Oleh Dede Supriyatna*
Diseruput sedikit saja atau sekedar membasahi lidah, lalu biarkan lidah mengecap rasa tersebut, dan jika tak bisa diucapkan maka tak usah diucapkan, memang bukan untuk diucapkan, melainkan dirasakan. Terkadang rasa tak perlu diucapkan dan hanya dirasakan. Jikalau dipaksakan untuk diungkapan hanya membuat kehilangan rasa. Sebab ungkapan tak mampu mewakili rasa yang sesungguhnya.
Sebagaimana bahasa enak, seakan mewakili semua rasa tentang enak, enak yang bagaimana? Dan kita hanya kebingungan untuk menjawabnya. Seperti itu kisah kopi yang terhidang saat kami berjalan menyusuri malam, lalu singgah disalah satu kedai kopi.
Dan tatkala pesanan telah tersaji di meja, secangkir kopi dengan kepulan asap menaburkan aroma khas. Dengan perlahan-lahan bibir menyentuh muka cangkir dan secara berlahan menyeruputnya, sebuah seruputan pertama menempel pada ujung lidah, tak ada yang mengetahui apa yang terjadi? Dan yang kutahu ini hanyalah kopi, kopi yang berasal dari daerah Aceh.
Perasaan itu, mengingatkan pada hidangan kopi yang sudah-sudah, sebagaimana pada berada di dalam mal yang menjajakan hidangan kopi luwak yang harga satu cangkir mencapai Rp 100.000,00, dan ada juga kopi Toraja dengan harga mencapai Rp 85.000,00.
Harga yang cukup menguras kantong, atau bisa dikatakan cukup mahal untuk sebagaian orang. Maka hanya sebagaian orang yang rela mengeluarkan uang sebanyak itu, agar dapat merasakan kenikmataan kopi. Tapi, untuk sebuah kenikmatan berapapun akan dibayar, apalagi jika seseorang telah mengalami kecanduan.
Dalam obrolan malam itu, kami berbicara seputar kopi, apakah daerah tertentu mewakili rasa kopi yang berbeda? “iya” sebuah jawaban yang cukup singkat, tapi mengundang rasa ingin tahu yang cukup dalam bagaiman rasa kopi tersebut, khususnya bagi para pencinta kopi. [Baca Selengkapnya]
*Sumber: Celoteh - Angkringanwarta.