Oleh Dede Supriyatna*
Makanan itu, mengingatkan saya tatkala masih duduk di Sekolah Dasar (SD). Saat sesorang memanggul sambil tangannya menggerakan sebuah kotak kaleng bekas minyak rambut lavender, di tengah kaleng tersebut terdapat tali yang mengikat besi kecil, sambil melangkahkan kaki, tangannya memeganggan bambu yang dijadikan pegangan keleng teresebut diputar-putar sehingga akan mengeluarkan bunyi hasil dari benturan antar besi kecil dengan kaleng tersebut.
kala suara itu terdengar, maka saya bersama teman-teman akan berlari menemuinya, biasanya untuk mendapatkan makanan tersebut, kami cukup dengan menukar benda-benda rusak yang dapat di daur ulang, atau dengan uang sebagai alat tukar untuk mendapatkan makanan itu.
Dan saat ini (27/8), saya dapati makanan tersebut di panggul oleh laki-laki kurus, umurnya telah mencapai 60 tahun. Laki-laki itu, memanggul kaleng, ada dua keleng yang dibawa olehnya, ke dua kaleng tersebut berukuran sama, untuk ukurannya tersebut hampir sama dengan kaleng kerupuk yang berada di warung-warung klontong, cuma untuk kaleng yang disini telah terdapat sedikit tambahan sehingga ukuran menjadi lebih besar.
Lalu ia letakan barang panggulannya, sambil mengucapkan sesuatu, bahwa ia hendak beristirahat. Ia amati sesaat kaleng-kaleng tersebut terdapat tulisan “harum manis.” Sebaris kata yang menunjukan nama makanan tersebut, makanan yang masih sama dengan yang beberapa tahun lalu, yakni rambut-rambut lengket, berwarna merah dan berasa manis, yang diapit oleh kerupuk tipis yang terasa renyah. Mungkin dari rasa manis tersebut, menjadikan orang-orang memangginya dengan sebutan harum manis.
Sesudah ia letakan kedua kaleng panggulannya, ia langkahkan kakinya mendekat sebuah tempat duduk yang terletak di samping gerobak rokok. Dari wajahnya terlihat bagaimana ia mengatur napas. Selang beberapa saat, “enggak mudik, pak?” kata-kata pertama yang saya lontarkan padanya. “Seandainya habis, saya baru akan mudik, masih banyak” ucapan yang terlontar darinya sebagai jawaban. Lalu ia tambahkan ungkapan saya berjualan di depan mall Giant yang terletak tak jauh dari terminal Lebak Bulus, dan untuk sampai ke tempat saya berjualan, saya menempuh waktu selama satu jam.” Seusai berujar, ia hisap dalam-dalam sebatang rokok kretek.
“Saya mulai berjualan kira-kira pukul 11.00 WIB, baru ke luar dari kontrakan dan sampai jam sekarang.” waktu HP, waktu telah menunjukan pukul 23.00 WIB. Sebuah kontrakan yang terletak di daerah Rempoa, tepatnya di kampung Setu.
Untuk pendapatan dari hasil penjualan tersebut, tak menentu terkadang mendapatkan Rp 50.000,- , itu juga yang laku paling berapa, dan untuk sekarang yang laku baru sebanyak tujuh bungkus, untuk satu bungkus seharga Rp 7.000,- dan berisi beberapa keping harum manis.
Dari uang tersebut akan dipakai untuk kembali memebeli makanan tersebut, dan juga untuk memenuhui kebutuhan sehari-hari. Jadi belum cukup untuk mudik. Sebenarnya, saya sudah merasa kangen sama keluarga, di kampung halaman telah menunggu istri dan anak-anak ke dua anak saya. Pak Robi hanya melamunkan dirinya, seperti sedang menghanyal, lalu ia lanjutkan tentang seorang istri dan anak-anaknya. Sebenarnya saya telah mempunyai empat orang anak, anak laki-laki yang pertama meninggal saat masih bayi dan meninggal karena sakit, sedangkan yang kedua meninggal juga, saat ia sedang melahirkan anak. Dan yang tersisa anak laki-laki yang sedang duduk di kelas tiga Sekolah Menengah Pertama (SMP), sedangkan yang terakhir merupakan perempuan berumur 2 tahun.
Dari Brebes saya merantau ke Jakarta sekitar tahun '75-an, saat itu jalanan di pasar Jum’at yang tepat di hadapan kami belum seramai sekarang, dan masih kecil. Kendaraan yang masih ada, yakni oplet dan roda niaga.
Untuk sampai ke Jakarta dari kampung halaman saya, memakan waktu yang cukup lama, jika berangkat jam 06.00WIB, maka bisa sampai jam 21.00,an. Dan waktu itu, saya turun di terminal Polau Gadung, terminal pertama di Jakarta.
Untuk awal mula saya merantau saya mengikuti kakak saya berkerja sebagai sopir, dan karena dilarang oleh orang tua maka saya berjualan, saya berjualan sudah bermacam-macam dari rujak bebek, ketoprak, dan harum manis.
Malam pun semakin larut. Setelah merasa cukup untuk beristirahat ia pun letakan pundaknya di bawah sebelah bambu yang digunakan sebagai jembatan antar ke dua kaleng tersebut. Lalu ia angkat angkat bambu tersebut dengan pundaknya.