Giat Kerja Bakti Warga Rw. 16 Cililitan

Minggu, 8 Desember 2024 - Komunitas

LPJ Triwulan 3 Kopma UIN Jakarta 2024

Jum'at, 6 Desember 2024 - Koperasi

LMS UNJ Error, Menyulitkan Pejuang Sarjana

Rabu, 4 Desember 2024 - Teknologi Kampus

Munas Dekopin Menuju Indonesia Emas

Minggu, 1 Desember 2024 - Koperasi

Beli Isuzu Sekarang Juga! Sebelum Menyesal

Jum'at, 29 November 2024 - Otomotif

Teori Receptio in Complexu Versus Teori Receptie

Oleh Dr. Sudirman Abbas

PENDAHULUAN

Dalam sejarah hukum di Indonesia, banyak literatur menyebutkan bahwa pada mulanya sebelum Belanda datang ke negeri ini sebagai penjajah dalam bidang perdagangan, pada mulanya dan akhirnya menjadi penjajah secara menyeluruh dan berkuasa, yang berlaku adalah hukum Islam yang berjalan dalam adat dan kebiasaan masyarakat waktu itu. Hal ini bisa dilihat dalam penjelasan Daniel S. Lev yang menjelaskan bahwa Pengadilan Agama (Islam) sudah ada pada setiap kabupaten di pulau Jawa pada abad ke-16 (1980: 25). Pengadilan semacam juga sudah ada pada masa Pangeran Dipati Anta Koesoema di Kuala Kapuas sekitar tahun 1638, yang tentu menerapkan hukum Islam dalam proses peradilannya. (Asshiddiqie, 1990: 9)

Namun pada perkembangan sejarah selanjutnya, ada satu pemikiran baru yang dikembangkan oleh politik hukum penjajah Belanda yang pada mulanya ingin memberlakukan hukum Barat untuk seluruh golongan penduduk sebagai upaya unifikasi hukum. Pemikiran ini ditentang oleh Snouck Hurgronje, dan selanjutnya dikembangkan oleh Van Vollenhoven yang menyatakan bahwa tidak perlu lagi mengajukan hukum Barat sebagai solusi unifikasi, sebab di Indonesia ini sudah hukum adat yang berkembang dan berlaku dalam kehidupan masyarakatnya. Bahkan Van Vollenhoven membantah keras bahwa orang pribumi hidup tanpa hukum, mereka justeru secara sungguh-sungguh memberi perhatian pada adat, hukum adat, dan kebutuhan hukum rakyat (Soetandyo, 1995: 127) dan usaha-usaha Hoven ini digulirkan pada setiap amandemen termasuk yang disebut dengan amandemen Van Idsinga.

Adanya pihak-pihak yang mengemukakan bahwa hukum Islam-lah yang berlaku dalam masyarakat dan bukan hukum adat. Sebab istilah hukum adat waktu itu tidak ada, yang ada hanyalah adat kebiasaan. Teori ini pada masa kemudian disebut dengan istilah teori Receptio In Complexu. Sedang kebalikan dari teori ini adalah teori Receptie yang menganggap hukum adat sebagai hukum pribumi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat waktu itu.

Dalam makalah ini akan dicoba diulas argumentasi masing-masing teori tersebut berikut latar belakangnya dengan harapan akan jelas duduk persoalan yang sebenarnya.

MENGULAS TEORI RECEPTIO IN COMPLEXU

Sayuti Thalib (1985: 4) mengemukakan bahwa justeru ahli-ahli hukum dan ahli-ahli kebudayaan Belanda sendirilah yang mengakui bahwa jauh-jauh sebelum tahun 1800 dan tahun sesudahnya, hukum Islam-lah yang berlaku di Indonesia. Sayuti menunjukkan beberapa sarjana Belanda yang mengakui kenyataan ini, dan mereka menyebut itu dengan masa Receptio In Complexu. Mereka itu antara lain Carel Frederick Winter, seorang ahli mengenai Jawa yang lahir dan meninggal di Yogyakarta (1799-1859). Salamon Keizer, seorang guru bahasa dan budaya Indonesia yang juga banyak menulis tentang Islam di Jawa dan menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Belanda, beliau hidup sekitar 1823-1868. Kemudian ada Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian Van Den Berg (1845-1927), yang sempat menulis asas-asas hukum Islam (Mohammedaansch Recht) menurut ajaran Hanafi dan Syafi’i. Dalam buku ini dijelaskan bahwa hukum Islam diperlukan bagi orang-orang Islam bumiputera walaupun dengan sedikit penyimpangan (Ramulyo, 1995: 54). Selain mereka ada nama lain yang juga menganut paham Receptio In Complexu ini seperti Clootwijk (1752-1755) dan Freijer (1760). (Asshiddiqie, 1990: 10)

Bahkan Ramulyo (1995: 53-54) dalam bukunya memberikan paparan periodesasi tentang pelaksanaan hukum Islam sebelum Belanda datang di Indonesia dengan tiga periode, yaitu:
  1. Periode Tahkim, di mana apabila terjadi perbenturan antara hak-hak dan kepentingan, mereka bertahkim kepada seorang pemuka agama yang ada di tengah kelompok mereka, seperti seorang wanita bertahkim kepada seorang penghulu sebagai wali yang berhak menikahkannya dengan pria idamannya.
  2. Periode Ahlul Hilli wal Aqdi, di mana mereka telah membai’at dan mengangkat seorang ulama Islam sebagai qadhi untuk menyelesaikan masalah mereka. Jadi, qadhi bertindak sebagai hakim.
  3. Periode Tauliyah, yang menurutnya periode ini sudah terpengaruh oleh ajaran Trias Politica Montesquieau, di mana sudah ada pendelegasian wewenang (delegation of authority) untuk mengadili kepada lembaga judicative, seperti di Minangkabau, ada pucuk nagari yang menyelesaikan sengketa dan qadhi yang menyelesaikan masalah keagamaan.
Ramulyo mengemukakan bukti periodesasi ini dengan adanya kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam di daerah-daerah Cirebon, Gowa, Semarang, Makasar, Bone, dan Papakem Cirebon. (Ramulyo, 1995: 54)

Sementara itu, Jimly Assiddiqie (1950: 9) mengungkapkan bahwa hukum Islam-lah yang berlaku di Indonesia ini bersama adat kebiasaan masyarakat setempat. Bahkan, dengan keunggulan gagasan sistem hukum Islam yang ditawarkan lebih mengundang rasa simpatik dalam banyak hal daripada hukum adat.

Dalam konteks kesejarahan hukum Islam, zaman kerajaan Islam Perlak dan Pasai di Aceh juga terungkap bahwa yang berlaku di sana waktu itu adalah hukum Islam dalam madzhab Syafi’i. Demikian juga ketika zaman Sultan Agung, raja kerajaan Mataram Islam, hukum Islam juga sudah berjalan secara formal di mana di tiap kadipaten selalu ada pengadilan serambi, yaitu pengadilan agama yang diberikan sendiri tauliyah atau wewenangnya oleh Sultan Agung, dan pelaksanaan peradilan tersebut berada di serambi masjid. (Lihat dua makalah terdahulu)

Perkembangan diakuinya teori receptio in complexu ini secara legal formal, bisa dilihat dalam Regeerings Reglement (Staatsblad 1884 No. 129 di negeri Belanda jo. Stbl. 1885 No. 2 di Indonesia), terutama diatur dalam pasal 75 dan pasal 78 jo. pasal 109 RR tersebut.

Pasal 75 ayat (3) RR tersebut mengatur bahasanya “Apabila terjadi sengketa perdata antara orang-orang Indonesia yang beragama Islam oleh hakim Indonesia haruslah diberlakukan hukum Islam Gonsdienstig Wetten dan kebiasaan mereka”.

Sedang dalam ayat (4) pasal tersebut, disebutkan “Undang-undang agama, adat, dan kebiasaan itu juga dipakai untuk mereka oleh hakim Eropa pada pengadilan yang Huger Beroep, bahwa dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia atau mereka yang dipersamakan dengan orang Indonesia, maka mereka tunduk kepada keputusan hakim agama atau kepala masyarakat mereka menurut undang-undang agama atau ketentuan lama mereka”.

Menurut pasa 109 RR ditentukan pula, “Ketentuan seperti tersebut dalam pasal 75 dan pasal 78 itu berlaku juga bagi mereka yang dipersamakan dengan orang-orang Indonesia, yaitu orang-orang Arab, Moor, Cina, dan semua mereka yang beragama Islam, maupun orang-orang yang tidak beragama”.

Sementara itu dalam pasal 7 Rechterlijke Organisatie ditetapkan bahwasanya “Sidang-sidang pengadilan negeri (Landraad) harus dihadiri oleh seorang fungsionaris yang mengetahui seluk beluk agama Islam, kalau yang dihadapkan itu tidak beragama Islam, maka penasehat itu adalah kepala masyarakat dari orang itu”. (Ramulyo, 1955: 55)

Dari semua ketentuan ini diketahui bahwa sejak pemerintahan Belanda pertama, hukum Islam sudah diakui eksistensinya sebagai hukum positif yang berlaku bagi orang Indonesia. Dalam hal ini, hukum Islam ditulis sejajar dan satu nafas dengan hukum adat, bahkan sejak zaman VOC pun keadaan ini juga tetap berlangsung seperti yang dikenal dalam Compendium Freijer. (Daud Ali, 1982: 101)

Jimly Assiddiqie (1990: 10) dalam menjelaskan pasal di atas menyebut bahwa hukum agama Islam tersebut pun harus dipakai oleh para hakim Belanda, jika perkara tersebut dibawa ke tingkat banding (Huger Beroep).

Dari seluruh fakta yang ada, maka tidak terlalu salah jika akhirnya orang-orang Belanda mengakui keberlakuan hukum Islam di Indonesia secara historis dan legal formal, termasuk di dalamnya L.W.C. Van Den Berg yang juga sempat menerjemahkan kitab Fathul Qarib dan Minhajul At-Talibin ke dalam bahasa Perancis. Bahkan beliau sendirilah yang dengan tegas menerima secara keseluruhan hukum Islam sebagau hukum yang berlaku di Indonesia. Akhirnya sikap beliau ini menjadi satu aliran tersendiri yang berkembang dengan sebutan receptio in complexu, yang dinamakan sendiri sebagai sebuah teori oleh pengembangnya, yaitu L.W.C. Van Den Berg. (Tahlib, 1985: 5-6) 

MENGULAS TEORI RECEPTIE 

Teori ini merupakan kebalikan dari teori receptio in complexu di atas. Hal ini bermula dari penentangan C. Snouck Hurgronje terhadap teori receptio in complexu yang dikembangkan oleh Van Den Berg, yang kemudian teori ini dikenal dengan istilah teori receptie. Penganut teori ini mengemukakan bahwa sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli, dan ke dalam hukum adat ini memang telah masuk pengaruh hukum Islam, kekuatan hukum Islam ini baru bisa dianggap dan diakui kalau sudah diterima oleh hukum adat. Maka lahirlah dari sini hukum adat bukan hukum Islam. (Tahlib, 1985: 13)

Di samping itu, latar belakang penentangan ini ialah adanya usaha penjajah Belanda yang sudah mulai kuat dominasi kekuasaannya di Indonesia untuk memberlakukan hukum Barat sebagai suatu langkah unifikasi. Dan dari sinilah C. Snouck Hurgronje (1857-1936) memulai penentangannya. Di samping itu, Cornelis Van Vollenhoven (1874-1933) mendukung pertentangan ini dengan kemasan ilmiah melalui serangan dan kritikan terhadap pasal-pasal yang dikemukakan di atas. Seiring dengan itu, Van Vollenhoven juga menentang penggantian hukum adat dengan hukum Barat yang diadakan oleh pemerintah penjajah dalam rangka melindungi tujuan dan kepentingan pengkristenan penduduk Indonesia. (Arifin, Tanpa Tahun: 5; Soepomo, 1977: 10)

Memang Van Vollenhoven-lah yang pertama kali menetapkan adanya hukum adat yang berlaku dan berkembang di Indonesia, dalam bukunya yang dikenal dengan “penemuan hukum adat” (Het Ontdekking Van Het Adatrecht). Hukum adat ini menurutnya suatu sistem hukum yang sudah ada dan berkembang di Indonesia, maka tidak layaklah kalau Belanda memaksakan hukum Barat bagi warga Indonesia. Namun, menurut Aqib Sumanto sebagaimana dikutip oleh Bustanul Arifin dalam makalahnya (Tanpa Tahun: 6) bahwa sebenarnya bukanlah Van Vollenhoven tidak setuju diberlakukannya hukum Barat, tetapi ada suatu keyakinan bahwa kalau hukum Barat (Belanda) dipaksakan berlaku, maka hukum Islam justeru akan makin berkembang. Jadi, ada kesengajaan hukum Islam akan dipertentangkan dengan adat atau hukum adat lokal dan bukan dengan hukum Barat. Politik hukum semacam ini hingga sekarang masih terasa membekas pada pakar-pakar hukum kita di saat akan menyusun hukum Nasional sekarang ini.

Usaha mempertentangkan hukum Islam dan hukum adat ini ditunjukkan oleh Snouck Hurgronje, dalam rangka menaklukkan Aceh dengan cara menunjukkan celah serta memanipulasi adanya pertentangan kesetiaan masyarakat Aceh kepada agama yang diwakili oleh ulama dan kesetiaan mereka kepada adat yang diwakili oleh uleu-balang. Di samping itu, Snouck Hurgronje juga mengatakan bahwa hukum adat itu harus dibedakan dengan kebiasaan (adat kebiasaan), sebab hukum adat itu mempunyai akibat hukum, sedang adat kebiasaan tidak. (Thalib, 1985: 11-12)

Tapi usaha Snouck Hurgronje ini gagal, sebab pada kenyataannya masyarakat Aceh tidak terpecah kesetiaannya antara adat dan agama. Hal ini dibuktikan dengan adanya rasa tidak aman bagi pasukan Belanda di Aceh yang terus berlangsung.

Pada kurun terakhir, hukum adat ini juga dikembangkan oleh James Richardson Logan tahun 1850. Beliau sebagaimana Snouck, membedakan antara hukum adat dengan adat, meski keduanya tidak bisa dipisahkan. Bahkan beliau menambahkan kata “Indonesia” setelah hukum adat, untuk membedakan dengan hukum adat lain yang berkembang di Asia. Hukum adat baginya lebih luwes karena tidak tertulis. Berbeda dengan hukum yang tertulis, sehingga sulit diubah. Makna hukum dalam “Hukum Adat” lebih luas daripada hukum-hukum yang lain karena juga menyangkut etika, pangkat, pakaian, pertunangan, dan sebagainya. (Djamali, 1993: 70-71)

Barangkali memang kepastian hukum tentang hak, kewajiban, dan sanksi atas suatu pelanggaran dapat dicakup dalam hukum adat yang berisi muatan perintah, larangan, dan kebolehan. Tapi yang menjadi masalah adalah kapan sebenarnya adat istiadat itu bisa menjadi hukum ? Dalam menjelaskan masalah ini, Van Vollenhoven selaku bapak hukum adat Indonesia memberi suatu penjelasan bahwa apabila seorang hakim menghadapi kenyataan bahwa ada peraturan tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap patut berlaku dan dipertahankan serta sesuai perasaan umum, dan peraturan itupun dipertahankan oleh kepala adat dan petugas hukum lainnya, maka peraturan adat tadi bersifat hukum. (Soekanto, 1983: 98-99)

Nampaknya secara legal formal, usaha mereka (para pengembang hukum adat) telah berhasil dengan adanya perubahan secara sistematika Regeerings Reglement Stbl. 1885 No. 2 menjadi Wet op de Staats Inrichting Van Nederlands Indie atau Indische Staatsregeling atau I.S. pada tahun 1925 (Stbl. 1925 No. 416) 
seterusnya dengan Stbl. 1929 No. 221, di mana dinyatakan bahwa hukum Islam tidak lagi mempunyai kedudukan yang tersendiri. Hukum Islam bisa dianggap sebagai hukum setelah memenuhi dua syarat, yaitu:
  1. Norma hukum Islam harus diterima lebih dahulu oleh hukum adat.
  2. Kalaupun sudah diterima oleh hukum adat, juga tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan Belanda.
Oleh karena itu, tidak ayal lagi teori receptie ini oleh Prof. Dr. Hazairin dianggap sebagai teori Iblis. (Ramulyo, 1995: 56-57)

Barangkali karena adanya unsur pemaksaan penundukan (sujud) hukum yang sudah benar dan benar-benar berlaku kepada hukum rekayasa Belanda.

Masih dari Ramulyo, dengan adanya perubahan di atas, Belanda pun mengeluarkan Stbl. 1937 No. 116 yang membatasi wewenang dan tugas peradilan agama, yang semula berhak menetapkan hal waris, hadlanah, dan sebagainya. Sedang wewenang yang diberikan hanya berkisar masalah nikah, talak, dan rujuk saja. Dengan demikian menurut Sayuti Thalib (1985: 2), penjajah Belanda berhasil menghapus hukum Islam dari sistem dan lingkungan tata hukum Hindia Belanda dengan menumpangkannya kepada hukum adat. Untuk sementara itu, teori receptie bisa dianggap sukses.

Lalu bagaimana sebenarnya sikap kesetiaan bangsa Indonesia terhadap Islam (hukum Islam). Apabila seseorang telah masuk Islam, maka ia akan menerima Islam itu secara keseluruhan termasuk di dalamnya hukum Islam. Sebagai bukti, pemerintah Belanda sendiri pada abad 18 berusaha menyusun buku-buku hukum Islam yang dikenal dengan sebutan compendium, untuk pegangan para hakim pengadilan dan para pejabat pemerintahan. Lihat umpamanya compendium Van Clootwijk, gubernur Sulawesi saat itu (1752-1755) dan compendium Freijer yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1750-1761). (Arifin, Tanpa Tahun: 5)

Maka bukankah hal ini cukup menujukkan kondisi yang sebenarnya tentang keberadaan hukum Islam dan kesetiaan penganutnya yang mayoritas Muslim.

Bahkan dalam sistem hukum Islam sendiri tidak dikenal adanya pertentangan dengan adat istiadat. Hal ini mungkin karena adanya doktrin “Al-‘Adatu Muhakkamah” dalam Islam, di mana adat tidak dipahami sebagai sesuatu yang terpisah dari hukum, dan adat tersebut dalam ushul fiqh juga dianggap sebagai selama ia tidak bertentangan dengan syari’at. (Assiddiqie, 1990: 9)

Kemudian, sebelum datangnya bangsa Barat, kebiasaan lokal itu hanya disebut dengan adat atau adat istiadat dan bukan hukum adat, yang artinya keduanya memang tidak diperhadapkan satu sama lain. Adanya istilah “Hukum Adat” itu adalah buatan Belanda yang menurut Van Vollenhoven adalah “penemuan” hukum adat. Padahal bangsa Indonesia sendiri waktu itu tidak mengenal istilah tersebut. Tapi yang mereka tahu adalah adat/adat istiadat saja tanpa “embel-embel” hukum di depannya. Hal ini sesuai dengan doktrin Islam, bahwa hukum adat itu juga diperlakukan sebagai bagian dari hukum, sehingga adat tidak berdiri sendiri sebagai hukum. Dan di Barat sendiri pun, masalah “Customary Rules” dikaji sebagai bagian dari studi mengenai kebudayaan hukum yang merupakan penunjang ilmu hukum, maka usaha Belanda untuk menonjolkan issue “adat” versus “hukum Islam” di Indonesia, adat istiadat lokal masyarakat nusantara dikaji secara tersendiri dan terpisah dengan istilah “hukum adat/adatrecht”. (Assiddiqie, 1990: 9-10; Arifin, Tanpa Tahun: 6) 

APA PULA RECEPTIO A CONTRARIO ITU ?

Dalam membahas sub tema ini, hanya akan diurai secara sekilas dan bersifat pengantar pengenalan saja. Karena receptio a contrario ini merupakan teori yang mengakhiri pertentangan dua teori sebelumnya, meski masih saja ada pihak-pihak yang masih mempertahankan teori sebelumnya (teori receptie), hal ini mungkin karena sudah terlalu berpengaruhnya ekses-ekses politik hukum yang dilancarkan Belanda dulu.

Teori receptio a contrario ini nampaknya dikembangkan oleh Prof. Dr. Hazairin SH. dan secara khusus juga dikembangkan oleh Sayuti Thalib SH. di mana beliau menulis sebuah buku dengan judul yang sama. Teori ini dimajukan karena kemerdekaan Indonesia telah berhasil diproklamirkan yang tentunya berkonsekuensi adanya perubahan undang-undang dari peninggalan Belanda. Di samping itu karena adanya alasan eksistensi hukum Islam di bumi Nusantara ini dalam fakta sejarah sebagaimana diulas di atas, dan anggapan tidak benar kalau hukum Islam itu harus direcipeer lebih dahulu oleh hukum adat.

Dalam teori ini dikembangkan pemikiran, bahwa setelah Indonesia merdeka maka secara otomatis teori receptie yang dikembangkan oleh politik penjajah Belanda itu dianggap telah mati dan menemui ajalnya. Dengan demikian undang-undang tentangnya yaitu pasal 134 ayat (2) Indische Staatsregeling, yang berlaku sejak 1929 pun dianggap tidak berlaku lagi karena sudah terhapus oleh hukum yang berkembang dalam jiwa masyarakat yang tertuang dalam jiwa pembukaan UUD 1945, pasal 29 UUD tersebut. (Thalib, 1985: 62)

Jadi, pada prinsipnya dalam teori receptio a contrario ini menguatkan kembali keberadaan teori pertama, yaitu teori receptio a contrario di masa kemerdekaan di mana hukum Islam bisa berlaku tanpa harus melalui perantara hukum adat lagi. Untuk hal ini bisa dilihat dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang disebutkan bahwa perkawinan baru sah bila dilakukan menurut hukum agama, tanpa ada sebutan hukum adat. Bahkan dalam penjelasannya jo. pasal 37 disebutkan bahwa hukum adat dapat saja dipergunakan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum agama, yang artinya tentu hukum adat-lah yang direcipeer ke dalam hukum agama (Islam). (Assiddiqie, 1990: 12)

Meski demikian, menurut Sayuti Thalib (1985: 63) masih saja ada yang ingin menggagalkan teori ini dengan mengalahkan UUD 1945 dan mempertahankan pasal 134 ayat (2) IS. 

PENUTUP

Demikian makalah sederhana ini dibuat untuk didiskusikan bersama yang tentunya karena dalam makalah ini masih banyak hal yang perlu dikaji ulang. Ada sebuah harapan tentunya semua akan bersepakat, yaitu keberhasilan yang menyelamatkan, isn’t it !? 

DAFTAR PUSTAKA

Ali, H.M. Daud, Kedudukan Hukum Islam dalam Kerangka Hukum Indonesia, dalam Majalah Hukum Indonesia dan Pembangunan, Tahun ke XII No. 2, Jakarta, 1982.
Arifin, Bustanul, “Aspek Hukum Islam” dalam Perundang-Undangan Indonesia, Makalah di Fakultas Syari’ah Serang, tt.
Assiddiqie, Jimly, Hukum Islam di Indonesia: Dilema Legislasi Hukum Agama di Negara Pancasila, dalam Majalah Pesantren No. 2/Vol. VII/1990, 1990.
Djamali, R. Abdoel, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
Ramulyo, Moh. Idris, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.
S. Lev, Daniel, Islamic Court in Indonesia, Terjemahan oleh Z.A. Noeh, 1980, Peradilan Agama Islam di Indonesia, Jakarta: Intermasa, tt.
Soekanto, Soerjono, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1983.
Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1977.
Thalib, Sayuti, Receptio A Contrario, Jakarta: Bina Aksara, 1985.
Wignjosubroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

Diketik oleh Moh. Hibatul Wafi penyajian makalah tahun 2012

Hukum Pidana (KUHP) dalam Perspektif Hukum Islam

Oleh Dr. Sudirman Abbas

MUKADDIMAH

Studi hukum di Indonesia mengalami pasang surut sesuai dengan fluktuasi keberlakuan politik hukum yang dijalankan negara, perkembangan sosial kemasyarakatan dan interaksi masyarakat dengan keputusan politik negara. KUHP sebagai produk hukum pidana di Indonesia yang diberlakukan sejak masa kolonial Belanda dan dipertahankan sampai sekarang, merupakan hasil politik hukum Belanda dengan berbagai teori hukum yang berlaku di Indonesia. KUHP yang secara substansial diadopsi dari Code Civil Perancis (Napoleon Bonaparte) telah mereduksi dan memarginalkan hukum Islam baik secara substansial maupun keberlakuan di dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Sebagai sebuah perundang-undangan, KUHP mengalami kekakuan dalam pemberlakuannya di masyarakat. Secara teoritik, sebuah perundang-undangan akan berlaku dengan baik dan sukses hanya jika sesuai dengan keyakinan internal suatu bangsa kepada siapa perundang-undangan itu diperuntukkan. Jika melenceng dari itu, maka akan mengalami kegagalan. Untuk mencapai tujuan hukum diberlakukannya KUHP, maka pemerintah Indonesia melakukan serangkaian pemaknaan yang sesuai dengan cita hukum, yaitu kesejahteraan dan ketertiban umum. Proses pemaknaan tersebut, mengacu pada religiusitas dan semangat nasionalis hukum Indonesia.

Dari pemikiran tersebut, makalah ini hendak mengkaji KUHP dalam perspektif hukum Islam dengan pendekatan normatif-ideologis melalui kerangka deskriptif-interpretatif. Pengkajian KUHP ini hanya dibatasi pada sistematika, tujuan, kategorisasi hukuman kualitatif dan kuantitatif, asas-asas hukum, material hukum, dan sumber-sumber hukum. Dengan pembatasan ini, diasumsikan telah memenuhi representasi KUHP. Karena beberapa angel tersebut dipandang sebagai indikator yang secara ilmiah mencakup isi KUHP. Untuk mendapatkan kesimpulan yang diharapkan, studi ini menekankan pada pengujian secara komparatif antara KUHP sebagai produk hukum dengan term-term hukum Pidana Islam (Al-Jinayah).

KUHP DALAM SOROTAN

Dalam terminologi hukum, hukum pidana dirumuskan sebagai “hukum tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan”. Dalam merumuskan kepentingan umum termasuk di dalamnya kepentingan Badan dan peraturan perundangan negara dan kepentingan umum setiap manusia, yang meliputi kepentingan:
  1. Penyelamatan terhadap jiwa, seperti pembunuhan.
  2. Penyelamatan terhadap tubuh, seperti penganiayaan.
  3. Penyelamatan terhadap kemerdekaan, seperti penculikan.
  4. Penyelamatan terhadap kehormatan, seperti penghinaan.
  5. Penyelamatan terhadap hak milik, seperti pencurian.
Dalam menganalisis lima masalah pokok yang menjadi standar kejahatan yang bisa mengakibatkan hukuman sesuai dengan kepentingan dalam kerangka hukum Islam, yakni melindungi 5 hal pokok yang disebut dengan “Al-Ushul Al-Khamsah Al-Dlaruriyah”. Dalam khazanah hukum Islam, hukum diarahkan pada proses terealisasinya lima kepentingan pokok, yaitu kepentingan agama, jiwa, harta benda, akal, dan keturunan. Jadi, setiap kejahatan yang menghalangi terciptanya lima hal tersebut harus dihindari.

TUJUAN HUKUM

Apabila ditilik dari tujuan hukum pidana menurut Abdul Djamali  bahwa secara konkrit tujuan hukum pidana ada dua hal pokok, yaitu:
  1. Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik. Ini mengandung arti pencegahan terhadap gejala-gejala sosial yang tidak baik dan kurang sehat.
  2. Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkungannya. Ini dimaksudkan sebagai terapi bagi orang yang terlanjur berbuat kejahatan.
Dalam menanggapi tujuan hukuman tersebut, ada beberapa teori yang digunakan dalam diskursus hukum, yakni:
  1. Teori Mutlak (teori pembalasan), bahwa hukuman dilakukan dan diberlakukan kepada seseorang karena dia melakukan kejahatan, jadi hukuman itu secara mutlak diarahkan sebagai balasan terhadap apa yang dilakukannya, teori ini berdasar pada rasa keadilan, adalah adil jika hukuman diberikan secara setimpal. Dalam teori ini, hukuman harus dinggap sebagai pembalasan. Pembalasan terhadap penjahat adalah keharusan dari kesusilaan. Pendukung dari teori ini, antara lain Immanuel Kant, Hegel, Herbaat, dan Stahl.
  2. Teori Relatif, seorang filosof besar Plato mengatakan bahwa pada hakekatnya hukuman bermaksud memperbaiki si penjahat, tetapi pihak lain mengatakan bahwa tujuan hukuman adalah alat untuk menakut-nakuti publik agar tidak melakukan kejahatan dan pelanggaran.  Hukuman yang dilakukan mengandung implikasi sebagai alat untuk menakut-nakuti yang ditujukan kepada masyarakat umum (Algemene Preventief) maupun masyarakat khusus (Speciale Preventief), sehingga pelaksanaan hukuman dilakukan di depan publik. Dalam perkembangan selanjutnya, teori relatif modern menyatakan bahwa tujuan hukuman adalah untuk menjamin ketertiban umum.
Tujuan pokok penjatuhan hukuman dalam syari’at Islam ialah pencegahan (Al-Raddu Wa Al-Zajru) dan pengajaran serta pendidikan (Al-Ishlah Wa Al-Tahdzib). Pengertian pencegahan adalah menahan pembuat agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, di samping pencegahan terhadap orang lain agar tidak melakukan perbuatan serupa. Dengan demikian, maka penggunaan hukuman sebagai instrumen pencegahan mempunyai tujuan ganda. Pertama, diarahkan pada pribadi pembuat jarimah agar terjadi preventifikasi personal untuk tidak mengulangi. Kedua, memperlihatkan kepada publik dengan tujuan agar mereka tidak akan melakukan perbuatan tersebut. Dalam terminologi, hukum Islam disebutkan bahwa hukuman-hukuman yang diberlakukan merupakan hukum Muayyidat atau Al-Hamiyah sebagai penjaga agar hukum yang pokok Al-Ashliyat, yaitu terjaganya aspek-aspek lima yang pokok dan dijalankannya kewajiban-kewajiban agama terealisasi dengan baik.

Dari paragraf di atas, kita bisa menganalisis bahwa tujuan diberlakukannya hukuman bersifat universal. Baik paradigma teologis Islam maupun kerangka para ahli hukum dengan beberapa pendekatan yang digunakannya mengkonstruksikan bahwa hukuman diarahkan pada proses pencegahan dan menakut-nakuti untuk tidak berlaku kejahatan dan pelanggaran terhadap larangan, maupun meninggalkan kewajiban. Pada akhirnya, hukuman ditujukan untuk membentuk tatanan sosial yang dinamis, saling menghormati hak dan kewajiban antara individu, dan mencintai sebagai manusia karena kemanusiaannya. 
MATERIAL HUKUM

Dalam KUHP yang berlaku di Indonesia, tindakan-tindakan yang melanggar hukum terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Kejahatan yang terbagi menjadi 31 titel, memuat kurang lebih 400 pasal tentang perbuatan-perbuatan yang dinamakan “kejahatan”, diantaranya terdapat titel-titel yang penting, antara lain:
  • Kejahatan terhadap keselamatan negara, kepentingan negara, pengkhianatan, dan pemberontakan.
  • Kejahatan terhadap pelaksanaan kewajiban-kewajiban dan hak-hak kenegaraan.
  • Kejahatan terhadap ketertiban umum.
  • Kejahatan terhadap kesusilaan, perjudian, dan pencabulan.
  • Kejahatan terhadap penculikan, penganiayaan, pemerasan, penggelapan, dan penghinaan.
  • Kejahatan terhadap jiwa orang.
2. Dalam sistematika selanjutnya, dikategorisasikan sebagai perilaku pelanggaran yang terdiri dari 10 titel yang secara garis besar sebagai berikut:
  • Pelanggaran terhadap umum, seperti membahayakan keselamatan umum dan kenakalan terhadap manusia.
  • Pelanggaran terhadap ketertiban umum.
  • Pelanggaran terhadap kesusilaan.
  • Pelanggaran terhadap keamanan negara.
Dalam sistematika yang diungkapkan di atas, apabila kita komparasikan dengan sistematika hukum Islam, ada beberapa kategorisasi Jarimah Hudud, yang meliputi jarimah pembunuhan, jarimah zina, jarimah pencurian, jarimah hirabah, jarimah riddah, jarimah bughot, jarimah qadzaf, dan jarimah meminum-minuman keras.  Dari dua sistematika tersebut, ada kesamaan pengkategorisasian antara KUHP dengan Hukum Islam. (Baca: Fiqh Islam)

Dari beberapa materi KUHP, yang menarik untuk dikaji adalah kadar dan bobot sanksi hukum yang diberlakukan terhadap kejahatan-kejahatan maupun pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan hukum Islam yang sementara ini keberlakuannya dijadikan indikator berlakunya Hukum Pidana Islam dalam suatu negara. Dalam konstalasi hukum pidana positif Indonesia, bahwa sistem hukuman dicantumkan dalam pasal 10 KUHP, bahwa hukuman yang dikenakan pada pelaku tindak pidana terdiri dari:
1. Hukuman Pokok (Hoofd Straffen), terdiri dari:
  • Hukuman mati.
  • Hukuman penjara.
  • Hukuman kurungan.
  • Hukuman denda.
2. Hukuman Tambahan (Bijkomende Straffen), terdiri dari:
  • Pencabutan beberapa hak.
  • Perampasan barang-barang tertentu.
  • Pengumuman putusan hakim.
Dalam wacana hukum pidana Islam, sistematika tersebut sudah menjadi kerangka yang baku. Hukuman pokok disebut sebagai ‘uqubah ashliyah, berupa hukuman qishash untuk jarimah pembunuhan atau potong tangan untuk jarimah pencurian. Hukuman pengganti (‘uqubah badaliyah), apabila hukuman pokok tidak bisa dilaksanakan, maka ada hukuman pengganti, seperti adanya diyat sebagai pengganti qishash. Hukuman tambahan (‘uqubah tabi’iyyah), seperti larangan menerima warisan bagi orang yang membunuh keluarga.
Dari dua sistematika hukuman, ada kemiripan kategoris bahwa hukuman yang dikenakan harus melalui tahapan pelaksanaan hukuman pokok terlebih dahulu, baru melakukan sistematisasi pada peringkat di bawahnya.

Ada hal menarik dalam kajian ini, jika kita melakukan komparasi pada standar hukuman maupun jenis hukuman yang diberlakukan dalam hukum pidana positif dengan hukum pidana Islam. Penulis ambil contoh, bahwa hukuman mati, jilid, dan ranjam dalam pidana Islam masih dinggap sebagai jenis hukuman yang dianggap sudah tidak efektif dan lebih jauh bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, yang sekarang menjadi mainstream dunia.

Sejak hukum pidana berlaku di Indonesia dan dicantumkan dalam Wetboek Van Strafrecht, tujuan diadakannya hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan akan ketenteraman umum. Hukuman mati di Indonesia menjadi bahan polemik antar akar hukum dan pejuang hak asasi manusia, sebagian berargumentasi bahwa hukuman mati yang terdapat dalam KUHP sebagai produk kolonial Belanda harus dihapus karena di negara Belanda sendiri hukuman mati sudah dihapus sejak tahun 1870.

Polemik antara yang setuju dengan yang tidak setuju adanya hukuman mati terus berlanjut, tetapi kita bisa menganalisis secara obyektif bahwa hukuman mati dikenakan kepada kejahatan yang kualitasnya sangat membahayakan.  Dalam hukum pidana Islam, hukuman mati tidak bisa dilaksanakan dengan semena-mena, ada hukum acara yang mengatur secara ketat. Dalam pidana Islam, hukuman mati tidak menjadi harga mati tetapi ada solusi hukum yang sangat efektif, yaitu adanya pembatalan hukuman mati jika keluarga korban memaafkannya  dan diganti dengan denda harta (diyat).

Dalam melihat sanksi pidana mati antara hukum positif dengan hukum pidana Islam, ada perbedaan pada jenis hukuman dan keberadaan keluarga korban. Dalam hukum pidana positif tidak dikenal adanya hukuman setimpal (qishash), juga dalam sanksi pidana mati digantikan dengan denda (diyat). Dalam hukum Islam, jika sanksi pidana mati tidak dilaksanakan karena pihak keluarga korban memaafkan pelaku pembunuhan, maka sanksinya diganti dengan diyat, tetapi dalam hukum pidana positif hukuman penggantinya dengan penjara seumur hidup atau penjara yang berjarak paling lama dua puluh tahun.

Masalah perzinahan dalam hukum pidana positif juga perlu dikritisi. Apabila kita melihat pasal 284-290 KUHP tentang Perbuatan Asusila Perzinahan, ada benang merah yang bisa ditarik bahwa asas yang dianut dalam terminologi zina dikenakan bagi orang yang sudah dalam ikatan perkawinan dan melakukan penyelewengan. Sedangkan orang yang masih lajang tidak diungkapkan secara eksplisit. Beda dengan hukum pidana Islam, bahwa perzinahan dikenakan bagi orang yang melakukan perbuatan zina, baik ia sudah beristeri/bersuami maupun ia masih lajang.

Dalam masalah sanksi hukum yang dikenakan dalam perzinahan, hukum pidana positif hanya mengenakan hukuman penjara paling lama 9 tahun bagi pezina, tidak mengenal adanya hukuman jilid, ranjam, maupun pengasingan, ini yang berlaku dalam hukum pidana Islam. Hukuman jilid dan ranjam dalam hukum Islam diarahkan pada pengimbangan faktor psikologis yang mendorong berbuat zina maka ia harus merasakan ancaman sengsara.

Hukum pidana positif sangat kurang mengapresiasi akan implikasi psikologis terhadap perzinahan. Sehingga implikasi hukumnya juga menjadi sangat ringan. Aktualisasi yang terjadi sekarang bahwa pasal perzinahan sangat tidak efektif untuk menjaring pelaku-pelaku perzinahan dan pasal-pasal tersebut menjadi pasal prasasti. Banyak juga kalangan pejuang keadilan perempuan bahwa pasal-pasal perzinahan dalam KUHP tidak memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan.

Perbuatan cela yang juga menjadi perhatian hukum Islam adalah mabuk dengan meminum khamr. Dalam pidana positif, mabuk hanya dikategorikan sebagai pelanggaran. Hal ini tercantum dalam pasal 536 KUHP dengan ancaman sanksi hukum yang sangat tidak relevan dengan implikasi perbuatannya. Hukuman bagi pemabuk disebutkan paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah, dan paling tinggi dikenakan kurungan paling lama tiga bulan penjara.

Apabila kita komparasikan dengan sanksi hukum dalam pidana Islam sangat tidak berimbang. Islam sangat menghormati kesehatan akal sebagai salah satu lima hal pokok yang harus dilindungi, maka Islam sangat berkompeten menerapkan jilid 80 kali atau menurut Imam Syafi’i 40 kali sebagai had dan 40 kali sebagai ta’zir bagi orang yang mabuk. Karena perbuatan yang ditimbulkannya meresahkan masyarakat dan menghilangkan kehormatannya sebagai manusia.

KHATIMAH

Dari berbagai deskripsi dan penelaahan terhadap KUHP dengan pendekatan hukum Islam, ada beberapa harmonisasi antara KUHP dan hukum pidana Islam terutama dalam kerangka yang lebih makro berkaitan dengan kategorisasi, asas-asas, dan kerangka sistematika. Harmonisasi juga terjadi pada kerangka tujuan hukuman bahwa baik hukum pidana positif maupun hukum pidana Islam, sama-sama menghendaki hukuman menjadikan pelaku jera dan usaha preventif.

Namun dalam kerangka material dan substansi nilai yang melandasi pemberlakuan hukum secara material masih memerlukan kajian. Karena secara material, terutama berkaitan dengan sanksi hukum, KUHP masih jauh dari rasa keadilan jika diukur dari hukum Islam, yang seharusnya menjadi inti dari eksistensi hukum. Seperti sanksi pelaku perzinahan dan peminum minuman keras.

Dalam optimalisasi kontribusi hukum pidana Islam dalam hukum pidana Nasional yang perlu dikembangkan adalah filsafat, semangat keadilan dan proses sosialisasi yang mengarah kepada perubahan pandangan sempit terhadap hukum pidana Islam. Kerena selama ini, sebagian masyarakat dan aparat negara masih menganggap phobi terhadap hukum pidana Islam yang anti kemanusiaan.

Demikian, mari kita diskusikan. 
DAFTAR PUSTAKA

Al-Zarqa, Muhammad, Al-Fiqh Al-Islami Fi Tsaubihi Al-Jadid Al-Madkhal Al-Fiqh Al-‘Am, Kairo: Dar Al-Fikr, 1968.
Bisri, Cik Haas (ed.), Peradilan Islam di Indonesia, Jakarta: Ulul Albab Press, 1997.
Djamali, SH., Abdul, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1993.
Hamzah, SH., Andi & Sumangelepu, Pidana Mati di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983.
Hanafi, MA., Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
Kansil, SH., C. S. T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1989.
    , Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, Terjemahan oleh Yudian Asmin dari Philosophy Of Islamic Law, Jakarta: Tiara Wacana, 1991.
Sabiq, Sayyid, Fiqh As-Sunnah, Kairo: Dar Al-Fikr, 1989.
Soerodibroto, SH., R. Soenarto, KUHP dan KUHAP, Jakarta: Rajawali Press, 1991.

Diketik oleh Moh. Hibatul Wafi dalam penyajian makalah.

UUD 1945: Penetapan Sebagai Konstitusi Negara dalam Pendekatan Hukum Islam

Oleh Dr. Sudirman Abbas

HUKUM ISLAM VIS-À-VIS NEGARA-BANGSA
SEBUAH LATAR PERSOALAN

Negara-bangsa (nation-state) merupakan kenyataan sejarah yang tidak bisa dihindari oleh bangsa Indonesia dalam proses perumusan dasar negara dan konstitusinya. Selain karena tuntutan global, negara-bangsa saat itu menjadi konsep negara modern yang menjanjikan penyelesaian bagi setiap bangsa dalam menghadapi pluralisme. Karena itu, bisa dipahami jika Indonesia, sebagai bangsa yang pluralistik, kemudian mengikuti konsep ini. Hubungan antara agama (Islam) dan keharusan negara-bangsa pada dasarnya telah menjadi perhatian para pemikir dari zaman ke zaman. Semenjak Jamal al-Din al-Afghani (Mesir) hingga Abdurrahman Wahid (Indonesia), para pemikir Islam telah mencurahkan berbagai tawaran solutifnya tentang relasi reciprocal atau mutual Islam-negara-bangsa ini.

Adalah positivisme yuridis,[1] mainstream madzhab hukum yang dianut oleh konsep negara-bangsa (nation-state) dewasa ini. Madzhab ini secara tegas menyatakan bahwa yang dapat diterima sebagai hukum yang sebenarnya hanyalah yang telah ditentukan secara positif oleh negara. Menurutnya, hukum hanya berlaku karena hukum itu mendapatkan bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang. Norma-norma kritis yang ada hubungannya dengan keinsyafan keadilan dalam hati nurani manusia (yang dapat disamakan dengan hukum alam zaman dahulu) tidak mempunyai tempat dalam sistem sosiologi hukum ini.

Dengan demikian, dalam pandangan positivisme yuridis keberadaan hukum di tengah-tengah kehidupan masyarakat mesti tidak bebas nilai, tidak bebas kepentingan, dan tidak bebas kekuasaan. Hukum senantiasa dipenuhi dan diliputi dengan nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, dan kuasa-kuasa tertentu sesuai dengan kehendak pembuatnya, aparatur negara. Bahkan, hukum itu sendiri merupakan akumulasi dan formulasi dari sinergi ketiga hal tersebut.

Oleh karena itu, mengikuti logika ini hukum tidaklah netral dan tidak pula obyektif. Hukum diciptakan dan dibuat untuk memihak dan membela, bukan semata-mata untuk memberikan perlindungan dan pengayoman bagi masyarakat demi tegaknya keadilan dan kebenaran.[2]  Demikian ini wujud peran hukum sebagai a tool of social engineering.[3] Tetapi, pandangan yang demikian tidak sepenuhnya benar, karena kalaui dilihat secara jernih hukum itu sesungguhnya adalah pisau bermata dua. Di satu pihak, hukum bisa menjadi hukum yang menindas (repressive laws), dan di lain pihak ia bisa menjadi hukum yang membantu ke arah perubahan (facilitative laws), atau sebagai alat perubahan sosial (agent of social change).[4]

Hukum memang bukan sekedar kumpulan teks-teks semata, ia mempunyai tujuan, jangkauan, dan kehendak-kehendak sosial tertentu. Untuk itu berbicara hukum, apapun bentuk dan labelnya, tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial politik di mana hukum itu diciptakan, atau bagaimana konteks politik hukum berkembang saat hukum itu muncul.

Karenanya benar, Moh. Mahfud MD. dalam disertasi doktornya menyatakan bahwa karakter produk hukum senantiasa dipengaruhi atau ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkannya. Artinya, konfigurasi politik tertentu dari kelompok dominan (penguasa) selalu melahirkan karakter produk hukum tertentu pula sesuai dengan visi politiknya.[5] Teori ini berlaku bila didasarkan pada asumsi bahwa hukum merupakan produk politik, atau ia diberlakukan atas legitimasi politik, sehingga karakter hukumnya akan sangat tergantung pada imbangan kekuatan politik (konfigurasi politik) yang melahirkannya.

Mempertimbangkan teori di atas, jelaslah bahwa UUD 1945 merupakan produk politik yang diberlakukan dan mendapatkan kewenangan dari negara sebagai hukum dasar (konstitusi) bagi negara Indonesia. Karena itu, keberadaannya inheren dengan nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, dan kuasa-kuasa tertentu dari negara sebagai alat perekayasa sosial negara. Paralel dengan itu, UUD 1945 bisa dipastikan mempunyai suatu karakter hukum yang spesifik sesuai dengan konfigurasi politik yang melahirkannya saat itu.[6]

Penting pula dicatat bahwa UUD 1945 lengkap dengan model redaksi dan substansinya merupakan jawaban dari tuntutan hukum negara modern yang sering disebut negara-bangsa. Kenyataan ini tampak dalam sejarah saat UUD 1945 dirumuskan setengah abad lalu.

Persoalan kemudian muncul, terutama bagi umat Islam, bagaimana dengan status hukum Islam dan pelaksanaannya dalam pelataran konsep negara-bangsa seperti Indonesia ini. Tidakkah cukup UUD 1945 sebagai hukum dasar atas keberadaan dan penyelenggaraan negara ini. Ataukah hukum Islam dengan Al-Qur’an dan As-Sunnahnya perlu tampil tersendiri dalam masyarakat pluralistik ini. Karena itu, studi tentang pandangan hukum Islam atas kenyataan UUD 1945 sebagai dasar negara di negeri ini penting dilakukan sebagai sikap kompromis-kritis.[7] Penulis dalam tulisan ini ingin mencoba menjawabnya dengan melihat agama secara sosiologis dan dengan pendekatan filosofis, yakni filsafat hukum. 

HUKUM ISLAM SEBAGAI PRODUK POLITIK: 
PENDEKATAN SOSIOLOGIS

Perspektif sosiologis memandang agama, termasuk Islam, di samping terkandung unsur ilahiah sebagai unsur yang asasi di dalamnya, juga terdapat “campur tangan” unsur manusia dalam implementasinya. Dan agama wahyu yang suci (sacred) kemudian karena perkembangan sejarahnya menjadi agama manusia biasa (interpreted) dengan seluruh darah dagingnya. Keputusan dan penafsiran para penganutnya dengan demikian mempengaruhi warna agama dalam sejarah, dan menentukan sosok agama itu dalam realitas konkret. Agama yang berangkat dari sejarah wahyu akhirnya menjadi sejarah manusia. Penganutnya dengan demikian mempunyai kompetensi untuk menerapkan prinsip agama sesuai dengan konteks historis zamannya.[8]

Hukum Islam[9] diketahui sebagai bagian integral dari ajaran agama Islam seperti itu. Pada hakekatnya tampak jelas bahwa hukum Islam bukan produk politik, karena ia berasal dari Allah SWT dan bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah, akan tetapi dalam sejarahnya tidak jarang ditemukan; sebagai upaya menerapkan dan memberlakukan hukum Islam dalam suatu wilayah politik tertentu, ia membutuhkan legitimasi kekuasaan politik, bahkan dibahasakan dan dirumuskan dengan formulasi dan modifikasi politik tertentu seperti cara legislasi.[10] Dalam konteks seperti itu, bisa dikatakan bahwa dalam batas-batas tertentu hukum Islam merupakan produk politik juga.[11]

Secara tekstual, memang tidak ada keharusan pemberlakuan aturan hukum Islam melalui keputusan politik atau legalitas penguasa, baik berupa Undang-Undang (taqnin) atau instrumen peraturan perundang-undangan lainnya.[12] Namun, dalam batas-batas tertentu legitimasi ini bisa merupakan suatu keharusan, karena besarnya manfaat bagi kepastian dan kekuatan hukum secara legal-positif sebagaimana yang digambarkan Ibn Taimiyah dalam pernyataannya:[13]

فـمـن عـد ل عـن الـكـتـا ب قـوّم بـا لـحـد يـد ولهـذا كان قـوام الـد يـن بالمـصحـف والـسـيـف

Dalam statemen ini, Ibn Taimiyah menekankan bahwa kekuasaan politik yang disimbolkan dengan pedang menjadi sesuatu yang essensial dan mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan itu sendiri bukan agama. Dengan ungkapan lain, politik atau negara hanyalah sebagai alat bagi agama; ia bukan suatu ekstensi dari agama.[14] Dalam kaitan ini, kita pun sering mendengar pernyataan umum: “Islam adalah agama dan negara”.[15] Tak terkecuali, Hassan al-Banna dalam prinsip-prinsip organisasinya, al-Ikhwan al-Muslimun, menyatakan Islam itu adalah tata aturan yang lengkap, meliputi semua segi kehidupan. Islam adalah negara dan bangsa atau pemerintahan dan masyarakat. Moral dan kekuasaan, rahmat dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu pengetahuan dan hukum....[16]

Dalam kancah keilmuan, hubungan agama dan negara, Islam dan politik atau hukum Islam dan kekuasaan politik memang selalu menjadi wacana yang menarik, baik oleh kalangan Islam sendiri maupun para orientalis.

Wacana tersebut muncul berpangkal dari historitas Islam itu sendiri, terutama pasca kepemimpinan Rasulullah SAW. Sejarah mencatat, bahwa permasalahan pertama yang mengemuka pada generasi awal umat Islam sesudah Rasulullah SAW wafat adalah masalah kekuasaan politik atau pengganti Rasulullah SAW yang akan memimpin umat, baik dalam urusan politik murni maupun urusan keagamaan.[17] Semenjak inilah dalam pendekatan sosiologi sejarah, (hukum) Islam sesungguhnya mulai melakukan dialektika dengan kekuasaan politik, yang hari ini kita sebut negara. Namun, tantangan yang dihadapi saat itu tidak sekompleks sekarang. Corak masyarakat itu relatif homogen dan komunal. Karena itu, wacana yang mengemuka dari dialektika itu lebih didominasi aspek teologis.

Kenyataan pluralisme, baik dalam agama, suku, ras, bangsa, maupun golongan menuntut lain. Kebutuhan sosial dari pluralisme adalah terwujudnya tatanan perikehidupan bersama yang damai, egalitarian, berkeadilan, demokratis, dan rukun. Karena itu, Pancasila hadir dan dirumuskan sebagai solusi terbaik atas persoalan ini. Selain karena mampu memberikan kesamaan persepsi dan memupuk integrasi atas pluralitas bangsa, Pancasila pun bisa menjadi way of life bagi bangsa Indonesia tanpa harus memperlihatkan unsur pluralitas tadi. Melihat kenyataan ini rupanya Islam yang merupakan agama mayoritas penduduk dalam peraturan sosial politik negara ini, dianggap bukan yang terbaik bagi bangsa Indonesia dalam membentuk nation-state yang mampu memayungi pluralitas bangsa.[18] Ini tampaknya selaras dengan doktrin Islam sendiri yang tak pernah mengajarkan Islam untuk dijadikan sebagai sebuah ideologi, apalagi bagi suatu negara yang penuh dengan kepentingan dan kuasa-kuasa relasional.

UUD 1945 DAN HUKUM ISLAM:
PENYELESAIAN PARADIGMATIK

UUD 1945 dalam wacana ini merupakan derivasi-konstitusional dari penetapan ideologi Pancasila sebagai dasar negara. Karena itu, keberadaannya tak terpisahkan dari keberadaan Pancasila. Penafsiran dan penjabarannya tidak lepas dari parameter nilai Pancasila. Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, jika Pancasila diposisikan sebagai dasar negara, maka UUD 1945 adalah hukum dasarnya (droit constitutionnel). Pemahaman terhadap UUD 1945 harus diletakkan dalam konteks penjiwaan terhadap nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, seperti disarankan KH. Achmad Siddiq, mantan Ketua Umum (Ra’is ‘Aam) PBNU, tatkala kita mengucapkan atau menulis tentang relasi Pancasila UUD 1945, sebaiknya tulislah: “Pancasila menurut UUD 1945, bukan Pancasila dan UUD 1945”.[19]

Diskursus-akademis lebih jauh dari penghadapan hukum Islam (agama) terhadap instrumen-instrumen negara-bangsa (UUD 1945) dengan mempertimbangkan kemungkinan hukum Islam memetamorfosis menjadi produk politik, maka kerangka yang mungkin baik untuk dikembangkan saat ini adalah mendudukkan agama (hukum Islam) dan UUD 1945 pada sebuah pola relasional yang jelas dan fungsional. Selama ini UUD 1945 hanya dilihat sebagai pengatur lalu lintas ketatanegaraan dan tameng relasi agama negara atau antar agama dengan agama lain belaka, agar tidak timbul pertentangan hebat antara para pemeluk berbagai agama dengan negara, maupun antar pemeluk agama itu sendiri.

Diskusi tentang agama vis-a-vis Pancasila dan UUD 1945, bagi umat Islam Indonesia sudah selesai. Memang Pancasila dan UUD 1945 di satu pihak dan agama di pihak lain tidak bisa diidentikkan secara menyeluruh, karena fungsi masing-masing saling berbeda. Pancasila dan UUD 1945 berfungsi sebagai landasan hidup dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, menjadi kerangka kemasyarakatan yang mengatur hidup kita sebagai kolektifitas yang disebut bangsa (nation). Dalam keadaan demikian, Pancasila dan UUD 1945 haruslah mewadahi aspirasi agama dan menopang kedudukannya secara fungsional dalam kehidupan bersama. Sedangkan agama memberikan kepada kolektifitas tersebut suatu tujuan kemasyarakatan (social purpose) yang trasedental. Spriritualitas dan religiositas kehidupan ini diatur dan diberi arahan oleh ajaran yang disebut agama. Tanpa tujuan kemasyarakatan yang jelas dan nyata, hidup bangsa ini hanya akan berputar-putar pada siklus pertentangan antara cita pemikiran dan kecenderungan naluri alamiah belaka.

Penyelesaian paradigmatik semacam inilah yang diselesaikan NU dalam Keputusan Muktamarnya ke-26 di Situbondo 1984. Argumen ini disampaikan oleh KH. Achmad Siddiq pada MUNAS NU 1983, yang kemudian dikukuhkan menjadi “Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila”. Deklarasi ini pulalah yang menyelesaikan penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Deklarasi itu selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
  1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama, dan tidak dapat diperguanakan untuk menggantikan agama.
  2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) UUD 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
  3. Bagi NU, Islam adalah aqidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
  4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya.
  5. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban menjaga pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Oleh Nurcholish Madjid dinyatakan bahwa apa yang terkandung dalam UUD 1945 dan Pancasila bukanlah titik akhir dari kontroversi ideologis di Indonesia. Walaupun UUD 1945 ini oleh mayoritas rakyat, dari sudut agama telah dianggap netral, orang-orang Islam terbiasa memandangnya sebagai bentuk lain dari kompromi antara mereka dengan orang-orang sekularis. Walaupun dilihat dari perspektif orang-orang Muslim, hal itu diakui sebagai kompromi yang lemah, tapi sedikit banyaknya undang-undang ini tetap memberikan manfaat yang utama bagi status Islam di negeri ini.[20]

Lebih jauh dari itu, Harun Nasution melalui kacamata filsafatnya mengakui bahwa Pancasila tidak bertentangan, melainkan sejalan dengan Islam. Bahkan, sila-sila yang dikandung Pancasila adalah juga ajaran-ajaran dasar yang terdapat dalam Islam. Mengutip Almarhum Zainal Abidin Ahmad, seeorang pemimpin Islam yang pada masa akhir hayatnya memangku jabatan Rektor PTIQ Jakarta, Harun menyetujui bahwa negara Pancasila merupakan bentuk final bagi umat Islam Indonesia.[21] Konklusi Zainal Abidin Ahmad tentang keislaman negara Pancasila didasarkan pada ciri-ciri negara Islam dalam pandangannya, yaitu:[22]
  1. Penduduk mayoritas Islam.
  2. Kepala negara Islam.
  3. Ideologi negara sejalan dan tidak bertentangan dengan Islam, sungguh pun di bawah nama lain, seperti Pancasila.
  4. Undang-undang tidak bertentangan dengan Islam.
  5. Undang-Undang Dasar mengandung prinsip musyawarah dan dasar-dasar demokratis lainnya.
Menegaskan paradigma ini, benar pernyataan Abdurrahman Wahid, bahwa antara agama dan Pancasila terdapat hubungan simbiotik, yang satu tak dapat hidup di Indonesia tanpa yang lain. Hubungan simbiotik itulah yang memunculkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, bukannya hanya sekedar ideologi formal negara belaka.[23]

Kesimpulan ini diperkuat dengan kenyataan sejarah Muslim (moslem history) dan pemikiran politik ilmuwan Muslm (political thought of moslem intelectuals) sepanjang zaman yang tidak pernah menawarkan konsep tunggal tentang negara dan sistem pemerintahan.[24] Bahkan doktrin Islam, baik Al-Qur’an dan Al-Sunnah, pun dalam berbagai teksnya tidak pernah mengajarkan sistem pemerintahan (negara) tertentu yang harus dianut oleh umat Islam dalam mengatur kehidupan bersama. Islam, terlebih dicontohkan Piagam Madinah, hanya memberikan pedoman ajaran berupa seperangkat prinsip dan tata nilai etik bagi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Prinsip-prinsip ini bersifat universal sesuai dengan watak dasar Islam yang transhistoris dan eternal.[25] Karena itu, umat Islam mempunyai kebebasan dan keleluasaan untuk merumuskan konsep kenegaraannya sendiri, asalkan tetap mengacu pada prinsip dan tata nilai etik Islam. UUD 1945 merupakan upaya maksimal para the founding fathers negeri ini, yang sebagian besar cendekia Muslim (ulama), dalam merumuskan prinsip-prinsip dasar, ketatanegaraan, dan sistem pemerintahan negara Indonesia yang berpenduduk plural, baik agama, suku, ras, maupun budaya.

Kiranya tidak berlebihan dan apologetik, dengan berbagai kekurangan dan kelemahan UUD 1945 dalam takaran tuntutan HAM dan demokrasi kontemporer, dikatakan bahwa UUD 1945 yang ada sekarang ini dalam batas minimal, setidaknya telah memenuhi beberapa prinsip dasar dan tata nilai etik Islam dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, dan tidak bertentangan dengannya. Beberapa prinsip dasar dan tata nilai etik tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Musyawarah.
  2. Kesatuan umat (bangsa).
  3. Kolektifitas dan solidaritas.
  4. Pembelaan dan perlindungan terhadap yang lemah.
  5. Keadilan sosial.
  6. Perdamaian antar sesama dan lingkungan.
  7. Persamaan di depan hukum.
  8. Kebebasan beragama.
  9. Menjunjung tinggi HAM.
  10. Nasionalisme.
  11. Equalitas sosial.
Prinsip-prinsip semacam ini secara teknis bisa dilihat pada keseluruhan pasal-pasal dan penjelasan UUD 1945.

Sedangkan perihal tidak adanya kata “Islam” maupun “Al-Qur’an” di dalam UUD 1945 tidak mengurangi penilaian Islami tadi. Sebab, dalam naskah Piagam Madinah yang dibuat Nabi Muhammad SAW sekalipun tidak terdapat di dalamnya kata “Islam” dan “Al-Qur’an” sebagai dasar bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sekiranya dalam suatu dustur atau Undang-Undang Dasar harus dituliskan kata “Islam” atau “Al-Qur’an”, tentu Nabi Muhammad SAW mencantumkan kata-kata itu dalam Piagam Madinah.[26] Justeru dalam perspektif redaksional, UUD 1945 dicurigai sebagai tafsir ulama dan negarawan Muslim Indonesia terhadap khazanah ketatanegaraan kreasi umat dahulu. Secara nyata pasal 29 ayat (1) UUD 1945 merupakan pergantian redaksi dari “Negara berdasar Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.[27] Selain itu, juga banyak ditemukan redaksi yang mungkin mencerminkan kekhasan (politik) Islam, di antaranya: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”, “Majelis”, “Permusyawaratan”, “Wakil”, “Demi Allah”, dan sejenisnya.

Penting diberi catatan, bahwa analisis di atas merupakan kajian pada tataran idiil dan konseptual. Sebab diakui secara jujur, Islam baik doktrin maupun sejarah, tidak pernah menawarkan suatu sistem negara dan kepemerintahan tertentu yang harus diratifikasi umatnya, sebagaimana UUD 1945 ini. Karena itu, harus dibedakan dengan analisis empiris-operasional. Pada tataran yang terakhir ini juga penting dipertimbangkan untuk menilai suatu kondisi negara disebut Islami atau tidak. Pelaksanaan dan implementasi UUD 1945 dalam kehidupan nyata dengan demikian juga semestinya menjadi bagian yang integral dalam penilaian, apakah negara Indonesia dengan UUD 1945-nya ini bisa disebut Islami atau tidak. Keterkaitan erat konsep dengan pelaksanaan, karena “negara” yang dicita-citakan Islam tidak saja berhenti pada tataran ide dan prinsip, melainkan juga dituntut untuk dilaksanakan demi kemaslahatan dan keadilan semesta.

POSTWACANA: CATATAN KRITIS

Maka jelaslah dalam tataran paradigmatik, UUD 1945 sebagai hukum dasar negara Indonesia, tidak bertentangan dengan hukum Islam. UUD 1945, dengan berbagai kelebihan dan kelemahannya, sengaja dikontruksi dalam makna dan bahasa yang inklusif mengingat kenyataan masyarakatnya yang pluralistik.

Eksistensi UUD 1945 sebagai hukum dasar bagi negara Indonesia dalam pandangan Islam dianggap absah. Kendati dalam takaran “Islam historis”, UUD 1945 secara konseptual telah terselesaikan, namun untuk menyongsong zaman “Islam Mendepan” yang lebih demokratis, manusiawi, egalitarian, dan senantiasa mendasarkan pada kemaslahatan dan keadilan semesta, maka substansi UUD 1945 tidak ada salahnya bila dilakukan penyempurnaan sesuai dengan tuntutan HAM dan demokrasi, terutama dalam pelaksanaan (law enforcement) dan instrumen perwujudannya dalam sistem kehidupan nyata.

FOOTNOTE

[1] Positivisme Yuridis dipelopori oleh aliran hukum humanisme, antara lain oleh Jean Bodin dengan ide-idenya tentang kedaulatan Raja. Tokohnya ialah Rudolf von Jhering (1818-1892 M). Sebagaimana positivisme sosiologis, positivisme yuridis menganut apa yang ditetapkan sebagai kenyataanlah yang dapat diterima sebagai kebenaran. Positivisme sebagai sistem filsafat muncul pada awal abad XIX M. Tokohnya adalah Auguste Comte (1798-1857 M) dan Herbert Spencer (1820-1903 M). Lihat Theo Huijbers, Filsafat Hukum Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm. 122-130.

[2] Ibid, hlm. 293.

[3] Konsep law as a tool of social engineering diramu oleh Roscoe Pound. Konsep ini didasarkan pada keadaan masyarakat Amerika yang senjang. Pound ingin memperbaiki kesenjangan ini dengan mendayagunakan hukum. Jadi, di samping berakar pada liberalisme, konsep ini juga terlalu memistifikasikan hukum. Konsep ini mengarah pada terjadinya perbaikan sosial bukan pada perubahan sosial, sama dengan pola trickle down effect bagi strategi pencapaian kemakmuran ekonomi. Lihat T. Mulya Lubis, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan, (Jakarta: YLBHI, 1987), hlm. 22.

[4] Ibid, hlm. 21.

[5] Moh. Mahfud MD., “Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia”, Disertasi Doktor dalam Ilmu Hukum pada UGM, (Yogyakarta: tidak diterbitkan, 1993), hlm. 675.

[6] Mengenai bagaimana bentuk nilai, kepentingan, kuasa, dan karakter hukum tersebut perlu dilakukan studi tersendiri.

[7] Diskursus Islam vis-a-vis Negara-Bangsa atau wujud negara Indonesia dengan Pancasila dan UUD 1945, sebetulnya telah dapat diselesaikan lama, terutama oleh Nahdhatul Ulama (NU). Dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan hukum fiqh, NU mampu melakukan sebuah proses penyesuaian dengan tuntutan sebuah negara modern. Semenjak masa perang kemerdekaan, NU melalui fatwa Ra’is Akbar KH. M. Hasyim Asy’ari (yang kemudian dikukuhkan sebagai Keputusan Muktamar NU ke-16 di Purwokerto, 26-29 Maret 1946) telah mengeluarkan “Fatwa Resolusi Jihad”, 22 Oktober 1945, yang mempunyai hukum ikat “furdl ‘ain” bagi setiap orang Islam dalam radius 94 km untuk mendukung bentuk negara baru Republik Indonesia, juhad fii sabilillah melawan Belanda. Bahkan penting dicatat, jauh sebelum itu, Muktamar NU tahun 1936 di Banjarmasin, bahwa daerah Jawa (ardl Jawa) dalam arti Nusantara adalah Dar Al-Islam, padahal ketika itu daerah tersebut dikuasai oleh pemerintah Belanda. Keputusan yang sama juga, NU menolak kehadiran “Negara Islam Indonesia (NII)” yang didirikan oleh Kartosuwiryo dkk., bahkan sejak semula para ulama NU telah menyatakannya sebagai bughat (pemberontak) yang harus di basmi. Untuk keperluan itulah, NU dalam Muktamar Konferensi Alim Ulama di Cipanas 1954 mengukuhkan kedudukan Kepala Negara Republik Indonesia (Ir. Soekarno) sebagai waliy Al-amri Al-dlaruri bi Al-syaukah (pemegang pemerintahan sementara (defakto) dengan kekuasaan penuh). Kemudian terkahir pada Keputusan Muktamar NU XXVII di Situbondo menegaskan keabsahan secara fiqh Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan UUD 1945 sebagai hukum dasarnya. Hubungan Pancasila dan Islam diselesaikan NU dalam Keputusan MUNAS Alim Ulama 1983 di Situbondo dengan “Deklarasi Hubungan Pancasila dan Islam”. Lebih tegas KH. Achmad Siddiq dinyatakan bahwa wujud negara Republik Indonesia merupakan upaya final seluruh bangsa, terutama kaum muslimin, untuk mendirikan negara di wilayah Nusantara. Bagi NU, tidak ada alasan apapun untuk menolak Pancasila dan UUD 1945, selama ia tidak berfungsi menggantikan kedudukan agama dan mengganggu pengalaman agama bagi pemeluknya. Baca Abdurrahman Wahid, “Nahdhatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fiqh dalam Politik", (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 4-5.

[8] Denny J.A., “Legislasi Hukum Islam dan Integrasi Nasional”, PESANTREN No. 2/Vol. VII/1990, (Jakarta: P3M, 1990), hlm. 7-8.

[9] Penulis merasa kesulitan untuk membedakan term “hukum Islam” (bahasa Indonesia) dengan term Fiqh, Syari’ah, dan Al-Syar’i. Dalam ilmu ushul Al-Fiqh dan ilmu Al-Fiqh masing-masing term tersebut mempunyai ta’rifnya. Tampaknya, term “hukum Islam” (istilah Indonesia) dalam konteks hukum positif Indonesia hanyalah untuk membedakan dari term hukum Barat, hukum Adat, dll. Pembedaan ini untuk menunjukkan bahwa hukum tersebut adalah hukum yang berasal dari agama Islam. Karena itu, hukum Islam yang dilihat oleh sistem positivisme yuridis adalah hukum Islam yang real menyejarah hidup di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia (living law), bukan hukum yang ideal dan doktrinal.

[10] Seperti yang terjadi di Turki Usmani, pada tahun 1876 pmerintah Turki membuat kodifikasi hukum Islam dengan nama Mejellet-i Ahkam Adiliye.

[11] Bandingkan dengan Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, alih bahasa Yudian W. Asmin, dkk., (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 191-192.

[12] Al-Qur’an tidak mengatur hal itu. Bahkan bentuk pemerintahan pun tidak diatur. Argumen yang menyatakan wajib adanya pemerintahan dalam rangka memberlakukan hukum Islam adalah konsensus sahabat. Malah menurut Hatim Al-‘Asam, seorang zahid yang hidup pada abad III H., dari kalangan Mu’tazilah, yang penting adalah berjalannya peraturan hukum dan berlakunya keadilan dalam masyarakat. Bagi Al-Muhakkimah dan Al-Najdah dari kalangan Khawarij, kalau semua itu sudah berjalan dengan baik, pemerintahan pun tak perlu diadakan. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: 1972), hlm. 41. Lihat pula H. Zaeni Ahmad Noeh, “Lima Tahun UU Peradilan Agama: Sebuah Kilas Balik”, Mimbar Hukum No. 17 Tahun V 1994, (Jakarta: Al-Hikmah & Ditbinbapera Islam, 1994), hlm. 13.

[13] Ibn Taimiyah, Al-Siyasah Al-Syar’iyyah Fi Ishlah Ar-Ra’yi Wa Al-Ra’iyyah, Cet. IV, (Mesir: Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, 1979), hlm. 26. Lihat juga Qamaruddin Khan, The Political Thought of Ibn Taimiyah, (Islamabad: Islamic Research Institute, 1973), hlm. 54.

[14] Fazlur Rahman, seperti yang dikutip A. Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 14-15. 

[15] Pernyataan semacam itu lantang menggema di dunia internasional tatkala Ayatullah Imam Khomeini melakukan perjuangan dengan Revolusi Irannya. Baca John J. Donohue & John L. Esposito (Penyunting), Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah, alih bahsa Drs. Machnun Husein, Cet. IV, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 456.

[16] Al-Imam Al-Syahid Hassan Al-Banna, Al-‘Aqdid, Syarkh Ushul Al-‘Isyrin, Ila Al-Syabab, (Kuwait: Al-Manar Al-Islamiyah, 1371 H), hlm. 1.

[17] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: LSIK, 1994), hlm. Ix; Abd. Muin Salim, Konsepsi Politik dalam Al-Qur’an, (Jakarta: LSIK, 1994), hlm. 1.

[18] Terbukti, tatkala BPUPKI telah berhasil menyusun “Piagam Jakarta” pada tanggal 22 Juni 1945, yang menempatkan syari’at Islam pada sila pertama, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan piagam itu diprotes tegas oleh kalangan Kristen dari Sulawesi Utara, tanah kelahiran A.A. Maramis. Lalu, sila tersebut diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Anak kalimat “...dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus. Bukti lain adalah kegagalan kelompok-kelompok Islam untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara pada Sidang Konstitunste 1959. Kegagalan ini karena tidak disetujuinya oleh kelompok-kelompok nasionalis, komunis, dan sekuler. Diskusi mengenai ini baca Endang Saefuddin Anshori, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekuler” Tentang Dasar Negara RI 1945-1959, (Bandung: Pustaka Perpustakaan Salman ITB, 1981).

[19] KH. Achmad Siddiq, Pemulihan Khittah NU 1926, makalah disampaikan pada MUNAS Alim Ulama NU 1983 di Situbondo. Makalah ini juga disampaikan kembali dalam Muktamar NU XXVII di tempat yang sama.

[20] Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 7.

[21] Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Jakarta, 1995), hlm. 223.

[22] Zainal Abidin Ahmad, Membentuk Negara Islam, (Jakarta: Wijaya, 1956), hlm. 155-156.

[23] Abdurrahman Wahid, Pancasila dan Kondisi Obyektif Kehidupan Beragama, Artikel pada KOMPAS, 20 Juli 1985.

[24] Untuk kesejarahan Islam, lihat mislanya corak pemerintahan zaman Rasulullah, Khulafa’ Rasyidun, Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, Bani Fathimiyyah, Mesir, Turki, Arab Saudi, Iran, Irak, dan sebagainya. Sepanjang zaman itu, corak dan sistem ketatanegaraannya berbeda. Tak ada sistem satu pun yang menjadi keniscayaan bagi zaman yang lain. Sedangkan untuk pemikiran politik Islam, baca misalnya: karya Ibn Abi Rabi’ (w. 840 M) tentang Suluk Al-Malik Fi Tadbir Al-Mamalik; Ibn Qutaybah (w. 889 M) tentang Al-Imamah Wa Al-Siyasah; Al-Mawardi (w. 450 H/1058 M) tentang Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah dan Adab Al-Dunya Wa Al-Din; Abu Ya’la Ibn Al-Farra’ (w. 458 H) tentang Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah; Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) tentang Al-Iqtishad Fi Al-‘Itiqad dan Al-Tibr Al-Masbuk Fi Nashihat Al-Muluk; Ibn Taimiyah (w. 728 H/1328 M) tentang Al-Siyasah Al-Syar’iyyah Fi Ishlah Al-Ra’iy Wa Al-Ra’iyyah dan Minhaj Al-Sunnah; Ibn Khaldun (w. 808 H/1406 M) tentang Muqaddimah; dan ulama-ulama kontemporer, seperti Ali Abd. Raziq, Al-Maududi, Muhammad Husein Haikal, dan sebagainya. Sederetan pemikir-pemikir politik ini tak satu pun yang menawarkan konsep ketatanegaraan dan kepemerintahan yang tunggal. Ini artinya, memang perihal sistem negara dan pemerintahan dalam Islam bersifat kultural dan sosiologis. Karenanya, bisa saja sekelompok kaum Muslimin membuat sistem negara dan ketatanegaraan tersendiri yang berbeda dari semuanya, asalkan tetap mengacu pada prinsip dasar dan tata nilai etik yang telah ditentukan Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

[25] Munawir Sjdzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Edisi V, (Jakarta: UI-Press, 1993), hlm. 233. Bandingkan dengan Harun Nasution dan Azyumardi Azra, (ed.), Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 2.

[26] Bandingkan dengan Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: UI-Press, 1995), hlm. 173-174.

[27] Notonagoro, Pemboekaan Undang-Undang Dasar 1945, (Yogyakarta: UGM, 1956), hlm. 54.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Zainal Abidin, Membentuk Negara Islam, Jakarta: Wijaya, 1956.
Al-Banna, Al-Imam Al-Syahid Hassan, Al-‘Aqdid, Syarkh Ushul Al-‘Isyrin, Ila Al-Syabab, Kuwait: Maktabah Al-Manar Al-Islamiyah, 1371 H.
Anshori, Endang Saefuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis “Sekuler” tentang Dasar Negara RI 1945-1959, Bandung: Pustaka Perpustakaan Salman ITB, 1981.
Donohue, Jhon J. & Jhon L. Esposito (Penyunting), Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah, Alih Bahasa Drs. Machnun Husein, Cet. IV, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
Haidar, M. Ali, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982.
J. A., Denny, Legislasi Hukum Islam dan Integrasi Nasional, PESANTREN No. 2/Vol. VII/1990, Jakarta: P3M, 1990.
Khan, Qamaruddin, The Political Thought Of Ibn Taimiyah, Islamabad: Islamic Research Institute, 1973.
Lubis, T. Mulya, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan, Jakarta: YLBHI, 1987.
Ma’arif, A. Syafi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1987.
Madjid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995.
MD., Moh. Mahfud, Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia, Disertasi Doktor dalam Ilmu Hukum pada UGM, Yogyakarta: tidak diterbitkan, 1993.
Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Alih Bahasa Yudian W., Asmin, dkk., Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.
Nasution, Harun dan Azyumardi Azra (ed.), Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985.
    , Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI-Press, 1972.
    , Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Jakarta, 1995.
Noeh, H. Zaeni Ahmad, Lima Tahun UU Peradilan Agama: Sebuah Kilas Balik, MIMBAR HUKUM No. 17 Tahun V 1994, Jakarta: Al-Hikmah & Ditbinbapera Islam, 1994.
Notonagoro, Pemboekaan Oendang-Oendang Dasar 1945, Yogyakarta: UGM, 1956.
Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: LSIK, 1994.
Salim, Abd. Muin, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, Jakarta: LSIK, 1994.
Siddiq, KH. Achmad, Pemulihan Khittah NU 1926, makalah disampaikan pada MUNAS Alim Ulama NU 1983 di Situbondo, 1983.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Edisi V, Jakarta: UI-Press, 1993.
Sukardja, Ahmad, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, Jakarta: UI-Press, 1995.
Taimiyah, Ibn, Al-Siyasah Al-Syar’iyyah Fi Ishlah Ar-Ra’yi Wa Al-Ra’iyyah, Cet. IV, Mesir: Dar Al-Kitab Al’Arabi, 1979.
Wahid, Abdurrahman, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa Ini, PRISMA No. 4, Jakarta: LP3ES, 1984.
Wahid, Abdurrahman, Pancasila dan Kondisi Obyektif Kehidupan Beragama, Artikel pada KOMPAS, 20 Juli 1985, 1985.

Diketik oleh Moh. Hibatul Wafi dalam penyajian makalah.

Biru Benderanya, Biru Duitnya

http://adf.ly/idGAv

H. Jamaluddin, SH. adalah seorang Calon Anggota DPRD DKI Jakarta Dapil 8 Jakarta Timur, beliau kelahiran Sumbawa. Beliau ternyata telah menyebarkan sticker/pamflet beserta selembaran profil data. Selain itu juga, beliau juga menyelipkan mata uang Indonesia berwarna biru di dalamnya.

Kabar ini terkuak setelah seorang warga Indonesia mendapatkan amplop berwarna putih yang berisikan sebuah pamflet dan juga selembar uang sebesar Rp 50.000,- 

Sang calon anggota tersebut, padahal sudah berjanji pada rakyat bahwasanya "Insya Allah Saya akan melaksanakan ASPIRASI dan AMANAH yang diberikan oleh Bapak, Ibu dan Saudara dukungan dan kepercayaannya saya harapkan", begitulah bunyinya.

Namun yang telah terjadi itu apakah rakyat akan percaya mengenai janjinya tersebut? Kalau sang calon sudah berani untuk memberikan uang kepada rakyatnya sebesar Rp 50.000,- per orangnya, sudah pasti ketika dia terpilih yang dipikirkannya adalah bagaimana caranya mengembalikan uang tersebut ke dalam kantongnya lagi. Pastinya lagi dia akan melakukan korupsi.

Saya hanya menyarankan kepada Anda yang tidak mempunyai uang, bahwasanya terimalah jika ada caleg yang memberikan uang, akan tetapi ketika di hari pemilu pilihlah sesuai dengan hati nurani Anda.