Berkah Jum'at: RABUL dan BAD-SAM

10 Mei 2024 - Koperasi Kampus

Sertifikat Halal Gratis untuk UMKM

Sabtu, 4 Mei 2024 - UMKM.

Layanan Poli THT RS. PELNI

14 Maret 2024 - Tenaga Kesehatan

Monev Kinerja PNS Jakarta Timur 2023

Jakarta | Rabu, 20 Desember 2023 - Kepada yang terhormat, seluruh Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Lingkungan Suku Dinas Pendidikan Wilayah I Kota Administrasi Jakarta Timur.

Pembuatan Pesan Izin GDPR

Rabu, 1 November 2023 - Admin berniat ingin membuka google adsense guna mengecek penghasilan dari adsense,...

PT. HIJAS LINE TUJUH TUJUH - HIJAS TRANS 77

UUD 1945: Penetapan Sebagai Konstitusi Negara dalam Pendekatan Hukum Islam

Oleh Dr. Sudirman Abbas

HUKUM ISLAM VIS-À-VIS NEGARA-BANGSA
SEBUAH LATAR PERSOALAN

Negara-bangsa (nation-state) merupakan kenyataan sejarah yang tidak bisa dihindari oleh bangsa Indonesia dalam proses perumusan dasar negara dan konstitusinya. Selain karena tuntutan global, negara-bangsa saat itu menjadi konsep negara modern yang menjanjikan penyelesaian bagi setiap bangsa dalam menghadapi pluralisme. Karena itu, bisa dipahami jika Indonesia, sebagai bangsa yang pluralistik, kemudian mengikuti konsep ini. Hubungan antara agama (Islam) dan keharusan negara-bangsa pada dasarnya telah menjadi perhatian para pemikir dari zaman ke zaman. Semenjak Jamal al-Din al-Afghani (Mesir) hingga Abdurrahman Wahid (Indonesia), para pemikir Islam telah mencurahkan berbagai tawaran solutifnya tentang relasi reciprocal atau mutual Islam-negara-bangsa ini.

Adalah positivisme yuridis,[1] mainstream madzhab hukum yang dianut oleh konsep negara-bangsa (nation-state) dewasa ini. Madzhab ini secara tegas menyatakan bahwa yang dapat diterima sebagai hukum yang sebenarnya hanyalah yang telah ditentukan secara positif oleh negara. Menurutnya, hukum hanya berlaku karena hukum itu mendapatkan bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang. Norma-norma kritis yang ada hubungannya dengan keinsyafan keadilan dalam hati nurani manusia (yang dapat disamakan dengan hukum alam zaman dahulu) tidak mempunyai tempat dalam sistem sosiologi hukum ini.

Dengan demikian, dalam pandangan positivisme yuridis keberadaan hukum di tengah-tengah kehidupan masyarakat mesti tidak bebas nilai, tidak bebas kepentingan, dan tidak bebas kekuasaan. Hukum senantiasa dipenuhi dan diliputi dengan nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, dan kuasa-kuasa tertentu sesuai dengan kehendak pembuatnya, aparatur negara. Bahkan, hukum itu sendiri merupakan akumulasi dan formulasi dari sinergi ketiga hal tersebut.

Oleh karena itu, mengikuti logika ini hukum tidaklah netral dan tidak pula obyektif. Hukum diciptakan dan dibuat untuk memihak dan membela, bukan semata-mata untuk memberikan perlindungan dan pengayoman bagi masyarakat demi tegaknya keadilan dan kebenaran.[2]  Demikian ini wujud peran hukum sebagai a tool of social engineering.[3] Tetapi, pandangan yang demikian tidak sepenuhnya benar, karena kalaui dilihat secara jernih hukum itu sesungguhnya adalah pisau bermata dua. Di satu pihak, hukum bisa menjadi hukum yang menindas (repressive laws), dan di lain pihak ia bisa menjadi hukum yang membantu ke arah perubahan (facilitative laws), atau sebagai alat perubahan sosial (agent of social change).[4]

Hukum memang bukan sekedar kumpulan teks-teks semata, ia mempunyai tujuan, jangkauan, dan kehendak-kehendak sosial tertentu. Untuk itu berbicara hukum, apapun bentuk dan labelnya, tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial politik di mana hukum itu diciptakan, atau bagaimana konteks politik hukum berkembang saat hukum itu muncul.

Karenanya benar, Moh. Mahfud MD. dalam disertasi doktornya menyatakan bahwa karakter produk hukum senantiasa dipengaruhi atau ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkannya. Artinya, konfigurasi politik tertentu dari kelompok dominan (penguasa) selalu melahirkan karakter produk hukum tertentu pula sesuai dengan visi politiknya.[5] Teori ini berlaku bila didasarkan pada asumsi bahwa hukum merupakan produk politik, atau ia diberlakukan atas legitimasi politik, sehingga karakter hukumnya akan sangat tergantung pada imbangan kekuatan politik (konfigurasi politik) yang melahirkannya.

Mempertimbangkan teori di atas, jelaslah bahwa UUD 1945 merupakan produk politik yang diberlakukan dan mendapatkan kewenangan dari negara sebagai hukum dasar (konstitusi) bagi negara Indonesia. Karena itu, keberadaannya inheren dengan nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, dan kuasa-kuasa tertentu dari negara sebagai alat perekayasa sosial negara. Paralel dengan itu, UUD 1945 bisa dipastikan mempunyai suatu karakter hukum yang spesifik sesuai dengan konfigurasi politik yang melahirkannya saat itu.[6]

Penting pula dicatat bahwa UUD 1945 lengkap dengan model redaksi dan substansinya merupakan jawaban dari tuntutan hukum negara modern yang sering disebut negara-bangsa. Kenyataan ini tampak dalam sejarah saat UUD 1945 dirumuskan setengah abad lalu.

Persoalan kemudian muncul, terutama bagi umat Islam, bagaimana dengan status hukum Islam dan pelaksanaannya dalam pelataran konsep negara-bangsa seperti Indonesia ini. Tidakkah cukup UUD 1945 sebagai hukum dasar atas keberadaan dan penyelenggaraan negara ini. Ataukah hukum Islam dengan Al-Qur’an dan As-Sunnahnya perlu tampil tersendiri dalam masyarakat pluralistik ini. Karena itu, studi tentang pandangan hukum Islam atas kenyataan UUD 1945 sebagai dasar negara di negeri ini penting dilakukan sebagai sikap kompromis-kritis.[7] Penulis dalam tulisan ini ingin mencoba menjawabnya dengan melihat agama secara sosiologis dan dengan pendekatan filosofis, yakni filsafat hukum. 

HUKUM ISLAM SEBAGAI PRODUK POLITIK: 
PENDEKATAN SOSIOLOGIS

Perspektif sosiologis memandang agama, termasuk Islam, di samping terkandung unsur ilahiah sebagai unsur yang asasi di dalamnya, juga terdapat “campur tangan” unsur manusia dalam implementasinya. Dan agama wahyu yang suci (sacred) kemudian karena perkembangan sejarahnya menjadi agama manusia biasa (interpreted) dengan seluruh darah dagingnya. Keputusan dan penafsiran para penganutnya dengan demikian mempengaruhi warna agama dalam sejarah, dan menentukan sosok agama itu dalam realitas konkret. Agama yang berangkat dari sejarah wahyu akhirnya menjadi sejarah manusia. Penganutnya dengan demikian mempunyai kompetensi untuk menerapkan prinsip agama sesuai dengan konteks historis zamannya.[8]

Hukum Islam[9] diketahui sebagai bagian integral dari ajaran agama Islam seperti itu. Pada hakekatnya tampak jelas bahwa hukum Islam bukan produk politik, karena ia berasal dari Allah SWT dan bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah, akan tetapi dalam sejarahnya tidak jarang ditemukan; sebagai upaya menerapkan dan memberlakukan hukum Islam dalam suatu wilayah politik tertentu, ia membutuhkan legitimasi kekuasaan politik, bahkan dibahasakan dan dirumuskan dengan formulasi dan modifikasi politik tertentu seperti cara legislasi.[10] Dalam konteks seperti itu, bisa dikatakan bahwa dalam batas-batas tertentu hukum Islam merupakan produk politik juga.[11]

Secara tekstual, memang tidak ada keharusan pemberlakuan aturan hukum Islam melalui keputusan politik atau legalitas penguasa, baik berupa Undang-Undang (taqnin) atau instrumen peraturan perundang-undangan lainnya.[12] Namun, dalam batas-batas tertentu legitimasi ini bisa merupakan suatu keharusan, karena besarnya manfaat bagi kepastian dan kekuatan hukum secara legal-positif sebagaimana yang digambarkan Ibn Taimiyah dalam pernyataannya:[13]

فـمـن عـد ل عـن الـكـتـا ب قـوّم بـا لـحـد يـد ولهـذا كان قـوام الـد يـن بالمـصحـف والـسـيـف

Dalam statemen ini, Ibn Taimiyah menekankan bahwa kekuasaan politik yang disimbolkan dengan pedang menjadi sesuatu yang essensial dan mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan itu sendiri bukan agama. Dengan ungkapan lain, politik atau negara hanyalah sebagai alat bagi agama; ia bukan suatu ekstensi dari agama.[14] Dalam kaitan ini, kita pun sering mendengar pernyataan umum: “Islam adalah agama dan negara”.[15] Tak terkecuali, Hassan al-Banna dalam prinsip-prinsip organisasinya, al-Ikhwan al-Muslimun, menyatakan Islam itu adalah tata aturan yang lengkap, meliputi semua segi kehidupan. Islam adalah negara dan bangsa atau pemerintahan dan masyarakat. Moral dan kekuasaan, rahmat dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu pengetahuan dan hukum....[16]

Dalam kancah keilmuan, hubungan agama dan negara, Islam dan politik atau hukum Islam dan kekuasaan politik memang selalu menjadi wacana yang menarik, baik oleh kalangan Islam sendiri maupun para orientalis.

Wacana tersebut muncul berpangkal dari historitas Islam itu sendiri, terutama pasca kepemimpinan Rasulullah SAW. Sejarah mencatat, bahwa permasalahan pertama yang mengemuka pada generasi awal umat Islam sesudah Rasulullah SAW wafat adalah masalah kekuasaan politik atau pengganti Rasulullah SAW yang akan memimpin umat, baik dalam urusan politik murni maupun urusan keagamaan.[17] Semenjak inilah dalam pendekatan sosiologi sejarah, (hukum) Islam sesungguhnya mulai melakukan dialektika dengan kekuasaan politik, yang hari ini kita sebut negara. Namun, tantangan yang dihadapi saat itu tidak sekompleks sekarang. Corak masyarakat itu relatif homogen dan komunal. Karena itu, wacana yang mengemuka dari dialektika itu lebih didominasi aspek teologis.

Kenyataan pluralisme, baik dalam agama, suku, ras, bangsa, maupun golongan menuntut lain. Kebutuhan sosial dari pluralisme adalah terwujudnya tatanan perikehidupan bersama yang damai, egalitarian, berkeadilan, demokratis, dan rukun. Karena itu, Pancasila hadir dan dirumuskan sebagai solusi terbaik atas persoalan ini. Selain karena mampu memberikan kesamaan persepsi dan memupuk integrasi atas pluralitas bangsa, Pancasila pun bisa menjadi way of life bagi bangsa Indonesia tanpa harus memperlihatkan unsur pluralitas tadi. Melihat kenyataan ini rupanya Islam yang merupakan agama mayoritas penduduk dalam peraturan sosial politik negara ini, dianggap bukan yang terbaik bagi bangsa Indonesia dalam membentuk nation-state yang mampu memayungi pluralitas bangsa.[18] Ini tampaknya selaras dengan doktrin Islam sendiri yang tak pernah mengajarkan Islam untuk dijadikan sebagai sebuah ideologi, apalagi bagi suatu negara yang penuh dengan kepentingan dan kuasa-kuasa relasional.

UUD 1945 DAN HUKUM ISLAM:
PENYELESAIAN PARADIGMATIK

UUD 1945 dalam wacana ini merupakan derivasi-konstitusional dari penetapan ideologi Pancasila sebagai dasar negara. Karena itu, keberadaannya tak terpisahkan dari keberadaan Pancasila. Penafsiran dan penjabarannya tidak lepas dari parameter nilai Pancasila. Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, jika Pancasila diposisikan sebagai dasar negara, maka UUD 1945 adalah hukum dasarnya (droit constitutionnel). Pemahaman terhadap UUD 1945 harus diletakkan dalam konteks penjiwaan terhadap nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, seperti disarankan KH. Achmad Siddiq, mantan Ketua Umum (Ra’is ‘Aam) PBNU, tatkala kita mengucapkan atau menulis tentang relasi Pancasila UUD 1945, sebaiknya tulislah: “Pancasila menurut UUD 1945, bukan Pancasila dan UUD 1945”.[19]

Diskursus-akademis lebih jauh dari penghadapan hukum Islam (agama) terhadap instrumen-instrumen negara-bangsa (UUD 1945) dengan mempertimbangkan kemungkinan hukum Islam memetamorfosis menjadi produk politik, maka kerangka yang mungkin baik untuk dikembangkan saat ini adalah mendudukkan agama (hukum Islam) dan UUD 1945 pada sebuah pola relasional yang jelas dan fungsional. Selama ini UUD 1945 hanya dilihat sebagai pengatur lalu lintas ketatanegaraan dan tameng relasi agama negara atau antar agama dengan agama lain belaka, agar tidak timbul pertentangan hebat antara para pemeluk berbagai agama dengan negara, maupun antar pemeluk agama itu sendiri.

Diskusi tentang agama vis-a-vis Pancasila dan UUD 1945, bagi umat Islam Indonesia sudah selesai. Memang Pancasila dan UUD 1945 di satu pihak dan agama di pihak lain tidak bisa diidentikkan secara menyeluruh, karena fungsi masing-masing saling berbeda. Pancasila dan UUD 1945 berfungsi sebagai landasan hidup dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, menjadi kerangka kemasyarakatan yang mengatur hidup kita sebagai kolektifitas yang disebut bangsa (nation). Dalam keadaan demikian, Pancasila dan UUD 1945 haruslah mewadahi aspirasi agama dan menopang kedudukannya secara fungsional dalam kehidupan bersama. Sedangkan agama memberikan kepada kolektifitas tersebut suatu tujuan kemasyarakatan (social purpose) yang trasedental. Spriritualitas dan religiositas kehidupan ini diatur dan diberi arahan oleh ajaran yang disebut agama. Tanpa tujuan kemasyarakatan yang jelas dan nyata, hidup bangsa ini hanya akan berputar-putar pada siklus pertentangan antara cita pemikiran dan kecenderungan naluri alamiah belaka.

Penyelesaian paradigmatik semacam inilah yang diselesaikan NU dalam Keputusan Muktamarnya ke-26 di Situbondo 1984. Argumen ini disampaikan oleh KH. Achmad Siddiq pada MUNAS NU 1983, yang kemudian dikukuhkan menjadi “Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila”. Deklarasi ini pulalah yang menyelesaikan penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Deklarasi itu selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
  1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama, dan tidak dapat diperguanakan untuk menggantikan agama.
  2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) UUD 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
  3. Bagi NU, Islam adalah aqidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
  4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya.
  5. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban menjaga pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Oleh Nurcholish Madjid dinyatakan bahwa apa yang terkandung dalam UUD 1945 dan Pancasila bukanlah titik akhir dari kontroversi ideologis di Indonesia. Walaupun UUD 1945 ini oleh mayoritas rakyat, dari sudut agama telah dianggap netral, orang-orang Islam terbiasa memandangnya sebagai bentuk lain dari kompromi antara mereka dengan orang-orang sekularis. Walaupun dilihat dari perspektif orang-orang Muslim, hal itu diakui sebagai kompromi yang lemah, tapi sedikit banyaknya undang-undang ini tetap memberikan manfaat yang utama bagi status Islam di negeri ini.[20]

Lebih jauh dari itu, Harun Nasution melalui kacamata filsafatnya mengakui bahwa Pancasila tidak bertentangan, melainkan sejalan dengan Islam. Bahkan, sila-sila yang dikandung Pancasila adalah juga ajaran-ajaran dasar yang terdapat dalam Islam. Mengutip Almarhum Zainal Abidin Ahmad, seeorang pemimpin Islam yang pada masa akhir hayatnya memangku jabatan Rektor PTIQ Jakarta, Harun menyetujui bahwa negara Pancasila merupakan bentuk final bagi umat Islam Indonesia.[21] Konklusi Zainal Abidin Ahmad tentang keislaman negara Pancasila didasarkan pada ciri-ciri negara Islam dalam pandangannya, yaitu:[22]
  1. Penduduk mayoritas Islam.
  2. Kepala negara Islam.
  3. Ideologi negara sejalan dan tidak bertentangan dengan Islam, sungguh pun di bawah nama lain, seperti Pancasila.
  4. Undang-undang tidak bertentangan dengan Islam.
  5. Undang-Undang Dasar mengandung prinsip musyawarah dan dasar-dasar demokratis lainnya.
Menegaskan paradigma ini, benar pernyataan Abdurrahman Wahid, bahwa antara agama dan Pancasila terdapat hubungan simbiotik, yang satu tak dapat hidup di Indonesia tanpa yang lain. Hubungan simbiotik itulah yang memunculkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, bukannya hanya sekedar ideologi formal negara belaka.[23]

Kesimpulan ini diperkuat dengan kenyataan sejarah Muslim (moslem history) dan pemikiran politik ilmuwan Muslm (political thought of moslem intelectuals) sepanjang zaman yang tidak pernah menawarkan konsep tunggal tentang negara dan sistem pemerintahan.[24] Bahkan doktrin Islam, baik Al-Qur’an dan Al-Sunnah, pun dalam berbagai teksnya tidak pernah mengajarkan sistem pemerintahan (negara) tertentu yang harus dianut oleh umat Islam dalam mengatur kehidupan bersama. Islam, terlebih dicontohkan Piagam Madinah, hanya memberikan pedoman ajaran berupa seperangkat prinsip dan tata nilai etik bagi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Prinsip-prinsip ini bersifat universal sesuai dengan watak dasar Islam yang transhistoris dan eternal.[25] Karena itu, umat Islam mempunyai kebebasan dan keleluasaan untuk merumuskan konsep kenegaraannya sendiri, asalkan tetap mengacu pada prinsip dan tata nilai etik Islam. UUD 1945 merupakan upaya maksimal para the founding fathers negeri ini, yang sebagian besar cendekia Muslim (ulama), dalam merumuskan prinsip-prinsip dasar, ketatanegaraan, dan sistem pemerintahan negara Indonesia yang berpenduduk plural, baik agama, suku, ras, maupun budaya.

Kiranya tidak berlebihan dan apologetik, dengan berbagai kekurangan dan kelemahan UUD 1945 dalam takaran tuntutan HAM dan demokrasi kontemporer, dikatakan bahwa UUD 1945 yang ada sekarang ini dalam batas minimal, setidaknya telah memenuhi beberapa prinsip dasar dan tata nilai etik Islam dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, dan tidak bertentangan dengannya. Beberapa prinsip dasar dan tata nilai etik tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Musyawarah.
  2. Kesatuan umat (bangsa).
  3. Kolektifitas dan solidaritas.
  4. Pembelaan dan perlindungan terhadap yang lemah.
  5. Keadilan sosial.
  6. Perdamaian antar sesama dan lingkungan.
  7. Persamaan di depan hukum.
  8. Kebebasan beragama.
  9. Menjunjung tinggi HAM.
  10. Nasionalisme.
  11. Equalitas sosial.
Prinsip-prinsip semacam ini secara teknis bisa dilihat pada keseluruhan pasal-pasal dan penjelasan UUD 1945.

Sedangkan perihal tidak adanya kata “Islam” maupun “Al-Qur’an” di dalam UUD 1945 tidak mengurangi penilaian Islami tadi. Sebab, dalam naskah Piagam Madinah yang dibuat Nabi Muhammad SAW sekalipun tidak terdapat di dalamnya kata “Islam” dan “Al-Qur’an” sebagai dasar bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sekiranya dalam suatu dustur atau Undang-Undang Dasar harus dituliskan kata “Islam” atau “Al-Qur’an”, tentu Nabi Muhammad SAW mencantumkan kata-kata itu dalam Piagam Madinah.[26] Justeru dalam perspektif redaksional, UUD 1945 dicurigai sebagai tafsir ulama dan negarawan Muslim Indonesia terhadap khazanah ketatanegaraan kreasi umat dahulu. Secara nyata pasal 29 ayat (1) UUD 1945 merupakan pergantian redaksi dari “Negara berdasar Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.[27] Selain itu, juga banyak ditemukan redaksi yang mungkin mencerminkan kekhasan (politik) Islam, di antaranya: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”, “Majelis”, “Permusyawaratan”, “Wakil”, “Demi Allah”, dan sejenisnya.

Penting diberi catatan, bahwa analisis di atas merupakan kajian pada tataran idiil dan konseptual. Sebab diakui secara jujur, Islam baik doktrin maupun sejarah, tidak pernah menawarkan suatu sistem negara dan kepemerintahan tertentu yang harus diratifikasi umatnya, sebagaimana UUD 1945 ini. Karena itu, harus dibedakan dengan analisis empiris-operasional. Pada tataran yang terakhir ini juga penting dipertimbangkan untuk menilai suatu kondisi negara disebut Islami atau tidak. Pelaksanaan dan implementasi UUD 1945 dalam kehidupan nyata dengan demikian juga semestinya menjadi bagian yang integral dalam penilaian, apakah negara Indonesia dengan UUD 1945-nya ini bisa disebut Islami atau tidak. Keterkaitan erat konsep dengan pelaksanaan, karena “negara” yang dicita-citakan Islam tidak saja berhenti pada tataran ide dan prinsip, melainkan juga dituntut untuk dilaksanakan demi kemaslahatan dan keadilan semesta.

POSTWACANA: CATATAN KRITIS

Maka jelaslah dalam tataran paradigmatik, UUD 1945 sebagai hukum dasar negara Indonesia, tidak bertentangan dengan hukum Islam. UUD 1945, dengan berbagai kelebihan dan kelemahannya, sengaja dikontruksi dalam makna dan bahasa yang inklusif mengingat kenyataan masyarakatnya yang pluralistik.

Eksistensi UUD 1945 sebagai hukum dasar bagi negara Indonesia dalam pandangan Islam dianggap absah. Kendati dalam takaran “Islam historis”, UUD 1945 secara konseptual telah terselesaikan, namun untuk menyongsong zaman “Islam Mendepan” yang lebih demokratis, manusiawi, egalitarian, dan senantiasa mendasarkan pada kemaslahatan dan keadilan semesta, maka substansi UUD 1945 tidak ada salahnya bila dilakukan penyempurnaan sesuai dengan tuntutan HAM dan demokrasi, terutama dalam pelaksanaan (law enforcement) dan instrumen perwujudannya dalam sistem kehidupan nyata.

FOOTNOTE

[1] Positivisme Yuridis dipelopori oleh aliran hukum humanisme, antara lain oleh Jean Bodin dengan ide-idenya tentang kedaulatan Raja. Tokohnya ialah Rudolf von Jhering (1818-1892 M). Sebagaimana positivisme sosiologis, positivisme yuridis menganut apa yang ditetapkan sebagai kenyataanlah yang dapat diterima sebagai kebenaran. Positivisme sebagai sistem filsafat muncul pada awal abad XIX M. Tokohnya adalah Auguste Comte (1798-1857 M) dan Herbert Spencer (1820-1903 M). Lihat Theo Huijbers, Filsafat Hukum Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm. 122-130.

[2] Ibid, hlm. 293.

[3] Konsep law as a tool of social engineering diramu oleh Roscoe Pound. Konsep ini didasarkan pada keadaan masyarakat Amerika yang senjang. Pound ingin memperbaiki kesenjangan ini dengan mendayagunakan hukum. Jadi, di samping berakar pada liberalisme, konsep ini juga terlalu memistifikasikan hukum. Konsep ini mengarah pada terjadinya perbaikan sosial bukan pada perubahan sosial, sama dengan pola trickle down effect bagi strategi pencapaian kemakmuran ekonomi. Lihat T. Mulya Lubis, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan, (Jakarta: YLBHI, 1987), hlm. 22.

[4] Ibid, hlm. 21.

[5] Moh. Mahfud MD., “Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia”, Disertasi Doktor dalam Ilmu Hukum pada UGM, (Yogyakarta: tidak diterbitkan, 1993), hlm. 675.

[6] Mengenai bagaimana bentuk nilai, kepentingan, kuasa, dan karakter hukum tersebut perlu dilakukan studi tersendiri.

[7] Diskursus Islam vis-a-vis Negara-Bangsa atau wujud negara Indonesia dengan Pancasila dan UUD 1945, sebetulnya telah dapat diselesaikan lama, terutama oleh Nahdhatul Ulama (NU). Dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan hukum fiqh, NU mampu melakukan sebuah proses penyesuaian dengan tuntutan sebuah negara modern. Semenjak masa perang kemerdekaan, NU melalui fatwa Ra’is Akbar KH. M. Hasyim Asy’ari (yang kemudian dikukuhkan sebagai Keputusan Muktamar NU ke-16 di Purwokerto, 26-29 Maret 1946) telah mengeluarkan “Fatwa Resolusi Jihad”, 22 Oktober 1945, yang mempunyai hukum ikat “furdl ‘ain” bagi setiap orang Islam dalam radius 94 km untuk mendukung bentuk negara baru Republik Indonesia, juhad fii sabilillah melawan Belanda. Bahkan penting dicatat, jauh sebelum itu, Muktamar NU tahun 1936 di Banjarmasin, bahwa daerah Jawa (ardl Jawa) dalam arti Nusantara adalah Dar Al-Islam, padahal ketika itu daerah tersebut dikuasai oleh pemerintah Belanda. Keputusan yang sama juga, NU menolak kehadiran “Negara Islam Indonesia (NII)” yang didirikan oleh Kartosuwiryo dkk., bahkan sejak semula para ulama NU telah menyatakannya sebagai bughat (pemberontak) yang harus di basmi. Untuk keperluan itulah, NU dalam Muktamar Konferensi Alim Ulama di Cipanas 1954 mengukuhkan kedudukan Kepala Negara Republik Indonesia (Ir. Soekarno) sebagai waliy Al-amri Al-dlaruri bi Al-syaukah (pemegang pemerintahan sementara (defakto) dengan kekuasaan penuh). Kemudian terkahir pada Keputusan Muktamar NU XXVII di Situbondo menegaskan keabsahan secara fiqh Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan UUD 1945 sebagai hukum dasarnya. Hubungan Pancasila dan Islam diselesaikan NU dalam Keputusan MUNAS Alim Ulama 1983 di Situbondo dengan “Deklarasi Hubungan Pancasila dan Islam”. Lebih tegas KH. Achmad Siddiq dinyatakan bahwa wujud negara Republik Indonesia merupakan upaya final seluruh bangsa, terutama kaum muslimin, untuk mendirikan negara di wilayah Nusantara. Bagi NU, tidak ada alasan apapun untuk menolak Pancasila dan UUD 1945, selama ia tidak berfungsi menggantikan kedudukan agama dan mengganggu pengalaman agama bagi pemeluknya. Baca Abdurrahman Wahid, “Nahdhatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fiqh dalam Politik", (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 4-5.

[8] Denny J.A., “Legislasi Hukum Islam dan Integrasi Nasional”, PESANTREN No. 2/Vol. VII/1990, (Jakarta: P3M, 1990), hlm. 7-8.

[9] Penulis merasa kesulitan untuk membedakan term “hukum Islam” (bahasa Indonesia) dengan term Fiqh, Syari’ah, dan Al-Syar’i. Dalam ilmu ushul Al-Fiqh dan ilmu Al-Fiqh masing-masing term tersebut mempunyai ta’rifnya. Tampaknya, term “hukum Islam” (istilah Indonesia) dalam konteks hukum positif Indonesia hanyalah untuk membedakan dari term hukum Barat, hukum Adat, dll. Pembedaan ini untuk menunjukkan bahwa hukum tersebut adalah hukum yang berasal dari agama Islam. Karena itu, hukum Islam yang dilihat oleh sistem positivisme yuridis adalah hukum Islam yang real menyejarah hidup di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia (living law), bukan hukum yang ideal dan doktrinal.

[10] Seperti yang terjadi di Turki Usmani, pada tahun 1876 pmerintah Turki membuat kodifikasi hukum Islam dengan nama Mejellet-i Ahkam Adiliye.

[11] Bandingkan dengan Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, alih bahasa Yudian W. Asmin, dkk., (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 191-192.

[12] Al-Qur’an tidak mengatur hal itu. Bahkan bentuk pemerintahan pun tidak diatur. Argumen yang menyatakan wajib adanya pemerintahan dalam rangka memberlakukan hukum Islam adalah konsensus sahabat. Malah menurut Hatim Al-‘Asam, seorang zahid yang hidup pada abad III H., dari kalangan Mu’tazilah, yang penting adalah berjalannya peraturan hukum dan berlakunya keadilan dalam masyarakat. Bagi Al-Muhakkimah dan Al-Najdah dari kalangan Khawarij, kalau semua itu sudah berjalan dengan baik, pemerintahan pun tak perlu diadakan. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: 1972), hlm. 41. Lihat pula H. Zaeni Ahmad Noeh, “Lima Tahun UU Peradilan Agama: Sebuah Kilas Balik”, Mimbar Hukum No. 17 Tahun V 1994, (Jakarta: Al-Hikmah & Ditbinbapera Islam, 1994), hlm. 13.

[13] Ibn Taimiyah, Al-Siyasah Al-Syar’iyyah Fi Ishlah Ar-Ra’yi Wa Al-Ra’iyyah, Cet. IV, (Mesir: Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, 1979), hlm. 26. Lihat juga Qamaruddin Khan, The Political Thought of Ibn Taimiyah, (Islamabad: Islamic Research Institute, 1973), hlm. 54.

[14] Fazlur Rahman, seperti yang dikutip A. Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 14-15. 

[15] Pernyataan semacam itu lantang menggema di dunia internasional tatkala Ayatullah Imam Khomeini melakukan perjuangan dengan Revolusi Irannya. Baca John J. Donohue & John L. Esposito (Penyunting), Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah, alih bahsa Drs. Machnun Husein, Cet. IV, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 456.

[16] Al-Imam Al-Syahid Hassan Al-Banna, Al-‘Aqdid, Syarkh Ushul Al-‘Isyrin, Ila Al-Syabab, (Kuwait: Al-Manar Al-Islamiyah, 1371 H), hlm. 1.

[17] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: LSIK, 1994), hlm. Ix; Abd. Muin Salim, Konsepsi Politik dalam Al-Qur’an, (Jakarta: LSIK, 1994), hlm. 1.

[18] Terbukti, tatkala BPUPKI telah berhasil menyusun “Piagam Jakarta” pada tanggal 22 Juni 1945, yang menempatkan syari’at Islam pada sila pertama, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan piagam itu diprotes tegas oleh kalangan Kristen dari Sulawesi Utara, tanah kelahiran A.A. Maramis. Lalu, sila tersebut diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Anak kalimat “...dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus. Bukti lain adalah kegagalan kelompok-kelompok Islam untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara pada Sidang Konstitunste 1959. Kegagalan ini karena tidak disetujuinya oleh kelompok-kelompok nasionalis, komunis, dan sekuler. Diskusi mengenai ini baca Endang Saefuddin Anshori, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekuler” Tentang Dasar Negara RI 1945-1959, (Bandung: Pustaka Perpustakaan Salman ITB, 1981).

[19] KH. Achmad Siddiq, Pemulihan Khittah NU 1926, makalah disampaikan pada MUNAS Alim Ulama NU 1983 di Situbondo. Makalah ini juga disampaikan kembali dalam Muktamar NU XXVII di tempat yang sama.

[20] Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 7.

[21] Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Jakarta, 1995), hlm. 223.

[22] Zainal Abidin Ahmad, Membentuk Negara Islam, (Jakarta: Wijaya, 1956), hlm. 155-156.

[23] Abdurrahman Wahid, Pancasila dan Kondisi Obyektif Kehidupan Beragama, Artikel pada KOMPAS, 20 Juli 1985.

[24] Untuk kesejarahan Islam, lihat mislanya corak pemerintahan zaman Rasulullah, Khulafa’ Rasyidun, Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, Bani Fathimiyyah, Mesir, Turki, Arab Saudi, Iran, Irak, dan sebagainya. Sepanjang zaman itu, corak dan sistem ketatanegaraannya berbeda. Tak ada sistem satu pun yang menjadi keniscayaan bagi zaman yang lain. Sedangkan untuk pemikiran politik Islam, baca misalnya: karya Ibn Abi Rabi’ (w. 840 M) tentang Suluk Al-Malik Fi Tadbir Al-Mamalik; Ibn Qutaybah (w. 889 M) tentang Al-Imamah Wa Al-Siyasah; Al-Mawardi (w. 450 H/1058 M) tentang Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah dan Adab Al-Dunya Wa Al-Din; Abu Ya’la Ibn Al-Farra’ (w. 458 H) tentang Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah; Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) tentang Al-Iqtishad Fi Al-‘Itiqad dan Al-Tibr Al-Masbuk Fi Nashihat Al-Muluk; Ibn Taimiyah (w. 728 H/1328 M) tentang Al-Siyasah Al-Syar’iyyah Fi Ishlah Al-Ra’iy Wa Al-Ra’iyyah dan Minhaj Al-Sunnah; Ibn Khaldun (w. 808 H/1406 M) tentang Muqaddimah; dan ulama-ulama kontemporer, seperti Ali Abd. Raziq, Al-Maududi, Muhammad Husein Haikal, dan sebagainya. Sederetan pemikir-pemikir politik ini tak satu pun yang menawarkan konsep ketatanegaraan dan kepemerintahan yang tunggal. Ini artinya, memang perihal sistem negara dan pemerintahan dalam Islam bersifat kultural dan sosiologis. Karenanya, bisa saja sekelompok kaum Muslimin membuat sistem negara dan ketatanegaraan tersendiri yang berbeda dari semuanya, asalkan tetap mengacu pada prinsip dasar dan tata nilai etik yang telah ditentukan Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

[25] Munawir Sjdzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Edisi V, (Jakarta: UI-Press, 1993), hlm. 233. Bandingkan dengan Harun Nasution dan Azyumardi Azra, (ed.), Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 2.

[26] Bandingkan dengan Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: UI-Press, 1995), hlm. 173-174.

[27] Notonagoro, Pemboekaan Undang-Undang Dasar 1945, (Yogyakarta: UGM, 1956), hlm. 54.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Zainal Abidin, Membentuk Negara Islam, Jakarta: Wijaya, 1956.
Al-Banna, Al-Imam Al-Syahid Hassan, Al-‘Aqdid, Syarkh Ushul Al-‘Isyrin, Ila Al-Syabab, Kuwait: Maktabah Al-Manar Al-Islamiyah, 1371 H.
Anshori, Endang Saefuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis “Sekuler” tentang Dasar Negara RI 1945-1959, Bandung: Pustaka Perpustakaan Salman ITB, 1981.
Donohue, Jhon J. & Jhon L. Esposito (Penyunting), Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah, Alih Bahasa Drs. Machnun Husein, Cet. IV, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
Haidar, M. Ali, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982.
J. A., Denny, Legislasi Hukum Islam dan Integrasi Nasional, PESANTREN No. 2/Vol. VII/1990, Jakarta: P3M, 1990.
Khan, Qamaruddin, The Political Thought Of Ibn Taimiyah, Islamabad: Islamic Research Institute, 1973.
Lubis, T. Mulya, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan, Jakarta: YLBHI, 1987.
Ma’arif, A. Syafi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1987.
Madjid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995.
MD., Moh. Mahfud, Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia, Disertasi Doktor dalam Ilmu Hukum pada UGM, Yogyakarta: tidak diterbitkan, 1993.
Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Alih Bahasa Yudian W., Asmin, dkk., Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.
Nasution, Harun dan Azyumardi Azra (ed.), Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985.
    , Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI-Press, 1972.
    , Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Jakarta, 1995.
Noeh, H. Zaeni Ahmad, Lima Tahun UU Peradilan Agama: Sebuah Kilas Balik, MIMBAR HUKUM No. 17 Tahun V 1994, Jakarta: Al-Hikmah & Ditbinbapera Islam, 1994.
Notonagoro, Pemboekaan Oendang-Oendang Dasar 1945, Yogyakarta: UGM, 1956.
Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: LSIK, 1994.
Salim, Abd. Muin, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, Jakarta: LSIK, 1994.
Siddiq, KH. Achmad, Pemulihan Khittah NU 1926, makalah disampaikan pada MUNAS Alim Ulama NU 1983 di Situbondo, 1983.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Edisi V, Jakarta: UI-Press, 1993.
Sukardja, Ahmad, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, Jakarta: UI-Press, 1995.
Taimiyah, Ibn, Al-Siyasah Al-Syar’iyyah Fi Ishlah Ar-Ra’yi Wa Al-Ra’iyyah, Cet. IV, Mesir: Dar Al-Kitab Al’Arabi, 1979.
Wahid, Abdurrahman, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa Ini, PRISMA No. 4, Jakarta: LP3ES, 1984.
Wahid, Abdurrahman, Pancasila dan Kondisi Obyektif Kehidupan Beragama, Artikel pada KOMPAS, 20 Juli 1985, 1985.

Diketik oleh Moh. Hibatul Wafi dalam penyajian makalah.

Biru Benderanya, Biru Duitnya

http://adf.ly/idGAv

H. Jamaluddin, SH. adalah seorang Calon Anggota DPRD DKI Jakarta Dapil 8 Jakarta Timur, beliau kelahiran Sumbawa. Beliau ternyata telah menyebarkan sticker/pamflet beserta selembaran profil data. Selain itu juga, beliau juga menyelipkan mata uang Indonesia berwarna biru di dalamnya.

Kabar ini terkuak setelah seorang warga Indonesia mendapatkan amplop berwarna putih yang berisikan sebuah pamflet dan juga selembar uang sebesar Rp 50.000,- 

Sang calon anggota tersebut, padahal sudah berjanji pada rakyat bahwasanya "Insya Allah Saya akan melaksanakan ASPIRASI dan AMANAH yang diberikan oleh Bapak, Ibu dan Saudara dukungan dan kepercayaannya saya harapkan", begitulah bunyinya.

Namun yang telah terjadi itu apakah rakyat akan percaya mengenai janjinya tersebut? Kalau sang calon sudah berani untuk memberikan uang kepada rakyatnya sebesar Rp 50.000,- per orangnya, sudah pasti ketika dia terpilih yang dipikirkannya adalah bagaimana caranya mengembalikan uang tersebut ke dalam kantongnya lagi. Pastinya lagi dia akan melakukan korupsi.

Saya hanya menyarankan kepada Anda yang tidak mempunyai uang, bahwasanya terimalah jika ada caleg yang memberikan uang, akan tetapi ketika di hari pemilu pilihlah sesuai dengan hati nurani Anda.

Hukum Islam pada Kerajaan Mataram

Oleh Dr. Sudirman Abbas

A. PENDAHULUAN

Penyebaran Islam dengan segala aspek yang terkandung di dalamnya telah berlangsung sejak lama di Nusantara (Indonesia), kapan mulainya, masih tetap menjadi perbedaan pendapat, karena ia disebarkan oleh pedagang-pedagang Arab, Parsi, dan Gujarat yang sulit ditentukan kapan sampainya di Nusantara. Ahli sejarah mencatat, telah lama terdapat komunitas Islam di daerah pantai Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan pulau-pulau lainnya, yang kemudian diikuti dengan berdirinya beberapa kerajaan yang bercorak Islam, seperti Pasai, Perlak, Demak, Pajang, Mataram, dan lain-lain.

Kerajaan Mataram Islam di Jawa Tengah telah memainkan peranan penting dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa khususnya dan daerah-daerah lain umumnya, di samping kerajaan-kerajaan Islam lainnya.

Dengan berdirinya kerajaan Islam tersebut, diperkirakan penguasa dan rakyatnya mengamalkan ajaran Islam dalam bentuk ibdah dan muamalah, yang secara umum dapat disebut dengan “hukum Islam”, baik secara kultural maupun institusional.

Menurut analisis Daud Ali, hukum Islam yang berlaku di Indonesia dapat dipilah menjadi dua; Pertama, hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis, yaitu hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan benda yang disebut hukum muamalah (perdata). Bagian ini menjadi hukum positif berdasarkan atau ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan, seperti perkawinan, warisan, dan wakaf. Kedua, hukum Islam yang bersifat normatif yang mempunyai sanksi kemasyarakatan. Ini bisa berupa ibadah murni atau hukum pidana. Ini menurutnya, tidak – atau terutama masalah pidana belum – memerlukan peraturan perundangan. Karena yang terakhir ini, lebih jelas sebagai tergantung kepada tingkat iman dan taqwa serta kesadaran kaum muslimin sendiri. (Rafiq, 1995 : 23)

Bila melihat pada masa lampau, khususnya kerajaan Mataram bagaimana pemberlakuan hukum Islam tersebut, baik secara kultural – normatif maupun formal yuridis – institusional. 

B. HISTORIS SEJARAH

Kerajaan Mataram merupakan kerajaan Islam di Jawa Tengah yang berdiri sejak runtuhnya Kesultanan Pajang pada tahun 1582 M. Riwayatnya menjadi salah satu episode penting dalam perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara (Indonesia) karena peranan penting yang dimainkannya sejak abad ke 16 sampai datangnya penetrasi Barat di Jawa Tengah. (Tim Redaksi, 3, 1993 : 198)

Pada mulanya daerah Mataram merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Pajang. Sebagai balas jasa atas pengabdian terhadap Kesultanan Pajang, Sultan Hadiwijoyo (1550-1582) menghadiahkan daerah ini kepada Kiai Agung Pemanahan. Daerah ini oleh Kiai Agung Pemanahan dibangun sebagai tempat pemukiman baru dan persawahan. Ia membangun pusat kekuasaan Plered dan menyiapkan strategi untuk menundukkan para penguasa yang menentang kehadirannya serta menaklukkan daerah-daerah sekitarnya. Pada tahun 1575, Kiai Agung Pemanahan meninggal dunia dan digantikan oleh putranya Sutowijoyo atau Pangeran Ngabehi Lor Ing Pasar. Sutowijoyo berusaha membebaskan diri dari Pajang, sehingga membawa ketegangan yang menimbulkan peperangan. Dalam peperangan itu Kesultanan Pajang mengalami kekalahan. Pada tahun 1582, Pangeran Ngabehi Lor Ing Pasar mengangkat dirinya sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati Ing Alogo setelah Sultan Pajang meninggal dunia. Ia mulai membangun kerajaannya dan kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke Kotagede. (Graaf, 1989 : 281-282; Tim Redaksi, 3, 1993 : 199)

Untuk memperluas daerah kekuasaannya ia melancarkan ekspansi ke daerah lain, seperti Madiun, Surabaya, Kediri, Jipang, Pasuruan, Tuban, dan lain-lain. Ia terus-menerus memperluas kekuasaan sampai ia meninggal pada tahun 1601. Kemudian digantikan oleh putranya Mas Jolang atau Panembahan Krapyak, yang memerintah pada tahun 1601-1613. Setelah Pangeran Krapyak meninggal, ia digantikan oleh Raden Mas Ransang yang berkuasa pada tahun 1613-1645. Pada masa pemerintahannyalah kerajaan Mataram meraih kejayaan terbesar, baik dalam bidang ekspansi militer maupun dalam bidang agama dan kebudayaan. Dialah raja Mataram pertama yang menerima pengakuan dari Makkah sebagai seorang sultan, kemudian mengambil gelar selengkapnya “Sultan Agung Anyakrakusuma Senopati Ing Alogo Ngabdurrahman” (secara harfiah berarti raja yang agung, pangeran yang sakti, panglima perang, dan pemangku amanah Tuhan Yang Maha Kasih). (Tim Redaksi, I, 1993 : 66; Tim Penulis, I, 1992 : 68)

Raja-raja Mataram sesudah Sultan Agung adalah Amangkurat I (Sunan Tegalwangi) memerintah pada tahun 1645-1677; Amangkurat II (Adipati Anom) memerintah pada tahun 1677-1703; Amangkurat III (Sunan Mas) memerintah pada tahun 1703-1708; Paku Buwono I (Sunan Puger) memerintah pada tahun 1708-1719; Amangkurat IV (Sunan Prabu Mangkunegara) memerintah pada tahun 1719-1727; Paku Buwono II memerintah pada tahun 1727-1749. Pada tahun-tahun berikutnya kekuasaan Mataram semakin sulit karena berhadapan dengan penjajahan Belanda. Wilayah kekuasaan Mataram semakin terpecah belah setelah berakhirnya Perang Giyanti (1755). Berdasarkan perjanjian Giyanti, Mataram dipecah menjadi dua, yakni Mataram Surakarta dan Mataram Yogyakarta. Pada tahun 1757 dan 1813, perpecahan terjadi lagi dengan munculnya Mangkunegara dan Pakualam. Setelah perpecahan itu penguasa Mataram Surakarta dan Mataram Yogyakarta sampai sekarang dapat dilihat pada halaman berikut. 

C. PENGARUH ISLAM PADA MATARAM

Pengaruh Islam terhadap kerajaan Mataram dan masyarakatnya tidak terlepas dari pengaruh penyebaran agama Islam di Jawa pada umumnya. Menurut Babad Tanah Djawi, penyebaran agama Islam di Jawa dilakukan oleh Wali Songo, sembilan orang mubaligh yang dianggap sebagai orang saleh. Mereka itu adalah: (Muchtarom, 1988 : 21)
  1. Sunan Gresik, yang wafat di Gresik tahun 1419 dan dikenal sebagai Maulana Malik Ibrahim atau Maulana Maghribi. Orang percaya bahwa ia mubaligh Islam pertama di Jawa yang datang untuk berdagang dan mencapai pangkat Syahbandar serta mendirikan pesantren untuk murid-muridnya.
  2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat, wafat tahun 1427, yang mendirikan pesantren di Ampel dekat Surabaya. Ia telah mengusulkan Raden Fatah sebagai khalifah di Demak dengan gelar Sultan Syah Sri Alam Akbar al-Fatah.
  3. Sunan Bonang atau Makhdam Ibrahim, wafat tahun 1525, adalah putra Sunan Ampel. Ia memimpin pengislaman di Jawa bagian Pantai Timur Laut. Makamnya di Bonang (Tuban).
  4. Sunan Drajat atau Syarifuddin, wafat tahun 1572, seorang putra yang lain dari Sunan Ampel.
  5. Sunan Giri atau Raden Paku, wafat tahun 1530. Ia mendakwahkan Islam di sebelah Timur Pulau Jawa.
  6. Sunan Kudus atau Ja’far Sadiq, wafat tahun 1560, berpengaruh pada pengislaman di sepanjang Pantai Utara Jawa Tengah dan dimakamkan di Kudus.
  7. Sunan Murya atau Raden Prawoto, adalah tokoh yang menggunakan gamelan (orkes tradisional Jawa) untuk menghimbau orang masuk Islam, dan dimakamkan di Gunung Murya dekat Kudus.
  8. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, mengislamkan Jawa Barat dan meninggal tahun 1570.
  9. Sunan Kalijaga atau Raden Syahid, wafat tahun 1585, mengislamkan Jawa Tengah bagian Selatan. Ia berpengaruh di antara kaum bangsawan.
Para wali itu mempunyai pesantrennya masing-masing, tempat para santri menelaah ajaran Islam. Para Wali Songo bukan saja pembuka kurun baru dalam Islam di Jawa yang mengakhiri zaman Jawa Hindu-Buddha, melainkan juga menguasai zaman berikut yang dikenal sebagai “Jaman Kuwalen” (zaman para wali). Mereka merupakan angkatan pertama para pemimpin religius-politik Jawa Islam. Para wali tersebut semuanya berkerabat dengan para bangsawan setempat melalui perkawinan atau karena keturunan.

Islam di Jawa tidak menyebabkan diadakannya umat tersendiri atau pemisahan antara kaum Hindu-Buddha dan Muslim. Metode pengislaman disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat dan sejalan dengan metode yang sebelumnya dipakai dalam penyebaran Hindu-Buddha, sebab para wali terutama Sunan Kalijaga masuk ke pedalaman Jawa, mendirikan pemukiman-pemukiman religius, di sana bersaing dengan ajaran Hindu-Buddha di bidang kesaktian. Di mana-mana diadakan usaha khusus untuk mengislamkan masyarakat dan untuk mendakwahkan Islam dengan menggunakan wayang. (Muchtarom, 1988 : 24)

Penyebaran Islam yang hampir merata di Pulau Jawa berbarengan dengan berdirinya kerajaan Mataram yang bercorak Islam, digerakkan dari istana sultan, membawa pengaruh kuat terhadap semakin meluasnya perkembangan Islam di tengah-tengah masyarakat. Ajaran Islam diamalkan secara bertahap menyesuaikan dengan kebiasaan masyarakat. Pemuka agama menghendaki pemberlakuan hukum Islam melalui saran dan nasehat kepada penguasa untuk ditetapkan sebagai kebijaksanaan kerajaan. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga terhadap Panembahan Senopati. Kebijakan-kebijakan itu berpuncak pada masa kekuasaan Mataram yang dipegang oleh Sultan Agung, sehingga banyak perubahan dilakukan untuk pelaksanaan ajaran (hukum) Islam. 

D. PEMBERLAKUAN HUKUM ISLAM 

Raja Mataram yang paling besar jasanya dalam pemberlakuan hukum Islam, baik dalam bentuk kultural maupun institusional adalah Sultan Agung. Dicatat oleh ahli sejarah, di samping sukses dalam pengembangan wilayah, ia juga memperlihatkan keberhasilan dalam bidang agama dan kebudayaan, karena ekspansi dalam perluasan wilayah disemangati oleh keinginan untuk mengislamkan daerah-daerah tersebut.

Diungkapkan, betapa Sultan Agung telah berhasil membangun ibukota Mataram di Kerta dan mendirikan Keraton Plered yang seringkali dikaitkan dengan lahirnya peradaban Jawa. Peninggalan Sultan Agung yang legendaris adalah usaha pembaharuannya dalam kalender Jawa. Sebagaimana diketahui, sebelum masuk pengaruh Islam, kalender yang dikenal di Jawa didasarkan pada sistem matahari yang lebh terkenal dengan kalender Saka. Sementara Islam memakai kalender dengan sistem bulan (Qamariyah) yang juga disebut sebagai kalender Hijriyah. Sultan Agung mencoba menyelaraskan kedua sistem itu dengan menyatukannya serta menjadikannya sebagai kalender resmi Mataram. Ciri kalender tersebut adalah penggunaan sistem bulan (Hijriyah) dengan menggunakan tahun Saka. Dalam sistem baru ini terdapat perubahan nama bulan, misalnya bulan Safar dalam tahun Hijriyah menjadi Sapar dalam tahun Jawa, Rajab menjadi Rejeb, Zulkaedah menjadi Dulkangidah, Muharam menjadi Sura, dan Ramadhan menjadi Pasa. Ciri lain terlihat pada hari yang dikenal sebagai hari pasaran yaitu Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing, Wuku, dan Wuwu (dua yang terakhir tidak ditemukan lagi sekarang). Sistem ini diresmikan pada tanggal 8 Agustus 1633 / 1 Muharam 1043 atau 1 Sura 1555 tahun Jawa.

Upacara peninggalan leluhur sejak zaman Majapahit, seperti “Asmawenda dan Asmaradhahana” tetap dilakukan. Misalnya, dalam upacara Garebeg yang telah dimodifikasi, dikenal tiga macam bentuk, yakni Garebeg Pasa, Garebeg Besar pada hari Idul Adha, dan Garebeg Mulud pada saat memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw.

Kerajaan Mataram Islam memiliki andil besar dalam pengembangan dan penyiaran Islam di Jawa. Banyak usaha yang dilakukan pada masa itu, antara lain pendirian rumah-rumah ibadah, penerjemahan naskah Arab, penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa, dan pendirian pesantren-pesantren. (Tim Redaksi, 3, 1993 : 202)

Di luar peranan politik militer, Sultan Agung dikenal sebagai penguasa yang besar perhatiannya terhadap perkembangan Islam di tanah Jawa. Ia adalah pemimpin taat beragama, sehingga banyak memperoleh simpatik dari kalangan ulama. Ia secara teratur pergi ke masjid dan para pembesar diharuskan mengikutinya. Untuk memperkuat suasana keagamaan, tradisi khitan, memendekkan rambut, dan menggunakan tutup kepala berwarna putih dinyatakan sebagai ketentuan syariat yang harus ditaati. Struktur serta jabatan kepenghuluan di dalam sistem kekuasaan kerajaan. Tradisi keagamaan seperti shalat Jum’at di masjid, Garebeg Puasa Ramadhan, dan upaya pengamalan syariat Islam merupakan bagian tak terpisahkan dari tatanan intern istana. Dialah yang membangun tempat pemakaman keluarga raja di Imogiri (12 km di sekatan Yogyakarta), sementara raja-raja pendahulunya dimakamkan di sebelah masjid Kotagede. (Tim Redaksi, I, 1993 : 67)

Selain itu menarik diungkapkan apa yang dikemukakan oleh Zaini Ahmad Noeh, bahwa di antara bentuk dan sistem pemerintahan kerajaan Islam di Indonesia yang nampaknya meninggalkan ciri-ciri pada sistem pemerintahan Republik Indonesia dewasa ini, adalah kerajaan Mataram di Jawa, terutama ciri dalam menempatkan bidang agama sebagai bagian dari pemerintahan umum. Jabatan keagamaan di tingkat desa disebut Kaum, Amil, Modin, Kayim, Lebai, dan sebagainya selalu ada di samping Kepala Desa. Pada tingkat kecamatan atau kewedanaan selalu ada seorang Penghulu Naib, yang kini dikenal sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Pejabat Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk (NTR). Pada tingkat kabupaten, seorang bupati didampingi oleh seorang Patih untuk bidang-bidang pemerintahan umum dan seorang Penghulu Kabupaten di bidang agama. Pada tingkat pemerintahan pusat kerajaan Mataram, baik untuk Surakarta maupun Yogyakarta dijumpai jabatan Kanjeng Penghulu atau Penghulu Agung. Penghulu Agung dan Penghulu Kabupaten berfungsi pula sebagai “Hakim” pada majelis Pengadilan Agama yang ada waktu itu. Fungsi dan jabatan itu tetap berlaku, sekalipun kekuasaan untuk mengangkat dan pemberian wewenang itu diambil alih oleh penguasa Kolonial Belanda. Pengangkatan atau pemberian wewenang, yakni “tauliyah” oleh penguasa Belanda tidak mengurangi legitimasi mereka dalam melaksanakan tugas peradilan sesuai dengan ketentuan Fiqh. Bahkan adanya Departemen Agama dalam tata pemerintahan Republik Indonesia dewasa ini merupakan kelanjutan dan perkembangan sistem pelaksanaan tugas pemerintahan di bidang agama semenjak kerajaan Mataram. (Lev, 1986 : 3-4)

Melihat kepada sistem pemerintahan bahwa adat istiadat dan kebiasaan pemerintahan di Jawa adalah bentuk susunan pemerintahan Mataram di mana ada tiga serangkai jabatan, yaitu Raja/Bupati, Patih, dan Penghulu (termasuk tata kotanya dengan pola; Keraton, Alun-Alun, dan Masjid) sebagai manifestasi gelar Raja Mataram yang berbunyi: Hingkang Sinuhun (yang dipertuan), Senopati Hing Ngalogo (Panglima Perang), Sayidin Panagatama Kalipatullah (Pengatur Urusan Agama sebagai Pengganti Rasulullah). Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya disebut “Kaum”, yang jumlahnya untuk setiap ibukota (pusat dan kabupaten) selalu tidak kurang dari 40 orang, jumlah itu adalah untuk memenuhi syarat sahnya shalat Jum’at sesuai ajaran Madzhab Syafi’i dan mereka memperoleh tanah jabatan (ambtserven) di belakang masjid besar yang disebut kampung kauman. Adapun sasaran tugas mereka adalah pelayanan bidang peribadatan dan urusan-urusan yang temasuk hukum keluarga/perkawinan. Sedangkan tugas mengatur dunia dibebankan kepada Pepatih Dalem (Patih) sebagai pelaksana pemerintahan umum dan sekaligus pemerintahan militer. (Noeh, 1994 : 105)

Untuk pengangkatan penghulu ada ditemukan surat perintah dari Raja (Tauliyah Imam) yang berisi (terjemahannya) sebagai berikut: (Noeh, 1994 : 113-114)
Surat Perintah !
  1. Aku mengangkat-mu menjadi penghulu. Aku izinkan untuk melaksanakan hukum Syara’ dan sebagainya, yang termasuk jenis bab ibadah, dan yang pantas engkau percayakan kepada anak buahku Pamutihan. Ibadah yang engkau percayakan seperti Imam shalat Jum’at dan shalat berjama’ah dan sebagainya.
  2. Dan hukumku yang aku berikan dalam serambiku bentuknya seperti talak, waris, wasiat, suami-isteri, atau barang gono gini dan sebagainya, selanjutnya pelaksanaan keputusan aku percayakan kepadamu. Apa sudah benar serta mufakat ijtihad dari anak buahku Ketib Ulama dan sebagainya.
  3. Dan aku percayakan kepada dikau kahidupan agama dari anak buahku di Surakarta semuanya, sekuatmu cara dikau mengajarkan, begitu pula anak buahku Pradikan dan Kaum dan sebagainya, yang termasuk dalam pegawaiku Pamutihan bagi semaraknya agama Rasul, cara engkau melaksanakan apa yang benar menurut hukum, aku juga sudah percayakan padamu.
  4. Adapun tentang Hak-ku sebagai Wali Hakim dan menikahkan anak buahku rakyat, yang sudah jelas pemeriksaannya, pada hari ini aku serahkan kepadamu, tentang izin pernikahannya tadi seterusnya sampai terlaksana, menurut apa yang sudah menjadi adat. Ke semuanya itu dalam cara engkau melaksanakan apa yang sudah aku perintahkan tersebut semua, hendaknya teliti serta hati-hati dan hendaknya tabah berani menurut apa yang benar diputus oleh pengadilanku.
Dengan demikian terlihat bahwa lembaga peradilan agama sejak zaman kerajaan Mataram sudah ada walaupun masih bernama Pengadilan Surambi, untuk menyelesaikan maslah hukum Islam yang hidup di tengah-tengah masyarakat waktu itu, di samping urusan peribadatan dan pendidikan.

Dalam hal ini, Abdul Gani Abdullah mengemukakan bahwa lembaga Peradilan Agama lahir di Jawa-Madura sejak adanya suatu kasus hukum Islam di antara pemeluk agama Islam, terutama kasus dalam bidang perkawinan, perceraian, kewarisan, dan lain-lain. Sudah dapat diperkirakan bahwa pada awal penyebaran Islam di Jawa dan Madura terdapat kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian atau kasus kewarisan. Perselisihan antara suami-isteri lebih banyak frekuensinya dibandingkan dengan kematian pewaris yang menjadi titik tolak lahirnya kasus kewarisan.

Sejak saat adanya tuntutan penyelesaian kasus-kasus tersebut mulai adanya tuntutan diselenggarakannya lembaga peradilan agama dalam lingkungan masyarakat hukum yang bersangkutan. Lahir dan bentuk majelis hakimnya cenderung diwujudkan dengan keadaan sosial politik masyarakat hukum itu sendiri. Dengan demikian Islam datang ke Pulau Jawa dan Madura (termasuk Mataram – pen.) tidaklah membawa seperangkat lembaga peradilan agama dengan segala perlengkapan majelis hakimnya sehingga pada saatnya lembaga itu dapat difungsikan atau diterapkan untuk menyelesaikan kasus-kasus seperti yang digambarkan di atas. Tidak pula peradilan itu merupakan suatu kebulatan lengkap yang dibawa agama Islam yang harus diterapkan begitu saja. Akan tetapi Islam datang membawa kaedah-kaedah pokok tentang perlunya lembaga peradilan agama bagi sekelompok masyarakat. Kaedah-kaedah pokok itu memberii ajaran ijtihad yang membuka kemungkinan dijadikannya keadaan masyarakat hukum tertentu sebagai pertimbangan dalam menetapkan hukum dan atau lembaga peradilannya.

Agama Islam datang ke Jawa dan Madura (termasuk Mataram – pen.) menawarkan tiga kelembagaan peradilan agama untuk diterapkan dengan pertimbangan keadaan sosial politik masyarakat hukum, yakni bentuk Tauliyah dari Imam, bentuk Tauliyah dari Ahl al hilli wa al aqdi, dan bentuk Tahkim. Bentuk-bentuk itu menunjukkan bahwa agama Islam tidak menyuguhkan konsep peradilan menurut perspektif yang bermaksud menerapkan suatu perangkat peradilan yang telah dirakit sebelum adanya masyarakat Islam. Dengan kata lain, bahwa Islam tidak menyiapkan suatu perangkat peradilan. Akan tetapi suatu konsep di mana pada suatu keadaan, konsep peradilan itu dapat dilaksanakan dengan memberiikan tekanan penerapan sesuai dengan keadaan sosial politik masyarakat hukum Islam dan dengan sendirinya keadaan itulah yang menentukan bentuk kelembagaan dan sistem peradilan agama itu.

Proses lembaga peradilan agama yang demikian telah mencapai tingkat Tauliyah Imam, seperti yang terjadi dengan lahirnya Pengadilan Surambi pada masa kerajaan Mataram, di mana Sultan Agung memiliki “Perangkat Tauliyah” dalam kedudukannya sebagai imam. Dalam kedudukannya sebagai Sultan, ia memegang dan memimpin majelis tertinggi pengadilan itu.

Pengadilan Surambi itu, pada asalnya merupakan bagian dari Pengadilan Perdata dalam lingkungan kerajaan Mataram yang selalu mengadakan sidang-sidang majelis hakimnya di serambi masjid yang menjadi pangkal tolak lahirnya Pengadilan Surambi. Pengadilan Surambi mempunyai wewenang, yakni Pertama, untuk melaksanakan tugas sebagai sebuah lembaga pengadilan untuk memeriksa dan memutus perkara yang berkaitan dengan masalah perkawinan, perceraian, dan segala akibatnya serta masalah kewarisan. Kedua, Pengadilan Surambi difungsikan sebagai lembaga pemberi nasehat atau sebuah pertimbangan untuk memberi nasehat atau pertimbangan kepada Sultan menurut hukum Islam. Jika suatu keputusan Sultan yang belum mendapat pertimbangan dari Pengadilan Surambi, maka keputusan belum dapat dilaksanakan. Proses yang demikian dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan, apakah keputusan yang akan dilaksanakan itu terdapat indikasi yang menunjukkan pertentangan dengan hukum Islam atau tidak. Hal itulah yang menempatkan lembaga Pengadilan Surambi itu sebagai salah satu lembaga pendamping Sultan. (Abdullah, 1987 : 38-41)

Kekuasaan dan wewenang Peradilan Agama dipersempit dan dibatasi oleh kaum kolonial dengan mengeluarkan berbagai ordonansi, peraturan-peraturan, dan sebagainya. Hal inipun diperlakukan terhadap kerajaan Mataram setelah kolonial Belanda dapat menguasainya, sehingga pelaksanaan hukum Islam setelah pengaruh kolonial Belanda itu menjadi tersendat-sendat.

Djamil Latif mengungkapkan bahwa Peradilan Agama di Indonesia sebenarnya merupakan instansi yang sudah cukup tua usianya. Lebih tua dari Departemen Agama sendiri dan bahkan lebih tua dari usia negara kita. Ia sudah ada sejak munculnya kerajaan Islam di bumi Nusantara ini. Ia muncul berbarengan dengan berdirinya kerajaan Samudera Pasai, Aceh, Demak, Mataram, Banten, Cirebon, dan lain-lain. Pada saat mula timbulnya peradilan agama tidak hanya mengurus perkara-perkara yang berhubungan pribadi saja (Al-Akhwal Asy-Syakhsiyyah) atau lebih sempit dari itu (nikah, talak, dan rujuk) tetapi juga hukum perdata dalam arti luas. Tegasnya Peradilan Agama merupakan Peradilan Umum bagi umat Islam pada waktu itu, yang menyelesaikan segala persoalan yang berkaitan dengan hukum Islam dan umat Islam. (Latif, 1983 : 9)

E. PENUTUP

Baik secara kultural maupun institusional hukum Islam telah pernah diberlakukan pada kerajaan Mataram, walaupun ada penyesuaian dengan adat sebelumnya Hindu-Buddha. Secara institusional terbukti dengan adanya jabatan terntentu yang menangani masalah agama di samping Raja/Sultan/Bupati/Senopati. Jabatan ini mulai dari tingkat pemerintah pusat (keraton) sampai tingkat desa dengan adanya istilah Penghulu Agung, Penghulu Kabupaten, Penghulu Naib, Kaum, Amil, Modin, dan lain-lain. Petugas agama tersebut lebih banyak melaksanakan tugasnya di masjid dan untuk menyelesaikan perkara yang diajukan kepada mereka dilakukan di serambi masjid, sehingga dikenal dengan Pengadilan Surambi. Di antara wewenang petugas agama tersebut adalah:
  1. Mengurus masalah ibadah masyarakat.
  2. Mengurus masalah pendidikan dengan adanya pesantren-pesantren (walaupun dalam bentuk sederhana).
  3. Menyelesaikan perkara yang diajukan kepada mereka yang meliputi perkawinan, perceraian, warisan, tanah wakaf, dan lain-lain.
  4. Memberikan pertimbangan kepada pejabat dalam mengambil suatu kebijaksanaan di wilayah kekuasaannya.
Wallahu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Abdul Gani, Badan Hukum Syara’ Kesultanan Bima 1947-1957 Sebuah Studi Kasus Peradilan Agama, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1987.

Berg, L.W.C. Van Den, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, Jakarta: INIS, 1989.

Graaf, H.J. De, Runtuhnya Istana Mataram, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987.

          , Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa Peralihan dari Majapahit ke Mataram, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989.

           , Puncak Kekuasaan Mataram, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990.

Latif, Djamil, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1983.

Lev., Daniel S., Peradilan Agama Islam di Indonesia, Terjemahan H. Zaini Ahmad Noeh, Jakarta: Intermasa, 1986.

Muchtarom, Zaini, Santri dan Abangan di Jawa, Jakarta: INIS, 1988.

Noeh, Zaini Ahmad, Kepustakaan Jawa sebagai Sumber Sejarah Perkembangan Hukum Islam, dalam “Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia”, Sebuah Kenangan 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH., Jakarta: PP-IKAHI, 1994.

Rahardjo, Sutjipto, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni, 1983.

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

TIM Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.

TIM Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.

Diketik oleh : Moh. Hibatul Wafi

Nabila JKT48

Pasti semua orang sudah pada tahu dengan Girlband Indonesia JKT48, girlband yang kini namanya sedang naik daun di belantika musik Indonesia. Seperti halnya AKB48 girlband asal negeri sakura Jepang, yang namanya lebih dulu dikenal, JKT 48 terdiri dari banyak personil. Salah satunya adalah Nabila, pemilik nama lengkap Nabilah Ratna Ayu Azalia ini, bisa dibilang salah satu personil yang paling imut dan menggemaskan.

PROFIL
  • Nama Lengkap : Nabilah Ratna Ayu Azalia
  • Nama Panggilan : Nabila JKT48
  • Tanggal Lahir : 11 November 1999
  • Golongan Darah : B
  • Zodiak : Scorpio
  • Tinggi Badan :148cm
  • Julukan : Ayu-chin
  • Twitter : @nabilahJKT48
Nabilah Ratna Ayu Azila, itulah nama lengkap dari salah satu personil JKT48 yang cantik dan imut ini. Di usianya yang sangat belia ini, dia berhasil menjadi artis terkenal di Indonesia, dengan menjadi bagian dari JKT48. Gigi gingsul-nya, adalah salah satu ciri khas dari Nabila, wajah imut dan cantik sungguh membuat orang-orang tertarik melihatnya.

FOTO



Loker Konsultan Publik dan Financial

Kami dari perusahaan PT. Rifindo Finance bergerak di bidang Consultant Public and Financial, berdiri sejak tahun 1999, yang mempunyai cabang di beberapa kota diantaranya: JAKARTA, SEMARANG, BANDUNG, SURABAYA, MAKASAR, dan MEDAN.

Kesempatan untuk bergabung di perusahaan kami, dengan penempatan di kantor cabang JAKARTA SELATAN. Posisi saat ini yang dibutuhkan, diantaranya:

  1. Consultan Public Relation.
  2. Sekretaris.
  3. Customer Service.
Persyaratan:
  • D3/S1 sederajat untuk nomor 1 dan 2.
  • SMA sederajat untuk nomor 3.
  • Jujur, disiplin, energik, suka tantangan, dan bisa bekerja dengan tim.
  • Bidangnya sesuai posisi tersebut.
Wajib melampirkan:
  • Fotocopy Ijazah.
  • Fotocopy Nilai Akhir.
  • Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).
  • Surat keterangan dokter.
  • Pas foto ukuran 2x3 dan 3x4 @2 lembar.
Fasilitas:
  1. Gaji pokok minimal UMR (Upah Minimum Regional) yang disesuaikan dengan posisi jabatan.
  2. Jamsostek / BPJS.
  3. Operational Office (MOBIL).
  4. Tunjangan hari raya.
Kirim data diri Anda melalui email imanwahyudi88@yahoo.com dengan mencantumkan posisi yang dilamar. Lowongan ini berakhir sampai tanggal 18 Februari 2014. Tunggu lamaran Anda dan kedatangannya di PT. Rifindo Finance - Jl. Prof. Dr. Satrio No. 164, Karet - Sudirman, Jakarta Selatan 12930.

Gratis Ayam di KFC

GRATIS ayam di KFC dari isi ulang pulsamu!

Caranya ketik : KFCCH, kirim SMS ke 777 (Rp 1,-) dengan tukar 1 poin Telkomsel untuk mendapatkan kode vouchernya.

Syarat dan Ketentuan berlaku.

SMS Translator

Manfaatkan SMS TRANSLATOR untuk mendukung pelajaran Bahasa Asing-mu. Ketik kalimat yang mau diartikan, kirim ke 4664, tarif Rp 220,-/SMS.

Promo Tsel di KFC Coffee

Khusus pelanggan Tsel

BUY 1 GET 1 FREE
Tiap pembelian coffee jenis apa saja di KFC Coffee, hanya dengan tukar 5 poin.

Hubungi *700*41#

Promo s/d 31 Maret 2014. SK Berlaku.

Audisi Bintang Asik

Mau tampil di TV dan menang 2 mobil ditambah hadiah Milyaran Rupiah. Ikuti audisi nyanyi Bintang Asik, bebas nyanyi apa aja.
Hubungi 91945 hanya Rp 2.000,-/nelpon.

Panduan Wawancara Kerja

Untuk melamar kerja ada beberapa tips yang akan membantu Anda mendapatkan hasil yang maksimal dalam lamaran Anda. Tips-tips ini dirangkum berdasarkan tanggapan yang kami terima dari perusahaan. 
  1. Bacalah penjelasan tentang lowongan tersebut serta profil perusahaannya secara seksama agar Anda mengerti seluk beluk lowongan tersebut ketika perusahaan itu memanggil Anda untuk wawancara. Jika iklan lowongan tersebut tidak mengandung cukup banyak informasi, tanyakanlah kepada perusahaan untuk lebih jelasnya.
  2. Ingatlah untuk menuliskan nama & nomor kontak perusahaan untuk berjaga-jaga bilamana Anda perlu menelepon dia kembali nantinya.
  3. Persiapkan diri untuk melakukan wawancara dengan cara mencari tahu lebih banyak lagi tentang perusahaan, lowongan serta industri perusahaan tersebut.
  4. Datanglah tepat waktu untuk wawancara Anda. Bawalah resume, transkrip, sertifikat serta dokumen lain yang relevan pada saat wawancara.
  5. PENTING : Jika Anda tidak dapat menghadiri suatu wawancara yang telah Anda konfirmasi sebelumnya untuk alasan apapun, Anda harus menghubungi perusahaan tersebut paling tidak sehari sebelumnya untuk memberitahu mereka.
  6. Jika catatan kehadiran wawancara Anda baik, ini akan membantu memastikan adanya kesempatan-kesempatan wawancara lain di masa mendatang, karena perusahaan mempunyai hak untuk membagikan catatan “Ketidakhadiran” maupun pembatalan mendadak kepada perusahaan lain.
  7. Jika Anda tidak punya detil kontak informasi perusahaan, lihatlah dibawah Profil Perusahaan di halaman Status Lamaran di akun lowongan pekerjaan yang Anda daftarkan, atau lihatlah di buku telepon atau Yellow Pages.
  8. Kirimkanlah sebuah email Ucapan Terima kasih kepada perusahaan setelah wawancara.
  9. Tindaklanjuti dengan perusahaan akan status wawancara Anda dalam dua atau tiga hari. Hal ini menunjukkan ketertarikan Anda akan lowongan tersebut dan mungkin dapat meningkatkan keberhasilan Anda.
Perusahaan mempunyai pilihan untuk memasukkan Anda ke dalam daftar hitam jika Anda gagal menghadiri wawancara atau memalsukan data resume Anda. Maka dari itu, selalulah bersikap profesional dan sopan. Kami mendoakan yang terbaik untuk kesuksesan pencarian kerja Anda! 

Untuk tips dan artikel lain tentang wawancara kerja, klik di sini.

Strategy Of Guerrilla Warfare


Cover Buku Fundamentals of Guerilla Warfare
Perang Vietnam adalah perang terlama yang pernah dialami oleh Amerika Serikat. Selain banyak menelan korban jiwa (58.226 orang), perang Vietnam juga banyak memakan dana yang sangat besar (150 milyar dolar) di pihak AS. Akhirnya gelombang protes untuk menarik mundur pasukan AS dari Vietnam pecah di negeri Paman Sam tersebut. Dan pada tahun 1975 akhirnya AS benar-benar menarik mundur pasukannya dari bumi Vietnam. Pada perang ini tercatat 58.226 orang meninggal dan 304.000 luka-luka di pihak Amerika serikat.

Lantas apa hubungannya buku karangan A.H. Nasution dengan perang Vietnam? Yang jelas memang ada kaitannya. Ternyata, Ho Chi Minh, selaku Pemimpin Besar Vietnam Utara tersebut belajar menggunakan Taktik Perang Gerilya dari buku karangan A.H. Nasution ini. Luar biasa bukan?

Abdul Haris Nasution
Saat ini buku berjudul “Strategy of Guerrilla Warfare” karangan Abdul Haris Nasution telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Selain itu juga, buku ini merupakan buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite bagi militer dunia di Amerika Serikat, West Point. Jadi kira-kira di zaman sekarang ini, ada tidak putra bangsa yang sanggup memberikan kontribusi bagi dunia dalam bidang apapun seperti contohnya yang pernah dilakukan oleh Jenderal Besar Abdul Haris Nasution dalam bidang kemiliteran?

Soeharto Pernah Ditampar Kopassus

Kolonel Alex Evert Kawilarang
(Bapak Kopassus yang tampar Soeharto)
Di zaman Belanda, Alex mengikuti pendidikan perwira Koninklijk Militaire Academie (KMA) di Bandung. Sebenarnya KMA Bandung merupakan sekolah perwira darurat karena saat itu Belanda telah dikuasai Jerman dalam perang dunia II. KMA Breda di Belanda pun tutup.

Alex tak lama menjadi perwira Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL), atau Tentara Kerajaan Hindia-Belanda. Tahun 1942, Jepang keburu masuk dan KNIL dibubarkan. Walau begitu dia tercatat sebagai satu dari sedikit orang Indonesia yang bisa menjadi perwira KNIL.

Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, Alex bergabung dengan TNI. Awalnya dia menjadi perwira penghubung dengan pasukan Inggris. Karirnya terus merangkak naik. Kawilarang dipercaya memimpin ekspedisi TNI menumpas berbagai pemberontakan di hari-hari awal republik. Mulai dari Operasi Penumpasan Pemberontakan Andi Azis di Makassar, pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), dan Pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan.

Pengalaman menumpas berbagai pemberontakan ini yang membuat Kawilarang berfikir perlunya Indonesia memiliki pasukan kecil dengan kemampuan tempur hebat. Kawilarang begitu kagum akan kemampuan musuhnya, pasukan baret merah dan hijau Belanda dari Korps Speciale Troepen. Dia banyak berdiskusi dengan Letkol Slamet Riyadi soal pembentukan pasukan elite ini.

Pada 1951-1956, Kawilarang diangkat sebagai Panglima Komando Tentara dan Territorium VII/Indonesia Timur (TTIT) di Makassar. Nah saat itu Kawilarang melapor pada Presiden Soekarno bahwa kondisi Makassar sudah aman. Tapi Soekarno malah menunjukkan radiogram yang memberitakan Makassar diserang pasukan KNIL.

Kawilarang mencari Komandan Brigade Mataram Letkol Soeharto yang bertugas menjaga Kota Makassar. Dia kesal melihat anak buah Soeharto malah melarikan diri.

"Lelucon apa ini," kata Kawilarang pada Soeharto. "Plak!" Soeharto pun ditampar.

Saat menjabat Panglima TT III/Siliwangi, Kawilarang merintis pembentukan Kesatuan Komando Territorium III (Kesko TT-III) Siliwang bulan April 1951. Kesatuan inilah yang kelak menjadi Kopassus.

Walau merintis pasukan elite tersebut, baru tahun 1999 Kawilarang diterima menjadi warga kehormatan Kopassus. Hal ini baru bisa dilakukan setelah Soeharto lengser.

Kawilarang pernah dianggap bersalah telah menyebrang ke pihak PRRI/Permesta yang saat itu memberontak pada pemerintah Jakarta. Tapi Soekarno kemudian mengeluarkan abolisi walau memberikan sanksi Pangkat Brigjen Kawilarang diturunkan menjadi Kolonel. Kawilarang kemudian memilih mengundurkan diri dari TNI. Padahal bersama Nasution, Kawilarang banyak memberikan saran dalam membangun TNI.

Saat Orde Baru hubungan Kawilarang dan Soeharto tetap kurang harmonis. Soeharto rupanya belum lupa pernah ditempeleng. Maka Kawilarang hidup sebagai pengusaha. Dia meninggal tahun 6 Juni 2000, pada usia 80 tahun. Bapak Kopassus ini dimakamkan di taman makam pahlawan Cikutra, Bandung.

Diteruskan dari Facebook.

Panduan Melamar Kerja Via Online

Sebelumnya kami telah memberikan informasi mengenai Panduan Mencari Kerja Secara Aman Via Online. Nah, penulis ingin membagikan kembali beberapa tips yang akan membantu Anda dalam memanfaatkan lamaran lowongan online secara maksimal. Simaklah tips-tips berikut :
  1. Sebelum melamar kerja, bacalah perincian lowongan tersebut serta profil perusahaannya secara seksama.
  2. Lamarlah jika Anda berminat dengan lowongan tersebut, dan sesuai dengan kemampuan serta lokasi tempat kerja yang Anda minati.
  3. Perbaharui resume Anda, terutama kontak informasi Anda. Resume yang selalu diperbaharui dan informatif akan membantu perusahaan-perusahaan untuk memahami kecocokan Anda dengan lowongan tersebut.
  4. Jawablah semua pertanyaan pada lamaran kerja dengan seksama. Hal ini akan menciptakan kesan yang baik dan menyatakan keseriusan Anda terhadap lowongan tersebut.
  5. Selalu bersikap profesional dan sopan terhadap para perusahaan-perusahaan yang akan Anda lamar.
Sekian dulu tips dari Berita Acara Perpustakaan Hibah.

Panduan Mencari Kerja Secara Aman Via Online

Iklan ilegal kadang-kadang bisa muncul pada situs-situs lowongan kerja. Biasanya situs-situs tersebut akan selalu berusaha memastikan bahwa iklan lowongan pada situs itu mengiklankan kesempatan kerja yang sah. Iklan yang melanggar kebijakan iklan akan dihapus ketika iklan tersebut diidentifikasikan. Namun, kadang-kadang iklan yang melanggar kebijakan bisa terpampang di situs itu sendiri. Jika Anda menemukan iklan dengan ciri-ciri seperti ini, jangan meresponnya tetapi silahkan beritahu situs-situs lowongan pekerjaan yang Anda percaya :
  1. Iklan yang meminta pembayaran sebelum Anda bisa melamar.
  2. Iklan yang mempromosikan sistem penjualan piramida atau skema yang serupa.
  3. Iklan yang tidak benar atau menyesatkan (misalnya judul lowongan, perincian pekerjaan maupun penjelasan tentang perusahaan perusahaan yang menyesatkan/salah kaprah/menipu).
  4. Iklan dengan kejelasan moral yang patut dipertanyakan (misalnya sebagai pendamping panggilan).
Anda bisa mengemailkan iklan tersebut ke pihak-pihak situs yang Anda percaya, seperti policy@jobstreet.com, beserta dengan nama perusahaan dan nama lowongan tersebut, dan mereka pasti akan menyelidikinya. 

Situs lowongan pekerjaan juga tidak mengijinkan pengiklan menyalahgunakan informasi dari aplikasi lamaran Anda, seperti :
  1. Pengiklan/perusahaan/pegawai yang menggunakan informasi pada aplikasi lamaran Anda untuk mendekati Anda untuk menjual asuransi, mempromosikan multi-level marketing (MLM) atau menawarkan sesuatu yang tidak berhubungan dengan lowongan yang diiklankan;
  2. Menawarkan pekerjaan yang mengharuskan Anda membayar sejumlah dana, biaya pemrosesan, biaya pelatihan, atau membeli sesuatu untuk mendapatkan pekerjaan tersebut. Jika ada biaya yang diperlukan, verifikasikan dahulu dengan instansi pemerintahan yang terakreditasi jika perusahaan tersebut benar-benar merupakan perusahaan dan/atau biro lowongan kerja berlisensi.
  3. Lowongan yang terlihat baik sampai tahap wawancara namun ternyata merupakan suatu kedok untuk mempromosikan skema bisnis yang lain.
Sementara keamanan situs akan selalu mencoba mengambil tindakan yang tepat bilamana perlu. Situs pengiklan tidak dapat dan tidak akan bertanggung jawab akan tindakan perusahaan seandainya mereka melanggar peraturan penggunaan tersebut. 

Yang terakhir, jangan berikan kata sandi Anda kepada siapapun, walaupun kelihatannya permintaan tersebut berasal dari email dengan alamat tersebut. Situs pengiklan biasanya tidak akan pernah meminta kata sandi dari anggota pengiklan. 

Untuk tips dan artikel yang lain mengenai pencarian kerja, lihat Loker Perpustakaan Hibah.

Teaternya Sang Politik

Ditulis Oleh Putu Wijaya / Budayawan

Egy adalah keturunan orang Bugis yang menjadi anggota Teater Mandiri sejak 1983, sampai kini masih tetap anggota Teater Mandiri meskipun sudah menjadi eksekutif muda yang berhasil dan calon anggota legislatif DPR RI Partai Golkar Daerah Pemilihan DKI Jakarta II (Jakarta Selatan, Jakarta Pusat dan Luar Negeri). Ia tetap mempraktekkan ethos kerja teater "Bertolak Dari Yang Ada", sehingga bergulat di lapangan becek, mengucurkan keringat, dalam segala kekurangan dan kesulitan baginya tak sulit.

Foto diambil dari akun FB Ya Asurandi A. Hamid - Egy sedang menikmati suasana di pinggir pantai.
Terlebih saat harus menyambangi sejumlah konstituennya yang berada di Malaysia, Jepang, Jerman, Perancis, Ceko, Belanda, Korea Selatan, Austria, Singapore, dan Australia untuk konsentrasi Dapilnya di Luar Negeri. Hal itu merupakan sebuah tantangan menyenangkan baginya. Ia sudah menyerap dan kini meyakini, dengan kerja keras di balik setiap kesulitan dan kemalangan selalu ada janji dan harapan. Karena itu ia percaya komunitas teater bukan hanya tempat bermain dan bertemu, tetapi juga mengasah dan menempa manusia menjadi mandiri, berdisiplin, punya arah dan paham bekerja sebagai sebuah tim.

Ambisi Egy untuk menjadikan teater sebagai kantong yang mengolah generasi muda Indonesia untuk siap pakai dalam membangun NKRI yang baru dan satu menjadi menarik. Kehidupan dan negara sendiri adalah sebuah panggung teater yang memerlukan pekerja-pekerja yang ulet, setia dan terlatih. Tak hanya cerdas, tetapi juga bijak, gesit dan memiliki kepekaan yang tinggi pada kemanusiaan. 

Teater yang mencakup hampir seluruh cabang kesenian dan juga berbagai aspek dari disiplin lain (psikologi, filsafat, sejarah, politik, hukum bahkan ekonomi dan sebagainya) akan menjadi bengkel pelatihan bukan saja bagi mereka yang ingin menjadi pekerja teater, tetapi seluruh kemungkinan profesi dari kelas pekerja maupun pemimpin.

Begitu pula Egy yang melatari karirnya sebagai penulis lepas di sejumlah surat kabar, yang kemudian secara resmi bergabung di sebuah harian umum lalu berpindah ke sebuah tabloid mingguan dengan jabaran terakhirnya redaktur Pelaksana. Dulu di sela tugas-tugas jurnalistik, Egy juga menulis cerpen, puisi, essay dan lain-lain. Prestasi atas kreativitasnya juga telah ia buktikan dengan memenangi lomba penulisan essay Diplomasi Kebudayaan Indonesia-Amerika dalam rangka KIAS pada tahun 1987 serta menulis buku antara lain Srikandi : Sejumlah Wanita Indonesia; Top Eksekutif Indonesia; dan Top Pengusaha Indonesia. 

Bila saja Egy punya kesempatan dan berhasil konsisten dengan mimpinya yang indah dan menyala-nyala ini, kita mungkin dapat sedikit menolong menyelamatkan generasi muda dari jilatan neraka kehidupan yang terjulur dari liang narkoba. Dan itu pasti akan terjadi kalau kita memberi dia kesempatan sekaligus menjaga langkah-langkahnya agar tidak terjerumus ke arah yang keliru, mengingat dunia politik memilik seribu peta buta.

Informasi lebih lanjut silahkan klik link EGY MASSADIAH.

Tips Sebelum Meninggalkan Bank

Kebiasaan nasabah-nasabah pemilik buku tabungan ketika ingin menyetor atau menarik sejumlah uang di bank, baik di Indonesia maupun mancanegara adalah mereka sering lupa untuk mengecek buku tabungannya. Kenapa harus di cek ? Karena agar tidak ada kekeliruan terhadap Teller dalam memasukkan nominal uang ke dalam rekening tabungan. Maka daripada itu, penulis ingin membagikan tips-tips agar para nasabah tidak ada kekeliruan dalam rekeningnya. Berikut tips-tipsnya :
  1. Periksa saldo buku tabungan Anda sebelum meninggalkan bank.
  2. Jika buku tabungan hilang, agar segera memberitahu kepada bank terkait.
  3. Penarikan tunai yang diwakilkan tanpa Surat Kuasa dan identitas diri asli, penabung penerima kuasa (KTP/SIM/Paspor/Kartu Pelajar) tidak dilayani.
  4. Penyalahgunaan buku tabungan oleh pihak ketiga menjadi tanggung jawab penabung sepenuhnya.
  5. Penarikan di Teller harus menyertakan buku tabungan dan identitas diri asli (KTP/SIM/Paspor/Kartu Pelajar) yang masih berlaku.
Demikian tips-tips dari penulis. Sekian...

100 Ribu Kuota Lowongan CPNS 2014 Dibuka

Kini saatnya bagi Anda yang berminat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), akan dibuka kembali pada bulan Maret 2014 mendatang. Dua bulan lagi, pemerintah kembali membuka lowongan calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Tak tanggung-tanggung, jumlah CPNS yang dicari sebanyak 100 ribu orang. Kuota ini nantinya akan diperebutkan murni oleh pelamar umum. Pemerintah sudah tidak lagi membuka tes CPNS khusus untuk pelamar kelompok tenaga honorer.

Menurut Azwar Abubakar (Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi), "Tahun ini buka 100 ribu lowongan. Maret 2014 sudah dibuka. Pembukaan lowongan CPNS pada tahun ini memang lebih cepat dari tahun lalu. Jika Maret 2014 dibuka, maka memprediksi proses seleksi CPNS bisa digelar sekitar Juni atau Juli sehingga pada Oktober peserta yang lolos seleksi sudah bisa diangkat."

Setelah tahun 2015, belum tentu ada penerimaan CPNS lagi terlebih akan diterapkan 5 tahun sekali. Persiapkan diri Anda secara maksimal dan efektif dengan mempelajari kisi-kisi resmi soal CPNS dan berlatih Tryout CPNS 2014.

Lowongan PT. Baracoaching Indonesia Grande

Dibutuhkan tenaga profesional untuk pekerjaan :
  1. Administrasi.
  2. Keuangan.
  3. Marketing.
Informasi lebih lanjut silahkan hubungi,
HRD : Ibu Tori - 081295028754

Baksos FORMABI

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

FORMABI (Forum Mahasiswa BidikMisi) INSYA ALLAH akan mengadakan Bakti Sosial tepatnya di Subang, Jawa Barat. Kami mengharapkan kawan-kawan untuk menyalurkan partisipasinya dengan cara menyumbangkan pakaian-pakaian (kebutuhan sandang), dan buku-buku baru ataupun bekas, tetapi masih layak pakai dan layak baca.

Bagi yang hendak menyumbangkan, bisa langsung diserahkan ke Asrama putri maupun Ma'had putra UIN Syarif Hidayatullah. Mari berbagi sebelum usia habis terhenti, kapan lagi jika bukan sekarang. Mudah-mudahan Allah membalas amal ibadah dan niat baik kawan-kawan. Syukron..

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Contact Person : Muhaimin Zain (085778529275)

Tersesat di Gunung Welirang

Sudah hampir 1 minggu, tepatnya hari Minggu tanggal 19 bulan Januari tahun 2014, dua anggota MAHAPALA STIESIA : Alif (23 th) dan Dian (18 th) telah hilang dalam pendakian di Gunung Welirang (3156 Mdpl).


Rabu (22/01) - Rekan-rekan dari Arek Suroboyo memohon bantuan kepada TIM SAR untuk membantu dua saudara kita yang sedang tersesat tersebut. Dan mereka juga mengirim pesan, untuk mencarikan teman-teman yang bisa diberangkatkan ke Cangar dan Tretes guna keperluan Operasi Pencarian SAR, yang diberangkatkan pada hari itu juga.

Info terkini adalah sebagian 15 orang dari Team STIESA telah standby di "Selangkangan Kembar 2", dengan dilengkapi 2 Alkom HT frekwensi 153.360 mhz VHF direct point. (Berita Acara ini didapat dari Sdr. Yanuari Rico)

Informasi lebih lanjut, silahkan hubungi di POSKO STIESIA Cangar - Rumah Pak Da'an (sebelum pabrik jamur).
  • Sdr. Jimmy - Penanggung Jawab (081330481238)
  • Mas Bagong (+628121747273)

Jual Cepat Honda New Megapro Tahun 2012

DIJUAL.....!!!!!!!!!!!

HONDA NEW MEGAPRO BULAN SEPTEMBER 2012
BARU 15 BULAN PAKAI


TANGAN PERTAMA, ATAS NAMA SENDIRI
WARNA MERAH HITAM
KONDISI OKE...!!!
BARU GANTI BAN DEPAN & BELAKANG TUBLESS 3 MINGGU YANG LALU
BARU SERVIS, GANTI OLI, GANTI AKI 3 MINGGU YANG LALU JUGA
KM 17000

BUKA HARGA Rp 16.500.000,-
BISA DINEGO....!!!!

BAGI YANG BERMINAT, SILAHKAN HUBUNGI KE :

ANTON RIYANTO ( 081212456235 )

*NB: Box dan Bracketnya sudah terjual
Jadi, hanya dijual motornya saja...

AYO BURUAN BELI....

Langsung di gas doang loh!!!

Harga Promo Tiket Pesawat

Segera dapatkan e-Tiket Pesawat harga PROMO untuk penerbangan 
Domestik & Internasional 
dengan cara mudah, aman, dan praktis

ONLINE BOOKING
SEMUA RUTE PENERBANGAN


Untuk pemesanan,
HUBUNGI CUSTOMER SERVICE :
082314872605 / 085222291991
085336254398 / 082320845555
atau bisa juga dengan mengklik di bawah ini :

Nagamas Elektro

Nagamas Elektro menawarkan bermacam-macam mobile phone, diantaranya sebagai berikut :
  • Dakota = Rp 2.500.000,-
  • Davis = Rp 900.000,-
  • Gemini = Rp 670.000,-
  • Q5 = Rp 2.200.000,-
  • Q10 = Rp 4.300.000,-
  • Z10 = Rp 3.200.000,-
  • S4 = Rp 4.000.000,-
  • Note 3 = Rp 3.900.000,-
  • Iphone 5 = Rp 3.200.000,-
Bagi yang berminat, silahkan hubungi/sms ke :
  • Telkomsel 1 : 082195015460
  • Telkomsel 2 : 082378899989
  • PIN BB : 27DC39C6

Layanan Combo Mania

Layanan Combo Mania Anda telah aktif. Nikmati nelpon s/d 100 menit ke Tsel, 50 SMS ke Tsel, dan 5.120 kb sampai dengan pukul 17.59 WIB, cek bonus ketik *889#.

Combo Mania

Beli Combo Mania hanya Rp 2.000,- untuk 100 menit + 50 SMS + 5 MB dengan ketik CM ON kirim ke 8999. Waktu siang s/d 17:59 WIB, malam dari 18:59 WIB s/d 23:59 WIB.

Promo TSEL


Tonton Indonesian Idol 2014 ! Simak liputannya di klip telkomsel, tarif Rp 550/video, GRATIS biaya data. Nikmati juga berbagai video seru lainnya.

Sertifikat Halal Gratis untuk UMKM

Produkmu sudah punya Sertifikasi Halal belum? Mulai tanggal 17 Oktober 2024 nanti semua produk UMKM wajib memiliki sertifikasi HALAL loh sob...