Setelah bercinta satu malam, lalu ternyata pria itu adalah dosen di kampus sendiri. Kenapa ini bisa terjadi? Kata "semua harapan musnah" benar-benar menggambarkan situasi Arlina saat ini.
Tania yang tadinya bersemangat, menunduk sejenak, lalu memandang Arlina yang tergeletak lemas di meja seolah kehilangan semangat hidup. "Arlin, kamu kenapa? Kenapa wajahmu seperti habis makan kotoran?"
Jika memungkinkan, Arlina lebih rela benar-benar memakan kotoran.
"Tania." Suara Arlina nyaris serak saat berkata, "Habis sudah, aku benar-benar hancur."
"Ada apa sebenarnya?" Tania menatapnya dengan bingung.
Tiba-tiba, terdengar suara yang jernih dan tegas dari arah panggung, "Harap tenang."
Suara ini mengingatkan Arlina pada suara yang didengarnya malam itu. Arlina yang tadinya masih memiliki secercah harapan, kini benar-benar merasa hancur. Ternyata benar-benar pria itu. Meski suaranya malam itu terdengar lebih serak, Arlina yakin dia tidak salah mendengarnya.
Ucapan pria itu tadi membuat seisi ruang kelas menjadi hening seketika. Saking heningnya, bahkan suara napas pun nyaris terdengar.
Melalui mikrofon, suara merdu pria itu bergema di seluruh sudut ruangan, "Perkenalkan, nama saya Rexa Pariaman. Mulai hari ini, saya akan mengajar kalian mata kuliah anatomi."
"Wow."
"Wow."
Ucapan ini memicu keriuhan dari seluruh ruangan.
'Tidak!!!!!'
Pada saat itu, Arlina baru benar-benar memahami makna kalimat "penderitaan manusia tidak saling terhubung." Terutama ketika Tania yang berada di sisinya bersorak heboh hingga nyaris memekakkan telinga Arlina.
Di atas panggung, Rexa hanya mengangkat tangan memberi isyarat untuk diam. Kemudian, seisi ruang kuliah langsung kembali hening.
"Tanpa menunda-nunda lagi, ayo kita mulai perkenalan singkat mengenai mata kuliah anatomi."
Layar di panggung menampilkan materi presentasi. Rexa berdiri tegak di depan. Sekujur tubuhnya memancarkan aura elegan dan percaya diri yang alami.
"Anatomi adalah ilmu yang mempelajari struktur bentuk tubuh manusia. Melalui pengamatan langsung, mikroskop, maupun teknologi pencitraan. Kita akan mempelajari bentuk, letak, hubungan, serta perkembangan organ, jaringan, dan sistem tubuh manusia...."
Suaranya yang tenang mengalir memenuhi ruang kuliah, membuat seluruh mahasiswa mendengarkan lebih seksama daripada saat belajar untuk ujian nasional.
Kecuali Arlina....
Sepanjang pelajaran, dia duduk di kursinya dengan gelisah. Tidak ada satu pun materi kuliah yang bisa dicernanya.
Tania yang menyadari hal ini, membisikkan dengan suara pelan, "Kamu ini ambeien yaa, nggak bisa diam duduknya?"
'Kasar sekali sih omongan Tania ini?'
Sejak awal pelajaran, Arlina terus menunduk dalam posisi yang membuat punggungnya pegal. Jadi, dia refleks mencoba meluruskan tubuhnya. Namun saat dia mengangkat kepala, pandangannya langsung bertemu dengan tatapan Rexa di atas panggung. Seolah-olah, semua ini memang sudah ditakdirkan.
Seketika, Arlina merasa kepalanya berdengung.
Di atas panggung, Rexa yang sedang menjelaskan materi kuliah, tiba-tiba berhenti. Tatapannya mengarah pada posisi Arlina.
"Ada apa ini?"
"Kenapa Pak Rexa tiba-tiba berhenti?"
Suara bisikan mulai terdengar di ruang kuliah.
Tania menarik lengan baju Arlina dengan hati-hati dan berbisik, "Kenapa aku seperti merasa Pak Rexa sedang melihatmu?"
Arlina tersadar dan tertawa pelan, lalu mencoba mengalihkan perhatian dengan berpura-pura menoleh ke belakang, "Mana mungkin. Mungkin dia lihat orang di belakangku yang nggak memperhatikan pelajaran."
Tatapan Rexa yang berada di atas panggung seakan-akan bergejolak. Jarang sekali dia menunjukkan sikap yang tidak terkendali seperti ini. Namun, reaksi Rexa cukup cepat. Dia segera memalingkan pandangan dan melanjutkan kuliah seperti biasa.
Tak seorang pun menyadari bahwa tangan yang memegang pointer laser itu mengepal erat hingga buku jarinya memutih.
'Dia mengenaliku? Nggak mungkin, 'kan?' Arlina tidak yakin. Namun di dalam hatinya, dia diam-diam berharap agar Rexa tidak mengenali dirinya. 'Tolonglah, tolonglah, Tuhan....' Dia berdoa dalam hati sambil mengatupkan kedua tangan.
Namun, suara Rexa yang tenang kembali terdengar dari panggung. "Baiklah, sekarang saya minta mahasiswa yang duduk di baris ketiga dari belakang, kursi kelima dari kanan, mengenakan jaket abu-abu, untuk menjawab pertanyaan saya tadi."
Ucapannya itu ditjukan dengan sedetail mungkin....
Arlina hanya bisa terpaku melihat semua pandangan mahasiswa serempak mengarah kepadanya. Saat menatap ke depan, tatapan matanya kembali bertemu dengan mata Rexa yang begitu dalam.
Apakah masih sempat kalau dia melepas jaket abu-abu ini sekarang?
Arlina berdiri dengan bengong.
Sebagai profesor, Rexa tersenyum lembut sambil berkata, "Silahkan jawab pertanyaan saya tadi."
Arlina benar-benar tidak tahu pertanyaan apa yang dimaksud. Sejak awal kuliah hingga sekarang, pikirannya kosong total. Dia hanya bisa bergumam, "Ma... maaf, pertanyaan yang mana?"
Suara tawa pelan terdengar dari sekitar.
Rexa tetap tenang, seolah memiliki kesabaran yang tiada habisnya. "Metode pewarnaan yang paling umum digunakan untuk preparat parafin, baru saya jelaskan beberapa menit yang lalu."
Arlina menunduk memandang Tania dengan penuh harap. Tania hanya menggerakkan bibir tanpa suara, berusaha membisikkan jawabannya. Namun dari posisi itu, Arlina sama sekali tidak bisa membaca gerak bibirnya.
Akhirnya, dia hanya bisa berkata dengan wajah memelas, "Saya tidak tahu."
Rexa memandangnya dengan tenang. "Siapa namamu?"
Selesai sudah!
Arlina mendadak merasa bahwa pertanyaan itu hanya sebagai alasan. Tujuan sebenarnya adalah menanyakan identitasnya. Arlina hampir saja ingin memberikan nama palsu, tetapi dia tidak berani. Akhirnya dia mengumpulkan keberanian dan menjawab dengan pelan, "Arlina Khoman."
Mata Rexa tampak memancarkan kilau yang dalam. "Arlina, yaa?"
Arlina tidak berani menatapnya sama sekali. Seketika, dia merasa sekujur tubuhnya merinding.
"Di pertemuan pertama kuliahmu saja sudah melamun. Setelah kuliah ini selesai, datang ke ruangan saya."
Arlina seakan-akan menangis dalam hati. Kemudian, dia menjawab, "Baik, Pak."
Akhirnya Arlina duduk kembali. Saat ini, tubuhnya seolah-olah mati rasa.
"Arlin, jangan takut. Pak Rexa kelihatannya lembut sekali. Dia nggak akan berbuat macam-macam padamu," Tania berbisik menenangkan.
Arlina tetap diam. 'Huh.... Lembut? Waktu di ranjang, dia jelas nggak lembut.'
Tania menambahkan, "Lagi pula, ini kesempatan untukmu bisa berdekatan sama Pak Rexa. Kamu malah beruntung."
Kesempatan seperti ini.... biarlah orang lain yang ambil. Dia sama sekali tidak mau.
Kuliah yang terasa menyesakkan itu akhirnya selesai juga. Rexa pun melangkah keluar dari ruang kelas. Ruangan seketika dipenuhi oleh suara riuh, semua orang membicarakan betapa tampannya profesor baru itu dan betapa memesona suaranya.
Kalau ini terjadi di masa lalu, Arlina mungkin akan menjadi salah satu dari mereka. Namun sekarang, dia tidak bisa tertawa sama sekali.
"Nia...." Arlina memegang erat tangan Tania, lalu berkata dengan serius, "Kalau terjadi sesuatu padaku, tolong jaga keluargaku untukku."
Usai bicara, dia menoleh dengan ekspresi penuh pengorbanan dan berjalan menjauh. Tania hanya bisa memandang kepergiannya dengan terkejut.
'Cuma ketemu dosen saja, kenapa seolah-olah nggak akan bisa kembali dengan selamat? Paling-paling cuma akan diceramahi, dosen juga nggak mungkin makan orang, 'kan?'
Di kantor.
Arlina berdiri di luar pintu dengan perasaan gelisah. Tangannya terangkat hendak mengetuk pintu, lalu diturunkan lagi. Setelah mengulang gerakan itu beberapa kali, dia akhirnya memberanikan diri.
Bagaimanapun, hasilnya akan tetap sama, lebih baik cepat selesai daripada berlarut-larut. Lagi pula, selama dia tetap bersikeras tidak mengaku, Rexa tidak akan memiliki bukti yang bisa menunjukkan bahwa Arlina adalah wanita yang bersamanya malam itu.
Arlina menarik napas dalam-dalam, lalu mengetuk pintu. Tak lama kemudian, terdengar suara lembut dan tenang dari dalam ruangan, "Silakan masuk."
Ketika Arlina mendorong pintu, detak jantungnya semakin cepat tak terkendalikan.
Bersambung...
Red\.

















