilan semacam juga sudah ada pada masa Pangeran Dipati Anta Koesoema di Kuala Kapuas sekitar tahun 1638, yang tentu menerapkan hukum Islam dalam proses peradilannya. (Asshiddiqie, 1990: 9)

Namun pada perkembangan sejarah selanjutnya, ada satu pemikiran baru yang dikembangkan oleh politik hukum penjajah Belanda yang pada mulanya ingin memberlakukan hukum Barat untuk seluruh golongan penduduk sebagai upaya unifikasi hukum. Pemikiran ini ditentang oleh Snouck Hurgronje, dan selanjutnya dikembangkan oleh Van Vollenhoven yang menyatakan bahwa tidak perlu lagi mengajukan hukum Barat sebagai solusi unifikasi, sebab di Indonesia ini sudah hukum adat yang berkembang dan berlaku dalam kehidupan masyarakatnya. Bahkan Van Vollenhoven membantah keras bahwa orang pribumi hidup tanpa hukum, mereka justeru secara sungguh-sungguh memberi perhatian pada adat, hukum adat, dan kebutuhan hukum rakyat (Soetandyo, 1995: 127) dan usaha-usaha Hoven ini digulirkan pada setiap amandemen termasuk yang disebut dengan amandemen Van Idsinga.

Adanya pihak-pihak yang mengemukakan bahwa hukum Islam-lah yang berlaku dalam masyarakat dan bukan hukum adat. Sebab istilah hukum adat waktu itu tidak ada, yang ada hanyalah adat kebiasaan. Teori ini pada masa kemudian disebut dengan istilah teori Receptio In Complexu. Sedang kebalikan dari teori ini adalah teori Receptie yang menganggap hukum adat sebagai hukum pribumi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat waktu itu.

Dalam makalah ini akan dicoba diulas argumentasi masing-masing teori tersebut berikut latar belakangnya dengan harapan akan jelas duduk persoalan yang sebenarnya.

MENGULAS TEORI RECEPTIO IN COMPLEXU

Sayuti Thalib (1985: 4) mengemukakan bahwa justeru ahli-ahli hukum dan ahli-ahli kebudayaan Belanda sendirilah yang mengakui bahwa jauh-jauh sebelum tahun 1800 dan tahun sesudahnya, hukum Islam-lah yang berlaku di Indonesia. Sayuti menunjukkan beberapa sarjana Belanda yang mengakui kenyataan ini, dan mereka menyebut itu dengan masa Receptio In Complexu. Mereka itu antara lain Carel Frederick Winter, seorang ahli mengenai Jawa yang lahir dan meninggal di Yogyakarta (1799-1859). Salamon Keizer, seorang guru bahasa dan budaya Indonesia yang juga banyak menulis tentang Islam di Jawa dan menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Belanda, beliau hidup sekitar 1823-1868. Kemudian ada Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian Van Den Berg (1845-1927), yang sempat menulis asas-asas hukum Islam (Mohammedaansch Recht) menurut ajaran Hanafi dan Syafi’i. Dalam buku ini dijelaskan bahwa hukum Islam diperlukan bagi orang-orang Islam bumiputera walaupun dengan sedikit penyimpangan (Ramulyo, 1995: 54). Selain mereka ada nama lain yang juga menganut paham Receptio In Complexu ini seperti Clootwijk (1752-1755) dan Freijer (1760). (Asshiddiqie, 1990: 10)

Bahkan Ramulyo (1995: 53-54) dalam bukunya memberikan paparan periodesasi tentang pelaksanaan hukum Islam sebelum Belanda datang di Indonesia dengan tiga periode, yaitu:
  1. Periode Tahkim, di mana apabila terjadi perbenturan antara hak-hak dan kepentingan, mereka bertahkim kepada seorang pemuka agama yang ada di tengah kelompok mereka, seperti seorang wanita bertahkim kepada seorang penghulu sebagai wali yang berhak menikahkannya dengan pria idamannya.
  2. Periode Ahlul Hilli wal Aqdi, di mana mereka telah membai’at dan mengangkat seorang ulama Islam sebagai qadhi untuk menyelesaikan masalah mereka. Jadi, qadhi bertindak sebagai hakim.
  3. Periode Tauliyah, yang menurutnya periode ini sudah terpengaruh oleh ajaran Trias Politica Montesquieau, di mana sudah ada pendelegasian wewenang (delegation of authority) untuk mengadili kepada lembaga judicative, seperti di Minangkabau, ada pucuk nagari yang menyelesaikan sengketa dan qadhi yang menyelesaikan masalah keagamaan.
Ramulyo mengemukakan bukti periodesasi ini dengan adanya kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam di daerah-daerah Cirebon, Gowa, Semarang, Makasar, Bone, dan Papakem Cirebon. (Ramulyo, 1995: 54)

Sementara itu, Jimly Assiddiqie (1950: 9) mengungkapkan bahwa hukum Islam-lah yang berlaku di Indonesia ini bersama adat kebiasaan masyarakat setempat. Bahkan, dengan keunggulan gagasan sistem hukum Islam yang ditawarkan lebih mengundang rasa simpatik dalam banyak hal daripada hukum adat.

Dalam konteks kesejarahan hukum Islam, zaman kerajaan Islam Perlak dan Pasai di Aceh juga terungkap bahwa yang berlaku di sana waktu itu adalah hukum Islam dalam madzhab Syafi’i. Demikian juga ketika zaman Sultan Agung, raja kerajaan Mataram Islam, hukum Islam juga sudah berjalan secara formal di mana di tiap kadipaten selalu ada pengadilan serambi, yaitu pengadilan agama yang diberikan sendiri tauliyah atau wewenangnya oleh Sultan Agung, dan pelaksanaan peradilan tersebut berada di serambi masjid. (Lihat dua makalah terdahulu)

Perkembangan diakuinya teori receptio in complexu ini secara legal formal, bisa dilihat dalam Regeerings Reglement (Staatsblad 1884 No. 129 di negeri Belanda jo. Stbl. 1885 No. 2 di Indonesia), terutama diatur dalam pasal 75 dan pasal 78 jo. pasal 109 RR tersebut.

Pasal 75 ayat (3) RR tersebut mengatur bahasanya “Apabila terjadi sengketa perdata antara orang-orang Indonesia yang beragama Islam oleh hakim Indonesia haruslah diberlakukan hukum Islam Gonsdienstig Wetten dan kebiasaan mereka”.

Sedang dalam ayat (4) pasal tersebut, disebutkan “Undang-undang agama, adat, dan kebiasaan itu juga dipakai untuk mereka oleh hakim Eropa pada pengadilan yang Huger Beroep, bahwa dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia atau mereka yang dipersamakan dengan orang Indonesia, maka mereka tunduk kepada keputusan hakim agama atau kepala masyarakat mereka menurut undang-undang agama atau ketentuan lama mereka”.

Menurut pasa 109 RR ditentukan pula, “Ketentuan seperti tersebut dalam pasal 75 dan pasal 78 itu berlaku juga bagi mereka yang dipersamakan dengan orang-orang Indonesia, yaitu orang-orang Arab, Moor, Cina, dan semua mereka yang beragama Islam, maupun orang-orang yang tidak beragama”.

Sementara itu dalam pasal 7 Rechterlijke Organisatie ditetapkan bahwasanya “Sidang-sidang pengadilan negeri (Landraad) harus dihadiri oleh seorang fungsionaris yang mengetahui seluk beluk agama Islam, kalau yang dihadapkan itu tidak beragama Islam, maka penasehat itu adalah kepala masyarakat dari orang itu”. (Ramulyo, 1955: 55)

Dari semua ketentuan ini diketahui bahwa sejak pemerintahan Belanda pertama, hukum Islam sudah diakui eksistensinya sebagai hukum positif yang berlaku bagi orang Indonesia. Dalam hal ini, hukum Islam ditulis sejajar dan satu nafas dengan hukum adat, bahkan sejak zaman VOC pun keadaan ini juga tetap berlangsung seperti yang dikenal dalam Compendium Freijer. (Daud Ali, 1982: 101)

Jimly Assiddiqie (1990: 10) dalam menjelaskan pasal di atas menyebut bahwa hukum agama Islam tersebut pun harus dipakai oleh para hakim Belanda, jika perkara tersebut dibawa ke tingkat banding (Huger Beroep).

Dari seluruh fakta yang ada, maka tidak terlalu salah jika akhirnya orang-orang Belanda mengakui keberlakuan hukum Islam di Indonesia secara historis dan legal formal, termasuk di dalamnya L.W.C. Van Den Berg yang juga sempat menerjemahkan kitab Fathul Qarib dan Minhajul At-Talibin ke dalam bahasa Perancis. Bahkan beliau sendirilah yang dengan tegas menerima secara keseluruhan hukum Islam sebagau hukum yang berlaku di Indonesia. Akhirnya sikap beliau ini menjadi satu aliran tersendiri yang berkembang dengan sebutan receptio in complexu, yang dinamakan sendiri sebagai sebuah teori oleh pengembangnya, yaitu L.W.C. Van Den Berg. (Tahlib, 1985: 5-6) 

MENGULAS TEORI RECEPTIE 

Teori ini merupakan kebalikan dari teori receptio in complexu di atas. Hal ini bermula dari penentangan C. Snouck Hurgronje terhadap teori receptio in complexu yang dikembangkan oleh Van Den Berg, yang kemudian teori ini dikenal dengan istilah teori receptie. Penganut teori ini mengemukakan bahwa sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli, dan ke dalam hukum adat ini memang telah masuk pengaruh hukum Islam, kekuatan hukum Islam ini baru bisa dianggap dan diakui kalau sudah diterima oleh hukum adat. Maka lahirlah dari sini hukum adat bukan hukum Islam. (Tahlib, 1985: 13)

Di samping itu, latar belakang penentangan ini ialah adanya usaha penjajah Belanda yang sudah mulai kuat dominasi kekuasaannya di Indonesia untuk memberlakukan hukum Barat sebagai suatu langkah unifikasi. Dan dari sinilah C. Snouck Hurgronje (1857-1936) memulai penentangannya. Di samping itu, Cornelis Van Vollenhoven (1874-1933) mendukung pertentangan ini dengan kemasan ilmiah melalui serangan dan kritikan terhadap pasal-pasal yang dikemukakan di atas. Seiring dengan itu, Van Vollenhoven juga menentang penggantian hukum adat dengan hukum Barat yang diadakan oleh pemerintah penjajah dalam rangka melindungi tujuan dan kepentingan pengkristenan penduduk Indonesia. (Arifin, Tanpa Tahun: 5; Soepomo, 1977: 10)

Memang Van Vollenhoven-lah yang pertama kali menetapkan adanya hukum adat yang berlaku dan berkembang di Indonesia, dalam bukunya yang dikenal dengan “penemuan hukum adat” (Het Ontdekking Van Het Adatrecht). Hukum adat ini menurutnya suatu sistem hukum yang sudah ada dan berkembang di Indonesia, maka tidak layaklah kalau Belanda memaksakan hukum Barat bagi warga Indonesia. Namun, menurut Aqib Sumanto sebagaimana dikutip oleh Bustanul Arifin dalam makalahnya (Tanpa Tahun: 6) bahwa sebenarnya bukanlah Van Vollenhoven tidak setuju diberlakukannya hukum Barat, tetapi ada suatu keyakinan bahwa kalau hukum Barat (Belanda) dipaksakan berlaku, maka hukum Islam justeru akan makin berkembang. Jadi, ada kesengajaan hukum Islam akan dipertentangkan dengan adat atau hukum adat lokal dan bukan dengan hukum Barat. Politik hukum semacam ini hingga sekarang masih terasa membekas pada pakar-pakar hukum kita di saat akan menyusun hukum Nasional sekarang ini.

Usaha mempertentangkan hukum Islam dan hukum adat ini ditunjukkan oleh Snouck Hurgronje, dalam rangka menaklukkan Aceh dengan cara menunjukkan celah serta memanipulasi adanya pertentangan kesetiaan masyarakat Aceh kepada agama yang diwakili oleh ulama dan kesetiaan mereka kepada adat yang diwakili oleh uleu-balang. Di samping itu, Snouck Hurgronje juga mengatakan bahwa hukum adat itu harus dibedakan dengan kebiasaan (adat kebiasaan), sebab hukum adat itu mempunyai akibat hukum, sedang adat kebiasaan tidak. (Thalib, 1985: 11-12)

Tapi usaha Snouck Hurgronje ini gagal, sebab pada kenyataannya masyarakat Aceh tidak terpecah kesetiaannya antara adat dan agama. Hal ini dibuktikan dengan adanya rasa tidak aman bagi pasukan Belanda di Aceh yang terus berlangsung.

Pada kurun terakhir, hukum adat ini juga dikembangkan oleh James Richardson Logan tahun 1850. Beliau sebagaimana Snouck, membedakan antara hukum adat dengan adat, meski keduanya tidak bisa dipisahkan. Bahkan beliau menambahkan kata “Indonesia” setelah hukum adat, untuk membedakan dengan hukum adat lain yang berkembang di Asia. Hukum adat baginya lebih luwes karena tidak tertulis. Berbeda dengan hukum yang tertulis, sehingga sulit diubah. Makna hukum dalam “Hukum Adat” lebih luas daripada hukum-hukum yang lain karena juga menyangkut etika, pangkat, pakaian, pertunangan, dan sebagainya. (Djamali, 1993: 70-71)

Barangkali memang kepastian hukum tentang hak, kewajiban, dan sanksi atas suatu pelanggaran dapat dicakup dalam hukum adat yang berisi muatan perintah, larangan, dan kebolehan. Tapi yang menjadi masalah adalah kapan sebenarnya adat istiadat itu bisa menjadi hukum ? Dalam menjelaskan masalah ini, Van Vollenhoven selaku bapak hukum adat Indonesia memberi suatu penjelasan bahwa apabila seorang hakim menghadapi kenyataan bahwa ada peraturan tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap patut berlaku dan dipertahankan serta sesuai perasaan umum, dan peraturan itupun dipertahankan oleh kepala adat dan petugas hukum lainnya, maka peraturan adat tadi bersifat hukum. (Soekanto, 1983: 98-99)

Nampaknya secara legal formal, usaha mereka (para pengembang hukum adat) telah berhasil dengan adanya perubahan secara sistematika Regeerings Reglement Stbl. 1885 No. 2 menjadi Wet op de Staats Inrichting Van Nederlands Indie atau Indische Staatsregeling atau I.S. pada tahun 1925 (Stbl. 1925 No. 416) 
seterusnya dengan Stbl. 1929 No. 221, di mana dinyatakan bahwa hukum Islam tidak lagi mempunyai kedudukan yang tersendiri. Hukum Islam bisa dianggap sebagai hukum setelah memenuhi dua syarat, yaitu:
  1. Norma hukum Islam harus diterima lebih dahulu oleh hukum adat.
  2. Kalaupun sudah diterima oleh hukum adat, juga tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan Belanda.
Oleh karena itu, tidak ayal lagi teori receptie ini oleh Prof. Dr. Hazairin dianggap sebagai teori Iblis. (Ramulyo, 1995: 56-57)

Barangkali karena adanya unsur pemaksaan penundukan (sujud) hukum yang sudah benar dan benar-benar berlaku kepada hukum rekayasa Belanda.

Masih dari Ramulyo, dengan adanya perubahan di atas, Belanda pun mengeluarkan Stbl. 1937 No. 116 yang membatasi wewenang dan tugas peradilan agama, yang semula berhak menetapkan hal waris, hadlanah, dan sebagainya. Sedang wewenang yang diberikan hanya berkisar masalah nikah, talak, dan rujuk saja. Dengan demikian menurut Sayuti Thalib (1985: 2), penjajah Belanda berhasil menghapus hukum Islam dari sistem dan lingkungan tata hukum Hindia Belanda dengan menumpangkannya kepada hukum adat. Untuk sementara itu, teori receptie bisa dianggap sukses.

Lalu bagaimana sebenarnya sikap kesetiaan bangsa Indonesia terhadap Islam (hukum Islam). Apabila seseorang telah masuk Islam, maka ia akan menerima Islam itu secara keseluruhan termasuk di dalamnya hukum Islam. Sebagai bukti, pemerintah Belanda sendiri pada abad 18 berusaha menyusun buku-buku hukum Islam yang dikenal dengan sebutan compendium, untuk pegangan para hakim pengadilan dan para pejabat pemerintahan. Lihat umpamanya compendium Van Clootwijk, gubernur Sulawesi saat itu (1752-1755) dan compendium Freijer yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1750-1761). (Arifin, Tanpa Tahun: 5)

Maka bukankah hal ini cukup menujukkan kondisi yang sebenarnya tentang keberadaan hukum Islam dan kesetiaan penganutnya yang mayoritas Muslim.

Bahkan dalam sistem hukum Islam sendiri tidak dikenal adanya pertentangan dengan adat istiadat. Hal ini mungkin karena adanya doktrin “Al-‘Adatu Muhakkamah” dalam Islam, di mana adat tidak dipahami sebagai sesuatu yang terpisah dari hukum, dan adat tersebut dalam ushul fiqh juga dianggap sebagai selama ia tidak bertentangan dengan syari’at. (Assiddiqie, 1990: 9)

Kemudian, sebelum datangnya bangsa Barat, kebiasaan lokal itu hanya disebut dengan adat atau adat istiadat dan bukan hukum adat, yang artinya keduanya memang tidak diperhadapkan satu sama lain. Adanya istilah “Hukum Adat” itu adalah buatan Belanda yang menurut Van Vollenhoven adalah “penemuan” hukum adat. Padahal bangsa Indonesia sendiri waktu itu tidak mengenal istilah tersebut. Tapi yang mereka tahu adalah adat/adat istiadat saja tanpa “embel-embel” hukum di depannya. Hal ini sesuai dengan doktrin Islam, bahwa hukum adat itu juga diperlakukan sebagai bagian dari hukum, sehingga adat tidak berdiri sendiri sebagai hukum. Dan di Barat sendiri pun, masalah “Customary Rules” dikaji sebagai bagian dari studi mengenai kebudayaan hukum yang merupakan penunjang ilmu hukum, maka usaha Belanda untuk menonjolkan issue “adat” versus “hukum Islam” di Indonesia, adat istiadat lokal masyarakat nusantara dikaji secara tersendiri dan terpisah dengan istilah “hukum adat/adatrecht”. (Assiddiqie, 1990: 9-10; Arifin, Tanpa Tahun: 6) 

APA PULA RECEPTIO A CONTRARIO ITU ?

Dalam membahas sub tema ini, hanya akan diurai secara sekilas dan bersifat pengantar pengenalan saja. Karena receptio a contrario ini merupakan teori yang mengakhiri pertentangan dua teori sebelumnya, meski masih saja ada pihak-pihak yang masih mempertahankan teori sebelumnya (teori receptie), hal ini mungkin karena sudah terlalu berpengaruhnya ekses-ekses politik hukum yang dilancarkan Belanda dulu.

Teori receptio a contrario ini nampaknya dikembangkan oleh Prof. Dr. Hazairin SH. dan secara khusus juga dikembangkan oleh Sayuti Thalib SH. di mana beliau menulis sebuah buku dengan judul yang sama. Teori ini dimajukan karena kemerdekaan Indonesia telah berhasil diproklamirkan yang tentunya berkonsekuensi adanya perubahan undang-undang dari peninggalan Belanda. Di samping itu karena adanya alasan eksistensi hukum Islam di bumi Nusantara ini dalam fakta sejarah sebagaimana diulas di atas, dan anggapan tidak benar kalau hukum Islam itu harus direcipeer lebih dahulu oleh hukum adat.

Dalam teori ini dikembangkan pemikiran, bahwa setelah Indonesia merdeka maka secara otomatis teori receptie yang dikembangkan oleh politik penjajah Belanda itu dianggap telah mati dan menemui ajalnya. Dengan demikian undang-undang tentangnya yaitu pasal 134 ayat (2) Indische Staatsregeling, yang berlaku sejak 1929 pun dianggap tidak berlaku lagi karena sudah terhapus oleh hukum yang berkembang dalam jiwa masyarakat yang tertuang dalam jiwa pembukaan UUD 1945, pasal 29 UUD tersebut. (Thalib, 1985: 62)

Jadi, pada prinsipnya dalam teori receptio a contrario ini menguatkan kembali keberadaan teori pertama, yaitu teori receptio a contrario di masa kemerdekaan di mana hukum Islam bisa berlaku tanpa harus melalui perantara hukum adat lagi. Untuk hal ini bisa dilihat dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang disebutkan bahwa perkawinan baru sah bila dilakukan menurut hukum agama, tanpa ada sebutan hukum adat. Bahkan dalam penjelasannya jo. pasal 37 disebutkan bahwa hukum adat dapat saja dipergunakan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum agama, yang artinya tentu hukum adat-lah yang direcipeer ke dalam hukum agama (Islam). (Assiddiqie, 1990: 12)

Meski demikian, menurut Sayuti Thalib (1985: 63) masih saja ada yang ingin menggagalkan teori ini dengan mengalahkan UUD 1945 dan mempertahankan pasal 134 ayat (2) IS. 

PENUTUP

Demikian makalah sederhana ini dibuat untuk didiskusikan bersama yang tentunya karena dalam makalah ini masih banyak hal yang perlu dikaji ulang. Ada sebuah harapan tentunya semua akan bersepakat, yaitu keberhasilan yang menyelamatkan, isn’t it !? 

DAFTAR PUSTAKA

Ali, H.M. Daud, Kedudukan Hukum Islam dalam Kerangka Hukum Indonesia, dalam Majalah Hukum Indonesia dan Pembangunan, Tahun ke XII No. 2, Jakarta, 1982.
Arifin, Bustanul, “Aspek Hukum Islam” dalam Perundang-Undangan Indonesia, Makalah di Fakultas Syari’ah Serang, tt.
Assiddiqie, Jimly, Hukum Islam di Indonesia: Dilema Legislasi Hukum Agama di Negara Pancasila, dalam Majalah Pesantren No. 2/Vol. VII/1990, 1990.
Djamali, R. Abdoel, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
Ramulyo, Moh. Idris, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.
S. Lev, Daniel, Islamic Court in Indonesia, Terjemahan oleh Z.A. Noeh, 1980, Peradilan Agama Islam di Indonesia, Jakarta: Intermasa, tt.
Soekanto, Soerjono, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1983.
Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1977.
Thalib, Sayuti, Receptio A Contrario, Jakarta: Bina Aksara, 1985.
Wignjosubroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

Diketik oleh Moh. Hibatul Wafi penyajian makalah tahun 2012

Hukum Pidana (KUHP) dalam Perspektif Hukum Islam

Oleh Dr. Sudirman Abbas

MUKADDIMAH

Studi hukum di Indonesia mengalami pasang surut sesuai dengan fluktuasi keberlakuan politik hukum yang dijalankan negara, perkembangan sosial kemasyarakatan dan interaksi masyarakat dengan keputusan politik negara. KUHP sebagai produk hukum pidana di Indonesia yang diberlakukan sejak masa kolonial Belanda dan dipertahankan sampai sekarang, merupakan hasil politik hukum Belanda dengan berbagai teori hukum yang berlaku di Indonesia. KUHP yang secara substansial diadopsi dari Code Civil Perancis (Napoleon Bonaparte) telah mereduksi dan memarginalkan hukum Islam baik secara substansial maupun keberlakuan di dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Sebagai sebuah perundang-undangan, KUHP mengalami kekakuan dalam pemberlakuannya di masyarakat. Secara teoritik, sebuah perundang-undangan akan berlaku dengan baik dan sukses hanya jika sesuai dengan keyakinan internal suatu bangsa kepada siapa perundang-undangan itu diperuntukkan. Jika melenceng dari itu, maka akan mengalami kegagalan. Untuk mencapai tujuan hukum diberlakukannya KUHP, maka pemerintah Indonesia melakukan serangkaian pemaknaan yang sesuai dengan cita hukum, yaitu kesejahteraan dan ketertiban umum. Proses pemaknaan tersebut, mengacu pada religiusitas dan semangat nasionalis hukum Indonesia.

Dari pemikiran tersebut, makalah ini hendak mengkaji KUHP dalam perspektif hukum Islam dengan pendekatan normatif-ideologis melalui kerangka deskriptif-interpretatif. Pengkajian KUHP ini hanya dibatasi pada sistematika, tujuan, kategorisasi hukuman kualitatif dan kuantitatif, asas-asas hukum, material hukum, dan sumber-sumber hukum. Dengan pembatasan ini, diasumsikan telah memenuhi representasi KUHP. Karena beberapa angel tersebut dipandang sebagai indikator yang secara ilmiah mencakup isi KUHP. Untuk mendapatkan kesimpulan yang diharapkan, studi ini menekankan pada pengujian secara komparatif antara KUHP sebagai produk hukum dengan term-term hukum Pidana Islam (Al-Jinayah).

KUHP DALAM SOROTAN

Dalam terminologi hukum, hukum pidana dirumuskan sebagai “hukum tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan”. Dalam merumuskan kepentingan umum termasuk di dalamnya kepentingan Badan dan peraturan perundangan negara dan kepentingan umum setiap manusia, yang meliputi kepentingan:
  1. Penyelamatan terhadap jiwa, seperti pembunuhan.
  2. Penyelamatan terhadap tubuh, seperti penganiayaan.
  3. Penyelamatan terhadap kemerdekaan, seperti penculikan.
  4. Penyelamatan terhadap kehormatan, seperti penghinaan.
  5. Penyelamatan terhadap hak milik, seperti pencurian.
Dalam menganalisis lima masalah pokok yang menjadi standar kejahatan yang bisa mengakibatkan hukuman sesuai dengan kepentingan dalam kerangka hukum Islam, yakni melindungi 5 hal pokok yang disebut dengan “Al-Ushul Al-Khamsah Al-Dlaruriyah”. Dalam khazanah hukum Islam, hukum diarahkan pada proses terealisasinya lima kepentingan pokok, yaitu kepentingan agama, jiwa, harta benda, akal, dan keturunan. Jadi, setiap kejahatan yang menghalangi terciptanya lima hal tersebut harus dihindari.

TUJUAN HUKUM

Apabila ditilik dari tujuan hukum pidana menurut Abdul Djamali  bahwa secara konkrit tujuan hukum pidana ada dua hal pokok, yaitu:
  1. Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik. Ini mengandung arti pencegahan terhadap gejala-gejala sosial yang tidak baik dan kurang sehat.
  2. Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkungannya. Ini dimaksudkan sebagai terapi bagi orang yang terlanjur berbuat kejahatan.
Dalam menanggapi tujuan hukuman tersebut, ada beberapa teori yang digunakan dalam diskursus hukum, yakni:
  1. Teori Mutlak (teori pembalasan), bahwa hukuman dilakukan dan diberlakukan kepada seseorang karena dia melakukan kejahatan, jadi hukuman itu secara mutlak diarahkan sebagai balasan terhadap apa yang dilakukannya, teori ini berdasar pada rasa keadilan, adalah adil jika hukuman diberikan secara setimpal. Dalam teori ini, hukuman harus dinggap sebagai pembalasan. Pembalasan terhadap penjahat adalah keharusan dari kesusilaan. Pendukung dari teori ini, antara lain Immanuel Kant, Hegel, Herbaat, dan Stahl.
  2. Teori Relatif, seorang filosof besar Plato mengatakan bahwa pada hakekatnya hukuman bermaksud memperbaiki si penjahat, tetapi pihak lain mengatakan bahwa tujuan hukuman adalah alat untuk menakut-nakuti publik agar tidak melakukan kejahatan dan pelanggaran.  Hukuman yang dilakukan mengandung implikasi sebagai alat untuk menakut-nakuti yang ditujukan kepada masyarakat umum (Algemene Preventief) maupun masyarakat khusus (Speciale Preventief), sehingga pelaksanaan hukuman dilakukan di depan publik. Dalam perkembangan selanjutnya, teori relatif modern menyatakan bahwa tujuan hukuman adalah untuk menjamin ketertiban umum.
Tujuan pokok penjatuhan hukuman dalam syari’at Islam ialah pencegahan (Al-Raddu Wa Al-Zajru) dan pengajaran serta pendidikan (Al-Ishlah Wa Al-Tahdzib). Pengertian pencegahan adalah menahan pembuat agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, di samping pencegahan terhadap orang lain agar tidak melakukan perbuatan serupa. Dengan demikian, maka penggunaan hukuman sebagai instrumen pencegahan mempunyai tujuan ganda. Pertama, diarahkan pada pribadi pembuat jarimah agar terjadi preventifikasi personal untuk tidak mengulangi. Kedua, memperlihatkan kepada publik dengan tujuan agar mereka tidak akan melakukan perbuatan tersebut. Dalam terminologi, hukum Islam disebutkan bahwa hukuman-hukuman yang diberlakukan merupakan hukum Muayyidat atau Al-Hamiyah sebagai penjaga agar hukum yang pokok Al-Ashliyat, yaitu terjaganya aspek-aspek lima yang pokok dan dijalankannya kewajiban-kewajiban agama terealisasi dengan baik.

Dari paragraf di atas, kita bisa menganalisis bahwa tujuan diberlakukannya hukuman bersifat universal. Baik paradigma teologis Islam maupun kerangka para ahli hukum dengan beberapa pendekatan yang digunakannya mengkonstruksikan bahwa hukuman diarahkan pada proses pencegahan dan menakut-nakuti untuk tidak berlaku kejahatan dan pelanggaran terhadap larangan, maupun meninggalkan kewajiban. Pada akhirnya, hukuman ditujukan untuk membentuk tatanan sosial yang dinamis, saling menghormati hak dan kewajiban antara individu, dan mencintai sebagai manusia karena kemanusiaannya. 
MATERIAL HUKUM

Dalam KUHP yang berlaku di Indonesia, tindakan-tindakan yang melanggar hukum terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Kejahatan yang terbagi menjadi 31 titel, memuat kurang lebih 400 pasal tentang perbuatan-perbuatan yang dinamakan “kejahatan”, diantaranya terdapat titel-titel yang penting, antara lain:
  • Kejahatan terhadap keselamatan negara, kepentingan negara, pengkhianatan, dan pemberontakan.
  • Kejahatan terhadap pelaksanaan kewajiban-kewajiban dan hak-hak kenegaraan.
  • Kejahatan terhadap ketertiban umum.
  • Kejahatan terhadap kesusilaan, perjudian, dan pencabulan.
  • Kejahatan terhadap penculikan, penganiayaan, pemerasan, penggelapan, dan penghinaan.
  • Kejahatan terhadap jiwa orang.
2. Dalam sistematika selanjutnya, dikategorisasikan sebagai perilaku pelanggaran yang terdiri dari 10 titel yang secara garis besar sebagai berikut:
  • Pelanggaran terhadap umum, seperti membahayakan keselamatan umum dan kenakalan terhadap manusia.
  • Pelanggaran terhadap ketertiban umum.
  • Pelanggaran terhadap kesusilaan.
  • Pelanggaran terhadap keamanan negara.
Dalam sistematika yang diungkapkan di atas, apabila kita komparasikan dengan sistematika hukum Islam, ada beberapa kategorisasi Jarimah Hudud, yang meliputi jarimah pembunuhan, jarimah zina, jarimah pencurian, jarimah hirabah, jarimah riddah, jarimah bughot, jarimah qadzaf, dan jarimah meminum-minuman keras.  Dari dua sistematika tersebut, ada kesamaan pengkategorisasian antara KUHP dengan Hukum Islam. (Baca: Fiqh Islam)

Dari beberapa materi KUHP, yang menarik untuk dikaji adalah kadar dan bobot sanksi hukum yang diberlakukan terhadap kejahatan-kejahatan maupun pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan hukum Islam yang sementara ini keberlakuannya dijadikan indikator berlakunya Hukum Pidana Islam dalam suatu negara. Dalam konstalasi hukum pidana positif Indonesia, bahwa sistem hukuman dicantumkan dalam pasal 10 KUHP, bahwa hukuman yang dikenakan pada pelaku tindak pidana terdiri dari:
1. Hukuman Pokok (Hoofd Straffen), terdiri dari:
  • Hukuman mati.
  • Hukuman penjara.
  • Hukuman kurungan.
  • Hukuman denda.
2. Hukuman Tambahan (Bijkomende Straffen), terdiri dari:
  • Pencabutan beberapa hak.
  • Perampasan barang-barang tertentu.
  • Pengumuman putusan hakim.
Dalam wacana hukum pidana Islam, sistematika tersebut sudah menjadi kerangka yang baku. Hukuman pokok disebut sebagai ‘uqubah ashliyah, berupa hukuman qishash untuk jarimah pembunuhan atau potong tangan untuk jarimah pencurian. Hukuman pengganti (‘uqubah badaliyah), apabila hukuman pokok tidak bisa dilaksanakan, maka ada hukuman pengganti, seperti adanya diyat sebagai pengganti qishash. Hukuman tambahan (‘uqubah tabi’iyyah), seperti larangan menerima warisan bagi orang yang membunuh keluarga.
Dari dua sistematika hukuman, ada kemiripan kategoris bahwa hukuman yang dikenakan harus melalui tahapan pelaksanaan hukuman pokok terlebih dahulu, baru melakukan sistematisasi pada peringkat di bawahnya.

Ada hal menarik dalam kajian ini, jika kita melakukan komparasi pada standar hukuman maupun jenis hukuman yang diberlakukan dalam hukum pidana positif dengan hukum pidana Islam. Penulis ambil contoh, bahwa hukuman mati, jilid, dan ranjam dalam pidana Islam masih dinggap sebagai jenis hukuman yang dianggap sudah tidak efektif dan lebih jauh bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, yang sekarang menjadi mainstream dunia.

Sejak hukum pidana berlaku di Indonesia dan dicantumkan dalam Wetboek Van Strafrecht, tujuan diadakannya hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan akan ketenteraman umum. Hukuman mati di Indonesia menjadi bahan polemik antar akar hukum dan pejuang hak asasi manusia, sebagian berargumentasi bahwa hukuman mati yang terdapat dalam KUHP sebagai produk kolonial Belanda harus dihapus karena di negara Belanda sendiri hukuman mati sudah dihapus sejak tahun 1870.

Polemik antara yang setuju dengan yang tidak setuju adanya hukuman mati terus berlanjut, tetapi kita bisa menganalisis secara obyektif bahwa hukuman mati dikenakan kepada kejahatan yang kualitasnya sangat membahayakan.  Dalam hukum pidana Islam, hukuman mati tidak bisa dilaksanakan dengan semena-mena, ada hukum acara yang mengatur secara ketat. Dalam pidana Islam, hukuman mati tidak menjadi harga mati tetapi ada solusi hukum yang sangat efektif, yaitu adanya pembatalan hukuman mati jika keluarga korban memaafkannya  dan diganti dengan denda harta (diyat).

Dalam melihat sanksi pidana mati antara hukum positif dengan hukum pidana Islam, ada perbedaan pada jenis hukuman dan keberadaan keluarga korban. Dalam hukum pidana positif tidak dikenal adanya hukuman setimpal (qishash), juga dalam sanksi pidana mati digantikan dengan denda (diyat). Dalam hukum Islam, jika sanksi pidana mati tidak dilaksanakan karena pihak keluarga korban memaafkan pelaku pembunuhan, maka sanksinya diganti dengan diyat, tetapi dalam hukum pidana positif hukuman penggantinya dengan penjara seumur hidup atau penjara yang berjarak paling lama dua puluh tahun.

Masalah perzinahan dalam hukum pidana positif juga perlu dikritisi. Apabila kita melihat pasal 284-290 KUHP tentang Perbuatan Asusila Perzinahan, ada benang merah yang bisa ditarik bahwa asas yang dianut dalam terminologi zina dikenakan bagi orang yang sudah dalam ikatan perkawinan dan melakukan penyelewengan. Sedangkan orang yang masih lajang tidak diungkapkan secara eksplisit. Beda dengan hukum pidana Islam, bahwa perzinahan dikenakan bagi orang yang melakukan perbuatan zina, baik ia sudah beristeri/bersuami maupun ia masih lajang.

Dalam masalah sanksi hukum yang dikenakan dalam perzinahan, hukum pidana positif hanya mengenakan hukuman penjara paling lama 9 tahun bagi pezina, tidak mengenal adanya hukuman jilid, ranjam, maupun pengasingan, ini yang berlaku dalam hukum pidana Islam. Hukuman jilid dan ranjam dalam hukum Islam diarahkan pada pengimbangan faktor psikologis yang mendorong berbuat zina maka ia harus merasakan ancaman sengsara.

Hukum pidana positif sangat kurang mengapresiasi akan implikasi psikologis terhadap perzinahan. Sehingga implikasi hukumnya juga menjadi sangat ringan. Aktualisasi yang terjadi sekarang bahwa pasal perzinahan sangat tidak efektif untuk menjaring pelaku-pelaku perzinahan dan pasal-pasal tersebut menjadi pasal prasasti. Banyak juga kalangan pejuang keadilan perempuan bahwa pasal-pasal perzinahan dalam KUHP tidak memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan.

Perbuatan cela yang juga menjadi perhatian hukum Islam adalah mabuk dengan meminum khamr. Dalam pidana positif, mabuk hanya dikategorikan sebagai pelanggaran. Hal ini tercantum dalam pasal 536 KUHP dengan ancaman sanksi hukum yang sangat tidak relevan dengan implikasi perbuatannya. Hukuman bagi pemabuk disebutkan paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah, dan paling tinggi dikenakan kurungan paling lama tiga bulan penjara.

Apabila kita komparasikan dengan sanksi hukum dalam pidana Islam sangat tidak berimbang. Islam sangat menghormati kesehatan akal sebagai salah satu lima hal pokok yang harus dilindungi, maka Islam sangat berkompeten menerapkan jilid 80 kali atau menurut Imam Syafi’i 40 kali sebagai had dan 40 kali sebagai ta’zir bagi orang yang mabuk. Karena perbuatan yang ditimbulkannya meresahkan masyarakat dan menghilangkan kehormatannya sebagai manusia.

KHATIMAH

Dari berbagai deskripsi dan penelaahan terhadap KUHP dengan pendekatan hukum Islam, ada beberapa harmonisasi antara KUHP dan hukum pidana Islam terutama dalam kerangka yang lebih makro berkaitan dengan kategorisasi, asas-asas, dan kerangka sistematika. Harmonisasi juga terjadi pada kerangka tujuan hukuman bahwa baik hukum pidana positif maupun hukum pidana Islam, sama-sama menghendaki hukuman menjadikan pelaku jera dan usaha preventif.

Namun dalam kerangka material dan substansi nilai yang melandasi pemberlakuan hukum secara material masih memerlukan kajian. Karena secara material, terutama berkaitan dengan sanksi hukum, KUHP masih jauh dari rasa keadilan jika diukur dari hukum Islam, yang seharusnya menjadi inti dari eksistensi hukum. Seperti sanksi pelaku perzinahan dan peminum minuman keras.

Dalam optimalisasi kontribusi hukum pidana Islam dalam hukum pidana Nasional yang perlu dikembangkan adalah filsafat, semangat keadilan dan proses sosialisasi yang mengarah kepada perubahan pandangan sempit terhadap hukum pidana Islam. Kerena selama ini, sebagian masyarakat dan aparat negara masih menganggap phobi terhadap hukum pidana Islam yang anti kemanusiaan.

Demikian, mari kita diskusikan. 
DAFTAR PUSTAKA

Al-Zarqa, Muhammad, Al-Fiqh Al-Islami Fi Tsaubihi Al-Jadid Al-Madkhal Al-Fiqh Al-‘Am, Kairo: Dar Al-Fikr, 1968.
Bisri, Cik Haas (ed.), Peradilan Islam di Indonesia, Jakarta: Ulul Albab Press, 1997.
Djamali, SH., Abdul, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1993.
Hamzah, SH., Andi & Sumangelepu, Pidana Mati di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983.
Hanafi, MA., Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
Kansil, SH., C. S. T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1989.
    , Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, Terjemahan oleh Yudian Asmin dari Philosophy Of Islamic Law, Jakarta: Tiara Wacana, 1991.
Sabiq, Sayyid, Fiqh As-Sunnah, Kairo: Dar Al-Fikr, 1989.
Soerodibroto, SH., R. Soenarto, KUHP dan KUHAP, Jakarta: Rajawali Press, 1991.

Diketik oleh Moh. Hibatul Wafi dalam penyajian makalah.