Janji Manis Smelter Papua

Pemerintah daerah Papua yakin bisa membangun smelter konsentrat tembaga dalam lima tahun. Belum ditopang infrastruktur dan industri pendukung.

Sorak-sorai terdengar dari salah satu ruang besar di Hotel Rimba Papua di pusat Kota Timika, Papua, Ahad siang medio Februari 2015 lalu. Riuh tepuk tangan menambah ramai suasana. Rapat yang digelar sejak pukul delapan pagi dengan topik utama rencana pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) konsentrat tembaga di Bumi Cendrawasih itu mencapai kata sepakat.

Menurut ketua tim penelaah kapasitas nasional smelter nasional, Muhammad Said Didu, yang turut hadir, rapat dipimpin Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said. "Pak Menteri bilang seluruh permintaan daerah akan dipenuhi, termasuk memasok kebutuhan konsentrat untuk smelter Papua," kata Said Didu kepada Tempo, Selasa pekan lalu.

Kesepakatan ini menjawab desakan pemerintah Papua yang meminta hasil tambang utama wilayah itu tak perlu diangkut ke luar pulau untuk diolah. Mereka menolak keras rencana PT. Freeport dan pemerintah pusat yang hendak membangun pabrik smelter berskala besar di Gresik, Jawa Timur, untuk keperluan itu.

Hadir dalam pertemuan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara R. Sukhyar, Presiden Direktur PT. Freeport Indonesia Maroef Sjamsudin, dan anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Toni Wardoyo. Rombongan dari Papua adalah Gubernur Papua Lukas Enembe dan beberapa bupati, antara lain Bupati Mimika Eltinus Omaleng.

Saat menuturkan, kesepakatan itu meliputi penyediaan lahan oleh pemerintah daerah sekaligus tanggung jawab mencari investor. Satu hal tambahan dipesan Menteri Sudirman, yakni agar hanya pemain kredibel yang diberi kesempatan membangun smelter disana.

Selama hampir lima jam, persamuhan berjalan lancar. Said menuturkan, pembicaraan berlangsung cair dengan pemaparan dari pemerintah daerah mengenai road map proyek, lengkap dengan penentuan lokasi pembangunan pabrik berkapasitas 900 ribu ton konsentrat di Pomako, Mimika.

Rombongan Sudirman berkunjung ke Papua menyusul permintaan pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Persoalannya, sejak mula PT. Freeport sudah menyampaikan posisi mereka mengenai proyek smelter di tanah Papua. Presiden Dikrektur Freeport Maroef Sjamsudin memastikan perusahaannya tak ikut campur dalam rencana investasi tersebut. Dana pembangunan smelter murni dari anggaran pemerintah sendiri. "Kami hanya memasok konsentrat untuk Papua," ujarnya.

Belakangan, pemerintah daerah menyanggupi membangun sendiri smelter itu. Mereka menerima alasan bahwa pembangunan di dua lokasi sekaligus oleh perusahaan itu tak ekonomis. Masalah juga akan timbul karena pasti akan melampaui batas waktu yang ditetapkan pemerintah bagi Freeport, agar pemurnian di dalam negeri harus sudah ada pada 2017.

Smelter itu akan menjadi bagian dari rencana kawasan industri di Timika, meliputi pembangunan pabrik pupuk, petrokimia, dan pabrik pengantongan semen. Untuk tahap pertama, kawasan yang akan menampung industri hilir ini akan dibangun di lahan seluas 650 hektare. Tahap selanjutnya diperluas dengan tambahan 2.000 hektare.

Walaupun di atas kertas seolah-olah tak ada masalah, seorang pejabat pemerintah ragu rencana itu bisa terwujud seperti dijanjikan. Alasan utamanya adalah belum memadainya jalan raya, kelistrikan, air, dan industri pendukung sampingan dari smelter. Juga masalah lahan yang belum pasti.

Dari pemantauan di lapangan, lahan di Pomako kenyataannya masih jauh dari siap. "Ada bagian tanah gambut yang dipenuhi hutan bakau," ujar pejabat itu. Menurut dia, masih diperlukan banyak izin untuk mengalihfungsikan lahan tersebut menjadi kawasan industri. Topografi wilayah yang di dominasi rawa merupakan persoalan lain yang dianggap cukup merepotkan.

Yang juga belum meyakinkan adalah siapa investor yang bakal menjadi rekanan pemerintah daerah. Dalam beberapa kesempatan, pemerintah provinsi mengatakan sudah ada investor dari Cina, yakni... [Klik Selengkapnya]

Sumber : Majalah Tempo Edisi 15 Maret 2015 hal. 104
*M. Agung Rajasa (ANTARA)

0 comments:

Posting Komentar