Sampurasun Aki Lengser dalam Pernikahan Adat Sunda

Sabtu, 21 Desember 2024 - Budaya

Hydro Jet System

Sabtu, 14 Desember 2024 - Teknologi

Giat Kerja Bakti Warga Rw. 16 Cililitan

Minggu, 8 Desember 2024 - Komunitas

LPJ Triwulan 3 Kopma UIN Jakarta 2024

Jum'at, 6 Desember 2024 - Koperasi

LMS UNJ Error, Menyulitkan Pejuang Sarjana

Rabu, 4 Desember 2024 - Teknologi Kampus

Jendolan

Oleh Dede Supriyatna*

Ada yang suka, ada juga tidak, dan ada di antara keduanya yang biasa-biasa saja. Untuk kata biasa-biasanya tak perlu perdebatan, sebagaimana halnya antara yang suka maupun yang tidak, sebuah perdebatan yang tak akan bertemu benang mereh apalagi jika keduanya benar-benar memliki sifat fanatik. Lalu untuk apa mereka berdebat, tanyakan saja pada mereka.

Sebagimana halnya obralan yang sudah acap kali mereka lakukan. Pagi itu, rutinitas kembali terjadi, sambil bersantai setelah bergelut dengan dapur. Apa yang mereka obrolkan dari persoalan masakan, si anu, dan tak ketinggalan persolan Negara, sebagaimana mereka bertanya-tanya tentang dengan perasaan aneh dengan di bawah kelopak mata SBY, di bawah kelopak yang membentuk jendolan, dan saat mereka menyaksikan kala SBY berbicara di hadapan para kader partai Demokrat, ia sedang berbicara menjadi seorang pembina dari partai demokrat.

Selintas tentangnya mewarnai obralan pagi hari itu, obralan para ibu-ibu. Dari satu hingga menjadi obralan yang hangat diantara mereka. Memang jika kita umpamakan bahwa SBY adalah sebuah teks maka tak akan lepas dari sang penafsir teks tersebut. Apa yang hendak ditafsirkan adalah hak dari sang penafsir itu sendiri, walaupun pada akhirnya bersifat multi tafsir.

Mereka yang berbincang mempertanyakan perihal jendol kelopak mata SBY,  Tak hanya itu,  perbincangan mereka yang ngalor-ngidul merembat pada tentang bendahara partai demokrat Nazaruddin. Mereka menggunjing perihal bendahara tersebut, “gregetan dah, gw,” dengan tampang penuh sewot ujar salah satu ibu tersebut. [Selengkapnya]

Pecinta Orkes Melayu Bukan Dangdut

Mari berbagi informasi...

[PENCINTA ORKES MELAYU BUKAN DANGDUT] 

MUHAMMAD MASHABI

Tak Ada Penyewa, Kami Hanya Berjualan

Oleh Angkringanwarta*

Kamis (5/6) dini hari, kira-kira waktu telah menunjukan pukul 03.00 WIB, secara tiba-tiba terdengar ketukan pintu terdengar begitu keras, dan sepertinya sedang tergesa-gesa. Saya pun terpaksa membukanya, sebab berharap pemilik rumah untuk membuka pintu tak kian kunjung. Setelah pintu terbuka dengan cepat ia berujar “mana ibu?” pernyataanya terasa begitu tergesa-gesa, dan diikuti dengan reaksiku yang secepat kilat aku membangunkan seorang sehabat yang merpukan pemilik dari rumah tersebut, ia masih tergelatak nyaman tak jauh dari keberadaan saya... Selengkapnya

*Sebuah media online.

Habis Dulu, Baru Mudik

Oleh Dede Supriyatna*

Makanan itu, mengingatkan saya tatkala masih duduk di Sekolah Dasar (SD). Saat sesorang memanggul sambil tangannya menggerakan sebuah kotak kaleng bekas minyak rambut lavender, di tengah kaleng tersebut terdapat tali yang mengikat besi kecil, sambil melangkahkan kaki, tangannya memeganggan bambu yang dijadikan pegangan keleng teresebut diputar-putar sehingga akan mengeluarkan bunyi hasil dari benturan antar besi kecil dengan kaleng tersebut.

kala suara itu terdengar, maka saya bersama teman-teman akan berlari menemuinya, biasanya untuk mendapatkan makanan tersebut, kami cukup dengan menukar benda-benda rusak yang dapat di daur ulang, atau dengan uang sebagai alat tukar untuk mendapatkan makanan itu.

Dan saat ini (27/8), saya dapati makanan tersebut di panggul oleh laki-laki kurus, umurnya telah mencapai 60 tahun. Laki-laki itu, memanggul kaleng, ada dua keleng yang dibawa olehnya, ke dua kaleng tersebut berukuran sama, untuk ukurannya tersebut hampir sama dengan kaleng kerupuk yang berada di warung-warung klontong, cuma untuk kaleng yang disini telah terdapat sedikit tambahan sehingga ukuran menjadi lebih besar.

Lalu ia letakan barang panggulannya, sambil mengucapkan sesuatu, bahwa ia hendak beristirahat. Ia amati sesaat kaleng-kaleng tersebut terdapat tulisan “harum manis.” Sebaris kata yang menunjukan nama makanan tersebut, makanan yang masih sama dengan yang beberapa tahun lalu, yakni rambut-rambut lengket, berwarna merah dan berasa manis, yang diapit oleh kerupuk tipis yang terasa renyah. Mungkin dari rasa manis tersebut, menjadikan orang-orang memangginya dengan sebutan harum manis.

Sesudah ia letakan kedua kaleng panggulannya, ia langkahkan kakinya mendekat sebuah tempat duduk yang terletak di samping gerobak rokok. Dari wajahnya terlihat bagaimana ia mengatur napas. Selang beberapa saat, “enggak mudik, pak?” kata-kata pertama yang saya lontarkan padanya. “Seandainya habis, saya baru akan mudik, masih banyak” ucapan yang terlontar darinya sebagai jawaban. Lalu ia tambahkan ungkapan saya berjualan di depan mall Giant yang terletak tak jauh dari terminal Lebak Bulus, dan untuk sampai ke tempat saya berjualan, saya menempuh waktu selama satu jam.” Seusai berujar, ia hisap dalam-dalam sebatang rokok kretek.

“Saya mulai berjualan kira-kira pukul 11.00 WIB, baru ke luar dari kontrakan dan sampai jam sekarang.” waktu HP, waktu telah menunjukan pukul 23.00 WIB. Sebuah kontrakan yang terletak di daerah Rempoa, tepatnya di kampung Setu. 

Untuk pendapatan dari hasil penjualan tersebut, tak menentu terkadang mendapatkan Rp 50.000,- , itu juga yang laku paling berapa, dan untuk sekarang yang laku baru sebanyak tujuh bungkus, untuk satu bungkus seharga Rp 7.000,- dan berisi beberapa keping harum manis.

Dari uang tersebut akan dipakai untuk kembali memebeli makanan tersebut, dan juga untuk memenuhui kebutuhan sehari-hari. Jadi belum cukup untuk mudik. Sebenarnya, saya sudah merasa kangen sama keluarga, di kampung halaman telah menunggu istri dan anak-anak ke dua anak saya. Pak Robi hanya melamunkan dirinya, seperti sedang menghanyal, lalu ia lanjutkan tentang seorang istri dan anak-anaknya. Sebenarnya saya telah mempunyai empat orang anak, anak laki-laki yang pertama meninggal saat masih bayi dan meninggal karena sakit, sedangkan yang kedua meninggal juga, saat ia sedang melahirkan anak. Dan yang tersisa anak laki-laki yang sedang duduk di kelas tiga Sekolah Menengah Pertama (SMP), sedangkan yang terakhir merupakan perempuan berumur 2 tahun.

Dari Brebes saya merantau ke Jakarta sekitar tahun '75-an, saat itu jalanan di pasar Jum’at yang tepat di hadapan kami belum seramai sekarang, dan masih kecil. Kendaraan yang masih ada, yakni oplet dan roda niaga.

Untuk sampai ke Jakarta dari kampung halaman saya, memakan waktu yang cukup lama, jika berangkat jam 06.00WIB, maka bisa sampai jam 21.00,an. Dan waktu itu, saya turun di terminal Polau Gadung, terminal pertama di Jakarta.

Untuk awal mula saya merantau saya mengikuti kakak saya berkerja sebagai sopir, dan karena dilarang oleh orang tua maka saya berjualan, saya berjualan sudah bermacam-macam dari rujak bebek, ketoprak, dan harum manis.

Malam pun semakin larut. Setelah merasa cukup untuk beristirahat ia pun letakan pundaknya di bawah sebelah bambu yang digunakan sebagai jembatan antar ke dua kaleng tersebut. Lalu ia angkat angkat bambu tersebut dengan pundaknya.

*Aktif menulis di Sosok Angkringanwarta.