Giat Kerja Bakti Warga Rw. 16 Cililitan

Minggu, 8 Desember 2024 - Komunitas

LPJ Triwulan 3 Kopma UIN Jakarta 2024

Jum'at, 6 Desember 2024 - Koperasi

LMS UNJ Error, Menyulitkan Pejuang Sarjana

Rabu, 4 Desember 2024 - Teknologi Kampus

Munas Dekopin Menuju Indonesia Emas

Minggu, 1 Desember 2024 - Koperasi

Beli Isuzu Sekarang Juga! Sebelum Menyesal

Jum'at, 29 November 2024 - Otomotif

Toraja Di Phoenam

Oleh Dede Supriyatna*

Tanah Toraja, sebuah nama yang sudah tak asing terdengar. Lalu apa yang membuat namanya begitu terkenal? Mungkin salah satunya adat-budaya, sehingga membuat para wisatawan berkunjung. Namun, selain itu semua, ada satu hal yang tak kalah terkenal, yakni biji kopi yang berasal dari Toraja.

Biji kopi yang dalam urasan rasa bisa disejajarkan dengan biji kopi yang lainya, semisal biji kopi yang berasal dari Aceh, atau luar Indonesia.  Namun, dalam urusan rasa semuanya kembali pada selera masing-masing, yang jelas dalam masalah rasa kopi Indonesia tak kalah dengan yang Negara yang lainnya.  

Lantas apa yang menjadikan pembeda antar kopi? Untuk pertanyaan tersebut biarlah mengalir begitu saja, dan tak usah direnungkan untuk mencari perbedaan.  Sejujurnya dalam masalah ini, saya pun belum dapat membedakannya. Tapi, yang perlu kita lakukan hanyalah merehatkan sejenak segala macam aktivitas sambil menikmati secangkir kopi, sambil menikmatinya, dan semoga saja mampu memberikan sensasi kala ujung lidah menyentuh cairan hitam tersebut.

Dan untuk menikmatinya, kita tak perlu datang ke Toraja, cukup singgah di warung kopi Phoenam yang terletak tak jauh dari Tugu Tani, tepatnya berada di jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat.  Untuk masalah harga cukup lumanya murah, secangkir kopi seharga Rp 9000,00, dengan suasana santai yang dapat dijadikan aternatif untuk tempat tongkrongan..... [Baca Selengkapnya]

Jalan Aspal Bulan Lima

Oleh Abdullah Alawi*

Masyarakat kampung Pojok terharu melihat drum-drum yang ada di pinggir jalan itu. Katanya berisi aspal. Sebentar lagi jalan mereka akan hitam seperti di kota. Cita-cita yang ditunggu bertahun-tahun kini hampir terlaksana. Mereka masih ingat dengan merelakan sebagian tanahnya untuk pelebaran jalan. Pohon kelapa, nangka, rambutan yang sedang berbuah diruntuhkan. Menurut pak kades, jalan kampung Pojok akan diaspal pada bulan lima tahun itu juga. 

Tapi bulan lima tahun itu pengaspalan tidak jadi. Masyarakat bertanya-tanya, tapi tak ada jawaban yang pasti. Pak kades jarang ada di kantor desa. Di rumahnya pun isterinya menggeleng kepala. Mereka tak bisa berbuat apa-apa. Tak kuasa menagih janji. Kalau pun ada yang berani, mereka akan mendapat janji yang lain. Yang melenakan. Janji di atas janji. Mereka hanya bisa bersabar. Orang sabar disayang Tuhan. Mungkin bulan lima tahun depan. Mereka akan menunggu sambil membajak sawah, menyiangi kebun, membabat huma. Dan tetap membayar pajak karena pak kadus tak pernah absen menunaikannya meski kakinya sudah reumatik. 

Bulan lima tahun kemudian datang lagi. Ketika masyarakat kampung Pojok menanyakan perihal pengaspalan, pak kades menerangkan dengan berbelit-belit dan panjang lebar, yang tak sepenuhnya dimengerti. Lalu mereka pun pulang dengan menggondol tanda tanya, “ada apa dengan pak kades?” Akhirnya mereka kembali mencangkul sawah, menyabit rumput, menggembala kerbau, menyiangi kebun, membabat huma. Mereka kembali menunggu. Mereka orang-orang sabar. Orang sabar kan disayang Tuhan. Dan tentu saja tetap membayar pajak. Itu wajib! Karena pak kadus tak pernah absen menunaikannya meski kakinya belum sembuh dari reumatik.

Bulan lima datang lagi dengan harap-harap cemas. Lalu pergi tanpa pamit. Tanpa membawa aspal. Tanpa stoom. Mungkin tahun depan. Mungkin tahun depannya lagi. Ketika pemerintahan desa berganti, mereka berharap pada pemerintah desa yang baru. Tapi ketika ditanyakan, mereka hanya mendapatkan jawaban demikian, “Itu urusan pemerintah yang lalu, kami tidak tahu-menahu.” Kades yang baru sama saja. Tak jauh berbeda dengan sebelumnya. Beda orang, tapi sistemnya sama.

Beberapa orang tua ada yang mati. Sebelum mati, orang itu bilang pada anak-anaknya, “Bulan lima jalan kampung kita akan diaspal.” Orang-orang yang mendengar bertanya hampir berbarengan, “Bulan lima tahun kapan?" Tapi orang tua itu tak memberi jawaban karena keburu meregang nyawa. ?” Orang tua itu mati membawa kepenasarannya. Anak-anak pun banyak yang lahir. Generasi yang akan mendapat kabar dari orang tuanya bahwa kampung Pojok akan diaspal bulan lima.

Akhirnya, masyarakat kampung Pojok berkesimpulan, jalan mereka akan diaspal bulan lima. Cuma peremasalahannya, entah bulan lima tahun kapan. Mereka tak bisa menentukannya.
***

Hitam Putih

Oleh Pandi Merdeka*


Wajahnya bingung di depan sebuah meja. lawanya tersenyum nakal seraya mengejek. namun papan hitam putih itu diam. Ramid berusaha menyelamatkan sebanyak mungkin pion-pion caturnya. Dia kembali bingung dan berpikir lebih keras. haruskah dia menjadikan rakyatnya martir bagi pandangan dan tujuan yang hendak dicapainya, menang! Pion-pion catur mungkin tidak hidup dan catur hanyalah sebuah permainan. Ramid tahu pasti bahwa dia tidak mungkin menang jika tidak mengorbankan beberapa rakyatnya.

Dulu ketika Ramid pertama kali belajar catur dengan ayahnya, Ia takjub dengan posisi posisi yang ada di dalamnya. ada raja, ratu, kuncung, kuda dan benteng, tak ketinggalan barisan pion yang berjejer seragam didepan para pejabat negara putih dan hitam.

pion melangkah dan perang pun dimulai. 10 langkah pertama saling menyusun strategi, berusaha menyusupkan perwiranya ke dalam jantung pertahanan lawan. tidak ada yang bisa dilakukan tanpa pengorbanan. tidak ada yang bisa diandalkan dari taktik yang sama berulang ulang. zaman berkembang demikian juga catur. walau catur tidak pernah menambahkan personil atau kawasan. [Baca Selengkapnya]

Sejahtera Dengan Kopi

Oleh Dede Supriyatna*

Diseruput sedikit saja atau sekedar membasahi lidah, lalu biarkan lidah mengecap rasa tersebut, dan jika tak bisa diucapkan maka tak usah diucapkan, memang bukan untuk diucapkan, melainkan dirasakan. Terkadang rasa tak perlu diucapkan dan hanya dirasakan. Jikalau dipaksakan untuk diungkapan hanya membuat kehilangan rasa. Sebab ungkapan tak mampu mewakili rasa yang sesungguhnya. 

Sebagaimana bahasa enak, seakan mewakili semua rasa tentang enak, enak yang bagaimana? Dan kita hanya kebingungan untuk menjawabnya. Seperti itu kisah kopi yang terhidang saat kami berjalan menyusuri malam, lalu singgah disalah satu kedai kopi.

Dan tatkala pesanan telah tersaji di meja, secangkir kopi dengan kepulan asap menaburkan aroma khas. Dengan perlahan-lahan bibir menyentuh muka cangkir dan secara berlahan menyeruputnya, sebuah seruputan pertama menempel pada ujung lidah, tak ada yang mengetahui apa yang terjadi? Dan yang kutahu ini hanyalah kopi, kopi  yang berasal dari daerah Aceh. 

Perasaan itu, mengingatkan pada hidangan kopi yang sudah-sudah, sebagaimana pada berada di dalam mal yang menjajakan hidangan kopi luwak yang harga satu cangkir mencapai Rp 100.000,00, dan ada juga kopi Toraja dengan harga mencapai Rp 85.000,00. 

Harga yang cukup menguras kantong, atau bisa dikatakan cukup mahal untuk sebagaian orang. Maka hanya sebagaian orang yang rela mengeluarkan uang sebanyak itu, agar dapat merasakan kenikmataan kopi. Tapi, untuk sebuah kenikmatan berapapun akan dibayar, apalagi jika seseorang telah mengalami kecanduan. 

Dalam obrolan malam itu, kami berbicara seputar kopi, apakah daerah tertentu mewakili rasa kopi yang berbeda? “iya” sebuah jawaban yang cukup singkat, tapi mengundang rasa ingin tahu yang cukup dalam bagaiman rasa kopi tersebut, khususnya bagi para pencinta kopi. [Baca Selengkapnya]