Oleh Dede Supriyatna*
Namanya Sesajen, sebuah nama yang sudah tak asing lagi terdengar. Namun, akan terdengar janggal jika nama tersebut melekat pada sebuah nama komunitas. Sebuah komunitas yang terlahir dari sebuah tongkrongan.
Saat itu, kami lagi asik nongkrong,sambil berbincang-bincang perihal politik yang melanda bangsa kita, tak hanya obrolan itu saja, obrolan perihal sosial, budaya, dan ekonomi pun terjadi. Dan terkadang obrlan merambat pada sastra, meskipun kami tak tahu tentang sastra itu sendiri.
Semenjak itu, akhirnya kata Sesajen terlahir begitu saja, tanpa sebuah perancanaan atau landasan filsafat. Mungkin karena kami penyuka kopi hitam, dan seakan-akan kopi hitam wajib hukumnya sebagai ajang untuk mempertemukan kami.”
Maka seperti Sesajen yang harus menyajikan sesuatu untuk sebuah ritual penghubung antar manusia dengan alam yang lain, begitu juga kopi hitam yang kami anggap sebaga ritual penghubung antar kami, dan menjadikan kami lebih erat. Demikianlah penuturan Adit yang merupakan salah satu anggota dari komunitas sesajen.
Lalu ia menambahkan, bahwa kami masih baru, dan kami hanya kumpulan orang-orang yang hendak menghabiskan malam dengan obrolan itu. Dan apa yang kami obrolakan bermacam-macam, seperti terkadang kami mengobrol dengan sok tahu berkomentar terhadap karya sastra yang diterbitkan di salah satu mendia nasionanal, dan juga hal-hal yang telah saya utarakan. [Baca Selengkapnya]
*Sumber: Komunitas Angkringanwarta.