Tapok Kalem adalah permainan pada zaman dahulu yang biasanya dimainkan ketika anak-anak sedang berlibur atau tidak berkegiatan, seperti sekolah. Permainan ini seperti petak umpet, hanya saja permainan ini dilengkapi dengan beberapa alat bantu, seperti kaleng bekas. Kaleng bekas itu nantinya dilempar oleh si penjaga sampai jatuh semua. Jika sudah jatuh maka teman-teman yang lain segera bersembunyi. Bagi yang kalah nantinya akan dihukum yang akan ditentukan oleh teman-teman yang lain.
Sampurasun Aki Lengser dalam Pernikahan Adat Sunda
Sabtu, 21 Desember 2024 - Budaya
Hydro Jet System
Sabtu, 14 Desember 2024 - Teknologi
Giat Kerja Bakti Warga Rw. 16 Cililitan
Minggu, 8 Desember 2024 - Komunitas
LPJ Triwulan 3 Kopma UIN Jakarta 2024
Jum'at, 6 Desember 2024 - Koperasi
LMS UNJ Error, Menyulitkan Pejuang Sarjana
Rabu, 4 Desember 2024 - Teknologi Kampus
Kemandirian “Rumah” Ilmu Pengetahuan
Oleh Sulistyowati Irianto*
Sejak putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2009 mengakhiri status universitas sebagai badan hukum mandiri, terjadi debat yang tidak berkesudahan tentang apakah universitas harus otonom atau tidak.
Di sinilah awal kekacauan tentang apakah artinya “otonomi” dalam perspektif kepentingan universitas sebagai lembaga produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan.
Otonomi sebagai suatu terminologi dalam ilmu pengetahuan dikacaukan dengan pengertian awam sehingga timbul salah pengertian, bahkan konflik, yang tidak menguntungkan bagi kelangsungan pendidikan tinggi Indonesia. Otonomi seperti apa yang dibutuhkan oleh universitas bagi keberlangsungannya? Ada baiknya kita belajar dari Magna Charta Universitatum.
Para rektor universitas di Eropa berkumpul dalam perayaan 800 tahun universitas tertua Bologna, tahun 1988, dan menetapkan Magna Charta Univrsitatum. Mereka mempertimbangkan masa depan umat manusia yang akan sangat bergantung pada perkembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Penelitian yang dihasilkan universitas dianggap sangat penting. Tanggung jawab universitas adalah menyebarluaskan ilmu pengetahuan di kalangan generasi muda yang akan mengabdikan dirinya kepada masyarakat dan bangsa.
Dalam konteks ini, universitas wajib mendidik generasi muda dan mengajar mereka untuk menajamkan suara hati serta menhormati prinsip dan nilai dasar tentang kebenaran dan kejujuran. Suara hati adalah kepekaan untuk menimbang baik dan buruk, benar dan salah.
Prinsip Dasar
Pertama, universitas adalah institusi sendi dalam masyarakat yang harus dikelola secara khusus karena menghasilkan dan menguji ilmu pengetahuan berdasarkan riset dan pengajaran. Oleh karena itu, universitas harus otonom secara moral dan intelektual, terbebas dari otoritas politik dan kekuasaan ekonomi.
Kedua, pengajaran dan riset universitas tak dapat dipisahkan dari perkembangan kebutuhan dan panggilan masyarakat serta kemajuan ilmu pengetahuan.
Ketiga, kebebasan dalam riset dan pengajaran adalah prinsip dasar kehidupan universitas yang harus dihormati. Universitas harus menjamin penolakan terhadap intoleransi, selalu terbuka terhadap dialog, tempat ideal bertemunya para pengajar yang mampu mengkomunikasikan ilmu pengetahuan, serta sangat difasilitasi untuk mengembangkannya melalui riset dan inovasi.
Universitas adalah tempat bagi mahasiswa yang berhak, berkemampuan, dan berkeinginan memperkaya pemikirannya dengan ilmu pengetahuan.
Keempat, universitas berada di garis depan dalam pengembangan tradisi memuliakan kemanusiaan. Kepeduliannya secara konstan ditujukan untuk mencapai ilmu pengetahuan universal dan memenuhi panggilannya melampaui batas geografi, politik, dan mendukung kebutuhan vital untuk memahami keberagaman budaya.
Untuk dapat mewujudkan prinsip dasar itu dibutuhkan cara efektif, seperti menyediakan instrumen yang memadai untuk menjamin kebebasan riset dan pengajaran; membuat regulasi dalam mengangkat pengajar dan memperhatikan status kepegawaian mereka serta melindungi hak-hak mahasiswa untuk bertukar informasi, bekerja sama dengan para pengajar dalam kerja akademik.
Kasus UI
Penyelesaian kasus Universitas Indonesia dikhawatirkan akan berakhir dengan menjadikan UI sebagai satuan kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jika hal ini terjadi, runtuhlah simbol kejayaan dan prinsip dasar kemandirian universitas. Kaum cerdik pandai universitas hanya akan menjadi kepanjangan tangan kepentingan politik pemerintah, kemungkinan juga partai politik. Lebih buruk lagi, preseden ini bisa diikuti oleh perguruan tinggi negeri terkemuka lain di Indonesia.
Universitas adalah kekuatan moral. Oleh karena itu, otonomi universitas haruslah dipertahankan demi kelangsungan pendidikan tinggi untuk menghasilkan manusia Indonesia yang cerdas dan berkarakter.
Otonomi dalam pengertian ini adalah keseluruhan kemampuan institusi untuk mencapai misinya berdasarkan pilihannya sendiri. Otonomi butuh kesempurnaan dalam bidang akademik, tata kelola, dan manajemen keuangan. Jika hal itu tidak terjadi, otonomi telah disalahgunakan.
Otonomi universitas jangan sekali-kali dikaitkan dengan komersialisasi pendidikan, tak menentunya nasib pegawai, dan tata kelola universitas yang tidak terkontrol. Justeru kemandirian universitas harus menjamin kesejahteraan lahir batin setiap pengajarnya, tata kelola yang baik dan intoleran terhadap korupsi dan penyimpangan.
Otonomi dan akuntabilitas adalah dua sisi dari koin yang sama. Akuntabilitas memampukan institusi untuk meregulasi kebebasan yang ada padanya dengan cara otonom. Untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi, perlu perubahan tata kelola yang mendasar dari tingkat universitas, fakultas, sampai program studi secara menyeluruh.
Jika hal ini tak dilakukan, kita berutang kepada generasi muda mahasiswa yang kelak akan menentukan arah bangsa dan peradaban manusia secara global.
*Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia. Dan artikel ini pernah dimuat di Opini Kompas pada hari Rabu, 4 Januari 2012.
“Biar Negara Hangus Terbakar...”
Oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif*
Revolusi mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada 1945-1949 sungguh kritikal, melelahkan, tetapi syarat dengan harapan untuk menang. Ia menyisakan berjuta pengalaman suka duka, heroisme, dan idealisme dengan kualitas hampir tanpa cacat.
Sebagai anak kampung yang tersuruk di lembah Bukit Barisan dalam usia di bawah 14 tahun, saya tidak menyumbang apa pun untuk kepentingan revolusi itu. Sekiranya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pimpinan Sjafruddin Prawiranegara tidak menjadikan kampung saya, Sumpur Kudus, sebagai salah satu pusat pemerintahan gerilya selama beberapa minggu pada 1949, kampung ini-seperti ribuan desa lain di seluruh Nusantara-tidak akan pernah dicatat dalam peta perjuangan kemerdekaan.
Semboyan Perjuangan
Sebagai anak kampung yang lugu dengan pendidikan Sekolah Rakyat (SR) pada 1942-1947, tidak banyak yang singgah dalam memori saya tentang percikan api revolusi di lingkungan pedesaan yang terisolasi itu. Namun, bait lagu atau semboyan yang rasanya berbunyi: “Biar negara hangus terbakar, asal tidak dijajah lagi”, masih bertahan di otak saya sampai hari ini.
Saya tidak tahu siapa pencipta lagu atau semboyan yang sangat nasionalistis itu, yang getarannya dirasakan jauh sampai ke pelosok yang tak dikenal. Rakyat udik pun telah lama menjatuhkan talak tiga terhadap apa yang bernama penjajahan. Semboyan ini pun bergema pada saat-saat yang menentukan itu: merdeka atau mati!
Maka, tidak mengherankan apabila rakyat desa menyambut para pejuang kemerdekaan dengan semangat pengorbanan yang teramat tulus. Segalanya diberikan: harta dan jiwa tanpa mengharap imbalan apa pun. Inilah pengorbanan yang paling otentik yang dikenal dalam masa revolusi. Pemimpin dan rakyat hidup berdampingan tanpa jarak. Kesederhanaan adalah fenomena keseharian saat itu.
“Biar negara hangus terbakar” melambangkan sebuah tekad yang teramat kuat untuk menjadi bangsa merdeka. Sistem penjajahan pada masa lampau itu asing sifatnya harus segera dihalau, sekali dan untuk selama-lamanya.
Karena bercorak serba asing, apakah penjajah itu berhidung mancung atau bermata sipit, kita dengan sangat mudah mengenalinya. Kelakuannya serupa: zalim, diskriminatif, eksploitatif, opresif, dan represif. Rakyat terjajah tak dianggap manusia penuh. Semua kelakuan buruk dan busuk ini menyatu dengan sistem penjajahan itu.
Namun, setelah merdeka muncul kesulitan karena yang berkuasa telah digantikan oleh anak bangsa sendiri, sekalipun kelakuan buruk bisa saja berlanjut. Penguasa baru itu, yang saya kategorikan sebagai londo ireng, tidak jarang pula meneruskan sifat-sifat penjajahan yang tidak hirau dengan masalah keadilan dan nasib rakyat banyak. Akibatnya, sila kelima Pancasila berupa Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia masih tetap menggantung di awan tinggi, belum membumi untuk dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Zaman Bergerak, Sikap Berubah
Pada era 1950-an, beberapa tahun pascarevolusi, kesederhanaan gaya hidup para elite kita masih sangat terlihat. Bahkan, seorang perdana menteri hanya memakai baju hem lengan pendek saat dilantik Presiden. Kesenjangan sosial-ekonomi belum dirasakan benar. Maklumlah, negara dalam kondisi miskin.
Ada, memang, pertentangan ideologi politik antarpartai yang cukup tajam, tetapi tak pernah berdarah-darah. Jika ada darah yang tertumpah, itu semata-mata untuk melumpuhkan pemberontakan, seperti kasus DI/TII, dan sebelumnya terjadi pula pemberontakan PKI Madiun yang memang harus ditumpas.
Pada akhir 1950-an, dipicu oleh kesenjangan antara daerah dan pusat serta semakin dominannya pengaruh komunisme, pergolakan daerah sulit untuk dihindari dan penyelesaiannya pun berdarah-darah. Sesuatu yang sangat disayangkan.
Akan tetapi, gaya hidup para elite masih dalam batas normal. Kesederhanaan belum lagi meninggalkan panggung politik nasional. Pesta pora perkawinan yang ekstra mewah, seperti yang terlihat belakangan, jarang sekali terjadi. Roh proklamasi dengan pesan kesederhanaan dan egalitariannya masih belum pupus dari kehidupan para elite. APBN dan APBD ketika itu tak dijadikan sapi perahan oleh perselingkuhan penguasa atau politisi dan pengusaha.
Dengan bergeraknya zaman, berlaku pulalah pergeseran kelakuan. Batas-batas moral telah dilanggar semau gue. Sebagian pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif tanpa rasa malu telah sama berkubang dalam dosa dan dusta. Pernyataan-pernyataan politik dan hukum telah kehilangan otentisitasnya karena pada umumnya adalah untuk melestarikan kekuasaan dan berebut tulang. Dalam kondisi semacam ini, tuan dan puan akan sia-sia berharap perbaikan kehidupan rakyat banyak secara menyeluruh. Kekuasaan telah dijadikan tujuan.
Ironisnya, ia sering dibungkus dalam bahasa lembut, tetapi culas, demi kekuasaan dan uang. Teramat kecil jumlah anak bangsa ini yang masih berpikir tentang masa depan bangsa dan negara. Kepentingan kekinian yang serba pragmatis telah menjadi “agama”, mengalahkan tujuan jangka jauh bagi kelangsungan negara kepulauan yang cantik tetapi merana ini.
To have more and to use more (semakin banyak memiliki dan semakin banyak pula menggunakan), tulis Erich Fromm, adalah sifat masyarakat konsumeristik. Dikatakan bahwa masyarakat ini telah menghasilkan barang-barang tunaguna dan pada tingkat yang sama telah melahirkan pula manusia tak berguna. Namun, sudah demikian burukkah masyarakat Indonesia sekarang? Saya rasa belum, tetapi gejala ke arah itu telah semakin terang benderang. Jika tidak dibendung dengan seksama oleh seluruh kekuatan akal sehat yang sesungguhnya masih hidup dalam jiwa bangsa ini, jalan ke arah itu makin terbuka.
Akhirnya...
Semboyan masa revolusi yang berbunyi “Biar negara hangus terbakar, asal tidak dijajah lagi” telah digeser oleh filosofi pragmatis para elite: “Biar negara jadi sapi perahan dan korupsi merajalela, asal aku tetap berkuasa”. Lagi-lagi, kekuasaan telah dijadikan tujuan tertinggi.
Inilah penguasa londo ireng yang berlagak santun, tetapi hati nuraninya telah lama lumpuh. Dan, kelumpuhan nurani ini pulalah yang menjadi sumber utama dari segala macam ketidakberesan yang sedang menerpa Indonesia sekarang.
*Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah dan artikel ini pernah dimuat di Opini Kompas pada hari Rabu, 4 Januari 2012.
Beasiswa BCA Finance 2010
Setelah sukses dengan program “Beasiswa BCA Finance 2009” yang telah diberikan kepada 20 mahasiswa berprestasi tahun lalu senilai total Rp 360.000.000 (tiga ratus enam puluh juta rupiah), maka tahun ini, menyambut HUT Kemerdekaan Republik Indonesia Ke-65 dan disertai tekad kuat untuk turut mencerdaskan kehidupan bangsa, BCA Finance kembali menggulirkan program “BEASISWA BCA FINANCE 2010”. Beasiswa akan diberikan kepada 35 orang mahasiswa berprestasi yang kurang mampu secara ekonomi.
Total Beasiswa yang akan diberikan oleh BCA Finance adalah senilai Rp 420.000.000,- (empat ratus dua puluh juta rupiah). Beasiswa diberikan dalam bentuk SPP maksimum Rp 1.000.000,- dan uang saku Rp 1.000.000,- per semester, sejak dinyatakan sebagai penerima beasiswa hingga maksimal sampai dengan semester 8.
Adapun persyaratan yang harus dipenuhi oleh mahasiswa pelamar adalah sbb :
- Mahasiswa/i Program Strata 1 (S1).
- Minimal telah menyelesaikan semester 2.
- Mengisi Formulir Beasiswa (download di www.bcafinance.co.id).
- Melampirkan Transkrip Nilai semester terakhir dengan IPK min 3,00.
- Melampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu dari Institusi yang berwenang dari daerah sesuai KTP mahasiswa.
- Melampirkan Surat Rekomendasi dari Pihak Perguruan Tinggi.
- Mengajukan surat permohonan beasiswa kepada PT. BCA Finance.
- Melampirkan fotokopi Kartu Mahasiswa dan KTP.
- Menyertakan 2 (dua) lembar pas foto berwarna ukuran 4 x 6.
- Menyertakan surat keterangan dari pihak kampus mengenai besarnya biaya kuliah tiap semester (SPP) dan atau biaya mata kuliah per kredit (SKS).
- Mencantumkan Nama Universitas dan Nama Kota di sudut kiri atas amplop.
- Tidak sedang menerima beasiswa dari pihak manapun.
Berkas persyaratan paling lambat kami terima tanggal 24 September 2010 (Cap Pos) yang dikirimkan ke :
PT BCA Finance
Up. Corporate Planning
Wisma BCA Pondok Indah Lt. 8
Jl. Metro Pondok Indah No. 10
Jakarta 12310
Daftar nama penerima beasiswa akan kami umumkan pada tanggal 22 Oktober2010 melalui Website BCA Finance : www.bcafinance.co.id
Penerima beasiswa terpilih akan diundang ke Kantor Pusat BCA Finance di Jakarta selama dua hari untuk mengikuti acara “Meet & Greet” berupa ramah tamah dengan pihak Manajemen BCAF, tour de office, dan konferensi pers. Biaya transportasi dan akomodasi sepenuhnya ditanggung oleh BCA Finance.
Keputusan hasil penerima beasiswa adalah mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Proses penyaringan akhir dilaksanakan oleh tim seleksi BCA Finance.