Oleh Drs. Muhammad Arifin, MA.
Menurut bahasa, taubat memiliki arti kembali. Maksudnya, kembali dari segala yang tercela menurut agama Islam, menuju semua hal yang terpuji. Taubat apabila dibahasakan secara ringkas adalah meninggalkan atau menyesali dosa dan berjanji tidak mengulanginya lagi (penyesalan atas semua perbuatan tercela yang pernah dilakukan). Untuk membersihkan hati dari dosa yang pernah dilakukannya, manusia diperintahkan untuk bertaubat. Taubat merupakan media untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Allah memerintahkan dalam hal taubat ini berupa taubat yang semurni-murninya, sebagaimana firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya." (QS. At-Tahrim [66] : 8). Nabi Muhammad meskipun telah dijamin atau terpelihara dari segala dosa (maksum), tetap bertaubat dan mohon ampun kepada Allah. Berbicara masalah taubat, ternyata berkaitan erat dengan istighfar, yaitu memohon ampun dari semua dosa kepada Allah dengan menundukkan hati, jiwa, dan pikiran.
Kehidupan terus berputar. Terjerembab jangan membuat mata kita terus sembab. Terpuruk tak berarti masa depan kita buruk. Terkadang kita tergerus dosa, namun jangan sampai putus asa. Ibnul Qayyim dalam kitab Madarijus Salikin mengutip ucapan salaf yang terasa aneh: "Adakalanya seorang hamba berbuat dosa, namun masuk surga. Dan adakalanya seseorang mengerjakan ketaatan, namun masuk neraka.' Benar demikian, dosa dan kemaksiatan yang diikuti dengan pertaubatan sungguh-sungguh selalu melahirkan lompatan keimanan yang jatuh lebih tinggi dari sebelum berbuat dosa.
Sementara ketaatan yang diikuti rasa puas diri dan sikap jumawa akan menggerus pahala sampai titik nol yang sia-sia. Kesedihan dan penyesalan akan sebuah kesalahan adalah hal yang perlu, tapi berputus asa dan lemah semangat setelahnya adalah jauh dari sikap mereka para tokoh kesatria nan mulia. Mari kita belajar dari sosok Nabi Sulaiman as., satu-satunya di dunia ini yang diberikan tiga hal yang bahkan tidak diberikan kepada Nabi Muhammad saw.
Tiga hal tersebut adalah kekayaan, kenabian, dan kekuasaan. Namun tidak selamanya kehidupan beliau berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Ada satu episode kehidupan beliau yang bahkan dicatat dalam Al-Qur'an dan diperjelas dalam As-Sunnah, yang memberikan pelajaran bagi kita tentang sikap pertaubatan yang dahsyat.
Kisah ini termuat begitu lengkap dalam kitab Hadits Bukhari dan Muslim, bagaimana suatu ketika Nabi Sulaiman as. begitu percaya diri mengumandangkan tekadnya: "Aku akan menggilir sembilan puluh sembilan isteriku semalaman, yang kesemuanya akan melahirkan anak laki-laki yang berperang 'fii sabiilillah'. Ia akan merindukan generasi yang hebat, maka sebuah tekad yang dahsyat pun dilantunkan. Hanya saja pada waktu itu beliau tidak menambahkan kalimat insya Allah (jika Allah berkehendak). Seorang sahabat beliau telah mengingatkan: "Ucapkan Insya Allah." Namun beliau lalai dan tak hati-hati, terlupa nasihat sang sahabat dan langsung menjalankan apa yang ia tekadkan, menggilir isterinya dalam satu malam.
Apa yang terjadi kemudian adalah episode keterpurukan dan ujian bagi Nabi Sulaiman as. Dari 99 isterinya tersebut, ternyata hanya seorang saja yang melahirkan bayi dan itupun dalam keadaan cacat, digambarkan dalam hadits sebagai "setengah manusia". Maka orang-orang pun meletakkan bayi itu di atas kursi Sulaiman, dan melihat hal tersebut Nabi Sulaiman pun terpuruk, bersedih mengingat ucapannya terdahulu. Inilah yang digambarkan dalam surat Shad ayat 34, Allah SWT berfirman mengisahkan: "dan Sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan dia (anaknya) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah cacat), kemudian ia (Sulaiman) bertaubat."
Bahkan Rasulullah saw. pun menambahkan saat menceritakan kisah ini, sekiranya ia (Sulaiman) mengucapkan insya Allah, niscaya setiap isterinya akan hamil dan melahirkan seorang anak yang akan berjuang di jalan Allah. Nabi Sulaiman pun bertaubat, beliau meminta ampunan sekaligus penyesalan yang mendalam di hadapan Allah SWT. Namun itu tidak disertai kesedihan yang bertalu-talu, ataupun rasa putus asa yang menggurita dalam dada, justeru sebaliknya Sulaiman tahu ia sedang diuji. Maka ia pun bertaubat dengan mengajukan permohonan yang lebih dahsyat dari yang ia capai sebelumnya. Sebuah istighfar segera disusul dengan proposal untuk mendapatkan kerajaan terbesar yang pernah dikenal dalam sejarah manusia.
Allah SWT. memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk bertaubat agar mereka beruntung. Sebagaimana Firman Allah SWT. dalam Al-Qur'an: "Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." (QS. An-Nur [24] : 31). Subhanallah, taubat juga bisa melahirkan semangat dahsyat. Dalam taubatnya Nabi Sulaiman terus melanjutkan cita, bahkan ia mempunyai target yang lebih kuat, lebih besar, dari yang ia miliki sebelumnya.
Kerajaan yang akan senantiasa dikenang dalam sejarah tentang kebesaran dan kekuasaannya. Maka Allah pun memberikan kepada Nabi Sulaiman apa yang ia cita-citakan. Angin pun dalam genggaman, para jin tunduk di hadapan, bahkan penguasa-penguasa negeri lain siap bergabung dalam keislaman. Pelajaran besar dapat kita raih. Mari kita bertaubat layaknya Nabi Sulaiman. Sebuah pertaubatan yang akan melahirkan keberuntungan berupa hentakan sejarah, untuk mencapai kemenangan dan kejayaan jauh lebih besar dari yang kita capai sebelumnya.
Wallahu al-Mustaan
NB: Tulisan ini pernah dimuat dalam Buletin Mimbar Jum'at - Menggali Khazanah Islam - No. 09 Th. XXVI 18 Rabiul Akhir 1434 H - 1 Maret 2013 Jum'at I.