Teori Receptio in Complexu Versus Teori Receptie

Oleh Dr. Sudirman Abbas

PENDAHULUAN

Dalam sejarah hukum di Indonesia, banyak literatur menyebutkan bahwa pada mulanya sebelum Belanda datang ke negeri ini sebagai penjajah dalam bidang perdagangan, pada mulanya dan akhirnya menjadi penjajah secara menyeluruh dan berkuasa, yang berlaku adalah hukum Islam yang berjalan dalam adat dan kebiasaan masyarakat waktu itu. Hal ini bisa dilihat dalam penjelasan Daniel S. Lev yang menjelaskan bahwa Pengadilan Agama (Islam) sudah ada pada setiap kabupaten di pulau Jawa pada abad ke-16 (1980: 25). Pengadilan semacam juga sudah ada pada masa Pangeran Dipati Anta Koesoema di Kuala Kapuas sekitar tahun 1638, yang tentu menerapkan hukum Islam dalam proses peradilannya. (Asshiddiqie, 1990: 9)

Namun pada perkembangan sejarah selanjutnya, ada satu pemikiran baru yang dikembangkan oleh politik hukum penjajah Belanda yang pada mulanya ingin memberlakukan hukum Barat untuk seluruh golongan penduduk sebagai upaya unifikasi hukum. Pemikiran ini ditentang oleh Snouck Hurgronje, dan selanjutnya dikembangkan oleh Van Vollenhoven yang menyatakan bahwa tidak perlu lagi mengajukan hukum Barat sebagai solusi unifikasi, sebab di Indonesia ini sudah hukum adat yang berkembang dan berlaku dalam kehidupan masyarakatnya. Bahkan Van Vollenhoven membantah keras bahwa orang pribumi hidup tanpa hukum, mereka justeru secara sungguh-sungguh memberi perhatian pada adat, hukum adat, dan kebutuhan hukum rakyat (Soetandyo, 1995: 127) dan usaha-usaha Hoven ini digulirkan pada setiap amandemen termasuk yang disebut dengan amandemen Van Idsinga.

Adanya pihak-pihak yang mengemukakan bahwa hukum Islam-lah yang berlaku dalam masyarakat dan bukan hukum adat. Sebab istilah hukum adat waktu itu tidak ada, yang ada hanyalah adat kebiasaan. Teori ini pada masa kemudian disebut dengan istilah teori Receptio In Complexu. Sedang kebalikan dari teori ini adalah teori Receptie yang menganggap hukum adat sebagai hukum pribumi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat waktu itu.

Dalam makalah ini akan dicoba diulas argumentasi masing-masing teori tersebut berikut latar belakangnya dengan harapan akan jelas duduk persoalan yang sebenarnya.

MENGULAS TEORI RECEPTIO IN COMPLEXU

Sayuti Thalib (1985: 4) mengemukakan bahwa justeru ahli-ahli hukum dan ahli-ahli kebudayaan Belanda sendirilah yang mengakui bahwa jauh-jauh sebelum tahun 1800 dan tahun sesudahnya, hukum Islam-lah yang berlaku di Indonesia. Sayuti menunjukkan beberapa sarjana Belanda yang mengakui kenyataan ini, dan mereka menyebut itu dengan masa Receptio In Complexu. Mereka itu antara lain Carel Frederick Winter, seorang ahli mengenai Jawa yang lahir dan meninggal di Yogyakarta (1799-1859). Salamon Keizer, seorang guru bahasa dan budaya Indonesia yang juga banyak menulis tentang Islam di Jawa dan menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Belanda, beliau hidup sekitar 1823-1868. Kemudian ada Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian Van Den Berg (1845-1927), yang sempat menulis asas-asas hukum Islam (Mohammedaansch Recht) menurut ajaran Hanafi dan Syafi’i. Dalam buku ini dijelaskan bahwa hukum Islam diperlukan bagi orang-orang Islam bumiputera walaupun dengan sedikit penyimpangan (Ramulyo, 1995: 54). Selain mereka ada nama lain yang juga menganut paham Receptio In Complexu ini seperti Clootwijk (1752-1755) dan Freijer (1760). (Asshiddiqie, 1990: 10)

Bahkan Ramulyo (1995: 53-54) dalam bukunya memberikan paparan periodesasi tentang pelaksanaan hukum Islam sebelum Belanda datang di Indonesia dengan tiga periode, yaitu:
  1. Periode Tahkim, di mana apabila terjadi perbenturan antara hak-hak dan kepentingan, mereka bertahkim kepada seorang pemuka agama yang ada di tengah kelompok mereka, seperti seorang wanita bertahkim kepada seorang penghulu sebagai wali yang berhak menikahkannya dengan pria idamannya.
  2. Periode Ahlul Hilli wal Aqdi, di mana mereka telah membai’at dan mengangkat seorang ulama Islam sebagai qadhi untuk menyelesaikan masalah mereka. Jadi, qadhi bertindak sebagai hakim.
  3. Periode Tauliyah, yang menurutnya periode ini sudah terpengaruh oleh ajaran Trias Politica Montesquieau, di mana sudah ada pendelegasian wewenang (delegation of authority) untuk mengadili kepada lembaga judicative, seperti di Minangkabau, ada pucuk nagari yang menyelesaikan sengketa dan qadhi yang menyelesaikan masalah keagamaan.
Ramulyo mengemukakan bukti periodesasi ini dengan adanya kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam di daerah-daerah Cirebon, Gowa, Semarang, Makasar, Bone, dan Papakem Cirebon. (Ramulyo, 1995: 54)

Sementara itu, Jimly Assiddiqie (1950: 9) mengungkapkan bahwa hukum Islam-lah yang berlaku di Indonesia ini bersama adat kebiasaan masyarakat setempat. Bahkan, dengan keunggulan gagasan sistem hukum Islam yang ditawarkan lebih mengundang rasa simpatik dalam banyak hal daripada hukum adat.

Dalam konteks kesejarahan hukum Islam, zaman kerajaan Islam Perlak dan Pasai di Aceh juga terungkap bahwa yang berlaku di sana waktu itu adalah hukum Islam dalam madzhab Syafi’i. Demikian juga ketika zaman Sultan Agung, raja kerajaan Mataram Islam, hukum Islam juga sudah berjalan secara formal di mana di tiap kadipaten selalu ada pengadilan serambi, yaitu pengadilan agama yang diberikan sendiri tauliyah atau wewenangnya oleh Sultan Agung, dan pelaksanaan peradilan tersebut berada di serambi masjid. (Lihat dua makalah terdahulu)

Perkembangan diakuinya teori receptio in complexu ini secara legal formal, bisa dilihat dalam Regeerings Reglement (Staatsblad 1884 No. 129 di negeri Belanda jo. Stbl. 1885 No. 2 di Indonesia), terutama diatur dalam pasal 75 dan pasal 78 jo. pasal 109 RR tersebut.

Pasal 75 ayat (3) RR tersebut mengatur bahasanya “Apabila terjadi sengketa perdata antara orang-orang Indonesia yang beragama Islam oleh hakim Indonesia haruslah diberlakukan hukum Islam Gonsdienstig Wetten dan kebiasaan mereka”.

Sedang dalam ayat (4) pasal tersebut, disebutkan “Undang-undang agama, adat, dan kebiasaan itu juga dipakai untuk mereka oleh hakim Eropa pada pengadilan yang Huger Beroep, bahwa dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia atau mereka yang dipersamakan dengan orang Indonesia, maka mereka tunduk kepada keputusan hakim agama atau kepala masyarakat mereka menurut undang-undang agama atau ketentuan lama mereka”.

Menurut pasa 109 RR ditentukan pula, “Ketentuan seperti tersebut dalam pasal 75 dan pasal 78 itu berlaku juga bagi mereka yang dipersamakan dengan orang-orang Indonesia, yaitu orang-orang Arab, Moor, Cina, dan semua mereka yang beragama Islam, maupun orang-orang yang tidak beragama”.

Sementara itu dalam pasal 7 Rechterlijke Organisatie ditetapkan bahwasanya “Sidang-sidang pengadilan negeri (Landraad) harus dihadiri oleh seorang fungsionaris yang mengetahui seluk beluk agama Islam, kalau yang dihadapkan itu tidak beragama Islam, maka penasehat itu adalah kepala masyarakat dari orang itu”. (Ramulyo, 1955: 55)

Dari semua ketentuan ini diketahui bahwa sejak pemerintahan Belanda pertama, hukum Islam sudah diakui eksistensinya sebagai hukum positif yang berlaku bagi orang Indonesia. Dalam hal ini, hukum Islam ditulis sejajar dan satu nafas dengan hukum adat, bahkan sejak zaman VOC pun keadaan ini juga tetap berlangsung seperti yang dikenal dalam Compendium Freijer. (Daud Ali, 1982: 101)

Jimly Assiddiqie (1990: 10) dalam menjelaskan pasal di atas menyebut bahwa hukum agama Islam tersebut pun harus dipakai oleh para hakim Belanda, jika perkara tersebut dibawa ke tingkat banding (Huger Beroep).

Dari seluruh fakta yang ada, maka tidak terlalu salah jika akhirnya orang-orang Belanda mengakui keberlakuan hukum Islam di Indonesia secara historis dan legal formal, termasuk di dalamnya L.W.C. Van Den Berg yang juga sempat menerjemahkan kitab Fathul Qarib dan Minhajul At-Talibin ke dalam bahasa Perancis. Bahkan beliau sendirilah yang dengan tegas menerima secara keseluruhan hukum Islam sebagau hukum yang berlaku di Indonesia. Akhirnya sikap beliau ini menjadi satu aliran tersendiri yang berkembang dengan sebutan receptio in complexu, yang dinamakan sendiri sebagai sebuah teori oleh pengembangnya, yaitu L.W.C. Van Den Berg. (Tahlib, 1985: 5-6) 

MENGULAS TEORI RECEPTIE 

Teori ini merupakan kebalikan dari teori receptio in complexu di atas. Hal ini bermula dari penentangan C. Snouck Hurgronje terhadap teori receptio in complexu yang dikembangkan oleh Van Den Berg, yang kemudian teori ini dikenal dengan istilah teori receptie. Penganut teori ini mengemukakan bahwa sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli, dan ke dalam hukum adat ini memang telah masuk pengaruh hukum Islam, kekuatan hukum Islam ini baru bisa dianggap dan diakui kalau sudah diterima oleh hukum adat. Maka lahirlah dari sini hukum adat bukan hukum Islam. (Tahlib, 1985: 13)

Di samping itu, latar belakang penentangan ini ialah adanya usaha penjajah Belanda yang sudah mulai kuat dominasi kekuasaannya di Indonesia untuk memberlakukan hukum Barat sebagai suatu langkah unifikasi. Dan dari sinilah C. Snouck Hurgronje (1857-1936) memulai penentangannya. Di samping itu, Cornelis Van Vollenhoven (1874-1933) mendukung pertentangan ini dengan kemasan ilmiah melalui serangan dan kritikan terhadap pasal-pasal yang dikemukakan di atas. Seiring dengan itu, Van Vollenhoven juga menentang penggantian hukum adat dengan hukum Barat yang diadakan oleh pemerintah penjajah dalam rangka melindungi tujuan dan kepentingan pengkristenan penduduk Indonesia. (Arifin, Tanpa Tahun: 5; Soepomo, 1977: 10)

Memang Van Vollenhoven-lah yang pertama kali menetapkan adanya hukum adat yang berlaku dan berkembang di Indonesia, dalam bukunya yang dikenal dengan “penemuan hukum adat” (Het Ontdekking Van Het Adatrecht). Hukum adat ini menurutnya suatu sistem hukum yang sudah ada dan berkembang di Indonesia, maka tidak layaklah kalau Belanda memaksakan hukum Barat bagi warga Indonesia. Namun, menurut Aqib Sumanto sebagaimana dikutip oleh Bustanul Arifin dalam makalahnya (Tanpa Tahun: 6) bahwa sebenarnya bukanlah Van Vollenhoven tidak setuju diberlakukannya hukum Barat, tetapi ada suatu keyakinan bahwa kalau hukum Barat (Belanda) dipaksakan berlaku, maka hukum Islam justeru akan makin berkembang. Jadi, ada kesengajaan hukum Islam akan dipertentangkan dengan adat atau hukum adat lokal dan bukan dengan hukum Barat. Politik hukum semacam ini hingga sekarang masih terasa membekas pada pakar-pakar hukum kita di saat akan menyusun hukum Nasional sekarang ini.

Usaha mempertentangkan hukum Islam dan hukum adat ini ditunjukkan oleh Snouck Hurgronje, dalam rangka menaklukkan Aceh dengan cara menunjukkan celah serta memanipulasi adanya pertentangan kesetiaan masyarakat Aceh kepada agama yang diwakili oleh ulama dan kesetiaan mereka kepada adat yang diwakili oleh uleu-balang. Di samping itu, Snouck Hurgronje juga mengatakan bahwa hukum adat itu harus dibedakan dengan kebiasaan (adat kebiasaan), sebab hukum adat itu mempunyai akibat hukum, sedang adat kebiasaan tidak. (Thalib, 1985: 11-12)

Tapi usaha Snouck Hurgronje ini gagal, sebab pada kenyataannya masyarakat Aceh tidak terpecah kesetiaannya antara adat dan agama. Hal ini dibuktikan dengan adanya rasa tidak aman bagi pasukan Belanda di Aceh yang terus berlangsung.

Pada kurun terakhir, hukum adat ini juga dikembangkan oleh James Richardson Logan tahun 1850. Beliau sebagaimana Snouck, membedakan antara hukum adat dengan adat, meski keduanya tidak bisa dipisahkan. Bahkan beliau menambahkan kata “Indonesia” setelah hukum adat, untuk membedakan dengan hukum adat lain yang berkembang di Asia. Hukum adat baginya lebih luwes karena tidak tertulis. Berbeda dengan hukum yang tertulis, sehingga sulit diubah. Makna hukum dalam “Hukum Adat” lebih luas daripada hukum-hukum yang lain karena juga menyangkut etika, pangkat, pakaian, pertunangan, dan sebagainya. (Djamali, 1993: 70-71)

Barangkali memang kepastian hukum tentang hak, kewajiban, dan sanksi atas suatu pelanggaran dapat dicakup dalam hukum adat yang berisi muatan perintah, larangan, dan kebolehan. Tapi yang menjadi masalah adalah kapan sebenarnya adat istiadat itu bisa menjadi hukum ? Dalam menjelaskan masalah ini, Van Vollenhoven selaku bapak hukum adat Indonesia memberi suatu penjelasan bahwa apabila seorang hakim menghadapi kenyataan bahwa ada peraturan tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap patut berlaku dan dipertahankan serta sesuai perasaan umum, dan peraturan itupun dipertahankan oleh kepala adat dan petugas hukum lainnya, maka peraturan adat tadi bersifat hukum. (Soekanto, 1983: 98-99)

Nampaknya secara legal formal, usaha mereka (para pengembang hukum adat) telah berhasil dengan adanya perubahan secara sistematika Regeerings Reglement Stbl. 1885 No. 2 menjadi Wet op de Staats Inrichting Van Nederlands Indie atau Indische Staatsregeling atau I.S. pada tahun 1925 (Stbl. 1925 No. 416) 
seterusnya dengan Stbl. 1929 No. 221, di mana dinyatakan bahwa hukum Islam tidak lagi mempunyai kedudukan yang tersendiri. Hukum Islam bisa dianggap sebagai hukum setelah memenuhi dua syarat, yaitu:
  1. Norma hukum Islam harus diterima lebih dahulu oleh hukum adat.
  2. Kalaupun sudah diterima oleh hukum adat, juga tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan Belanda.
Oleh karena itu, tidak ayal lagi teori receptie ini oleh Prof. Dr. Hazairin dianggap sebagai teori Iblis. (Ramulyo, 1995: 56-57)

Barangkali karena adanya unsur pemaksaan penundukan (sujud) hukum yang sudah benar dan benar-benar berlaku kepada hukum rekayasa Belanda.

Masih dari Ramulyo, dengan adanya perubahan di atas, Belanda pun mengeluarkan Stbl. 1937 No. 116 yang membatasi wewenang dan tugas peradilan agama, yang semula berhak menetapkan hal waris, hadlanah, dan sebagainya. Sedang wewenang yang diberikan hanya berkisar masalah nikah, talak, dan rujuk saja. Dengan demikian menurut Sayuti Thalib (1985: 2), penjajah Belanda berhasil menghapus hukum Islam dari sistem dan lingkungan tata hukum Hindia Belanda dengan menumpangkannya kepada hukum adat. Untuk sementara itu, teori receptie bisa dianggap sukses.

Lalu bagaimana sebenarnya sikap kesetiaan bangsa Indonesia terhadap Islam (hukum Islam). Apabila seseorang telah masuk Islam, maka ia akan menerima Islam itu secara keseluruhan termasuk di dalamnya hukum Islam. Sebagai bukti, pemerintah Belanda sendiri pada abad 18 berusaha menyusun buku-buku hukum Islam yang dikenal dengan sebutan compendium, untuk pegangan para hakim pengadilan dan para pejabat pemerintahan. Lihat umpamanya compendium Van Clootwijk, gubernur Sulawesi saat itu (1752-1755) dan compendium Freijer yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1750-1761). (Arifin, Tanpa Tahun: 5)

Maka bukankah hal ini cukup menujukkan kondisi yang sebenarnya tentang keberadaan hukum Islam dan kesetiaan penganutnya yang mayoritas Muslim.

Bahkan dalam sistem hukum Islam sendiri tidak dikenal adanya pertentangan dengan adat istiadat. Hal ini mungkin karena adanya doktrin “Al-‘Adatu Muhakkamah” dalam Islam, di mana adat tidak dipahami sebagai sesuatu yang terpisah dari hukum, dan adat tersebut dalam ushul fiqh juga dianggap sebagai selama ia tidak bertentangan dengan syari’at. (Assiddiqie, 1990: 9)

Kemudian, sebelum datangnya bangsa Barat, kebiasaan lokal itu hanya disebut dengan adat atau adat istiadat dan bukan hukum adat, yang artinya keduanya memang tidak diperhadapkan satu sama lain. Adanya istilah “Hukum Adat” itu adalah buatan Belanda yang menurut Van Vollenhoven adalah “penemuan” hukum adat. Padahal bangsa Indonesia sendiri waktu itu tidak mengenal istilah tersebut. Tapi yang mereka tahu adalah adat/adat istiadat saja tanpa “embel-embel” hukum di depannya. Hal ini sesuai dengan doktrin Islam, bahwa hukum adat itu juga diperlakukan sebagai bagian dari hukum, sehingga adat tidak berdiri sendiri sebagai hukum. Dan di Barat sendiri pun, masalah “Customary Rules” dikaji sebagai bagian dari studi mengenai kebudayaan hukum yang merupakan penunjang ilmu hukum, maka usaha Belanda untuk menonjolkan issue “adat” versus “hukum Islam” di Indonesia, adat istiadat lokal masyarakat nusantara dikaji secara tersendiri dan terpisah dengan istilah “hukum adat/adatrecht”. (Assiddiqie, 1990: 9-10; Arifin, Tanpa Tahun: 6) 

APA PULA RECEPTIO A CONTRARIO ITU ?

Dalam membahas sub tema ini, hanya akan diurai secara sekilas dan bersifat pengantar pengenalan saja. Karena receptio a contrario ini merupakan teori yang mengakhiri pertentangan dua teori sebelumnya, meski masih saja ada pihak-pihak yang masih mempertahankan teori sebelumnya (teori receptie), hal ini mungkin karena sudah terlalu berpengaruhnya ekses-ekses politik hukum yang dilancarkan Belanda dulu.

Teori receptio a contrario ini nampaknya dikembangkan oleh Prof. Dr. Hazairin SH. dan secara khusus juga dikembangkan oleh Sayuti Thalib SH. di mana beliau menulis sebuah buku dengan judul yang sama. Teori ini dimajukan karena kemerdekaan Indonesia telah berhasil diproklamirkan yang tentunya berkonsekuensi adanya perubahan undang-undang dari peninggalan Belanda. Di samping itu karena adanya alasan eksistensi hukum Islam di bumi Nusantara ini dalam fakta sejarah sebagaimana diulas di atas, dan anggapan tidak benar kalau hukum Islam itu harus direcipeer lebih dahulu oleh hukum adat.

Dalam teori ini dikembangkan pemikiran, bahwa setelah Indonesia merdeka maka secara otomatis teori receptie yang dikembangkan oleh politik penjajah Belanda itu dianggap telah mati dan menemui ajalnya. Dengan demikian undang-undang tentangnya yaitu pasal 134 ayat (2) Indische Staatsregeling, yang berlaku sejak 1929 pun dianggap tidak berlaku lagi karena sudah terhapus oleh hukum yang berkembang dalam jiwa masyarakat yang tertuang dalam jiwa pembukaan UUD 1945, pasal 29 UUD tersebut. (Thalib, 1985: 62)

Jadi, pada prinsipnya dalam teori receptio a contrario ini menguatkan kembali keberadaan teori pertama, yaitu teori receptio a contrario di masa kemerdekaan di mana hukum Islam bisa berlaku tanpa harus melalui perantara hukum adat lagi. Untuk hal ini bisa dilihat dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang disebutkan bahwa perkawinan baru sah bila dilakukan menurut hukum agama, tanpa ada sebutan hukum adat. Bahkan dalam penjelasannya jo. pasal 37 disebutkan bahwa hukum adat dapat saja dipergunakan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum agama, yang artinya tentu hukum adat-lah yang direcipeer ke dalam hukum agama (Islam). (Assiddiqie, 1990: 12)

Meski demikian, menurut Sayuti Thalib (1985: 63) masih saja ada yang ingin menggagalkan teori ini dengan mengalahkan UUD 1945 dan mempertahankan pasal 134 ayat (2) IS. 

PENUTUP

Demikian makalah sederhana ini dibuat untuk didiskusikan bersama yang tentunya karena dalam makalah ini masih banyak hal yang perlu dikaji ulang. Ada sebuah harapan tentunya semua akan bersepakat, yaitu keberhasilan yang menyelamatkan, isn’t it !? 

DAFTAR PUSTAKA

Ali, H.M. Daud, Kedudukan Hukum Islam dalam Kerangka Hukum Indonesia, dalam Majalah Hukum Indonesia dan Pembangunan, Tahun ke XII No. 2, Jakarta, 1982.
Arifin, Bustanul, “Aspek Hukum Islam” dalam Perundang-Undangan Indonesia, Makalah di Fakultas Syari’ah Serang, tt.
Assiddiqie, Jimly, Hukum Islam di Indonesia: Dilema Legislasi Hukum Agama di Negara Pancasila, dalam Majalah Pesantren No. 2/Vol. VII/1990, 1990.
Djamali, R. Abdoel, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
Ramulyo, Moh. Idris, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.
S. Lev, Daniel, Islamic Court in Indonesia, Terjemahan oleh Z.A. Noeh, 1980, Peradilan Agama Islam di Indonesia, Jakarta: Intermasa, tt.
Soekanto, Soerjono, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1983.
Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1977.
Thalib, Sayuti, Receptio A Contrario, Jakarta: Bina Aksara, 1985.
Wignjosubroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

Diketik oleh Moh. Hibatul Wafi penyajian makalah tahun 2012

2 komentar:

  1. boleh tau dapat buku Receptio a contrario : Hubungan hukum adat dengan hukum islam punya sayuti thalib dimana ya ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Buku tersebut bisa di pinjam di Perpustakaan Fakultas Hukum & Syari'ah UIN Syarif Hidayatullah.

      Hapus