Paket Al-Qur'an Yang Terseret

Rabu, 26 November 2025 - Berita Fakta

Terima Kasih

Minggu, 23 November 2025 - Sticker

Pengajian Bulanan MT. Al-Khairat Kebayoran Lama

Minggu, 23 November 2025 - Dakwah

SULINGJAR 2025

Senin, 6 Oktober 2025 - Pendidikan

Akibat RUU TNI Disahkan

Minggu, 23 Maret 2025 - Pendidikan Politik

Psikologi Guru Tak Layak Jadi Pemimpin

Minggu, 23 Maret 2025 - Hukum Pidana Pendidikan

Free E-Course Arabic Quantum

Sabtu, 4 Januari 2025 - Lembaga Privat

Jum'at Bersih dan Indah

Jum'at, 3 Januari 2025 - Komunitas

Gedung Rektorat UIN Jakarta Terbakar

Senin, 30 Desember 2024 - Kampus

Rental Mobil - Hijas Trans 77 - 081319091084

Innova Reborn Manual/Matic (Solar/Pertalite), Suzuki Ertiga Manual/Matic, Toyota Avanza Manual, Daihatsu Terrios Manual, Toyota Kijang Innova Manual

Dosenku adalah Suamiku (Bagian 2)

Setelah bercinta satu malam, lalu ternyata pria itu adalah dosen di kampus sendiri. Kenapa ini bisa terjadi? Kata "semua harapan musnah" benar-benar menggambarkan situasi Arlina saat ini. 

Tania yang tadinya bersemangat, menunduk sejenak, lalu memandang Arlina yang tergeletak lemas di meja seolah kehilangan semangat hidup. "Arlin, kamu kenapa? Kenapa wajahmu seperti habis makan kotoran?" 

Jika memungkinkan, Arlina lebih rela benar-benar memakan kotoran. 

"Tania." Suara Arlina nyaris serak saat berkata, "Habis sudah, aku benar-benar hancur." 

"Ada apa sebenarnya?" Tania menatapnya dengan bingung. 

Tiba-tiba, terdengar suara yang jernih dan tegas dari arah panggung, "Harap tenang." 

Suara ini mengingatkan Arlina pada suara yang didengarnya malam itu. Arlina yang tadinya masih memiliki secercah harapan, kini benar-benar merasa hancur. Ternyata benar-benar pria itu. Meski suaranya malam itu terdengar lebih serak, Arlina yakin dia tidak salah mendengarnya. 

Ucapan pria itu tadi membuat seisi ruang kelas menjadi hening seketika. Saking heningnya, bahkan suara napas pun nyaris terdengar. 

Melalui mikrofon, suara merdu pria itu bergema di seluruh sudut ruangan, "Perkenalkan, nama saya Rexa Pariaman. Mulai hari ini, saya akan mengajar kalian mata kuliah anatomi." 

"Wow." 

"Wow." 

Ucapan ini memicu keriuhan dari seluruh ruangan. 

'Tidak!!!!!' 

Pada saat itu, Arlina baru benar-benar memahami makna kalimat "penderitaan manusia tidak saling terhubung." Terutama ketika Tania yang berada di sisinya bersorak heboh hingga nyaris memekakkan telinga Arlina. 

Di atas panggung, Rexa hanya mengangkat tangan memberi isyarat untuk diam. Kemudian, seisi ruang kuliah langsung kembali hening. 

"Tanpa menunda-nunda lagi, ayo kita mulai perkenalan singkat mengenai mata kuliah anatomi." 

Layar di panggung menampilkan materi presentasi. Rexa berdiri tegak di depan. Sekujur tubuhnya memancarkan aura elegan dan percaya diri yang alami. 

"Anatomi adalah ilmu yang mempelajari struktur bentuk tubuh manusia. Melalui pengamatan langsung, mikroskop, maupun teknologi pencitraan. Kita akan mempelajari bentuk, letak, hubungan, serta perkembangan organ, jaringan, dan sistem tubuh manusia...." 

Suaranya yang tenang mengalir memenuhi ruang kuliah, membuat seluruh mahasiswa mendengarkan lebih seksama daripada saat belajar untuk ujian nasional. 

Kecuali Arlina.... 

Sepanjang pelajaran, dia duduk di kursinya dengan gelisah. Tidak ada satu pun materi kuliah yang bisa dicernanya. 

Tania yang menyadari hal ini, membisikkan dengan suara pelan, "Kamu ini ambeien yaa, nggak bisa diam duduknya?" 

'Kasar sekali sih omongan Tania ini?' 

Sejak awal pelajaran, Arlina terus menunduk dalam posisi yang membuat punggungnya pegal. Jadi, dia refleks mencoba meluruskan tubuhnya. Namun saat dia mengangkat kepala, pandangannya langsung bertemu dengan tatapan Rexa di atas panggung. Seolah-olah, semua ini memang sudah ditakdirkan. 

Seketika, Arlina merasa kepalanya berdengung. 

Di atas panggung, Rexa yang sedang menjelaskan materi kuliah, tiba-tiba berhenti. Tatapannya mengarah pada posisi Arlina. 

"Ada apa ini?" 

"Kenapa Pak Rexa tiba-tiba berhenti?" 

Suara bisikan mulai terdengar di ruang kuliah. 

Tania menarik lengan baju Arlina dengan hati-hati dan berbisik, "Kenapa aku seperti merasa Pak Rexa sedang melihatmu?" 

Arlina tersadar dan tertawa pelan, lalu mencoba mengalihkan perhatian dengan berpura-pura menoleh ke belakang, "Mana mungkin. Mungkin dia lihat orang di belakangku yang nggak memperhatikan pelajaran." 

Tatapan Rexa yang berada di atas panggung seakan-akan bergejolak. Jarang sekali dia menunjukkan sikap yang tidak terkendali seperti ini. Namun, reaksi Rexa cukup cepat. Dia segera memalingkan pandangan dan melanjutkan kuliah seperti biasa. 

Tak seorang pun menyadari bahwa tangan yang memegang pointer laser itu mengepal erat hingga buku jarinya memutih. 

'Dia mengenaliku? Nggak mungkin, 'kan?' Arlina tidak yakin. Namun di dalam hatinya, dia diam-diam berharap agar Rexa tidak mengenali dirinya. 'Tolonglah, tolonglah, Tuhan....' Dia berdoa dalam hati sambil mengatupkan kedua tangan. 

Namun, suara Rexa yang tenang kembali terdengar dari panggung. "Baiklah, sekarang saya minta mahasiswa yang duduk di baris ketiga dari belakang, kursi kelima dari kanan, mengenakan jaket abu-abu, untuk menjawab pertanyaan saya tadi." 

Ucapannya itu ditjukan dengan sedetail mungkin.... 

Arlina hanya bisa terpaku melihat semua pandangan mahasiswa serempak mengarah kepadanya. Saat menatap ke depan, tatapan matanya kembali bertemu dengan mata Rexa yang begitu dalam. 

Apakah masih sempat kalau dia melepas jaket abu-abu ini sekarang? 

Arlina berdiri dengan bengong. 

Sebagai profesor, Rexa tersenyum lembut sambil berkata, "Silahkan jawab pertanyaan saya tadi." 

Arlina benar-benar tidak tahu pertanyaan apa yang dimaksud. Sejak awal kuliah hingga sekarang, pikirannya kosong total. Dia hanya bisa bergumam, "Ma... maaf, pertanyaan yang mana?" 

Suara tawa pelan terdengar dari sekitar. 

Rexa tetap tenang, seolah memiliki kesabaran yang tiada habisnya. "Metode pewarnaan yang paling umum digunakan untuk preparat parafin, baru saya jelaskan beberapa menit yang lalu." 

Arlina menunduk memandang Tania dengan penuh harap. Tania hanya menggerakkan bibir tanpa suara, berusaha membisikkan jawabannya. Namun dari posisi itu, Arlina sama sekali tidak bisa membaca gerak bibirnya. 

Akhirnya, dia hanya bisa berkata dengan wajah memelas, "Saya tidak tahu." 

Rexa memandangnya dengan tenang. "Siapa namamu?" 

Selesai sudah! 

Arlina mendadak merasa bahwa pertanyaan itu hanya sebagai alasan. Tujuan sebenarnya adalah menanyakan identitasnya. Arlina hampir saja ingin memberikan nama palsu, tetapi dia tidak berani. Akhirnya dia mengumpulkan keberanian dan menjawab dengan pelan, "Arlina Khoman." 

Mata Rexa tampak memancarkan kilau yang dalam. "Arlina, yaa?" 

Arlina tidak berani menatapnya sama sekali. Seketika, dia merasa sekujur tubuhnya merinding. 

"Di pertemuan pertama kuliahmu saja sudah melamun. Setelah kuliah ini selesai, datang ke ruangan saya." 

Arlina seakan-akan menangis dalam hati. Kemudian, dia menjawab, "Baik, Pak." 

Akhirnya Arlina duduk kembali. Saat ini, tubuhnya seolah-olah mati rasa. 

"Arlin, jangan takut. Pak Rexa kelihatannya lembut sekali. Dia nggak akan berbuat macam-macam padamu," Tania berbisik menenangkan. 

Arlina tetap diam. 'Huh.... Lembut? Waktu di ranjang, dia jelas nggak lembut.' 

Tania menambahkan, "Lagi pula, ini kesempatan untukmu bisa berdekatan sama Pak Rexa. Kamu malah beruntung." 

Kesempatan seperti ini.... biarlah orang lain yang ambil. Dia sama sekali tidak mau. 

Kuliah yang terasa menyesakkan itu akhirnya selesai juga. Rexa pun melangkah keluar dari ruang kelas. Ruangan seketika dipenuhi oleh suara riuh, semua orang membicarakan betapa tampannya profesor baru itu dan betapa memesona suaranya. 

Kalau ini terjadi di masa lalu, Arlina mungkin akan menjadi salah satu dari mereka. Namun sekarang, dia tidak bisa tertawa sama sekali. 

"Nia...." Arlina memegang erat tangan Tania, lalu berkata dengan serius, "Kalau terjadi sesuatu padaku, tolong jaga keluargaku untukku." 

Usai bicara, dia menoleh dengan ekspresi penuh pengorbanan dan berjalan menjauh. Tania hanya bisa memandang kepergiannya dengan terkejut. 

'Cuma ketemu dosen saja, kenapa seolah-olah nggak akan bisa kembali dengan selamat? Paling-paling cuma akan diceramahi, dosen juga nggak mungkin makan orang, 'kan?' 

Di kantor. 

Arlina berdiri di luar pintu dengan perasaan gelisah. Tangannya terangkat hendak mengetuk pintu, lalu diturunkan lagi. Setelah mengulang gerakan itu beberapa kali, dia akhirnya memberanikan diri. 

Bagaimanapun, hasilnya akan tetap sama, lebih baik cepat selesai daripada berlarut-larut. Lagi pula, selama dia tetap bersikeras tidak mengaku, Rexa tidak akan memiliki bukti yang bisa menunjukkan bahwa Arlina adalah wanita yang bersamanya malam itu. 

Arlina menarik napas dalam-dalam, lalu mengetuk pintu. Tak lama kemudian, terdengar suara lembut dan tenang dari dalam ruangan, "Silakan masuk." 

Ketika Arlina mendorong pintu, detak jantungnya semakin cepat tak terkendalikan. 

Bersambung... 

Red\.

Dosenku adalah Suamiku (Bagian 1)

Sangat pas untuk menghabiskan waktu saat pulang kerja, menghilangkan stress dan yang terpenting, adalah kenyamanan. 

* * * 

"Umph...." 

Pintu kamar terbuka, terlihat dua buah sosok yang masuk sambil terhuyung-huyung. Sorot mata mereka tampak mabuk. Begitu masuk, keduanya langsung saling berciuman di ambang pintu. 

Terdengar desahan yang saling bersahutan dan suasana kamar pun dipenuhi keintiman. 

"Ah...." Arlina memekik pelan, tubuhnya diangkat dengan mudah oleh pria itu. Tubuhnya yang mungil menggeliat pelan dalam dekapan pria tersebut. Perbedaan tubuh mereka menimbulkan imajinasi liar. 

Pria itu membawa Arlina langsung ke tempat tidur, lalu melemparkannya ke atas kasur dengan gerakan yang begitu mudah. Tubuhnya yang tinggi dan besar menindih Arlina. Matanya memerah dan wajah yang biasanya tenang, kini memancarkan hasrat yang membara. 

Logikanya hancur berantakan. 

Arlina menggenggam erat seprai hingga jemarinya memucat. Terlintas kilatan cahaya putih dalam sorot matanya. Cahaya lampu berayun, suara desahan dan bisikan lirih memenuhi seluruh ruangan. 

.... 

"Arlin." 

"Arlin." 

Arlina Khoman terbangun dengan kaget dari mimpinya, keningnya dibasahi keringat dingin. Mimpi itu datang lagi. Sudah sebulan lebih, hampir setiap malam dia bermimpi hal yang sama. 

Hari libur musim panas itu adalah ulang tahun Rio. Arlina menghadiri pestanya dengan hati riang. Namun, dia baru menyadari bahwa yang diundang bukan hanya dirinya, tapi juga teman-teman sejurusan lainnya, termasuk Fanny, gadis cantik yang terkenal di kampus. 

Mereka duduk berdekatan dan terlihat sangat akrab. Banyak orang yang melirik ke arahnya, seolah menunggu reaksi Arlina. Arlina dan Rio memang satu jurusan, tapi beda kelas. Semua orang tahu bahwa Arlina sudah menyukai Rio selama dua tahun, bahkan Rio sendiri juga tahu. Namun, dia tidak pernah menolak perasaan Arlina secara langsung. 

Dari tatapan teman-temannya, jelas semua orang sudah tahu tentang Fanny dan Rio, hanya Arlina sendiri yang tidak mengetahuinya. Di satu sisi, Rio menggantungkan perasaan Arlina terhadapnya, di sisi lain dia malah bersikap mesra dengan Fanny. Tatapan teman-teman sejurusannya membuat hati Arlina tersakiti. Diam-diam dia bersumpah, tidak akan lagi melanjutkan cinta bertepuk sebelah tangan yang konyol ini. 

Malam itu dia minum cukup banyak, ditambah lagi dengan perasaan yang kesal yang menumpuk di dadanya. Saat menuju toilet, dia terhuyung-huyung dan tidak sengaja menabrak seorang pria. Saat mendongak, matanya bertemu dengan tatapan tajam pria itu. 

Pria yang lebih tampan dan maskulin dibandingkan Rio. 

Entah keberanian dari mana yang tiba-tiba muncul, Arlina langsung menarik kerah bajunya dan mendesah pelan, "Mau nggak tidur sama aku malam ini?" 

Selanjutnya, semua berjalan tanpa kendali. Mereka masuk ke kamar dan menghabiskan malam yang penuh gairah dan hasrat membara. 

Keesokan paginya, ketika keberanian yang muncul karena alkohol itu telah lenyap, Arlina baru terbangun dan mendapati dirinya telanjang bersama pria asing di ranjang. Dia panik bukan main, lalu buru-buru mengenakan pakaian dan kabur dari kamar itu. 

Arlina tahu dia telah melakukan kesalahan besar dan tidak berani menceritakannya kepada siapa pun. Dia bahkan tidak berani untuk mencari tahu identitas pria itu. 

Namun, bayangan itu terus menghantuinya. Bahkan sebulan kemudian, hampir setiap malam dia memimpikan malam itu. Bayangan tubuh yang saling membelit, napas yang terengah-engah, dan tatapan dalam pria itu.... 

"Arlin, cepat bangun! Masih sempat bengong? Baru awal masuk kuliah kamu mau telat?" Suara Tania membuyarkan lamunannya. Arlina menggelengkan kepala untuk menepis bayangan semalam dan pikirannya, lalu bangkit dari tempat tidur dengan terburu-buru. 

Setelah selesai mandi, Arlina memeluk buku-bukunya dan berjalan cepat bersama Tania menuju ruang kelas. 

"Kenapa kamu lari cepat sekali?" Arlina kesulitan mengikuti langkah Tania. 

"Kamu lupa hari ini ada kelas anatomi?" jawab Tania. "Belakangan ini kamu sering linglung, banyak lupa terus." 

Arlina baru teringat. Kabarnya, kampus mereka mendatangkan seorang profesor anatomi yang luar biasa. Lulusan Universitas Johns Hopkins yang baru pulang dari luar negeri. Baru bergabung saja sudah langsung diangkat menjadi dosen. Dia adalah profesor termuda dalam sejarah fakultas kedokteran. 

Berhubung profesor ini ada urusan dan belum bisa hadir sebelumnya, jadwal kelas anatomi mahasiswa terpaksa ditunda lebih dari sebulan. Kini setelah libut panjang usai, kelas pertama mereka langsung diampu langsung oleh sang profesor. 

"Arlin, kamu tahu nggak? Tadi pagi ada mahasiswa yang sudah ketemu sama profesornya," bisik Tania dengan nada antusias. 

"Katanya, profesor itu gantengnya luar biasa. Sekarang grup kampus lagi ramai ngomongin dia, banyak yang nyesal nggak ambil mata kuliahnya," ujar Tania sambil menarik tangan Arlina. "Ayo buruan! Kalau nggak, nanti kelasnya penuh sesak, kita nggak kebagian tempat duduk!" 

'Mana mungkin sampai segitunya.' pikir Arlina dalam hati. Lagi pula, mereka sudah masuk tahun ketiga. Biasanya kelas pertama banyak yang bolos atau titip absen ke teman. Sering kali, daftar hadir tetap penuh walau kursi di kelas terlihat kosong. 

Namun, saat mereka tiba di depan ruang kelas, Arlina hanya bisa terpaku melihat pemandangan yang luar biasa ramai. Orang-orang berkerumun, sama seperti antrean heboh di supermarket saat ada promo telur murah. 

Tania yang sepertinya sudah memprediksi ini, hanya mendengus kecil. "Profesor ganteng lulusan kampus top... nggak beda jauh sama suasana fans yang lagi nonton idolanya." Dia menarik tangan Arlina, lalu bergerak maju melewati kerumunan. 

"Permisi! Permisi! Yang cuma mau ikut dengar, jangan rebutan tempat duduk dari mahasiswa yang benaran kuliah di sini, dong!" 

Setelah berdesakan, mereka akhirnya menemukan dua kursi kosong dan langsung duduk. Namun, Tania tiba-tiba menunjukka ekspresi jijik. "Huh, sial." 

Mengikuti arah pandangannya, Arlina melihat Rio dan Fanny sedang duduk di barisan depan. 

Beberapa mata kuliah penting sering menggabungkan beberapa kelas dalam satu ruang kuliah besar. Tak disangka, kali ini Arlina malah harus bertemu dengan Rio dan Fanny di sini. Keduanya tampak begitu akrab. Rio membisikkan sesuatu ke telinga Fanny, membuat gadis itu menutup mulut sambil tertawa kecil. 

Melihat Arlina terus memandangi mereka, Tania menghela napas. "Nggak heran akhir-akhir ini kamu kelihatan linglung. Siapa juga yang nggak sakit hati melihat orang yang disukai selama dua tahun malah pacaran sama orang lain." 

Arlina terkejut memandangnya. "Mereka pacaran?" 

"Iya, mereka resmi jadian waktu ulang tahun Rio itu. Kenapa ekspresimu seperti baru dengar soal ini?" 

Arlina berbisik pelan, "Memang baru tahu...." 

"Jadi selama ini kamu linglung karena mikirin siapa?" Sejak masuk kuliah sebulan lalu sampai sekarang, Tania paling paham dengan kondisi Arlina. 

Arlina hanya terdiam. Dia tentu tidak mungkin mengatakan bahwa selama ini pikirannya kacau karena mabuk, lalu tidur dengan pria asing. 

Melihat Arlina tidak menjawab, Tania mengira Arlina hanya gengsi mengakuinya. Dia menepuk bahu Arlina dengan perhatian, "Nggak apa-apa. Kalau kamu bilang baru tahu juga nggak masalah." 

Arlina membatin, 'Memang beneran baru tahu, kok.' 

"Selain agak ganteng dan nilainya bagus, aku nggak ngerti dari segi mana yang bisa membuatmu naksir sama Rio. Dia itu cuma pria brengsek." 

"Ada banyak pria yang lebih tampan dan pintar, misalnya si profesor baru ini. Jelas jauh lebih unggul daripada dia. Arlina, gimana kalau kamu pindah hati saja?" 

Arlina bingung menatapnya. "Pindah ke siapa?" 

Tania tertawa geli. "Pindah ke profesor baru itu, dong!" 

Tania ini memang suka bicara sembarangan. Arlina langsung menepuk belakang kepalanya dan memaki, "Jangan asal ngomong!" 

Tiba-tiba, terdengar suara riuh di dalam ruang kelas. "Profesor datang! Profesor datang!" 

Seluruh ruang kuliah yang penuh sesak itu langsung heboh. Semua orang menegakkan lehernya untuk melihat ke pintu, tidak terkecuali juga Arlina. 

Arlina sebenarnya hanya penasaran ingin melihat seperti apa wajah yang bisa memicu kehebohan besar seperti ini. Apa benar sampai sedahsyat itu ketampanannya? 

Dari kejauhan, sebuah sosok yang tinggi dan besar berjalan mendekat ke pintu ruang kulaih. Tubuhnya jangkung dan tegap, wajahnya bersih dan tampan, dengan garis wajah yang halus dan tegas. 

Hidungnya mancung, bibirnya membentuk lengkungan yang indah, dan sepasang mata yang tajam seolah-olah bisa menembus hati orang. Sikapnya yang lembut dan elegan, membuat semua orang merasa sangat nyaman di dekatnya. 

Tania mendengar Arlina yang duduk di sebelahnya menarik napas dalam-dalam. 

"Arlin, aku nggak bohong, 'kan? Benar-benar tampan!" 

Arlina yang duduk di sampingnya telah terkulai lemas di atas meja. 

* * * 

Selanjutnya Bagian 2

Red\.

Umm Ali (Arabian Dessert)

Bismillaah... Umm Ali, salah satu sajian Khas Timur Tengah yang patut dicicipi, teksturnya lembut dan rasanya yang manis. Umm Ali adalah puding roti ala Mesir. 

Kisah di balik Umm Ali : Hikayat Umm Ali berawal dari Malik Izz Al Din Aybak, penguasa Mesir pada tahun 1254 - 1257. Saat sang sultan berburu di delta Sungai Nil, dia kelaparan dan minta makan di sebuah desa. 

Umm Ali alias Ibu Ali, warga setempat, kelabakan dan menggodok hidangan dari bahan seadanya, sisa-sisa roti, serpihan kacang, dan susu. Ternyata, rombongan sultan menyukainya dan sajian itu bertahan sampai sekarang. 

Bahan-bahan: 

  1. Susu murni / UHT. 
  2. Roti gandum / roti tawar yang disobek-sobek. 
  3. Kismis. 
  4. Pistachio. 
  5. Kacang Almond. 
  6. Gula / madu sesuai selera. 
  7. Kayu manis bubuk. 

Cara membuatnya kurang lebih 30 menit: 

  1. Panaskan susu murni. 
  2. Campur dengan gula atau madu (sesuai selera), aduk sampai tercampur rata, tidak usah sampai mendidih, kemudian sisihkan. 
  3. Siapkan loyang aluminium atau cetakan. 
  4. Masukkan roti yang sudah disobek-sobek ke dalam loyang. 
  5. Masukkan susu panas, kismis, pistachio, dan kacang almond, terakhir taburi bubuk kayu manis. 
  6. Panggang dalam oven 180 derajat Celcius selama 30 menit. 
  7. Hidangkan selagi panas. 

Sumber: Cookpad Yanie GisseLya @yanie_gisselya.

Penyesalan Suamiku yang Berhati Dingin

Elara Vance melangkah keluar dari mobil, jantungnya berdebar kencang penuh antisipasi. Setelah tiga minggu berpisah dari keluarganya, dia terbang ke Andoria pada hari ulang tahunnya, berharap bisa memberi kejutan untuk Damien dan Cora. Thorne estate yang luas menjulang di hadapannya, fasad megahnya mengingatkan dengan jelas akan kekayaan dan kekuasaan keluarga yang telah dinikahinya. 

"Selamat datang kembali, Nyonya Thorne," sambut pengurus rumah, Nyonya Gable, di pimtu dengan senyum hangat. 

"Terima kasih, Nyonya Gable. Dimana Damien dan Cora?" tanya Elara, melepas jaket tipisnya. 

Senyum Nyonya Gable memudar. "Tuan Thorne sedang di kantor. Beliau mengatakan akan pulang terlambat hari ini. Cora berada di ruang bermain bersama tutornya." 

Kekecewaan menyelimuti dada Elara, tapi dia mengesampingkannya. "Kalau begitu aku akan menemui Cora." 

Berjalan melalui lorong-lorong yang familiar, Elara berhenti di depan pintu ruang bermain. Tawa terdengar dari dalam - suara putrinya bercampur dengan suara tutornya. Dia masuk dengan senyum cerah. 

"Cora, sayang! Ibu disini!" 

Putrinya yang berusia enam tahun mendongak dari proyek kerajinannya, raut wajahnya menunjukkan keterkejutan alih-alih kegembiraan. "Ibu? Kukira Ibu di New York." 

"Ibu datang untuk merayakan ulang tahun Ibu, bersamamu dan Ayah," jelas Elara, berlutut di samping kursi Cora. 

Perhatian Cora dengan cepat kembali ke proyeknya - sebuah kartu buatan tangan yang dihias dengan glitter dan stiker. "Lihat apa yang sedang kubuat!" 

"Indah sekali, sayang. Apakah itu untuk Ayah?" tanya Elara, ingin membangun koneksi. 

"Bukan, ini untuk Tante Vivi. Dia akan mengajakku ke kebun binatang besok!" seru Cora, matanya berbinar. 

Senyum Elara membeku. Vivienne Dubois - selingkuhan Damien yang tidak terlalu dirahasiakan dan, menyakitkan, saudara tiri Elara. "Itu... baik sekali dari dia." 

"Dia yang terbaik! Dia selalu membawakan hadiah dan mengajakku ke tempat-tempat menyenangkan," lanjut Cora, tidak menyadari pisau yang seolah menusuk hati ibunya. 

"Begitu ya," Elara berusaha menjawab. "Nah, sekarang Ibu di sini. Mungkin kita bisa melakukan sesuatu yang istimewa bersama?" 

Cora mengangkat bahu. "Tapi aku sudah membuat rencana dengan Tante Vivi." 

Tutor, merasakan ketegangan, dengan bijak meminta diri untuk keluar. 

Elara menarik napas untuk menenangkan diri. "Cora, hari ini ulang tahun Ibu. Kamu tidak ingin menghabiskan waktu bersamaku?" 

Cora mendongak, secercah rasa bersalah melintas di wajahnya. "Oh. Selamat ulang tahun, Ibu." Dia ragu-ragu, lalu kembali ke kartunya. "Bolehkah aku menyelesaikan ini dulu? Ini sangat penting." 

Lebih penting daripada aku, pikir Elara dengan getir. Dia berdiri, memaksakan senyum. "Tentu saja, sayang. Ibu akan bertemu denganmu saat makan malam." 

Kembali ke kamar utama, Elara membongkar kopernya dengan gerakan metodis, menahan air mata. Dia berharap perjalanan ini akan berbeda - bahwa mungkin, mungkin saja, suami dan putrinya akan mengingat ulang tahunnya, akan ingin merayakannya bersamanya. 

Ponselnya bergetar dengan pesan dari Damien: "Kerja lembur. Jangan tunggu untuk makan malam." 

Tidak ada pengakuan atas kedatangannya. Tidak ada ucapan ulang tahun. Hanya penolakan lain. 

Beberapa jam kemudian, Elara duduk sendirian di meja makan, mengaduk-aduk makanannya. Sementara Cora berceloteh dengan gembira tentang harinya bersama tutor dan rencananya dengan "Tante Vivi." 

"Ayah bilang, dia mungkin juga akan datang ke kebun binatang, jika dia menyelesaikan rapatnya," umumnya Cora. 

Garpu Elara berdenting mengenai piring. "Benarkah? Itu bagus sekali." 

"Uh-huh! Kami akan makan es krim setelahnya, dan Tante Vivi bilang aku boleh tidur larut untuk menonton film putri yang baru!" 

Elara mengangguk, tenggorokannya terasa sesak. "Kedengarannya menyenangkan sekali, sayang." 

Setelah menidurkan Cora, Elara menunggu di ruang tamu. Jam kakek berdetak menghitung menit, lalu jam. Pada tengah malam, pintu depan akhirnya terbuka. 

Damien masuk, sosok tingginya tersiluet di ambang pintu, keterkejutan tergambar di wajahnya ketika melihatnya. 

"Kau masih terjaga," ujarnya, melonggarkan dasinya. 

"Ini hari ulang tahunku," kata Elara lembut. 

Ekspresinya tidak berubah. "Benarkah? Aku minta maaf karena lupa. Selamat ulang tahun Elara." 

Tujuh tahun pernikahan, dan dia tidak bisa mengingat tanggalnya. Tujuh tahun mencintainya, dan dia bahkan tidak bisa menunjukkan secercah kehangatan. 

"Terima kasih," jawabnya, suaranya hampa. 

"Aku ada rapat pagi besok. Selamat malam." Dia berbalik menuju kamar tamu yang telah ditempatinya selama berbulan-bulan. 

"Damien," panggilnya. "Aku berharap kita bisa makan siang bersama besok. Karena kau melewatkan makan malam hari ini." 

Dia berhenti. "Aku akan mengecek jadwalku." 

Keesokan paginya, Elara bangun lebih awal, bertekad untuk menyelamatkan sesuatu dari perjalanan ini. Dia memilih pakaiannya dengan hati-hati - gaun biru yang pernah dipuji Damien bertahun-tahun lalu - dan menata rambutnya dengan ekstra perhatian. 

Melewati kamar Cora, dia mendengar putrinya berbicara di telepon. 

"Aku tidak sabar bertemu denganmu, Tante Vivi! Aku berharap kau bisa jadi ibuku." 

Elara membeku, tangannya di ganggang pintu. Kata-kata itu menusuknya seperti rasa sakit fisik. 

"Ibuku yang asli ada di sini, tapi dia selalu sedih. Ayah tidak tersenyum saat dia ada di sekitar. Aku lebih suka saat hanya kita bertiga denganmu." 

Mundur dalam diam, Elara kembali ke kamarnya, kata-kata kejam itu bergema dalam pikirannya. Dia duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke dinding, sementara air mata mengalir di wajahnya. 

Pada siang hari, dia cukup tenang untuk mengecek apakah Damien akan menepati janji makan siang bersama mereka. Asistennya yang menjawab. 

"Maaf, Nyonya Thorne. Tuan Thorne mengubah rencananya. Dia meninggalkan kantor sejam yang lalu." 

Elara berterima kasih dan menutup telepon. Secara impulsif, dia berkendara ke restoran favorit Damien. Saat mendekati pintu masuk, dia melihat mereka melalui jendela - Damien, Vivienne, dan Cora, tertawa bersama di meja sudut. Potret keluarga sempurna, tanpa tempat untuknya. 

Sesuatu mengeras di dalam diri Elara. Tujuh tahun berharap, menunggu, mencoba. Tujuh tahun menyaksikan suaminya mencintai wanita lain - saudara tirinya sendiri. Tujuh tahun kehilangan kasih sayang putrinya kepada wanita yang sama. 

Cukup. 

Dia kembali ke estate dengan kejelasan baru. Di kantor rumah, dia menyusun perjanjian perceraian - adil, bahkan murah hati. Dia tidak tertarik pada uang atau properti Damien. Dia hanya menginginkan apa yang memang haknya, termasuk hak asuh bersama atas Cora. 

Ketika selesai, dia menyegel dokumen itu dalam amplop dan meninggalkannya di atas meja Damien dengan namanya tertulis dalam tulisan tangannya yang elegan. 

"Nyonya Gable," panggilnya, menemukan pengurus rumah di dapur. "Tolong pastikan Tuan Thorne menerima ini ketika dia kembali." 

Mata Nyonya Gable sedikit melebar melihat ketenangan Elara. "Tentu saja, Nyonya Thorne. Apakah Anda akan ada di sini untuk makan malam?" 

"Tidak," jawab Elara, suaranya lebih mantap daripada yang pernah terdengar selama bertahun-tahun. "Aku pergi sekarang. Tolong bawa koperku ke mobil." 

Di luar, sopir menunggu di samping mobil hitam yang mewah. "Ke mana tujuan Anda, Nyonya Thorne?" 

Elara memandang kembali ke mansion itu untuk terakhir kalinya, ke sangkar emas yang telah dengan sukarela dimasukinya tujuh tahun lalu. 

"Ke bandara," katanya dengan tegas. 

Sudah waktunya untuk merebut kembali hidupnya. 


* * * 


Damien Thorne menyetir masuk ke halaman rumahnya, mobil hitam mengkilap itu berhenti dengan mulus. Di sampingnya, Cora melompat-lompat di kursinya, masih penuh semangat dari kegiatan mereka hari ini. 

"Ini hari terbaik sepanjang masa, Ayah!" serunya, melepas sabuk pengaman dengan cekatan. 

Damien tersenyum pada putrinya. "Aku senang kamu menikmatinya, putri kecil." 

Saat mereka memasuki lobi utama yang megah, Nyonya Gable menghampiri mereka dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Selamat datang kembali, Tuan Thorne, Nona Cora." 

"Nyonya Gable," Damien mengangguk, menyerahkan mantelnya. "Ada telepon?" 

"Nyonya Thorne tadi datang kemari," jawabnya dengan nada yang dijaga tetap netral. 

Mata Cora melebar. "Ibu ada di sini? Dia sudah pergi?" 

"Ya, Nona Cora. Beliau berangkat ke bandara sekitar dua jam yang lalu." 

Damien sedikit mengerutkan dahi. "Aku tidak tahu dia berencana berkunjung." 

"Katanya itu kejutan," Nyonya Gable menjelaskan. "Beliau tampak sangat kecewa saat pergi." 

Cora mengangkat bahu, sudah kehilangan minat. "Bagus. Aku tidak ingin dia merusak rencana kita dengan Tante Vivi besok." 

"Cora," Damien menegur dengan lembut, meski tanpa keyakinan. Dia berpaling kembali pada Nyonya Gable. "Apakah dia mengatakan kenapa dia kecewa?" 

"Tidak, Tuan." Nyonya Gable ragu sejenak sebelum menambahkan, "Tapi beliau meninggalkan ini untuk Anda." Dia menyerahkan amplop berwarna krem dengan nama Damien yang ditulis dalam tulisan tangan elegan Elara. 

Damien mengambilnya, membolak-balik amplop itu dengan sedikit penasaran. "Terima kasih, Nyonya Gable." 

"Ayah, boleh aku menonton filmku sekarang?" tanya Cora, menarik lengan bajunya. 

"Tentu saja. Ayah akan ada di ruang kerja jika kamu membutuhkan sesuatu." 

Damien berjalan ke ruang kerjanya, amplop di tangan. Dia meletakkannya di atas meja, berniat membacanya setelah memeriksa email. Elara mungkin hanya kesal karena dia lupa ulang tahunnya. Bukan pertama kalinya dia menulis surat untuk mengungkapkan kekecewaannya. 

Sebelum dia bisa membukanya, teleponnya berdering. Nama Vivienne muncul di layar. 

"Vivienne," dia menjawab, suaranya menghangat. 

"Aku hanya ingin mengatakan betapa aku menikmati hari ini," suara menggodanya terdengar. "Dan untuk mengonfirmasi rencana kita besok." 

"Tentu saja. Cora tidak berhenti membicarakan kebun binatang." 

"Aku tidak sabar. Dan bagaimana dengan malam ini?" tanyanya dengan nada menggoda. 

Damien melirik amplop itu, lalu mendorongnya ke samping. "Aku bisa sampai di sana dalam satu jam." 

"Sempurna. Jangan buat aku menunggu terlalu lama." 

Setelah panggilan berakhir, Damien mengumpulkan apa yang dia butuhkan untuk malam itu. Amplop itu terlupakan di mejanya saat dia pergi, pikirannya sudah dipenuhi dengan bayangan Vivienne. 


* * * 


Sinar matahari pagi menyusup melalui tirai aparatemen Elara di kota. Dia telah membelinya bertahun-tahun lalu sebagai properti investasi, tidak pernah berpikir suatu hari akan menggunakannya sebagai tempat pelarian. 

Ruangan itu tidak banyak perabotnya, namun elegan, seperti Elara sendiri. Dia telah menghabiskan malam dengan metodis membongkar barang-barang penting yang dia bawa dari New York - pakaian, perlengkapan mandi, beberapa buku kesayangan. 

Duduk di meja makannya dengan secangkir teh, dia membuka laptop dan masuk ke akun banknya. Dengan tangan yang mantap, dia mentransfer lebih dari tiga juta dollar dari rekening pribadinya ke rekening baru yang dia buat kemarin. 

Itu adalah uang yang Damien berikan padanya selama bertahun-tahun - "uang belanja," begitu dia menyebutnya. Uang yang hampir tidak pernah dia sentuh, lebih memilih untuk mendapatkan gajinya sendiri sebagai kepala tim sekretaris. 

"Ini bukan tentang uang," bisiknya pada diri sendiri, menutup laptopnya dengan tegas. 

Ponselnya bergetar dengan panggilan masuk. Sejenak, dia bertanya-tanya apakah itu mungkin Damien, akhirnya menyadari ketidakhadirannya. Tapi layar menunjukkan nama Chloe. 

"Hei," Elara menjawab, suaranya lebih mantap dari yang dia duga. 

"Kamu melakukannya, kan?" tanya Chloe tanpa basa-basi. "Kamu akhirnya meninggalkannya." 

"Ya." 

"Ya Tuhan, sudah waktunya!" Kelegaan Chloe terasa jelas melalui telepon. "Di mana kamu sekarang? Kamu butuh sesuatu?" 

"Aku di apartemenku di kota. Aku baik-baik saja, Chloe." Pandangan Elara beralih ke kotak-kotak yang belum dibongkar. "Bahkan lebih dari baik, sebenarnya." 

"Sudah ada kabar darinya?" 

"Belum. Aku ragu dia bahkan menyadari aku pergi." Kebenaran dari pernyataan itu tidak sesakit yang dia kira. 

"Bagaimana dengan Cora?" 

Hati Elara terasa sesak. "Biasanya aku meneleponnya setiap malam saat aku pergi. Aku tidak menelepon semalam." 

"Dan?" 

"Dan tidak ada apa-apa. Tidak ada panggilan tak terjawab. Tidak ada pesan yang menanyakan keberadaanku." Elara menarik napas untuk menenangkan diri. "Semakin jelas bahwa aku tidak dibutuhkan di rumah itu." 

"Kamu melakukan hal yang benar, El. Sudah waktunya kamu mendahulukan dirimu sendiri untuk sekali ini." 

Setelah mengakhiri panggilan, Elara mandi dan berpakaian dengan hati-hati. Dia memilih gaun biru tua sederhana yang belum dia kenakan selama bertahun-tahun - sesuatu yang profesional tapi jelas bukan bagian dari lemari pakaian "Nyonya Thorne-nya." 

Dia memiliki satu ikatan lagi yang harus diputuskan. 


* * * 


Thorne Industries menempati lantai-lantai teratas gedung pencakar langit yang berkilau di jantung distrik keuangan. Elara telah bekerja di sana selama lima tahun terakhir, naik menjadi kepala tim sekretaris melalui bakat dan dedikasi yang tulus, meskipun ada bisikan tentang nepotisme. 

Dia melewati lift eksekutif yang biasa dia naiki bersama Damien, dan bergabung dengan karyawan lain di lift utama. Beberapa memberinya tatapan penasaran - Nyonya Thorne jarang datang tanpa suaminya, dan tidak pernah berpakaian begitu... biasa. 

Marcus Cole, Direktur Sumber Daya Manusia, tampak terkejut ketika dia mengetuk pintunya. 

"Nyonya Thorne! Saya tidak menyangka Anda datang hari ini." 

"Tolong, panggil saya Elara," katanya, duduk di hadapannya. "Saya tidak akan menjadi Nyonya Thorne lebih lama lagi." 

Marcus berkedip, jelas terkejut. "Saya... mengerti." 

Dia meletakkan amplop tersegel di mejanya. "Surat pengunduran diri saya, efektif segera. Saya sudah menyiapkan catatan serah terima yang detail untuk tim saya." 

"Ini cukup mendadak," kata Marcus, mengambil amplop dengan hati-hati, seolah-olah itu mungkin membakarnya. "Apakah Tuan Thorne tahu tentang ini?" 

"Dia akan segera tahu." Senyum Elara kecil tapi tegas. "Saya telah mengumpulkan cukup banyak waktu cuti. Saya ingin menggunakannya daripada bekerja selama masa pemberitahuan, jika itu bisa diterima." 

Marcus mengangguk perlahan, masih mencerna. "Tentu saja. Itu sepenuhnya sesuai dengan kebijakan perusahaan." 

"Terima kasih. Saya sudah membereskan meja saya." Dia berdiri, mengulurkan tangannya. "Senang bekerja sama dengan Anda, Marcus." 

Dia menjabat tangannya, ekspresinya campuran kebingungan dan kekhawatiran. "Begtu juga dengan saya, Nyonya... Elara. Jika Anda tidak keberatan saya bertanya, apa rencana Anda sekarang?" 

Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Elara tersenyum tanpa menahan diri. "Saya akan kembali ke tempat saya seharusnya berada." 

Saat meninggalkan kantornya, Elara merasa beban terangkat dari pundaknya. Tujuh tahun mencoba menjadi isteri sempurna bagi pria yang tidak menginginkannya. Tujuh tahun meredam cahayanya sendiri untuk mengakomodasi ketidakpeduliannya. 

Tidak lagi. 

Ponselnya bergetar di dalam tasnya. Dia memeriksa layar - Julian Croft, teman kuliahnya dulu dan rekan bisnis, pria yang untuknya dia meninggalkan impiannya ketika menikah dengan Damien. 

"Waktu yang tepat," gumamnya, menjawab panggilan saat dia melangkah ke dalam lift. "Julian? Ya, sudah selesai. Aku pulang." 

Pintu lift tertutup dengan Elara Vance - bukan Thorne - berdiri tegak, wajahnya menunjukkan tekad yang tenang saat dia turun menjauhi kerajaan yang dibangun suaminya, menuju kehidupan yang pernah dia tinggalkan.

Rangga Pilih Mati, Demi Ibu

Malam nyaris berakhir. 

Subuh sebentar lagi datang. 

Namun bagi bocah 9 tahun 

bernama Rangga, 

itulah malam terakhirnya 

melihat wajah ibunya. 


Dan malam ketika keberaniannya 

mengalahkan rasa takut 

tapi tidak mampu 

menaklukkan kekejaman seorang manusia. 


Rangga saat itu sedang tidur 

bersama sang ibu. 

Sementara sang ayah 

yang merupakan seorang nelayan 

tengah pergi memancing di tambak. 


Ia Anak yang cerdas, juga periang 

dan selalu mendapat peringkat di sekolah. 

Ia juga sudah lancar membaca Alquran. 


Pelaku--Samsul Bahri, 

seorang pengangguran 

masuk ke rumah mereka 

yang berada di tengah kebun sawit. 


Ia membawa parang. 

Mencoba mencongkel pintu rumah. 

Dan masuk ke dalam kamar 

dengan niat paling keji, 

hendak memperkosa perempuan di rumah itu. 


Ibu Rangga terbangun. 

Ia Terkejut. 

Namun, Tak sempat kabur. 

Ia lalu membangunkan Rangga 

dan memintanya lari. 


Namun Rangga menolak. 

Ia tidak lari. 

Ia justru berteriak. 

Meminta tolong 

dengan suara kecilnya 

yang mengguncang malam. 


Pelaku murka. 

Ia membacok pundak kanan Rangga, 

lalu menebas leher 

dan menusuk pundak kirinya. 


Tubuh kecil itu roboh. 

Tapi suaranya masih terdengar: 


"Sakit, Bu..." 


Itulah kata terakhir Rangga 

sebelum diam untuk selamanya. 


Tak sampai di situ. 

Pelaku lalu menyeret Ibu Rangga, 

membenturkan kepalanya ke beton, 

dan memperkosanya 

saat ia tak sadarkan diri. 


Pelaku lalu memasukkan jasad Rangga 

ke dalam karung. 

Dibawa ke sungai untuk dibuang, 

seolah nyawa anak 

seberharga daun kering. 


Beruntung, Ibu Rangga masih hidup. 

tepat saat azan Subuh berkumandang, 

Ia berhasil melepas ikatan di tangannya 

dan berlari menuju rumah warga. 


Kisah ini mengguncang Aceh. 

Indonesia menangis. 

Rangga menjadi simbol keberanian sejati. 

Ia tidak lari meski diberi kesempatan. 

Ia berdiri demi ibunya. 

Demi kehormatan. 

Demi cinta. 


Turut berduka cita yang sedalam-dalamnya 

atas gugurnya Rangga, 

anak yang mengajarkan dunia 

bahwa keberanian tidak diukur dari usia, 

tapi dari seberapa kuat seseorang 

berani berdiri untuk yang ia cintai. 


Selamat jalan, Rangga. 

Surga pasti menyambutmu 

dengan pelukan yang lebih hangat 

daripada dunia yang terlalu kejam 

untuk anak seusiamu. 


10 Oktober 2020 – Birem Bayeun, Aceh Timur. 



Sumber: arsip_tersembunyi.