Rexa duduk di dekat jendela, wajahnya begitu tampan dan memesona. Matanya memancarkan perpaduan antara kesejukan dan kelembutan yang sangat memikat. Tonjolan kecil di pangkal hidungnya membuatnya terlihat lebih istimewa dan tidak membosankan. Pada momen itu, seolah sinar matahari dari luar pun memancarkan cahaya khusus untuknya.
Melihat pemandangan ini, Arlina tanpa sadar menarik napas dalam-dalam. 'Tampan sekali!!!'
Namun kemudian, dia baru teringat ini bukan saatnya untuk genit. Hatinya kembali merasa gelisah dan akhirnya dia berkata dengan gugup, "Pak Rexa."
Arlina menundukkan pandangannya dan memasang wajah bersalah. Meskipun, itu sebenarnya lebih untuk menutupi rasa gugupnya.
Dibandingkan dengan kegugupan Arlina, Rexa justru tampak tenang. Sikapnya benar-benar mencerminkan statusnya sebagai seorang tenaga pendidik. Dia menunjuk kursi di depannya dan berkata, "Duduk."
Akan tetapi, mana mungkin Arlina berani duduk? Dia hanya berkata dengan senyum tersipu, "Nggak usah, Pak. Saya berdiri saja."
Rexa telah bangkit dari tempat duduknya. Tingginya melebihi Arlina hampir satu kepala, membuat gadis itu harus mendongak untuk menatapnya. "Coba jelaskan, kenapa kamu melamun waktu jam kuliah?" Nada bicaranya terdengar datar, seolah benar-benar hanya ingin tahu alasan Arlina melamun.
Mana mungkin Arlina berani mengatakan alasan sebenarnya? Setelah berpikir keras cukup lama, dia akhirnya menjawab dengan gugup, "Karena... tadi malam saya kurang tidur." Kemudian, dia langsung mengucapkan permintaan maaf dengan penuh penyesalan, "Maafkan saya, Pak. Saya berjanji lain kali nggak akan seperti ini lagi."
Rexa tidak menunjukkan apakah dia percaya pada ucapan Arlina atau tidak. Dia hanya berjalan ke tempat menyeduh teh, mengambil sebuah gelas dan sekantong teh susu, lalu menuangkan air panas ke dalamnya.
Gerakannya santai, jari-jarinya panjang dan lentik, memancarkan aura elegan dan berkelas. Asap tipis mengepul dari cangkir teh, menciptakan pemandangan yang menenangkan.
"Aku baru kembali dari luar negeri beberapa waktu lalu dan mungkin belum terlalu terbiasa dengan metode pengajaran di sini. Kalau kelasku terlalu membosankan, aku harap kamu bisa langsung bicara jujur."
Astaga... rendah hati sekali dosen ini. Dosen setampan dan semurah hati ini malah telah dilecehkannya. Bahkan Arlina sendiri juga merasa dirinya benar-benar brengsek.
"Ng... nggak, kok. Penjelasan Pak Rexa sangat bagus," sahut Arlina buru-buru. Meski Arlina tidak mendengarkannya dengan seksama, dilihat dari reaksi teman-teman sekelasnya, jelas sekali menunjukkan bahwa kemampuan mengajar Rexa sangat bagus.
Rexa tersenyum tipis. "Baguslah kalau begitu."
Setelah berkata demikian, dia menyerahkan segelas teh susu yang baru diseduhnya kepada Arlina. Jari-jarinya tampak ramping dengan sendi yang tegas, kukunya juga terawat dengan rapi dan bersih.
"Ini pemberian dari dosen lain, anak-anak biasanya suka minuman ini." Dia malah menyebut Arlina sebagai anak-anak.
Wajah Arlina memerah. Dia buru-buru mengulurkan tangan untuk menerima cangkir itu. "Terima kasih, Pak Rexa." Cangkir itu terasa hangat, tetapi tidak sampai membuat tangannya panas. Uap panas mengepul perlahan dan aroma teh susu yang pekat menguar ke hidungnya.
Sejak masuk ke ruangan ini, Arlina merasa begitu tegang dan penuh kewaspadaan. Namun, Rexa sama sekali tidak menyinggung kejadian malam itu. Sebaliknya, dia justru mengobrol ringan seolah-olah sedang berbincang santai.
Ditambah lagi, dengan hangatnya aroma teh susu yang menguar, membuat ketegangan dalam dirinya perlahan mencair. Dia menunduk untuk menyesap sedikit teh susu tersebut. Rasa manis yang lembut menyebar di dalam mulutnya.
Namun pada saat itu, terdengar suara Rexa yang tenang di telinganya. "Malam itu... itu kamu, bukan?"
Kata-kata ini menghantam Arlina bagaikan petir, membuatnya mendongak kaget menatap Rexa. Mata pria itu seolah-olah bisa menembus hatinya dan melihat semuanya dengan jelas.
Tujuan Rexa mengobrol santai dan menyeduhkan teh susu untuknya adalah agar kewaspadaan Arlina menurun.
"Uhuk uhuk!" Arlina hampir tersedak oleh teh susu yang baru diseruputnya.
Rexa yang seolah-olah sudah mempersiapkan diri, langsung menyerahkan sebuah tisu dengan lancar. Arlina menerima tisu itu, lalu menyeka bibirnya dengan buru-buru. Setelah menenangkan diri, dia langsung menyangkal, "Aku bukan... bukan aku."
Rexa memicingkan matanya dengan senyuman tipis. "Aku belum bilang malam yang mana dan kejadian apa."
Arlina menyadari dirinya telah tanpa sengaja membocorkan rahasia, seketika hatinya diliputi kepanikan. Teh susu yang semula terasa hangat pun, kini tidak lagi terasa nikmat. "Pak Rexa, aku nggak tahu apa yang Bapak bicarakan, tapi yang jelas itu pasti bukan aku. Makanya aku menyangkalnya."
Dengan ekskpresi yang masih tetap sama, Rexa tiba-tiba mengulurkan tangan padanya.
Jari-jarinya yang panjang dan ramping, mencengkram pergelangan tangan Arlina. Saat kulit mereka bersentuhan, Arlina merasa seperti tersengat dan refleks menggigil sedikit.
Apa yang hendak dilakukannya?
Jantung Arlina berdegup kencang.
"Aku ingat malam itu... ada tahi lalt di telapak tanganmu." Setelah ucapan itu dilontarkan, Rexa langsung membalikkan telapak tangan Arlina. Di telapak tangannya yang halus itu ternyata memang ada sebuah tahi lalat.
Pelaku dan buktinya sudah tertangkap basah. Rexa mengangkat pandangannya melihat Arlina sembari bertanya, "Kamu mau jelaskan bagaimana lagi?"
Red\.






dosenku adalah suamiku untuk bagian 4 akan muncul kapan ya?
BalasHapusnanti akan sy publish kak
Hapus