PT. HIJAS LINE TUJUH TUJUH - HIJAS TRANS 77

Pengertian Hukum Agraria

Oleh Moh. Hibatul Wafi*

Sebutan agraria tidak selalu dipakai dalam arti yang sama, dalam bahasa Latin ager berarti tanah atau sebidang tanah atau pertanahan, sedangkan agrarius berarti perladangan, persawahan, pertanian.[1] Agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah.[2] Sebutan agraria dalam bahasa Inggris adalah agraria yang diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanian.[3] Sebutan agraria laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikan.[4]

Berdasarkan pengertian tersebut berarti menurut penulis yang dimaksudkan agraria adalah hal ikhwal yang berkaitan dengan tanah atau pertanahan. Tanah bagi manusia merupakan hal yang terpenting bagi hidup dan kehidupannya. Di atas tanah, manusia dapat mencari nafkah seperti bertani, berkebun, beternak, bersawah, dan lain-lain. Di atas tanah pula manusia membangun rumah sebagai tempat bernaung dan membangun berbagai bangunan lainnya untuk perkantoran dan sebagainya. Tanah juga mengandung berbagai macam kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan manusia. Oleh karena itu, setiap orang pasti mempunyai keinginan untuk dapat memiliki tanah lengkap dengan perlindungan hukumnya. Perlindungan itu diwujudkan dengan pemberian macam hak atas tanah oleh negara sebagai petugas pengatur. Untuk dapat mewujudkan keteraturan dan ketertiban perlu dibentuk perundang-undangan yang jelas dan tegas.

Dalam berbagai peraturan yang ada sebutan agraria masih menunjukkan pada masalah tanah dan pertanahan, termasuk badan yang dibentuk oleh pemerintah, yaitu Badan Pertanahan Nasional, menggunakan kata tanah, meskipun perangkat peraturan perundang-undangannya menyebut dengan istilah agraria.

Perkembangan selanjutnya istilah agraria tidak diartikan dengan tanah saja, tetapi pengertiannya lebih luas yang meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pengertian bumi meliputi permukaan (yang disebut tanah) tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Seluruh air, dalam arti perairan, baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Republik Indonesia, misalkan ikan, garam, mutiara, teripang, dan sebagainya. Sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi, yang disebut dengan bahan-bahan galian atau sumber-sumber galian yang pada dasarnya merupakan objek dari usaha-usaha industri, pertambangan, dan sejenisnya. Ruang angkasa yaitu ruang di atas bumi dan air yang mengandung tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu.

Hal ini dipertegas dalam Pasal 5 UUPA yang menyatakan : “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas satuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Oleh karena itu, menurut A.P. Parlindungan, dari ketentuan Pasal 5 UUPA tersebut dapat dibagi atas :
  1. Hukum yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah berdimensikan hukum adat.
  2. Pro kepentingan nasional.
  3. Pro kepada kepentingan negara.
  4. Pro kepada persatuan bangsa.
  5. Pro kepada sosialisme Indonesia.
  6. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
  7. Ditambah dengan hukum agama.[5]
Hal yang berbeda dikemukakan oleh Purnadi dan Ridwan, hukum agraria pada dasarnya ialah suatu hukum yang mengatur perihal tanah beserta seluk beluk yang ada hubungannya dengan pertanahan, misalkan hal perairan, perikanan, perkebunan, pertambangan, dan sebagainya.[6]

Dengan demikian, penulis dalam pembahasan makalah ini lebih menekankan pada pengertian agraria dengan tanah, karena fungsi dan peran tanah dalam berbagai sektor kehidupan manusia, memiliki empat (4) aspek yang sangat strategis, yaitu aspek ekonomi, aspek politik, aspek hukum, dan aspek sosial.[7] Keempat aspek tersebut merupakan isu sentral yang paling terkait sebagai satu kesatuan yang terintegrasi dalam pergaulan proses kebijakan hukum pertanahan yang dilakukan oleh pemerintah.[8]

Beberapa pendapat juga menunjukkan bahwa pengertian agraria menunjuk pada hal ikhwal tanah dan pertanahan, seperti dikemukakan beberapa pakar hukum di bawah ini.

Subekti Tjitrosudibio, agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada didalamnya dan diatasnya, seperti telah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria, LN 1960-104. Hukum agraria (agrarische recht) adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan hukum, baik Hukum Perdata, Hukum Tata Negara (staatsrecht), maupun Hukum Tata Usaha Negara (administrative recht) yang mengatur hubungan-hubungan antara orang termasuk badan hukum, dengan bumi, air, dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara dan mengatur pula wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan-hubungan tersebut”.[9]

Sudargo Gautama, “…hukum agraria memberikan lebih banyak keleluasan untuk mencakup pula didalamnya berbagai hal yang mempunyai hubungan pula dengan, tetapi tidak melulu mengenai tanah. Misalnya persoalan tentang jaminan tanah untuk hutang, seperti ikatan kredit (crediet-verband), atau ikatan panen (oogstverband), zekerheidsstelling, sewa menyewa antar golongan, pemberian izin untuk peralihan hak-hak atas tanah dan barang tetap, dan sebagainya, lebih mudah dicakupkan pada istilah pertama yaitu hukum agraria daripada istilah hukum tanah”.[10]

Utrecht, beliau secara tegas memberikan pengertian yang sama pada Hukum Agraria dan Hukum Tanah, tetapi dalam arti sempit, yaitu hanya meliputi bidang Hukum Administrasi Negara, yang menurutnya “Hukum Agraria dan Hukum Tanah menjadi bagian Hukum Tata Usaha Negara yang menguji perhubungan-perhubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus soal-soal tentang agraria, melakukan tugas mereka itu”.[11]

Fockema Andreae merumuskan hukum agraria sebagai keseluruhan peraturan-peraturan hukum mengenai usaha dan tanah pertanian, tersebar dalam berbagai bidang hukum, seperti hukum perdata dan hukum pemerintahan yang disajikan sebagai satu kesatuan untuk keperluan studi tertentu.[12]

J. Valkhoff, hukum agraria bukan semata ketentuan hukum yang berhubungan dengan pertanian, melainkan hanya yang mengatur lembaga-lembaga hukum mengenai penguasaan tanah.[13]

Dengan demikian, pengertian hukum agraria dan agraria itu sendiri dalam makalah ini dimaksudkan adalah Hukum Tanah dan Tanah, serta Hukum Tanah bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, ia hanya mengatur salah satu aspek yuridisnya yang disebut hak-hak penguasaan atas tanah. Kajian hukum agraria, objek perhatiannya bukan tanahnya, melainkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban berkenaan dengan tanah yang dimiliki dan dikuasai dalam berbagai bentuknya, meliputi kerangka hukum dan institusionalnya, pemindahannya, serta pengawasannya oleh masyarakat.

Untuk memberikan batasan mengenai sebutan tanah yang selama ini diartikan berbagai arti, maka dalam penggunaannya perlu dibatasi, agar diketahui dalam arti apa istilah yang digunakan. Dalam hukum agrarian sebutan tanah telah diberi batasan menurut Undang-Undang Pokok Agraria. Dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan bahwa: “atas dasar menguasai dari Negara…. ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang….”.

Dengan demikian, bahwa yang dimaksudkan tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi yang berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.

Tanah yang diberikan kepada orang/badan hukum dan dipunyai orang dengan hak-hak yang disediakan oleh Undang-Undang Pokok Agraria untuk digunakan dan dimanfaatkan. Dengan diberikannya dan dipunyainya tanah dengan hak-hak tertentu tidak akan bermakna dan tidak mempunyai arti apapun, jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja. Untuk keperluan apapun diperlukan juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya. Oleh karena itu, dalam Pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa: “hak-hak atas tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan yang disebut “tanah”, tetapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang yang ada di atasnya”.

Dengan demikian, yang dimaksud dipunyai dengan hak atas tanah itu adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi, akan tetapi wewenang menggunakan yang bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada di bawah tanah dan air serta ruang yang ada di atasnya.

Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksudkan bukan kepunyaan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Hal itu ada batasnya seperti yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA dengan kata-kata : “sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi”.

Untuk menentukan seberapa dalamnya tubuh bumi dan seberapa tinggi ruang boleh digunakan, tentu saja ditentukan oleh undang-undang. Untuk menentukannya yang ditentukan oleh tujuan penggunaannya dalam batas-batas kewajaran, perhitungan teknis kemampuan tubuh buminya sendiri, kemampuan pemegang haknya serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Penggunaan tubuh bumi itu harus ada hubungan langsung dengan gedung yang dibangun di atas tanah tersebut. Misalnya untuk pemancangan tiang-tiang pondasi, untuk pondasi rumah, dan lain-lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanah meliputi :
    1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali.
    2. Keadaan bumi di suatu tempat.
    3. Permukaan bumi yang di beri batas.
    4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (misalnya pasir, cadas, dan lain-lain).[14]
    Menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) hak atas tanah tidak meliputi pemilikan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (bumi yang di bawahnya air dan ruang angkasa). Dalam Pasal 8 UUPA menyebutkan bahwa: “karena…. hak-hak atas tanah itu hanya memberii hak atas permukaaan bumi, maka wewenang-wewenang yang bersumber daripadanya tidaklah mengenai kekayaan-kekayaan alam yang terkandung dalam tubuh bumi, air, dan ruang angkasa. Oleh karena itu, maka pengambilan kekayaan yang dimaksudkan itu memerlukan pengaturan tersendiri. Ketentuan ini merupakan pangkal bagi perundang-undangan pertambangan dan lain-lain.

    Oleh karena itu, dalam pemanfaatan tanah yang berupa tubuh bumi dan air hanya untuk keperluan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah yang dihaki diperbolehkan. Akan tetapi, apabila tanah dan air itu diambil atau diolah untuk dijual, diperlukan hak atas izin khusus yang diatur menurut undang-undang tersendiri, misalnya Undang-Undang Pertambangan, dan lain-lain. Begitu juga pengambilan dan penggunaan kekayaan alam yang terkandung di dalam ruang angkasa memerlukan hak khusus yang disebut dengan Hak Guna Ruang Angkasa.

    Di samping itu, juga ada aturan lain yang mengatur mengenai bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah, bahwa dalam hukum tanah apa yang dikenal dengan azas accessie atau azas pelekatan, bangunan dan tanaman yang ada di atas dan merupakan satu kesatuan dengan tanah merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu, hak atas tanah dengan sendirinya, karena hukum meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atas yang dihaki, kecuali kalau ada kesepakatan lain dengan pihak yang membangun atau menanamnya.

    Oleh karena itu, perbuatan hukum mengenai tanah meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atasnya. Pada umumnya bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah adalah milik yang empunya tanah. Akan tetapi menurut azas Hukum Adat yang disebut “azas pemisahan horizontal” (dalam bahasa Belanda horizontale scheiding), maka hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atasnya. Perbuatan hukum yang mengenai tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan tanaman milik yang empunya tanah yang ada di atasnya. Apabila perbuatan hukumnya dimaksudkan meliputi juga bangunan dan tanamannya, maka hal ini secara tegas harus dinyatakan dalam akta yang membuktikan dilakukannya perbuatan hukum yang bersangkutan.

    NB: Makalah asli beserta footnote dapat diunduh disini.

    *Makalah ini hasil dari studi perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Syari'ah & Hukum Jurusan Peradilan Agama (Akhwal Asy-Syakhsiyyah).

    0 comments:

    Posting Komentar

    Sertifikat Halal Gratis untuk UMKM

    Produkmu sudah punya Sertifikasi Halal belum? Mulai tanggal 17 Oktober 2024 nanti semua produk UMKM wajib memiliki sertifikasi HALAL loh sob...