Monev Kinerja PNS Jakarta Timur 2023

Jakarta | Rabu, 20 Desember 2023 - Kepada yang terhormat, seluruh Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Lingkungan Suku Dinas Pendidikan Wilayah I Kota Administrasi Jakarta Timur.

Pembuatan Pesan Izin GDPR

Rabu, 1 November 2023 - Admin berniat ingin membuka google adsense guna mengecek penghasilan dari adsense,...

Asphalt 9: Ares S1 Grand Prix - Greenland Coastal Ice

Senin, 16 Oktober 2023 - Setelah mencoba tes rekam video melalui software Clipchamp, akhirnya gw mencoba kembali merekam video game.

Claim Daily Events Asphalt 9

Senin, 16 Oktober 2023 - Testing record video pake software Clipchamp.

Penginputan EKIN Bulan Juli 2023

Selasa, 1 Agustus 2023 - Info PTK memberitahukan kepada seluruh PNS dan CPNS di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta.

PT. HIJAS LINE TUJUH TUJUH - HIJAS TRANS 77

Etika Dalam Profesi Bidang Hukum & Praktek Kepengacaraan (Keadvokatan)

Oleh Moh. Hibatul Wafi*

BAB I
ETIKA DALAM PROFESI BIDANG HUKUM

A. LANDASAN TEORI ETIKA DAN PROFESI.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan etika ialah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan tentang hak serta kewajiban moral; kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.  Istilah etika menghubungkan penggunaan akal budi perseorangan dengan tujuan untuk menentukan kebenaran atau kesalahan dan tingkah laku seseorang terhadap orang lain.

Dalam bahasa Indonesia, perkataan etika lazim juga disebut susila atau kesusilaan yang berasal dari Sanskerta, yaitu su (indah) dan sila (kelakuan). Jadi, kesusilaan mengandung arti kelakuan yang baik dan berwujud kaidah, norma (peraturan hidup kemasyarakatan).  Selain itu dalam Ensiklopedi Indonesia, dijelaskan bahwa etika berasal dari bahasa Inggris yakni Ethics, yang mengandung arti ilmu tentang kesusilaan, yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat mengenai: apa yang baik dan apa yang buruk; segala ucapan harus senantiasa berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan tentang perikeadaan hidup dalam arti kata seluas-luasnya.

Menurut Magnis Suseno (1991: 15), salah satu fungsi utama etika yaitu untuk membantu kita mencari orientasi secara kritis dalam berhadapan dengan moralitas yang membingungkan. Di sini terlihat, bahwa etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas, dan yang dihasilkannya secara langsung bukan kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis. Maka dalam pengertian tersebut, perlu dicari dengan alasan sebagai berikut: 
  1. Kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik, juga dalam bidang moral.
  2. Modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur kebutuhan dan nilai masyarakat.
  3. Adanya berbagai ideologi yang menawarkan diri sebagai penuntun hidup.
  4. Diperlukan oleh kaum agama, yang di satu pihak menemukan dasar kemantapan mereka dan di lain pihak mau berpartisipasi tanpa takut-takut dengan tidak menutup diri dalam semua kehidupan masyarakat.
Secara sistematis, etika dibedakan menjadi etika umum dan etika khusus. Kemudian, etika khusus dibedakan lagi menjadi etika individual dan etika etika sosial. Etika umum membahas tentang prinsip-prinsip dasar dari moral, sedangkan etika khusus menerapkan prinsip-prinsip dasar dari moral itu pada masing-masing bidang kehidupan manusia. Etika khusus individual memuat kewajiban manusia terhadap diri sendiri, dan etika sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota umat manusia. 

B. PROFESI- PROFESI DALAM BIDANG HUKUM.

Dengan perkembangan zaman yang begitu cepat, sebenarnya profesi di bidang hukum sangat beragam. Akan tetapi, tanpa disadari bahwa bantuan dan jasa hukum terkadang sering terabaikan dengan kondisi bangsa Indonesia yang sangat memburuk. Hal ini tanpa adanya dukungan dari pemerintah terhadap calon penegak hukum yang selanjutnya, di mana profesi hukum sering terabaikan bahwa masyarakat luas mempunyai pandangan yang bermacam-macam, mulai dari Pengacara yang sulit hidupnya karena tidak jelas apa yang akan ditangani. Jaksa yang sering dipersepsikan mendapatkan sogokan atau suap hingga Hakim yang dinilai tidak bijaksana dalam memutuskan perkara perdata, pidana, tata usaha negara, niaga, ataupun perkara lainnya.

Profesi di bidang hukum memang tidak akan lepas dari hal-hal yang bersifat analitis, teoritis, logis, sistematis, dan bahkan tidak terkecuali administratif. Adapun pembagian profesi dalam bidang hukum yang dilandaskan pada teori atau doktrin bagi sistem hukum (corpus juris), antara lain sebagai berikut:
  1. Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman adalah UU No. 48/2009 dalam pasal 1 ayat (1), tersebut berbunyi “Kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum RI”. Undang-undang ini sangatlah penting, karena merupakan induk dari KUHAP, yang merupakan sumber hukum utama hukum acara pidana. Hakim adalah pejabat dalam peradilan negara yang diberikan kewenangan untuk mengadili sebuah perkara. Dalam suatu sidang perkara perdata dan pidana, biasanya terdiri dari 3 orang hakim, satu hakim ketua dan dua hakim anggota. Kecuali untuk peradilan acara cepat hanya ada satu hakim untuk setiap perkara. Kekuasaan yang merdeka berarti tidak boleh ada campur tangan dari pihak eksekutif (pemerintah), maupun legislatif. Seperti yang telah disebutkan dalam Bab Hukum Perdata Formal (Hukum Acara Perdata), maka kekuasaan kehakiman ini dilakukan oleh pengadilan-pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
  2. Kejaksaan. Undang-Undang yang mengatur tentang Kejaksaan adalah UU No. 16/2004 dalam pasal 1 ayat (1), tersebut berbunyi “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Jaksa dinaungi oleh organisasi yang bernama Kejaksaan Republik Indonesia. Adapun tugasnya yang sesuai dengan pasal 30 ayat (1), antara lain: (a) Mengadakan penuntutan; (b) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (c) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; (d) Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; (e) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
  3. Kepolisian Negara. Undang-Undang yang mengatur tentang Kepolisian Negara ini adalah UU No. 2/2002 dalam pasal 1 ayat (1), tersebut berbunyi “Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Untuk memelihara keamanan di dalam negeri ini, Kepolisian Negara mempunyai tugas yang luas sekali, di antaranya adalah memelihara ketertiban, menjamin keamanan umum, mencegah dan memberantas menjalarnya penyakit masyarakat, memelihara keselamatan orang, benda, dan masyarakat, termasuk melindungi serta memberikan pertolongan. Khususnya dalam bidang peradilan, Kepolisian Negara bertugas untuk mengadakan penyelidikan atas kejahatan dan pelanggaran menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan peraturan negara lainnya. Untuk pelaksanaan tugas penyelidikan tersebut, Kepolisian Negara berwenang sebagai menerima pengaduan, menangkap orang, menggeledah badan, menahan orang sementara, menggeledah, dan lain-lain.
  4. Pengacara atau Advokat. Undang-undang yang mengatur hal ini adalah UU No. 18/2003. Advokat adalah orang yang mendampingi pihak yang berperkara untuk memastikan klien yang didampingi mendapatkan hak-hak yang semestinya dalam melakukan tindakan hukum. Setiap orang yang telah lulus sarjana hukum bisa menjadi advokat, asalkan mengikuti pendidikan profesi advokat dan lulus ujian profesi advokat yang diadakan oleh organisasi profesi advokat. Untuk masyarakat yang tidak mampu, akan tetapi butuh didampingi advokat, maka dapat meminta bantuan kepada lembaga yang menyediakan bantuan hukum, seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
  5. Notaris. Notaris merupakan jabatan yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat, yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004.
  6. Juris (ahli hukum), guru besar (dosen). Juris atau guru besar dalam perkembangan ilmu hukum sangat besar kontribusinya, mereka mendidik para mahasiswa hukum, menjadi saksi ahli dalam persidangan, melakukan aktivitas advokasi kebijakan, dan melakukan studi.
Selain itu juga masih banyak profesi-profesi di bidang hukum, seperti arbiter, juru sita, penuntut umum, kurator, mediator, panitera pengadilan, peneliti hukum, dan sebagainya.

C. ETIKA DALAM PROFESI BIDANG HUKUM.

Secara jujur harus diakui, bahwa pengembangan etika profesi hukum di Indonesia kurang berjalan dengan baik dalam dunia hukum kita. Banyak pelanggaran etika profesi yang tidak mendapat penyelesaian secara tuntas, bahkan terkesan didiamkan. Lembaga semacam dewan atau majelis pertimbangan, profesi yang bertugas menilai pelanggaran etika masih belum berwibawa di mata para anggotanya. Kondisi demikian menyebabkan bahan kajian etika profesi hukum di Indonesia menjadi sangat kering dan berhenti pada ketentuan-ketentuan normatif yang abstrak. Padahal, kajian ini pasti akan lebih menarik jika dibentangkan bersama. Contoh kasus nyata yang dihadapi para fungsionaris hukum kita. Munculnya berbagai organisasi profesi sejenis dengan kode etiknya sendiri-sendiri, semakin mengurangi nilai kajian ini di mata orang-orang yang mempelajari etika profesi hukum. 

Contoh lain misalnya, dalam peradilan yang sesat, yang merupakan di mana kepolisian, kejaksaan, pengacara, dan kehakiman dalam menangani kasus-kasus hukum ini yang disalahgunakan, dan bisa disebut dengan peradilan yang menangani kasus tersebut, adanya teatrikal. Seharusnya mereka menegakkan hukum, tapi dalam praktek lapangannya adalah berdagang atas nama hukum dan kekuasaan. Jadi, kajian ini adalah mengilustrasikan apa yang ada dalam praktek hukum berbeda ketika berada di lapangan, yaitu dalam bermasyarakat.

BAB II
PRAKTEK KEPENGACARAAN (KEADVOKATAN)

Advokat menurut Pasal 1 ayat (1) UU Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan pada undang-undang ini. Selanjutnya dalam UU Advokat dinyatakan bahwa advokat adalah penegak hukum yang memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya, seperti hakim, jaksa, dan polisi.

Advokat dalam bahasa Indonesia sehari-hari lebih sering/popular disebut sebagai Pengacara atau Kosultan Hukum. Namun sejak diundangkannya UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sebagai undang-undang pertama yang lahir sejak kemerdekaan Republik Indonesia yang khusus mengatur tentang keberadaan Advokat sebagai suatu profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum dan perlunya untuk dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakkan supremasi hukum, istilah yang dipergunakan hanya Advokat, tidak lagi mengenal istilah “pengacara maupun konsultan hukum”.

Di Indonesia, advokat termasuk profesi yang menjanjikan, terbukti dengan jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, Indonesia hanya memiliki kurang lebih 100 ribu advokat. Yang berarti jumlah advokat kurang dari 5% dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia. Dengan banyaknya kasus-kasus yang terjadi, faktanya belum tentu semua perkara yang ada dapat diselesaikan oleh para advokat yang ada. Oleh karena itu, advokat menjadi suatu profesi yang sangat diminati oleh masyarakat, khususnya bagi para Sarjana Hukum dan Sarjana Syari’ah. Karena investasinya yang menjanjikan daripada profesi hukum lainnya.

Dengan alasan inilah, syarat untuk menjadi seorang advokat pun dirumuskan, baik oleh Pemerintah maupun organisasi advokat itu sendiri. Menjadi advokat, lebih mudah diraih daripada bercita-cita menjadi pegawai negeri sipil. Karena hal yang paling diperlukan untuk menjadi seorang advokat secara individual adalah keberanian. Secara Undang-Undang, jalan yang harus ditempuh untuk menjadi advokat disebutkan dalam:
  1. Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat: “Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat”. Dalam penjelasan dari Pasal 2 ayat (1) disebutkan, yang dimaksud dengan “berlatar belakang pendidikan tinggi hukum” adalah lulusan fakultas hukum, fakultas Syari’ah, perguruan tinggi hukum militer, dan perguruan tinggi ilmu kepolisian. Dua lulusan pendidikan tinggi hukum terakhir telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi dari undang-undang ini sehingga Sarjana Syari’ah setara dan hanya bersaing dengan Sarjana Hukum. Melalui pasal inilah jalan untuk menjadi advokat bagi Sarjana Syari’ah terbuka lebar. Sebagaimana yang kita ketahui sebelumnya, menjadi advokat bagi Sarjana Syari’ah sangatlah sulit bahkan tidak mungkin, karena dianggap tidak mampu dalm menjalankan profesi ini. Dengan adanya penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, seluruh Sarjana Syari’ah dapat menjadi Advokat tanpa halangan asal dapat memenuhi persyaratan yang telah diatur.
  2. Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyebutkan, untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) Warga Negara Republik Indonesia; (b) Bertempat tinggal di Indonesia; (c) Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara; (d) Berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun; (e) Berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum, sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1); (f) Lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat; (g) Magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat; (h) Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; (i) Berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi; 
Penjelasan:
  • Tidak Berstatus Sebagai Pegawai Negeri atau Pejabat Negara. Masalah ini menjadi perdebatan ketika dibicarakan mengenai diperbolehkannya pegawai negeri yang menjadi dosen di perguruan tinggi untuk menjadi Advokat khususnya pada bidang non-litigasi. Beberapa anggota DPR, mempertanyakan kenapa harus ada kekhususan kepada para dosen ? Mengapa tidak juga diberikan kepada pegawai negeri yang lainnya seperti pegawai biro hukum pada berbagai departemen dan staff pembinaan hukum pada POLRI maupun TNI ? Dengan berbagai pertimbangan atas perdebatan yang muncul maka disepakati bahwa seluruh pegawai negeri sipil dan militer tidak dapat menjadi Advokat, dengan ketentuan bahwa tidak ada larangan bagi para dosen yang tergabung pada lembaga bantuan hukum dari universitasnya untuk memberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma. Karena undang-undang ini tidak mengatur tentang bantuan hukum.
  • Batas Umur Maksimum Untuk Menjadi Advokat. Persoalan umur ini menjadi perdebatan yang sangat alot diantara anggota DPR, ketika ada usulan bahwa syarat maksimum seseorang untuk menjadi Advokat adalah 40 tahun (bukan syarat seorang Advokat harus pension, karena tidak ada umur pension untuk Advokat). Usulan ini berdasarkan pertimbangan bahwa seseorang yang hendak berprofesi sebagai Advokat haruslah dimulai sejak awal sehingga diharapkan akan menekuni profesi Advokat secara serius dan dapat bekerja secara lebih professional. Pada sisi lain ada para anggota yang tidak ingin adanya pembatasan umur maksimum itu, beralasan bahwa profesi Advokat adalah profesi bebas, swasta yang dapat saja dilakukan oleh setiap orang yang ahli di bidang hukum. Karena itu profesi advokat membutuhkan keahlian yang dapat saja dijalani oleh siapa saja yang merasa ahli di bidang hukum. Masalah akan dipakai oleh masyarakat atau tidak, hal itu diserahkan pada mekanisme pasar. Oleh karena itu, tidak perlu ada batas umur maksimum untuk menjadi advokat. Akibat persoalan ini, pembahasan RUU Advokat tertunda sampai hamper satu tahun. Pada akhirnya ketika saat mengakhiri tugasnya, Panitia Kerja memutuskan untuk tidak membatasi umur maksimum ini.
  • Hanya Sarjana Hukum atau Termasuk Sarjana Syari’ah. UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat telah memberikan kemungkinan kepada Sarjana Syari’ah untuk menjadi Advokat, akan tetapi hanya terbatas untuk berpraktek di lingkungan Peradilan Agama. Pertimbangannya karena pekerjaan seorang yang berprofesi Advokat harus benar-benar seorang juris yang mendalami ilmu hukum secara khusus. Pada sisi lain terdapat usulan bahwa Sarjana Syari’ah harus diperlakukan sama dengan Sarjana Hukum untuk menjadi Advokat dan tidak boleh ada diskriminasi, dengan pertimbangan bahwa Sarjana Syari’ah juga mempelajari Ilmu Hukum serta mendalami secara khusus Ilmu Hukum Islam. Masalah apakah jasanya dipakai oleh masyarakat atau tidak diserahkan kepada masyarakat, asal mereka lulus seleksi untuk menjadi Advokat. Perdebatan ini melebar sampai pada masalah, mengapa Advokat Sarjana Hukum boleh praktek di lingkungan Peradilan Agama, tetapi Sarjana Syari’ah tidak boleh praktek pada lingkungan Peradilan Umum? Perdebatan masalah ini menjadi lebih rumit karena Pemerintah pada akhirnya setuju dengan usulan diperbolehkannya Sarjana Syari’ah diperlakukan sama dengan Sarjan Hukum lulusan Fakultas Hukum, akan tetapi para Advokat yang menjadi anggota Tim Pemerintah tetap tidak setuju dengan usulan baru ini, bahkan menimbulkan perdebatan dan kontroversi yang mengemuka di media massa. Setelah melalui perdebatan panjang serta proses lobby antar fraksi dan pemerintah, persoalan ini diputuskan pada Rapat Pleno Komisi II bersama Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia yaitu pada detik-detik akhir pengambilan keputusan atas seluruh materi RUU ini dengan mengakomodir usulan diperbolehkannya Sarjana Syari’ah dan juga termasuk sarjana dari perguruan tinggi hukum lainnya (termasuk Sarjana Sekolah Tinggi Hukum Militer dan Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian) untuk menjadi Advokat asal lulus seleksi. Walaupun akhirnya, disetujui Sarjana Syari’ah dan Sarjana Perguruan Tinggi Hukum lainnya diperlakukan sama dengan Sarjana Hukum untuk menjadi Advokat, tetapi Advokat Adnan Buyung Nasution yang mewakili Organisasi Advokat memberikan catatan keberatannya.
Hak Imun bagi Advokat disinggung dalam Pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat: “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas dan profesinya dengan i’tikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan”. Walaupun tidak secara eksplisit menjelaskan tentang hak imun, namun pasal ini mewakili definisi hak imun bagi advokat adalah hak yang dimiliki oleh advokat berbentuk kekebalan hukum dalam menjalankan profesinya sebagai advokat untuk membela klien di muka pengadilan. Dalam pasal ini, ada 2 (dua) syarat hak imun seorang advokat yaitu:
  1. Beri’tikad baik.
  2. Di dalam Pengadilan.
Syarat yang pertama tidak menjadi perdebatan di kalangan para ahli hukum, yang menjadi kontroversi adalah syarat yang kedua. Banyak para pakar berpendapat bahwa seorang advokat memiliki kekebalan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan dalam membela kliennya karena syarat yang paling utama adalah harus adanya i’tikad baik, pendapat ini dikemukakan oleh Ketua Umum PERADI, Otto Hasibuan dan Hamdan Zoelva (sebagai salah satu penyusun UU Advokat).

Namun sayangnya pendapat kedua pakar ini bertolak belakang dengan bunyi yang tertera jelas dalam Pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat “dalam sidang pengadilan”. Sehingga jalan keluarnya adalah harus ada amandemen penjelasan pasal ini sebagai tindak lanjutnya. Di dalam Pasal 10  ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dinyatakan bahwa advokat berhenti atau diberhentikan dari profesinya secara tetap karena alasan:
  • Atas permohonan sendiri.
  • Dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 4 (empat) tahun atau lebih.
  • Berdasarkan keputusan Organisasi Advokat yang disampaikan kepada Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan lembaga penegak hukum lainnya.
*Mahasiswa Program Studi Jurusan Akhwal Asy-Syakhsiyyah Fakultas Syari'ah & Hukum Universitas Syarif Hidayatullah Ciputat Semester 12. Makalah ini untuk memenuhi tugas Sosiologi Hukum, dan juga pernah dibagikan di Artikel Angkringanwarta.

DOWNLOAD FORMAT PDF & WORD

Cara Mengajukan Gugatan (Posita & Petitum) Serta Komulasi Gugatan

Oleh: Moh. Andreansyah, M. Ibnu Rahman, dan Siti Ummu Kulsum*

A. Cara Mengajukan Gugatan.

Gugatan disebut sebagai tuntutan hak yang mengandung sengketa atau disebut sebagai tuntutan perdata (burgelijke vordering) yang terdapat dalam pasal 118 ayat 1 HIR (pasal 142 ayat 1 RBg). Gugatan dapat diajukan baik secara tertulis (pasal 118 ayat 1, 142 ayat 1 RBg) maupun secara lisan (pasal 120 HIR, 144 ayat 1 RBg).

Dalam perkara gugatan ada suatu sengketa yang harus diselesaikan dan diputuskan oleh pengadilan. Di sini Hakim berfungsi sebagai hakim yang mengadili dan memutus siapa di antara pihak-pihak yang benar dan siapa yang tidak benar. 

Apabila suatu perkara tidak dapat diselesaikan secara damai oleh pihak-pihak yang berperkara, maka jalan terakhir yang dapat ditempuh adalah minta penyelesaian melalui pengadilan. Untuk itu penggugat mengajukan gugatan kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang. Dalam HIR dan RBg hanya mengatur tentang caranya mengajukan gugatan, sedang tentang mengenai isi dari pada gugatan tidak ada ketentuannya.

Dalam mengajukan gugatan ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam surat gugatan yang harus termuat pokok-pokoknya:
  1. Keterangan lengkap mengenai pihak-pihak yang berperkara (identity of the parties), yaitu nama, umur, alamat, pekerjaan, agama.
  2. Dasar gugatan (posita/fundamentum petendi) yang memuat uraian tentang kejadian atau peristiwa (factual grounds), dan uraian tentang hukum (legal grounds).
  3. Tuntutan yang dimohonkan penggugat agar diputuskan oleh hakim (petitum). Tuntutan dapat dirinci lagi menjadi dua macam, yaitu tuntutan primer (primary clain), yang merupakan tuntutan pokok; dan tuntutan subsider (subsidiary clain), yang merupakan tuntutan pengganti bila tuntutan pokok ditolak oleh hakim. 
Dalam identity of the parties atau ciri-ciri penggugat dan tergugat status kawin atau tidak perlu dicantumkan. Dalam fundamentum petendi atau dasar tuntutan terdiri dari dua bagian, yaitu bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa dan bagian yang menguraikan tentang hukum. Uraian tentang kejadian merupakan penjelasan duduknya perkara, sedang uraian tentang hukum ialah uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari pada tuntutan.

Dalam surat gugatan, dasar gugatan harus jelas dan tegas serta mendukung tuntutan (petitum) penggugat, agar petitum itu mendapatkan jawabannya di dalam dictum atau amar putusan. Setiap peristiwa atau kejadian yang mendukung hubungan hukum harus diuraikan secara kronologis dan sistematis, sehingga setiap kalimat tuntutan diharapkan dapat diterima oleh pengadilan, agar hakim mudah memahami isi petitum, yang bertujuan untuk memudahkan hakim menilai apakah dasar gugatan merupakan sebab yang menjadi alasan penggugat minta dikabulkan isi tuntutannya. Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 16 Desember 1970 berpendapat bahwa tuntutan yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat berakibat tidak diterimanya tuntutan tersebut. Jadi, Mahkamah Agung menyamakan tuntutan yang “tidak jelas” dengan yang “tidak sempurna”.

Dalam Ilmu Hukum Acara Perdata dikenal dua macam teori tentang penyusunan surat gugatan, yaitu:
  1. Substantieringstheorie, yang menyatakan bahwa dalam surat gugatan perlu disebutkan atau diuraikan rentetan kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan.
  2. Individualiseringstheorie, yang menyatakan bahwa kejadian-kejadian yang disebutkan dalam surat gugatan harus cukup menunjukkan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan, sedangkan sejarah terjadinya tidak perlu disebutkan sekaligus dalam surat gugatan, karena hal itu dapat dikemukakan dalam sidang disertai pembuktiannya. 
Dalam cara mengajukan yang tidak kalah pentingnya, yang harus diperhatikan adalah kemana gugatan diajukan. Secara garis besar, pasal 118 HIR/142 RBg mengatur hal tersebut yang mengatakan:
  1. Gugatan perdata yang dalam tingkat pertama, masuk wewenang pengadilan negeri.
  2. Jika tidak diketahui tempat tinggal penggugat, gugatan diajukan pada pengadilan negeri tempat kediaman tergugat.
  3. Apabila tergugat terdiri dari dua orang atau lebih, gugat diajukan pada tempat tinggal salah seorang dari para tergugat, dipilih oleh penggugat.
  4. Apabila pihak tergugat ada dua orang, yaitu yang seorang misalnya adalah yang berhutang dan yang lain penjaminnya, maka gugatan harus diajukan kepada pengadilan negeri pihak yang berhutang.
  5. Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak dikenal, gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri tempat tinggal penggugat.
  6. Atau kalau gugatan itu tentang benda tidak bergerak, dapat juga diajukan kepada pengadilan negeri dimana barang tetap itu terletak. 
B. Komulasi Gugatan.

Perkara perdata secara sederhana memang hanya melibatkan dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat dalam suatu sengketa yang diajukan ke muka sidang pengadilan. Namun demikian, dalam kenyataan sering terjadi, dalam suatu perkara terrdiri lebih dari satu orang penggugat melawan beberapa orang tergugat. Dan dapat juga penggugat mengajukan lebih dari satu tuntutan dalam satu perkara sekaligus.

Gabungan dari beberapa tuntutan dalam satu surat gugatan itulah yang sering dikatakan dengan komulasi gugatan. Hal ini diperbolehkan untuk mempermudah proses beracara dan menghindari kemungkinan dibuat putusan-putusan kontradiktif satu sama lain, dan bermanfaat dari segi proseduril serta tidak bertentangan dari prinsip cepat dan murah.

Secara teoritis dikenal dua macam komulasi gugatan, yaitu:
  1. Komulasi obyektif, penggabungan beberapa objek atau tuntutan ke dalam satu surat gugatan perkara sekaligus. Dengan kata lain, tuntutan beraneka macam tetapi perkaranya tunggal.
  2. Komulasi subyektif, penggabungan dua atau lebih subyek hukum dalam satu surat gugatan. 
Undang-Undang tidak melarang penggugat mengajukan gugatan terhadap beberapa orang tergugat, sesuai dengan pasal 4, 81, 107 Rv, 127 HIR, 151 RBg, 1283, 1284 BW, 18 WvK.  Terhadap komulasi subyektif ini tergugat dapat mengajukan keberatannya kepada hakim, demikian pula sebaliknya tergugat diberikan hak untuk meminta dilakukan komulasi subyektif, yaitu mengikutsertakan tergugat-tergugat lain dalam satu gugatan yang sama.

Tangkisan tergugat ini yang menyatakan bahwa masih ada orang lain yang diikutsertakan dalam sengketa sebagai pihak yang berkepentingan disebut dengan exception plurium litis consortium. Seyogyanya tuntutan-tuntutan yang diajukan terhadap banyak tergugat harus ada hubungan atau koneksitas satu sama lain.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir, Prof. Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
Kamarusdiana, S.Ag., MH., Buku Daras Hukum Acara Perdata, Ciputat: Fakultas Syari’ah dan Hukum, 2006.
Makaro, Moh. Taufik, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Mertokusumo, Prof. DR. Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1977.
Rasaid, SH., M. Nur, Hukum Acara Perdata, Padang: Sinar Grafika, 1995.

*Mahasiswa Program Studi Peradilan Agama Jurusan Akhwal Asy-Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2008.

Hymne UIN Jakarta

UIN harumlah namamu
Islam Dasar Tujuanmu
Menjadi lambang keagungan bangsa
Pengabdi Pancasila

Pembangun jiwa serta penggali
Cita Islam yang hak dan sejati
Citra Merdeka dan pancasila
Bertumpukan darma baktimu

Jayalah Negara, jayalah Bangsa
UIN bakti nyata

Tapok Talem

Tapok Kalem adalah permainan pada zaman dahulu yang biasanya dimainkan ketika anak-anak sedang berlibur atau tidak berkegiatan, seperti sekolah. Permainan ini seperti petak umpet, hanya saja permainan ini dilengkapi dengan beberapa alat bantu, seperti kaleng bekas. Kaleng bekas itu nantinya dilempar oleh si penjaga sampai jatuh semua. Jika sudah jatuh maka teman-teman yang lain segera bersembunyi. Bagi yang kalah nantinya akan dihukum yang akan ditentukan oleh teman-teman yang lain.

Kemandirian “Rumah” Ilmu Pengetahuan

Oleh Sulistyowati Irianto*

Sejak putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2009 mengakhiri status universitas sebagai badan hukum mandiri, terjadi debat yang tidak berkesudahan tentang apakah universitas harus otonom atau tidak.

Di sinilah awal kekacauan tentang apakah artinya “otonomi” dalam perspektif kepentingan universitas sebagai lembaga produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan.

Otonomi sebagai suatu terminologi dalam ilmu pengetahuan dikacaukan dengan pengertian awam sehingga timbul salah pengertian, bahkan konflik, yang tidak menguntungkan bagi kelangsungan pendidikan tinggi Indonesia. Otonomi seperti apa yang dibutuhkan oleh universitas bagi keberlangsungannya? Ada baiknya kita belajar dari Magna Charta Universitatum.

Para rektor universitas di Eropa berkumpul dalam perayaan 800 tahun universitas tertua Bologna, tahun 1988, dan menetapkan Magna Charta Univrsitatum. Mereka mempertimbangkan masa depan umat manusia yang akan sangat bergantung pada perkembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Penelitian yang dihasilkan universitas dianggap sangat penting. Tanggung jawab universitas adalah menyebarluaskan ilmu pengetahuan di kalangan generasi muda yang akan mengabdikan dirinya kepada masyarakat dan bangsa.

Dalam konteks ini, universitas wajib mendidik generasi muda dan mengajar mereka untuk menajamkan suara hati serta menhormati prinsip dan nilai dasar tentang kebenaran dan kejujuran. Suara hati adalah kepekaan untuk menimbang baik dan buruk, benar dan salah.

Prinsip Dasar
Pertama, universitas adalah institusi sendi dalam masyarakat yang harus dikelola secara khusus karena menghasilkan dan menguji ilmu pengetahuan berdasarkan riset dan pengajaran. Oleh karena itu, universitas harus otonom secara moral dan intelektual, terbebas dari otoritas politik dan kekuasaan ekonomi.

Kedua, pengajaran dan riset universitas tak dapat dipisahkan dari perkembangan kebutuhan dan panggilan masyarakat serta kemajuan ilmu pengetahuan.

Ketiga, kebebasan dalam riset dan pengajaran adalah prinsip dasar kehidupan universitas yang harus dihormati. Universitas harus menjamin penolakan terhadap intoleransi, selalu terbuka terhadap dialog, tempat ideal bertemunya para pengajar yang mampu mengkomunikasikan ilmu pengetahuan, serta sangat difasilitasi untuk mengembangkannya melalui riset dan inovasi.

Universitas adalah tempat bagi mahasiswa yang berhak, berkemampuan, dan berkeinginan memperkaya pemikirannya dengan ilmu pengetahuan.

Keempat, universitas berada di garis depan dalam pengembangan tradisi memuliakan kemanusiaan. Kepeduliannya secara konstan ditujukan untuk mencapai ilmu pengetahuan universal dan memenuhi panggilannya melampaui batas geografi, politik, dan mendukung kebutuhan vital untuk memahami keberagaman budaya.

Untuk dapat mewujudkan prinsip dasar itu dibutuhkan cara efektif, seperti menyediakan instrumen yang memadai untuk menjamin kebebasan riset dan pengajaran; membuat regulasi dalam mengangkat pengajar dan memperhatikan status kepegawaian mereka serta melindungi hak-hak mahasiswa untuk bertukar informasi, bekerja sama dengan para pengajar dalam kerja akademik.

Kasus UI
Penyelesaian kasus Universitas Indonesia dikhawatirkan akan berakhir dengan menjadikan UI sebagai satuan kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jika hal ini terjadi, runtuhlah simbol kejayaan dan prinsip dasar kemandirian universitas. Kaum cerdik pandai universitas hanya akan menjadi kepanjangan tangan kepentingan politik pemerintah, kemungkinan juga partai politik. Lebih buruk lagi, preseden ini bisa diikuti oleh perguruan tinggi negeri terkemuka lain di Indonesia.

Universitas adalah kekuatan moral. Oleh karena itu, otonomi universitas haruslah dipertahankan demi kelangsungan pendidikan tinggi untuk menghasilkan manusia Indonesia yang cerdas dan berkarakter.

Otonomi dalam pengertian ini adalah keseluruhan kemampuan institusi untuk mencapai misinya berdasarkan pilihannya sendiri. Otonomi butuh kesempurnaan dalam bidang akademik, tata kelola, dan manajemen keuangan. Jika hal itu tidak terjadi, otonomi telah disalahgunakan.

Otonomi universitas jangan sekali-kali dikaitkan dengan komersialisasi pendidikan, tak menentunya nasib pegawai, dan tata kelola universitas yang tidak terkontrol. Justeru kemandirian universitas harus menjamin kesejahteraan lahir batin setiap pengajarnya, tata kelola yang baik dan intoleran terhadap korupsi dan penyimpangan.

Otonomi dan akuntabilitas adalah dua sisi dari koin yang sama. Akuntabilitas memampukan institusi untuk meregulasi kebebasan yang ada padanya dengan cara otonom. Untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi, perlu perubahan tata kelola yang mendasar dari tingkat universitas, fakultas, sampai program studi secara menyeluruh.

Jika hal ini tak dilakukan, kita berutang kepada generasi muda mahasiswa yang kelak akan menentukan arah bangsa dan peradaban manusia secara global.

*Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia. Dan artikel ini pernah dimuat di Opini Kompas pada hari Rabu, 4 Januari 2012.

“Biar Negara Hangus Terbakar...”

Oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif*

Revolusi mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada 1945-1949 sungguh kritikal, melelahkan, tetapi syarat dengan harapan untuk menang. Ia menyisakan berjuta pengalaman suka duka, heroisme, dan idealisme dengan kualitas hampir tanpa cacat.

Sebagai anak kampung yang tersuruk di lembah Bukit Barisan dalam usia di bawah 14 tahun, saya tidak menyumbang apa pun untuk kepentingan revolusi itu. Sekiranya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pimpinan Sjafruddin Prawiranegara tidak menjadikan kampung saya, Sumpur Kudus, sebagai salah satu pusat pemerintahan gerilya selama beberapa minggu pada 1949, kampung ini-seperti ribuan desa lain di seluruh Nusantara-tidak akan pernah dicatat dalam peta perjuangan kemerdekaan.

Semboyan Perjuangan
Sebagai anak kampung yang lugu dengan pendidikan Sekolah Rakyat (SR) pada 1942-1947, tidak banyak yang singgah dalam memori saya tentang percikan api revolusi di lingkungan pedesaan yang terisolasi itu. Namun, bait lagu atau semboyan yang rasanya berbunyi: “Biar negara hangus terbakar, asal tidak dijajah lagi”, masih bertahan di otak saya sampai hari ini.

Saya tidak tahu siapa pencipta lagu atau semboyan yang sangat nasionalistis itu, yang getarannya dirasakan jauh sampai ke pelosok yang tak dikenal. Rakyat udik pun telah lama menjatuhkan talak tiga terhadap apa yang bernama penjajahan. Semboyan ini pun bergema pada saat-saat yang menentukan itu: merdeka atau mati!

Maka, tidak mengherankan apabila rakyat desa menyambut para pejuang kemerdekaan dengan semangat pengorbanan yang teramat tulus. Segalanya diberikan: harta dan jiwa tanpa mengharap imbalan apa pun. Inilah pengorbanan yang paling otentik yang dikenal dalam masa revolusi. Pemimpin dan rakyat hidup berdampingan tanpa jarak. Kesederhanaan adalah fenomena keseharian saat itu.

“Biar negara hangus terbakar” melambangkan sebuah tekad yang teramat kuat untuk menjadi bangsa merdeka. Sistem penjajahan pada masa lampau itu asing sifatnya harus segera dihalau, sekali dan untuk selama-lamanya.

Karena bercorak serba asing, apakah penjajah itu berhidung mancung atau bermata sipit, kita dengan sangat mudah mengenalinya. Kelakuannya serupa: zalim, diskriminatif, eksploitatif, opresif, dan represif. Rakyat terjajah tak dianggap manusia penuh. Semua kelakuan buruk dan busuk ini menyatu dengan sistem penjajahan itu.

Namun, setelah merdeka muncul kesulitan karena yang berkuasa telah digantikan oleh anak bangsa sendiri, sekalipun kelakuan buruk bisa saja berlanjut. Penguasa baru itu, yang saya kategorikan sebagai londo ireng, tidak jarang pula meneruskan sifat-sifat penjajahan yang tidak hirau dengan masalah keadilan dan nasib rakyat banyak. Akibatnya, sila kelima Pancasila berupa Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia masih tetap menggantung di awan tinggi, belum membumi untuk dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Zaman Bergerak, Sikap Berubah
Pada era 1950-an, beberapa tahun pascarevolusi, kesederhanaan gaya hidup para elite kita masih sangat terlihat. Bahkan, seorang perdana menteri hanya memakai baju hem lengan pendek saat dilantik Presiden. Kesenjangan sosial-ekonomi belum dirasakan benar. Maklumlah, negara dalam kondisi miskin.

Ada, memang, pertentangan ideologi politik antarpartai yang cukup tajam, tetapi tak pernah berdarah-darah. Jika ada darah yang tertumpah, itu semata-mata untuk melumpuhkan pemberontakan, seperti kasus DI/TII, dan sebelumnya terjadi pula pemberontakan PKI Madiun yang memang harus ditumpas.

Pada akhir 1950-an, dipicu oleh kesenjangan antara daerah dan pusat serta semakin dominannya pengaruh komunisme, pergolakan daerah sulit untuk dihindari dan penyelesaiannya pun berdarah-darah. Sesuatu yang sangat disayangkan.

Akan tetapi, gaya hidup para elite masih dalam batas normal. Kesederhanaan belum lagi meninggalkan panggung politik nasional. Pesta pora perkawinan yang ekstra mewah, seperti yang terlihat belakangan, jarang sekali terjadi. Roh proklamasi dengan pesan kesederhanaan dan egalitariannya masih belum pupus dari kehidupan para elite. APBN dan APBD ketika itu tak dijadikan sapi perahan oleh perselingkuhan penguasa atau politisi dan pengusaha.

Dengan bergeraknya zaman, berlaku pulalah pergeseran kelakuan. Batas-batas moral telah dilanggar semau gue. Sebagian pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif tanpa rasa malu telah sama berkubang dalam dosa dan dusta. Pernyataan-pernyataan politik dan hukum telah kehilangan otentisitasnya karena pada umumnya adalah untuk melestarikan kekuasaan dan berebut tulang. Dalam kondisi semacam ini, tuan dan puan akan sia-sia berharap perbaikan kehidupan rakyat banyak secara menyeluruh. Kekuasaan telah dijadikan tujuan.

Ironisnya, ia sering dibungkus dalam bahasa lembut, tetapi culas, demi kekuasaan dan uang. Teramat kecil jumlah anak bangsa ini yang masih berpikir tentang masa depan bangsa dan negara. Kepentingan kekinian yang serba pragmatis telah menjadi “agama”, mengalahkan tujuan jangka jauh bagi kelangsungan negara kepulauan yang cantik tetapi merana ini.

To have more and to use more (semakin banyak memiliki dan semakin banyak pula menggunakan), tulis Erich Fromm, adalah sifat masyarakat konsumeristik. Dikatakan bahwa masyarakat ini telah menghasilkan barang-barang tunaguna dan pada tingkat yang sama telah melahirkan pula manusia tak berguna. Namun, sudah demikian burukkah masyarakat Indonesia sekarang? Saya rasa belum, tetapi gejala ke arah itu telah semakin terang benderang. Jika tidak dibendung dengan seksama oleh seluruh kekuatan akal sehat yang sesungguhnya masih hidup dalam jiwa bangsa ini, jalan ke arah itu makin terbuka.

Akhirnya...
Semboyan masa revolusi yang berbunyi “Biar negara hangus terbakar, asal tidak dijajah lagi” telah digeser oleh filosofi pragmatis para elite: “Biar negara jadi sapi perahan dan korupsi merajalela, asal aku tetap berkuasa”. Lagi-lagi, kekuasaan telah dijadikan tujuan tertinggi.

Inilah penguasa londo ireng yang berlagak santun, tetapi hati nuraninya telah lama lumpuh. Dan, kelumpuhan nurani ini pulalah yang menjadi sumber utama dari segala macam ketidakberesan yang sedang menerpa Indonesia sekarang.

*Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah dan artikel ini pernah dimuat di Opini Kompas pada hari Rabu, 4 Januari 2012.