Oleh Redaksi Buletin Hakam Peradilan Agama
Edisi November 2009
Mendengar kata “akademis” secara langsung kita sudah tahu bahwa mahasiswa yang mendapat predikat akademis adalah yang rajin kuliah, cerdas, aktif dalam diskusi, suka membaca buku, dan indeks prestasinya cumlaude. Orang tua bila diberi pertanyaan, “Mau gak punya putra putri yang mendapat predikat akademis sebagaimana criteria di atas ?”. Pasti mereka secara kompak akan menjawab, “Mau”. Memang orang tua yang membiayai kuliah pasti berharap putra putrinya akan menjadi manusia yang cerdas, baik cerdas otaknya dan juga hatinya alia shaleh.
Menjadi akademis sejati memang perlu perjuangan yang tidak mudah. Di samping harus rajin kuliah, juga rajin berdiskusi agar dirinya terbiasa mengeluarkan pendapat dan mengasah ide-ide yang ada dalam otaknya. Orang yang biasa berdiskusi akan memiliki mental berani dan cepat tanggap dalam mengatasi permasalahan. Nah, dalam berdiskusi juga harus punya modal, yakni pengetahuan yang luas. Jangan jadi “tong kosong nyaring bunyinya”, bersuara tapi gak ada isinya. Oleh karena itu, membaca buku itu sangat penting. Apalagi kampus sudah menyediakan fasilitas perpustakaan yang cukup memadai. Selain itu, media pengetahuan bukan hanya buku, ada surat kabar, majalah, internet, televisi, dan lain-lain.
Selain tipe mahasiswa akademis, ada juga tipe mahasiswa aktivis. Mendengar kata “aktivis” pasti kita tahu bahwa mahasiswa yang mendapat predikat ini adalah orang yang aktif di organisasi, baik di kampus maupun di luar kampus. Kesehariannya sibuk dengan organisasi, mulai rapat, membuat acara, mengurus proposal, seminar, diskusi, bahkan melakukan aksi bila dibutuhkan. Menjadi aktivis memang hal yang membanggakan, selain akan memiliki banyak teman, pasti akan banyak pengalaman yang tidak didapatkan di bangku perkuliahan.
Tidak semua mahsiswa mau menjadi aktivis. Alasannya tidak diizinkan orang tua, takut kuliah terlantar, takut indeks prestasi berantakan, atau bahkan malas karena masih senang jalan-jalan, hura-hura, dan menikmati masa muda untuk senang-senang. Apakah benar pendapat sebagian orang bila menjadi mahasiswa aktivis, kuliah akan terlantar dan indeks prestasi berantakan ? Bisa tidak menjadi aktivis sekaligus menjadi akademis?
Pendapat sebagian orang bahwa mahasiswa aktivis itu kuliahnya terlantar dan indeks prestasinya berantakan, memang benar dan salah. Benar karena ada sebagian aktivis yang jarang masuk kuliah dan indeks prestasinya hancur berantakan. Salah karena ada juga aktivis yang tetap rajin kuliah dan indeks prestasinya baik, bahkan ada yang cumlaude. Jadi benar atau salahnya pendapat tadi tergantung pribadi masing-masing aktivis, apakah ia bisa mengatur kesibukan di organisasi dengan waktu kuliah atau tidak?
Mahasiswa aktivis bisa menjadi akademis sekaligus. Aktivis dan akademis bukanlah kedua hal yang saling bertentangan, justru keduanya bisa saling berjalan beriringan dan saling mengisi kekurangan. Nah yang bahaya adalah mahasiswa no aktivis or akademis, yakni sudah tidak mau aktif di organisasi juga kuliahnya malas, tidak suka diskusi apalagi membaca buku di perpustakaan. Mahasiswa seperti ini yang harus lenyap dari muka bumi. Oleh karena itu, menjadi aktivis yang aktif di organisasi sekaligus menjadi akademis yang cerdas, rajin, dan memiliki indeks prestasi tinggi bukanlah keniscayaan. Kemampuan mengatur waktu adalah kunci suksesnya seorang aktivis akademis. Jadi, menjadi aktivis sekaligus akademis, Why Not ???