Monev Kinerja PNS Jakarta Timur 2023

Jakarta | Rabu, 20 Desember 2023 - Kepada yang terhormat, seluruh Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Lingkungan Suku Dinas Pendidikan Wilayah I Kota Administrasi Jakarta Timur.

Pembuatan Pesan Izin GDPR

Rabu, 1 November 2023 - Admin berniat ingin membuka google adsense guna mengecek penghasilan dari adsense,...

Asphalt 9: Ares S1 Grand Prix - Greenland Coastal Ice

Senin, 16 Oktober 2023 - Setelah mencoba tes rekam video melalui software Clipchamp, akhirnya gw mencoba kembali merekam video game.

Claim Daily Events Asphalt 9

Senin, 16 Oktober 2023 - Testing record video pake software Clipchamp.

Penginputan EKIN Bulan Juli 2023

Selasa, 1 Agustus 2023 - Info PTK memberitahukan kepada seluruh PNS dan CPNS di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta.

PT. HIJAS LINE TUJUH TUJUH - HIJAS TRANS 77
Tampilkan postingan dengan label Makalah Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Makalah Hukum. Tampilkan semua postingan

Hukum Islam pada Kerajaan Mataram

Oleh Dr. Sudirman Abbas

A. PENDAHULUAN

Penyebaran Islam dengan segala aspek yang terkandung di dalamnya telah berlangsung sejak lama di Nusantara (Indonesia), kapan mulainya, masih tetap menjadi perbedaan pendapat, karena ia disebarkan oleh pedagang-pedagang Arab, Parsi, dan Gujarat yang sulit ditentukan kapan sampainya di Nusantara. Ahli sejarah mencatat, telah lama terdapat komunitas Islam di daerah pantai Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan pulau-pulau lainnya, yang kemudian diikuti dengan berdirinya beberapa kerajaan yang bercorak Islam, seperti Pasai, Perlak, Demak, Pajang, Mataram, dan lain-lain.

Kerajaan Mataram Islam di Jawa Tengah telah memainkan peranan penting dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa khususnya dan daerah-daerah lain umumnya, di samping kerajaan-kerajaan Islam lainnya.

Dengan berdirinya kerajaan Islam tersebut, diperkirakan penguasa dan rakyatnya mengamalkan ajaran Islam dalam bentuk ibdah dan muamalah, yang secara umum dapat disebut dengan “hukum Islam”, baik secara kultural maupun institusional.

Menurut analisis Daud Ali, hukum Islam yang berlaku di Indonesia dapat dipilah menjadi dua; Pertama, hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis, yaitu hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan benda yang disebut hukum muamalah (perdata). Bagian ini menjadi hukum positif berdasarkan atau ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan, seperti perkawinan, warisan, dan wakaf. Kedua, hukum Islam yang bersifat normatif yang mempunyai sanksi kemasyarakatan. Ini bisa berupa ibadah murni atau hukum pidana. Ini menurutnya, tidak – atau terutama masalah pidana belum – memerlukan peraturan perundangan. Karena yang terakhir ini, lebih jelas sebagai tergantung kepada tingkat iman dan taqwa serta kesadaran kaum muslimin sendiri. (Rafiq, 1995 : 23)

Bila melihat pada masa lampau, khususnya kerajaan Mataram bagaimana pemberlakuan hukum Islam tersebut, baik secara kultural – normatif maupun formal yuridis – institusional. 

B. HISTORIS SEJARAH

Kerajaan Mataram merupakan kerajaan Islam di Jawa Tengah yang berdiri sejak runtuhnya Kesultanan Pajang pada tahun 1582 M. Riwayatnya menjadi salah satu episode penting dalam perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara (Indonesia) karena peranan penting yang dimainkannya sejak abad ke 16 sampai datangnya penetrasi Barat di Jawa Tengah. (Tim Redaksi, 3, 1993 : 198)

Pada mulanya daerah Mataram merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Pajang. Sebagai balas jasa atas pengabdian terhadap Kesultanan Pajang, Sultan Hadiwijoyo (1550-1582) menghadiahkan daerah ini kepada Kiai Agung Pemanahan. Daerah ini oleh Kiai Agung Pemanahan dibangun sebagai tempat pemukiman baru dan persawahan. Ia membangun pusat kekuasaan Plered dan menyiapkan strategi untuk menundukkan para penguasa yang menentang kehadirannya serta menaklukkan daerah-daerah sekitarnya. Pada tahun 1575, Kiai Agung Pemanahan meninggal dunia dan digantikan oleh putranya Sutowijoyo atau Pangeran Ngabehi Lor Ing Pasar. Sutowijoyo berusaha membebaskan diri dari Pajang, sehingga membawa ketegangan yang menimbulkan peperangan. Dalam peperangan itu Kesultanan Pajang mengalami kekalahan. Pada tahun 1582, Pangeran Ngabehi Lor Ing Pasar mengangkat dirinya sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati Ing Alogo setelah Sultan Pajang meninggal dunia. Ia mulai membangun kerajaannya dan kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke Kotagede. (Graaf, 1989 : 281-282; Tim Redaksi, 3, 1993 : 199)

Untuk memperluas daerah kekuasaannya ia melancarkan ekspansi ke daerah lain, seperti Madiun, Surabaya, Kediri, Jipang, Pasuruan, Tuban, dan lain-lain. Ia terus-menerus memperluas kekuasaan sampai ia meninggal pada tahun 1601. Kemudian digantikan oleh putranya Mas Jolang atau Panembahan Krapyak, yang memerintah pada tahun 1601-1613. Setelah Pangeran Krapyak meninggal, ia digantikan oleh Raden Mas Ransang yang berkuasa pada tahun 1613-1645. Pada masa pemerintahannyalah kerajaan Mataram meraih kejayaan terbesar, baik dalam bidang ekspansi militer maupun dalam bidang agama dan kebudayaan. Dialah raja Mataram pertama yang menerima pengakuan dari Makkah sebagai seorang sultan, kemudian mengambil gelar selengkapnya “Sultan Agung Anyakrakusuma Senopati Ing Alogo Ngabdurrahman” (secara harfiah berarti raja yang agung, pangeran yang sakti, panglima perang, dan pemangku amanah Tuhan Yang Maha Kasih). (Tim Redaksi, I, 1993 : 66; Tim Penulis, I, 1992 : 68)

Raja-raja Mataram sesudah Sultan Agung adalah Amangkurat I (Sunan Tegalwangi) memerintah pada tahun 1645-1677; Amangkurat II (Adipati Anom) memerintah pada tahun 1677-1703; Amangkurat III (Sunan Mas) memerintah pada tahun 1703-1708; Paku Buwono I (Sunan Puger) memerintah pada tahun 1708-1719; Amangkurat IV (Sunan Prabu Mangkunegara) memerintah pada tahun 1719-1727; Paku Buwono II memerintah pada tahun 1727-1749. Pada tahun-tahun berikutnya kekuasaan Mataram semakin sulit karena berhadapan dengan penjajahan Belanda. Wilayah kekuasaan Mataram semakin terpecah belah setelah berakhirnya Perang Giyanti (1755). Berdasarkan perjanjian Giyanti, Mataram dipecah menjadi dua, yakni Mataram Surakarta dan Mataram Yogyakarta. Pada tahun 1757 dan 1813, perpecahan terjadi lagi dengan munculnya Mangkunegara dan Pakualam. Setelah perpecahan itu penguasa Mataram Surakarta dan Mataram Yogyakarta sampai sekarang dapat dilihat pada halaman berikut. 

C. PENGARUH ISLAM PADA MATARAM

Pengaruh Islam terhadap kerajaan Mataram dan masyarakatnya tidak terlepas dari pengaruh penyebaran agama Islam di Jawa pada umumnya. Menurut Babad Tanah Djawi, penyebaran agama Islam di Jawa dilakukan oleh Wali Songo, sembilan orang mubaligh yang dianggap sebagai orang saleh. Mereka itu adalah: (Muchtarom, 1988 : 21)
  1. Sunan Gresik, yang wafat di Gresik tahun 1419 dan dikenal sebagai Maulana Malik Ibrahim atau Maulana Maghribi. Orang percaya bahwa ia mubaligh Islam pertama di Jawa yang datang untuk berdagang dan mencapai pangkat Syahbandar serta mendirikan pesantren untuk murid-muridnya.
  2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat, wafat tahun 1427, yang mendirikan pesantren di Ampel dekat Surabaya. Ia telah mengusulkan Raden Fatah sebagai khalifah di Demak dengan gelar Sultan Syah Sri Alam Akbar al-Fatah.
  3. Sunan Bonang atau Makhdam Ibrahim, wafat tahun 1525, adalah putra Sunan Ampel. Ia memimpin pengislaman di Jawa bagian Pantai Timur Laut. Makamnya di Bonang (Tuban).
  4. Sunan Drajat atau Syarifuddin, wafat tahun 1572, seorang putra yang lain dari Sunan Ampel.
  5. Sunan Giri atau Raden Paku, wafat tahun 1530. Ia mendakwahkan Islam di sebelah Timur Pulau Jawa.
  6. Sunan Kudus atau Ja’far Sadiq, wafat tahun 1560, berpengaruh pada pengislaman di sepanjang Pantai Utara Jawa Tengah dan dimakamkan di Kudus.
  7. Sunan Murya atau Raden Prawoto, adalah tokoh yang menggunakan gamelan (orkes tradisional Jawa) untuk menghimbau orang masuk Islam, dan dimakamkan di Gunung Murya dekat Kudus.
  8. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, mengislamkan Jawa Barat dan meninggal tahun 1570.
  9. Sunan Kalijaga atau Raden Syahid, wafat tahun 1585, mengislamkan Jawa Tengah bagian Selatan. Ia berpengaruh di antara kaum bangsawan.
Para wali itu mempunyai pesantrennya masing-masing, tempat para santri menelaah ajaran Islam. Para Wali Songo bukan saja pembuka kurun baru dalam Islam di Jawa yang mengakhiri zaman Jawa Hindu-Buddha, melainkan juga menguasai zaman berikut yang dikenal sebagai “Jaman Kuwalen” (zaman para wali). Mereka merupakan angkatan pertama para pemimpin religius-politik Jawa Islam. Para wali tersebut semuanya berkerabat dengan para bangsawan setempat melalui perkawinan atau karena keturunan.

Islam di Jawa tidak menyebabkan diadakannya umat tersendiri atau pemisahan antara kaum Hindu-Buddha dan Muslim. Metode pengislaman disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat dan sejalan dengan metode yang sebelumnya dipakai dalam penyebaran Hindu-Buddha, sebab para wali terutama Sunan Kalijaga masuk ke pedalaman Jawa, mendirikan pemukiman-pemukiman religius, di sana bersaing dengan ajaran Hindu-Buddha di bidang kesaktian. Di mana-mana diadakan usaha khusus untuk mengislamkan masyarakat dan untuk mendakwahkan Islam dengan menggunakan wayang. (Muchtarom, 1988 : 24)

Penyebaran Islam yang hampir merata di Pulau Jawa berbarengan dengan berdirinya kerajaan Mataram yang bercorak Islam, digerakkan dari istana sultan, membawa pengaruh kuat terhadap semakin meluasnya perkembangan Islam di tengah-tengah masyarakat. Ajaran Islam diamalkan secara bertahap menyesuaikan dengan kebiasaan masyarakat. Pemuka agama menghendaki pemberlakuan hukum Islam melalui saran dan nasehat kepada penguasa untuk ditetapkan sebagai kebijaksanaan kerajaan. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga terhadap Panembahan Senopati. Kebijakan-kebijakan itu berpuncak pada masa kekuasaan Mataram yang dipegang oleh Sultan Agung, sehingga banyak perubahan dilakukan untuk pelaksanaan ajaran (hukum) Islam. 

D. PEMBERLAKUAN HUKUM ISLAM 

Raja Mataram yang paling besar jasanya dalam pemberlakuan hukum Islam, baik dalam bentuk kultural maupun institusional adalah Sultan Agung. Dicatat oleh ahli sejarah, di samping sukses dalam pengembangan wilayah, ia juga memperlihatkan keberhasilan dalam bidang agama dan kebudayaan, karena ekspansi dalam perluasan wilayah disemangati oleh keinginan untuk mengislamkan daerah-daerah tersebut.

Diungkapkan, betapa Sultan Agung telah berhasil membangun ibukota Mataram di Kerta dan mendirikan Keraton Plered yang seringkali dikaitkan dengan lahirnya peradaban Jawa. Peninggalan Sultan Agung yang legendaris adalah usaha pembaharuannya dalam kalender Jawa. Sebagaimana diketahui, sebelum masuk pengaruh Islam, kalender yang dikenal di Jawa didasarkan pada sistem matahari yang lebh terkenal dengan kalender Saka. Sementara Islam memakai kalender dengan sistem bulan (Qamariyah) yang juga disebut sebagai kalender Hijriyah. Sultan Agung mencoba menyelaraskan kedua sistem itu dengan menyatukannya serta menjadikannya sebagai kalender resmi Mataram. Ciri kalender tersebut adalah penggunaan sistem bulan (Hijriyah) dengan menggunakan tahun Saka. Dalam sistem baru ini terdapat perubahan nama bulan, misalnya bulan Safar dalam tahun Hijriyah menjadi Sapar dalam tahun Jawa, Rajab menjadi Rejeb, Zulkaedah menjadi Dulkangidah, Muharam menjadi Sura, dan Ramadhan menjadi Pasa. Ciri lain terlihat pada hari yang dikenal sebagai hari pasaran yaitu Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing, Wuku, dan Wuwu (dua yang terakhir tidak ditemukan lagi sekarang). Sistem ini diresmikan pada tanggal 8 Agustus 1633 / 1 Muharam 1043 atau 1 Sura 1555 tahun Jawa.

Upacara peninggalan leluhur sejak zaman Majapahit, seperti “Asmawenda dan Asmaradhahana” tetap dilakukan. Misalnya, dalam upacara Garebeg yang telah dimodifikasi, dikenal tiga macam bentuk, yakni Garebeg Pasa, Garebeg Besar pada hari Idul Adha, dan Garebeg Mulud pada saat memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw.

Kerajaan Mataram Islam memiliki andil besar dalam pengembangan dan penyiaran Islam di Jawa. Banyak usaha yang dilakukan pada masa itu, antara lain pendirian rumah-rumah ibadah, penerjemahan naskah Arab, penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa, dan pendirian pesantren-pesantren. (Tim Redaksi, 3, 1993 : 202)

Di luar peranan politik militer, Sultan Agung dikenal sebagai penguasa yang besar perhatiannya terhadap perkembangan Islam di tanah Jawa. Ia adalah pemimpin taat beragama, sehingga banyak memperoleh simpatik dari kalangan ulama. Ia secara teratur pergi ke masjid dan para pembesar diharuskan mengikutinya. Untuk memperkuat suasana keagamaan, tradisi khitan, memendekkan rambut, dan menggunakan tutup kepala berwarna putih dinyatakan sebagai ketentuan syariat yang harus ditaati. Struktur serta jabatan kepenghuluan di dalam sistem kekuasaan kerajaan. Tradisi keagamaan seperti shalat Jum’at di masjid, Garebeg Puasa Ramadhan, dan upaya pengamalan syariat Islam merupakan bagian tak terpisahkan dari tatanan intern istana. Dialah yang membangun tempat pemakaman keluarga raja di Imogiri (12 km di sekatan Yogyakarta), sementara raja-raja pendahulunya dimakamkan di sebelah masjid Kotagede. (Tim Redaksi, I, 1993 : 67)

Selain itu menarik diungkapkan apa yang dikemukakan oleh Zaini Ahmad Noeh, bahwa di antara bentuk dan sistem pemerintahan kerajaan Islam di Indonesia yang nampaknya meninggalkan ciri-ciri pada sistem pemerintahan Republik Indonesia dewasa ini, adalah kerajaan Mataram di Jawa, terutama ciri dalam menempatkan bidang agama sebagai bagian dari pemerintahan umum. Jabatan keagamaan di tingkat desa disebut Kaum, Amil, Modin, Kayim, Lebai, dan sebagainya selalu ada di samping Kepala Desa. Pada tingkat kecamatan atau kewedanaan selalu ada seorang Penghulu Naib, yang kini dikenal sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Pejabat Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk (NTR). Pada tingkat kabupaten, seorang bupati didampingi oleh seorang Patih untuk bidang-bidang pemerintahan umum dan seorang Penghulu Kabupaten di bidang agama. Pada tingkat pemerintahan pusat kerajaan Mataram, baik untuk Surakarta maupun Yogyakarta dijumpai jabatan Kanjeng Penghulu atau Penghulu Agung. Penghulu Agung dan Penghulu Kabupaten berfungsi pula sebagai “Hakim” pada majelis Pengadilan Agama yang ada waktu itu. Fungsi dan jabatan itu tetap berlaku, sekalipun kekuasaan untuk mengangkat dan pemberian wewenang itu diambil alih oleh penguasa Kolonial Belanda. Pengangkatan atau pemberian wewenang, yakni “tauliyah” oleh penguasa Belanda tidak mengurangi legitimasi mereka dalam melaksanakan tugas peradilan sesuai dengan ketentuan Fiqh. Bahkan adanya Departemen Agama dalam tata pemerintahan Republik Indonesia dewasa ini merupakan kelanjutan dan perkembangan sistem pelaksanaan tugas pemerintahan di bidang agama semenjak kerajaan Mataram. (Lev, 1986 : 3-4)

Melihat kepada sistem pemerintahan bahwa adat istiadat dan kebiasaan pemerintahan di Jawa adalah bentuk susunan pemerintahan Mataram di mana ada tiga serangkai jabatan, yaitu Raja/Bupati, Patih, dan Penghulu (termasuk tata kotanya dengan pola; Keraton, Alun-Alun, dan Masjid) sebagai manifestasi gelar Raja Mataram yang berbunyi: Hingkang Sinuhun (yang dipertuan), Senopati Hing Ngalogo (Panglima Perang), Sayidin Panagatama Kalipatullah (Pengatur Urusan Agama sebagai Pengganti Rasulullah). Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya disebut “Kaum”, yang jumlahnya untuk setiap ibukota (pusat dan kabupaten) selalu tidak kurang dari 40 orang, jumlah itu adalah untuk memenuhi syarat sahnya shalat Jum’at sesuai ajaran Madzhab Syafi’i dan mereka memperoleh tanah jabatan (ambtserven) di belakang masjid besar yang disebut kampung kauman. Adapun sasaran tugas mereka adalah pelayanan bidang peribadatan dan urusan-urusan yang temasuk hukum keluarga/perkawinan. Sedangkan tugas mengatur dunia dibebankan kepada Pepatih Dalem (Patih) sebagai pelaksana pemerintahan umum dan sekaligus pemerintahan militer. (Noeh, 1994 : 105)

Untuk pengangkatan penghulu ada ditemukan surat perintah dari Raja (Tauliyah Imam) yang berisi (terjemahannya) sebagai berikut: (Noeh, 1994 : 113-114)
Surat Perintah !
  1. Aku mengangkat-mu menjadi penghulu. Aku izinkan untuk melaksanakan hukum Syara’ dan sebagainya, yang termasuk jenis bab ibadah, dan yang pantas engkau percayakan kepada anak buahku Pamutihan. Ibadah yang engkau percayakan seperti Imam shalat Jum’at dan shalat berjama’ah dan sebagainya.
  2. Dan hukumku yang aku berikan dalam serambiku bentuknya seperti talak, waris, wasiat, suami-isteri, atau barang gono gini dan sebagainya, selanjutnya pelaksanaan keputusan aku percayakan kepadamu. Apa sudah benar serta mufakat ijtihad dari anak buahku Ketib Ulama dan sebagainya.
  3. Dan aku percayakan kepada dikau kahidupan agama dari anak buahku di Surakarta semuanya, sekuatmu cara dikau mengajarkan, begitu pula anak buahku Pradikan dan Kaum dan sebagainya, yang termasuk dalam pegawaiku Pamutihan bagi semaraknya agama Rasul, cara engkau melaksanakan apa yang benar menurut hukum, aku juga sudah percayakan padamu.
  4. Adapun tentang Hak-ku sebagai Wali Hakim dan menikahkan anak buahku rakyat, yang sudah jelas pemeriksaannya, pada hari ini aku serahkan kepadamu, tentang izin pernikahannya tadi seterusnya sampai terlaksana, menurut apa yang sudah menjadi adat. Ke semuanya itu dalam cara engkau melaksanakan apa yang sudah aku perintahkan tersebut semua, hendaknya teliti serta hati-hati dan hendaknya tabah berani menurut apa yang benar diputus oleh pengadilanku.
Dengan demikian terlihat bahwa lembaga peradilan agama sejak zaman kerajaan Mataram sudah ada walaupun masih bernama Pengadilan Surambi, untuk menyelesaikan maslah hukum Islam yang hidup di tengah-tengah masyarakat waktu itu, di samping urusan peribadatan dan pendidikan.

Dalam hal ini, Abdul Gani Abdullah mengemukakan bahwa lembaga Peradilan Agama lahir di Jawa-Madura sejak adanya suatu kasus hukum Islam di antara pemeluk agama Islam, terutama kasus dalam bidang perkawinan, perceraian, kewarisan, dan lain-lain. Sudah dapat diperkirakan bahwa pada awal penyebaran Islam di Jawa dan Madura terdapat kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian atau kasus kewarisan. Perselisihan antara suami-isteri lebih banyak frekuensinya dibandingkan dengan kematian pewaris yang menjadi titik tolak lahirnya kasus kewarisan.

Sejak saat adanya tuntutan penyelesaian kasus-kasus tersebut mulai adanya tuntutan diselenggarakannya lembaga peradilan agama dalam lingkungan masyarakat hukum yang bersangkutan. Lahir dan bentuk majelis hakimnya cenderung diwujudkan dengan keadaan sosial politik masyarakat hukum itu sendiri. Dengan demikian Islam datang ke Pulau Jawa dan Madura (termasuk Mataram – pen.) tidaklah membawa seperangkat lembaga peradilan agama dengan segala perlengkapan majelis hakimnya sehingga pada saatnya lembaga itu dapat difungsikan atau diterapkan untuk menyelesaikan kasus-kasus seperti yang digambarkan di atas. Tidak pula peradilan itu merupakan suatu kebulatan lengkap yang dibawa agama Islam yang harus diterapkan begitu saja. Akan tetapi Islam datang membawa kaedah-kaedah pokok tentang perlunya lembaga peradilan agama bagi sekelompok masyarakat. Kaedah-kaedah pokok itu memberii ajaran ijtihad yang membuka kemungkinan dijadikannya keadaan masyarakat hukum tertentu sebagai pertimbangan dalam menetapkan hukum dan atau lembaga peradilannya.

Agama Islam datang ke Jawa dan Madura (termasuk Mataram – pen.) menawarkan tiga kelembagaan peradilan agama untuk diterapkan dengan pertimbangan keadaan sosial politik masyarakat hukum, yakni bentuk Tauliyah dari Imam, bentuk Tauliyah dari Ahl al hilli wa al aqdi, dan bentuk Tahkim. Bentuk-bentuk itu menunjukkan bahwa agama Islam tidak menyuguhkan konsep peradilan menurut perspektif yang bermaksud menerapkan suatu perangkat peradilan yang telah dirakit sebelum adanya masyarakat Islam. Dengan kata lain, bahwa Islam tidak menyiapkan suatu perangkat peradilan. Akan tetapi suatu konsep di mana pada suatu keadaan, konsep peradilan itu dapat dilaksanakan dengan memberiikan tekanan penerapan sesuai dengan keadaan sosial politik masyarakat hukum Islam dan dengan sendirinya keadaan itulah yang menentukan bentuk kelembagaan dan sistem peradilan agama itu.

Proses lembaga peradilan agama yang demikian telah mencapai tingkat Tauliyah Imam, seperti yang terjadi dengan lahirnya Pengadilan Surambi pada masa kerajaan Mataram, di mana Sultan Agung memiliki “Perangkat Tauliyah” dalam kedudukannya sebagai imam. Dalam kedudukannya sebagai Sultan, ia memegang dan memimpin majelis tertinggi pengadilan itu.

Pengadilan Surambi itu, pada asalnya merupakan bagian dari Pengadilan Perdata dalam lingkungan kerajaan Mataram yang selalu mengadakan sidang-sidang majelis hakimnya di serambi masjid yang menjadi pangkal tolak lahirnya Pengadilan Surambi. Pengadilan Surambi mempunyai wewenang, yakni Pertama, untuk melaksanakan tugas sebagai sebuah lembaga pengadilan untuk memeriksa dan memutus perkara yang berkaitan dengan masalah perkawinan, perceraian, dan segala akibatnya serta masalah kewarisan. Kedua, Pengadilan Surambi difungsikan sebagai lembaga pemberi nasehat atau sebuah pertimbangan untuk memberi nasehat atau pertimbangan kepada Sultan menurut hukum Islam. Jika suatu keputusan Sultan yang belum mendapat pertimbangan dari Pengadilan Surambi, maka keputusan belum dapat dilaksanakan. Proses yang demikian dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan, apakah keputusan yang akan dilaksanakan itu terdapat indikasi yang menunjukkan pertentangan dengan hukum Islam atau tidak. Hal itulah yang menempatkan lembaga Pengadilan Surambi itu sebagai salah satu lembaga pendamping Sultan. (Abdullah, 1987 : 38-41)

Kekuasaan dan wewenang Peradilan Agama dipersempit dan dibatasi oleh kaum kolonial dengan mengeluarkan berbagai ordonansi, peraturan-peraturan, dan sebagainya. Hal inipun diperlakukan terhadap kerajaan Mataram setelah kolonial Belanda dapat menguasainya, sehingga pelaksanaan hukum Islam setelah pengaruh kolonial Belanda itu menjadi tersendat-sendat.

Djamil Latif mengungkapkan bahwa Peradilan Agama di Indonesia sebenarnya merupakan instansi yang sudah cukup tua usianya. Lebih tua dari Departemen Agama sendiri dan bahkan lebih tua dari usia negara kita. Ia sudah ada sejak munculnya kerajaan Islam di bumi Nusantara ini. Ia muncul berbarengan dengan berdirinya kerajaan Samudera Pasai, Aceh, Demak, Mataram, Banten, Cirebon, dan lain-lain. Pada saat mula timbulnya peradilan agama tidak hanya mengurus perkara-perkara yang berhubungan pribadi saja (Al-Akhwal Asy-Syakhsiyyah) atau lebih sempit dari itu (nikah, talak, dan rujuk) tetapi juga hukum perdata dalam arti luas. Tegasnya Peradilan Agama merupakan Peradilan Umum bagi umat Islam pada waktu itu, yang menyelesaikan segala persoalan yang berkaitan dengan hukum Islam dan umat Islam. (Latif, 1983 : 9)

E. PENUTUP

Baik secara kultural maupun institusional hukum Islam telah pernah diberlakukan pada kerajaan Mataram, walaupun ada penyesuaian dengan adat sebelumnya Hindu-Buddha. Secara institusional terbukti dengan adanya jabatan terntentu yang menangani masalah agama di samping Raja/Sultan/Bupati/Senopati. Jabatan ini mulai dari tingkat pemerintah pusat (keraton) sampai tingkat desa dengan adanya istilah Penghulu Agung, Penghulu Kabupaten, Penghulu Naib, Kaum, Amil, Modin, dan lain-lain. Petugas agama tersebut lebih banyak melaksanakan tugasnya di masjid dan untuk menyelesaikan perkara yang diajukan kepada mereka dilakukan di serambi masjid, sehingga dikenal dengan Pengadilan Surambi. Di antara wewenang petugas agama tersebut adalah:
  1. Mengurus masalah ibadah masyarakat.
  2. Mengurus masalah pendidikan dengan adanya pesantren-pesantren (walaupun dalam bentuk sederhana).
  3. Menyelesaikan perkara yang diajukan kepada mereka yang meliputi perkawinan, perceraian, warisan, tanah wakaf, dan lain-lain.
  4. Memberikan pertimbangan kepada pejabat dalam mengambil suatu kebijaksanaan di wilayah kekuasaannya.
Wallahu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Abdul Gani, Badan Hukum Syara’ Kesultanan Bima 1947-1957 Sebuah Studi Kasus Peradilan Agama, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1987.

Berg, L.W.C. Van Den, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, Jakarta: INIS, 1989.

Graaf, H.J. De, Runtuhnya Istana Mataram, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987.

          , Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa Peralihan dari Majapahit ke Mataram, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989.

           , Puncak Kekuasaan Mataram, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990.

Latif, Djamil, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1983.

Lev., Daniel S., Peradilan Agama Islam di Indonesia, Terjemahan H. Zaini Ahmad Noeh, Jakarta: Intermasa, 1986.

Muchtarom, Zaini, Santri dan Abangan di Jawa, Jakarta: INIS, 1988.

Noeh, Zaini Ahmad, Kepustakaan Jawa sebagai Sumber Sejarah Perkembangan Hukum Islam, dalam “Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia”, Sebuah Kenangan 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH., Jakarta: PP-IKAHI, 1994.

Rahardjo, Sutjipto, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni, 1983.

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

TIM Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.

TIM Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.

Diketik oleh : Moh. Hibatul Wafi

Etika Dalam Profesi Bidang Hukum & Praktek Kepengacaraan (Keadvokatan)

Oleh Moh. Hibatul Wafi*

BAB I
ETIKA DALAM PROFESI BIDANG HUKUM

A. LANDASAN TEORI ETIKA DAN PROFESI.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan etika ialah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan tentang hak serta kewajiban moral; kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.  Istilah etika menghubungkan penggunaan akal budi perseorangan dengan tujuan untuk menentukan kebenaran atau kesalahan dan tingkah laku seseorang terhadap orang lain.

Dalam bahasa Indonesia, perkataan etika lazim juga disebut susila atau kesusilaan yang berasal dari Sanskerta, yaitu su (indah) dan sila (kelakuan). Jadi, kesusilaan mengandung arti kelakuan yang baik dan berwujud kaidah, norma (peraturan hidup kemasyarakatan).  Selain itu dalam Ensiklopedi Indonesia, dijelaskan bahwa etika berasal dari bahasa Inggris yakni Ethics, yang mengandung arti ilmu tentang kesusilaan, yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat mengenai: apa yang baik dan apa yang buruk; segala ucapan harus senantiasa berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan tentang perikeadaan hidup dalam arti kata seluas-luasnya.

Menurut Magnis Suseno (1991: 15), salah satu fungsi utama etika yaitu untuk membantu kita mencari orientasi secara kritis dalam berhadapan dengan moralitas yang membingungkan. Di sini terlihat, bahwa etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas, dan yang dihasilkannya secara langsung bukan kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis. Maka dalam pengertian tersebut, perlu dicari dengan alasan sebagai berikut: 
  1. Kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik, juga dalam bidang moral.
  2. Modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur kebutuhan dan nilai masyarakat.
  3. Adanya berbagai ideologi yang menawarkan diri sebagai penuntun hidup.
  4. Diperlukan oleh kaum agama, yang di satu pihak menemukan dasar kemantapan mereka dan di lain pihak mau berpartisipasi tanpa takut-takut dengan tidak menutup diri dalam semua kehidupan masyarakat.
Secara sistematis, etika dibedakan menjadi etika umum dan etika khusus. Kemudian, etika khusus dibedakan lagi menjadi etika individual dan etika etika sosial. Etika umum membahas tentang prinsip-prinsip dasar dari moral, sedangkan etika khusus menerapkan prinsip-prinsip dasar dari moral itu pada masing-masing bidang kehidupan manusia. Etika khusus individual memuat kewajiban manusia terhadap diri sendiri, dan etika sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota umat manusia. 

B. PROFESI- PROFESI DALAM BIDANG HUKUM.

Dengan perkembangan zaman yang begitu cepat, sebenarnya profesi di bidang hukum sangat beragam. Akan tetapi, tanpa disadari bahwa bantuan dan jasa hukum terkadang sering terabaikan dengan kondisi bangsa Indonesia yang sangat memburuk. Hal ini tanpa adanya dukungan dari pemerintah terhadap calon penegak hukum yang selanjutnya, di mana profesi hukum sering terabaikan bahwa masyarakat luas mempunyai pandangan yang bermacam-macam, mulai dari Pengacara yang sulit hidupnya karena tidak jelas apa yang akan ditangani. Jaksa yang sering dipersepsikan mendapatkan sogokan atau suap hingga Hakim yang dinilai tidak bijaksana dalam memutuskan perkara perdata, pidana, tata usaha negara, niaga, ataupun perkara lainnya.

Profesi di bidang hukum memang tidak akan lepas dari hal-hal yang bersifat analitis, teoritis, logis, sistematis, dan bahkan tidak terkecuali administratif. Adapun pembagian profesi dalam bidang hukum yang dilandaskan pada teori atau doktrin bagi sistem hukum (corpus juris), antara lain sebagai berikut:
  1. Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman adalah UU No. 48/2009 dalam pasal 1 ayat (1), tersebut berbunyi “Kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum RI”. Undang-undang ini sangatlah penting, karena merupakan induk dari KUHAP, yang merupakan sumber hukum utama hukum acara pidana. Hakim adalah pejabat dalam peradilan negara yang diberikan kewenangan untuk mengadili sebuah perkara. Dalam suatu sidang perkara perdata dan pidana, biasanya terdiri dari 3 orang hakim, satu hakim ketua dan dua hakim anggota. Kecuali untuk peradilan acara cepat hanya ada satu hakim untuk setiap perkara. Kekuasaan yang merdeka berarti tidak boleh ada campur tangan dari pihak eksekutif (pemerintah), maupun legislatif. Seperti yang telah disebutkan dalam Bab Hukum Perdata Formal (Hukum Acara Perdata), maka kekuasaan kehakiman ini dilakukan oleh pengadilan-pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
  2. Kejaksaan. Undang-Undang yang mengatur tentang Kejaksaan adalah UU No. 16/2004 dalam pasal 1 ayat (1), tersebut berbunyi “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Jaksa dinaungi oleh organisasi yang bernama Kejaksaan Republik Indonesia. Adapun tugasnya yang sesuai dengan pasal 30 ayat (1), antara lain: (a) Mengadakan penuntutan; (b) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (c) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; (d) Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; (e) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
  3. Kepolisian Negara. Undang-Undang yang mengatur tentang Kepolisian Negara ini adalah UU No. 2/2002 dalam pasal 1 ayat (1), tersebut berbunyi “Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Untuk memelihara keamanan di dalam negeri ini, Kepolisian Negara mempunyai tugas yang luas sekali, di antaranya adalah memelihara ketertiban, menjamin keamanan umum, mencegah dan memberantas menjalarnya penyakit masyarakat, memelihara keselamatan orang, benda, dan masyarakat, termasuk melindungi serta memberikan pertolongan. Khususnya dalam bidang peradilan, Kepolisian Negara bertugas untuk mengadakan penyelidikan atas kejahatan dan pelanggaran menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan peraturan negara lainnya. Untuk pelaksanaan tugas penyelidikan tersebut, Kepolisian Negara berwenang sebagai menerima pengaduan, menangkap orang, menggeledah badan, menahan orang sementara, menggeledah, dan lain-lain.
  4. Pengacara atau Advokat. Undang-undang yang mengatur hal ini adalah UU No. 18/2003. Advokat adalah orang yang mendampingi pihak yang berperkara untuk memastikan klien yang didampingi mendapatkan hak-hak yang semestinya dalam melakukan tindakan hukum. Setiap orang yang telah lulus sarjana hukum bisa menjadi advokat, asalkan mengikuti pendidikan profesi advokat dan lulus ujian profesi advokat yang diadakan oleh organisasi profesi advokat. Untuk masyarakat yang tidak mampu, akan tetapi butuh didampingi advokat, maka dapat meminta bantuan kepada lembaga yang menyediakan bantuan hukum, seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
  5. Notaris. Notaris merupakan jabatan yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat, yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004.
  6. Juris (ahli hukum), guru besar (dosen). Juris atau guru besar dalam perkembangan ilmu hukum sangat besar kontribusinya, mereka mendidik para mahasiswa hukum, menjadi saksi ahli dalam persidangan, melakukan aktivitas advokasi kebijakan, dan melakukan studi.
Selain itu juga masih banyak profesi-profesi di bidang hukum, seperti arbiter, juru sita, penuntut umum, kurator, mediator, panitera pengadilan, peneliti hukum, dan sebagainya.

C. ETIKA DALAM PROFESI BIDANG HUKUM.

Secara jujur harus diakui, bahwa pengembangan etika profesi hukum di Indonesia kurang berjalan dengan baik dalam dunia hukum kita. Banyak pelanggaran etika profesi yang tidak mendapat penyelesaian secara tuntas, bahkan terkesan didiamkan. Lembaga semacam dewan atau majelis pertimbangan, profesi yang bertugas menilai pelanggaran etika masih belum berwibawa di mata para anggotanya. Kondisi demikian menyebabkan bahan kajian etika profesi hukum di Indonesia menjadi sangat kering dan berhenti pada ketentuan-ketentuan normatif yang abstrak. Padahal, kajian ini pasti akan lebih menarik jika dibentangkan bersama. Contoh kasus nyata yang dihadapi para fungsionaris hukum kita. Munculnya berbagai organisasi profesi sejenis dengan kode etiknya sendiri-sendiri, semakin mengurangi nilai kajian ini di mata orang-orang yang mempelajari etika profesi hukum. 

Contoh lain misalnya, dalam peradilan yang sesat, yang merupakan di mana kepolisian, kejaksaan, pengacara, dan kehakiman dalam menangani kasus-kasus hukum ini yang disalahgunakan, dan bisa disebut dengan peradilan yang menangani kasus tersebut, adanya teatrikal. Seharusnya mereka menegakkan hukum, tapi dalam praktek lapangannya adalah berdagang atas nama hukum dan kekuasaan. Jadi, kajian ini adalah mengilustrasikan apa yang ada dalam praktek hukum berbeda ketika berada di lapangan, yaitu dalam bermasyarakat.

BAB II
PRAKTEK KEPENGACARAAN (KEADVOKATAN)

Advokat menurut Pasal 1 ayat (1) UU Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan pada undang-undang ini. Selanjutnya dalam UU Advokat dinyatakan bahwa advokat adalah penegak hukum yang memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya, seperti hakim, jaksa, dan polisi.

Advokat dalam bahasa Indonesia sehari-hari lebih sering/popular disebut sebagai Pengacara atau Kosultan Hukum. Namun sejak diundangkannya UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sebagai undang-undang pertama yang lahir sejak kemerdekaan Republik Indonesia yang khusus mengatur tentang keberadaan Advokat sebagai suatu profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum dan perlunya untuk dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakkan supremasi hukum, istilah yang dipergunakan hanya Advokat, tidak lagi mengenal istilah “pengacara maupun konsultan hukum”.

Di Indonesia, advokat termasuk profesi yang menjanjikan, terbukti dengan jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, Indonesia hanya memiliki kurang lebih 100 ribu advokat. Yang berarti jumlah advokat kurang dari 5% dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia. Dengan banyaknya kasus-kasus yang terjadi, faktanya belum tentu semua perkara yang ada dapat diselesaikan oleh para advokat yang ada. Oleh karena itu, advokat menjadi suatu profesi yang sangat diminati oleh masyarakat, khususnya bagi para Sarjana Hukum dan Sarjana Syari’ah. Karena investasinya yang menjanjikan daripada profesi hukum lainnya.

Dengan alasan inilah, syarat untuk menjadi seorang advokat pun dirumuskan, baik oleh Pemerintah maupun organisasi advokat itu sendiri. Menjadi advokat, lebih mudah diraih daripada bercita-cita menjadi pegawai negeri sipil. Karena hal yang paling diperlukan untuk menjadi seorang advokat secara individual adalah keberanian. Secara Undang-Undang, jalan yang harus ditempuh untuk menjadi advokat disebutkan dalam:
  1. Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat: “Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat”. Dalam penjelasan dari Pasal 2 ayat (1) disebutkan, yang dimaksud dengan “berlatar belakang pendidikan tinggi hukum” adalah lulusan fakultas hukum, fakultas Syari’ah, perguruan tinggi hukum militer, dan perguruan tinggi ilmu kepolisian. Dua lulusan pendidikan tinggi hukum terakhir telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi dari undang-undang ini sehingga Sarjana Syari’ah setara dan hanya bersaing dengan Sarjana Hukum. Melalui pasal inilah jalan untuk menjadi advokat bagi Sarjana Syari’ah terbuka lebar. Sebagaimana yang kita ketahui sebelumnya, menjadi advokat bagi Sarjana Syari’ah sangatlah sulit bahkan tidak mungkin, karena dianggap tidak mampu dalm menjalankan profesi ini. Dengan adanya penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, seluruh Sarjana Syari’ah dapat menjadi Advokat tanpa halangan asal dapat memenuhi persyaratan yang telah diatur.
  2. Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyebutkan, untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) Warga Negara Republik Indonesia; (b) Bertempat tinggal di Indonesia; (c) Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara; (d) Berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun; (e) Berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum, sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1); (f) Lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat; (g) Magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat; (h) Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; (i) Berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi; 
Penjelasan:
  • Tidak Berstatus Sebagai Pegawai Negeri atau Pejabat Negara. Masalah ini menjadi perdebatan ketika dibicarakan mengenai diperbolehkannya pegawai negeri yang menjadi dosen di perguruan tinggi untuk menjadi Advokat khususnya pada bidang non-litigasi. Beberapa anggota DPR, mempertanyakan kenapa harus ada kekhususan kepada para dosen ? Mengapa tidak juga diberikan kepada pegawai negeri yang lainnya seperti pegawai biro hukum pada berbagai departemen dan staff pembinaan hukum pada POLRI maupun TNI ? Dengan berbagai pertimbangan atas perdebatan yang muncul maka disepakati bahwa seluruh pegawai negeri sipil dan militer tidak dapat menjadi Advokat, dengan ketentuan bahwa tidak ada larangan bagi para dosen yang tergabung pada lembaga bantuan hukum dari universitasnya untuk memberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma. Karena undang-undang ini tidak mengatur tentang bantuan hukum.
  • Batas Umur Maksimum Untuk Menjadi Advokat. Persoalan umur ini menjadi perdebatan yang sangat alot diantara anggota DPR, ketika ada usulan bahwa syarat maksimum seseorang untuk menjadi Advokat adalah 40 tahun (bukan syarat seorang Advokat harus pension, karena tidak ada umur pension untuk Advokat). Usulan ini berdasarkan pertimbangan bahwa seseorang yang hendak berprofesi sebagai Advokat haruslah dimulai sejak awal sehingga diharapkan akan menekuni profesi Advokat secara serius dan dapat bekerja secara lebih professional. Pada sisi lain ada para anggota yang tidak ingin adanya pembatasan umur maksimum itu, beralasan bahwa profesi Advokat adalah profesi bebas, swasta yang dapat saja dilakukan oleh setiap orang yang ahli di bidang hukum. Karena itu profesi advokat membutuhkan keahlian yang dapat saja dijalani oleh siapa saja yang merasa ahli di bidang hukum. Masalah akan dipakai oleh masyarakat atau tidak, hal itu diserahkan pada mekanisme pasar. Oleh karena itu, tidak perlu ada batas umur maksimum untuk menjadi advokat. Akibat persoalan ini, pembahasan RUU Advokat tertunda sampai hamper satu tahun. Pada akhirnya ketika saat mengakhiri tugasnya, Panitia Kerja memutuskan untuk tidak membatasi umur maksimum ini.
  • Hanya Sarjana Hukum atau Termasuk Sarjana Syari’ah. UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat telah memberikan kemungkinan kepada Sarjana Syari’ah untuk menjadi Advokat, akan tetapi hanya terbatas untuk berpraktek di lingkungan Peradilan Agama. Pertimbangannya karena pekerjaan seorang yang berprofesi Advokat harus benar-benar seorang juris yang mendalami ilmu hukum secara khusus. Pada sisi lain terdapat usulan bahwa Sarjana Syari’ah harus diperlakukan sama dengan Sarjana Hukum untuk menjadi Advokat dan tidak boleh ada diskriminasi, dengan pertimbangan bahwa Sarjana Syari’ah juga mempelajari Ilmu Hukum serta mendalami secara khusus Ilmu Hukum Islam. Masalah apakah jasanya dipakai oleh masyarakat atau tidak diserahkan kepada masyarakat, asal mereka lulus seleksi untuk menjadi Advokat. Perdebatan ini melebar sampai pada masalah, mengapa Advokat Sarjana Hukum boleh praktek di lingkungan Peradilan Agama, tetapi Sarjana Syari’ah tidak boleh praktek pada lingkungan Peradilan Umum? Perdebatan masalah ini menjadi lebih rumit karena Pemerintah pada akhirnya setuju dengan usulan diperbolehkannya Sarjana Syari’ah diperlakukan sama dengan Sarjan Hukum lulusan Fakultas Hukum, akan tetapi para Advokat yang menjadi anggota Tim Pemerintah tetap tidak setuju dengan usulan baru ini, bahkan menimbulkan perdebatan dan kontroversi yang mengemuka di media massa. Setelah melalui perdebatan panjang serta proses lobby antar fraksi dan pemerintah, persoalan ini diputuskan pada Rapat Pleno Komisi II bersama Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia yaitu pada detik-detik akhir pengambilan keputusan atas seluruh materi RUU ini dengan mengakomodir usulan diperbolehkannya Sarjana Syari’ah dan juga termasuk sarjana dari perguruan tinggi hukum lainnya (termasuk Sarjana Sekolah Tinggi Hukum Militer dan Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian) untuk menjadi Advokat asal lulus seleksi. Walaupun akhirnya, disetujui Sarjana Syari’ah dan Sarjana Perguruan Tinggi Hukum lainnya diperlakukan sama dengan Sarjana Hukum untuk menjadi Advokat, tetapi Advokat Adnan Buyung Nasution yang mewakili Organisasi Advokat memberikan catatan keberatannya.
Hak Imun bagi Advokat disinggung dalam Pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat: “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas dan profesinya dengan i’tikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan”. Walaupun tidak secara eksplisit menjelaskan tentang hak imun, namun pasal ini mewakili definisi hak imun bagi advokat adalah hak yang dimiliki oleh advokat berbentuk kekebalan hukum dalam menjalankan profesinya sebagai advokat untuk membela klien di muka pengadilan. Dalam pasal ini, ada 2 (dua) syarat hak imun seorang advokat yaitu:
  1. Beri’tikad baik.
  2. Di dalam Pengadilan.
Syarat yang pertama tidak menjadi perdebatan di kalangan para ahli hukum, yang menjadi kontroversi adalah syarat yang kedua. Banyak para pakar berpendapat bahwa seorang advokat memiliki kekebalan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan dalam membela kliennya karena syarat yang paling utama adalah harus adanya i’tikad baik, pendapat ini dikemukakan oleh Ketua Umum PERADI, Otto Hasibuan dan Hamdan Zoelva (sebagai salah satu penyusun UU Advokat).

Namun sayangnya pendapat kedua pakar ini bertolak belakang dengan bunyi yang tertera jelas dalam Pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat “dalam sidang pengadilan”. Sehingga jalan keluarnya adalah harus ada amandemen penjelasan pasal ini sebagai tindak lanjutnya. Di dalam Pasal 10  ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dinyatakan bahwa advokat berhenti atau diberhentikan dari profesinya secara tetap karena alasan:
  • Atas permohonan sendiri.
  • Dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 4 (empat) tahun atau lebih.
  • Berdasarkan keputusan Organisasi Advokat yang disampaikan kepada Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan lembaga penegak hukum lainnya.
*Mahasiswa Program Studi Jurusan Akhwal Asy-Syakhsiyyah Fakultas Syari'ah & Hukum Universitas Syarif Hidayatullah Ciputat Semester 12. Makalah ini untuk memenuhi tugas Sosiologi Hukum, dan juga pernah dibagikan di Artikel Angkringanwarta.

DOWNLOAD FORMAT PDF & WORD

Cara Mengajukan Gugatan (Posita & Petitum) Serta Komulasi Gugatan

Oleh: Moh. Andreansyah, M. Ibnu Rahman, dan Siti Ummu Kulsum*

A. Cara Mengajukan Gugatan.

Gugatan disebut sebagai tuntutan hak yang mengandung sengketa atau disebut sebagai tuntutan perdata (burgelijke vordering) yang terdapat dalam pasal 118 ayat 1 HIR (pasal 142 ayat 1 RBg). Gugatan dapat diajukan baik secara tertulis (pasal 118 ayat 1, 142 ayat 1 RBg) maupun secara lisan (pasal 120 HIR, 144 ayat 1 RBg).

Dalam perkara gugatan ada suatu sengketa yang harus diselesaikan dan diputuskan oleh pengadilan. Di sini Hakim berfungsi sebagai hakim yang mengadili dan memutus siapa di antara pihak-pihak yang benar dan siapa yang tidak benar. 

Apabila suatu perkara tidak dapat diselesaikan secara damai oleh pihak-pihak yang berperkara, maka jalan terakhir yang dapat ditempuh adalah minta penyelesaian melalui pengadilan. Untuk itu penggugat mengajukan gugatan kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang. Dalam HIR dan RBg hanya mengatur tentang caranya mengajukan gugatan, sedang tentang mengenai isi dari pada gugatan tidak ada ketentuannya.

Dalam mengajukan gugatan ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam surat gugatan yang harus termuat pokok-pokoknya:
  1. Keterangan lengkap mengenai pihak-pihak yang berperkara (identity of the parties), yaitu nama, umur, alamat, pekerjaan, agama.
  2. Dasar gugatan (posita/fundamentum petendi) yang memuat uraian tentang kejadian atau peristiwa (factual grounds), dan uraian tentang hukum (legal grounds).
  3. Tuntutan yang dimohonkan penggugat agar diputuskan oleh hakim (petitum). Tuntutan dapat dirinci lagi menjadi dua macam, yaitu tuntutan primer (primary clain), yang merupakan tuntutan pokok; dan tuntutan subsider (subsidiary clain), yang merupakan tuntutan pengganti bila tuntutan pokok ditolak oleh hakim. 
Dalam identity of the parties atau ciri-ciri penggugat dan tergugat status kawin atau tidak perlu dicantumkan. Dalam fundamentum petendi atau dasar tuntutan terdiri dari dua bagian, yaitu bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa dan bagian yang menguraikan tentang hukum. Uraian tentang kejadian merupakan penjelasan duduknya perkara, sedang uraian tentang hukum ialah uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari pada tuntutan.

Dalam surat gugatan, dasar gugatan harus jelas dan tegas serta mendukung tuntutan (petitum) penggugat, agar petitum itu mendapatkan jawabannya di dalam dictum atau amar putusan. Setiap peristiwa atau kejadian yang mendukung hubungan hukum harus diuraikan secara kronologis dan sistematis, sehingga setiap kalimat tuntutan diharapkan dapat diterima oleh pengadilan, agar hakim mudah memahami isi petitum, yang bertujuan untuk memudahkan hakim menilai apakah dasar gugatan merupakan sebab yang menjadi alasan penggugat minta dikabulkan isi tuntutannya. Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 16 Desember 1970 berpendapat bahwa tuntutan yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat berakibat tidak diterimanya tuntutan tersebut. Jadi, Mahkamah Agung menyamakan tuntutan yang “tidak jelas” dengan yang “tidak sempurna”.

Dalam Ilmu Hukum Acara Perdata dikenal dua macam teori tentang penyusunan surat gugatan, yaitu:
  1. Substantieringstheorie, yang menyatakan bahwa dalam surat gugatan perlu disebutkan atau diuraikan rentetan kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan.
  2. Individualiseringstheorie, yang menyatakan bahwa kejadian-kejadian yang disebutkan dalam surat gugatan harus cukup menunjukkan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan, sedangkan sejarah terjadinya tidak perlu disebutkan sekaligus dalam surat gugatan, karena hal itu dapat dikemukakan dalam sidang disertai pembuktiannya. 
Dalam cara mengajukan yang tidak kalah pentingnya, yang harus diperhatikan adalah kemana gugatan diajukan. Secara garis besar, pasal 118 HIR/142 RBg mengatur hal tersebut yang mengatakan:
  1. Gugatan perdata yang dalam tingkat pertama, masuk wewenang pengadilan negeri.
  2. Jika tidak diketahui tempat tinggal penggugat, gugatan diajukan pada pengadilan negeri tempat kediaman tergugat.
  3. Apabila tergugat terdiri dari dua orang atau lebih, gugat diajukan pada tempat tinggal salah seorang dari para tergugat, dipilih oleh penggugat.
  4. Apabila pihak tergugat ada dua orang, yaitu yang seorang misalnya adalah yang berhutang dan yang lain penjaminnya, maka gugatan harus diajukan kepada pengadilan negeri pihak yang berhutang.
  5. Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak dikenal, gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri tempat tinggal penggugat.
  6. Atau kalau gugatan itu tentang benda tidak bergerak, dapat juga diajukan kepada pengadilan negeri dimana barang tetap itu terletak. 
B. Komulasi Gugatan.

Perkara perdata secara sederhana memang hanya melibatkan dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat dalam suatu sengketa yang diajukan ke muka sidang pengadilan. Namun demikian, dalam kenyataan sering terjadi, dalam suatu perkara terrdiri lebih dari satu orang penggugat melawan beberapa orang tergugat. Dan dapat juga penggugat mengajukan lebih dari satu tuntutan dalam satu perkara sekaligus.

Gabungan dari beberapa tuntutan dalam satu surat gugatan itulah yang sering dikatakan dengan komulasi gugatan. Hal ini diperbolehkan untuk mempermudah proses beracara dan menghindari kemungkinan dibuat putusan-putusan kontradiktif satu sama lain, dan bermanfaat dari segi proseduril serta tidak bertentangan dari prinsip cepat dan murah.

Secara teoritis dikenal dua macam komulasi gugatan, yaitu:
  1. Komulasi obyektif, penggabungan beberapa objek atau tuntutan ke dalam satu surat gugatan perkara sekaligus. Dengan kata lain, tuntutan beraneka macam tetapi perkaranya tunggal.
  2. Komulasi subyektif, penggabungan dua atau lebih subyek hukum dalam satu surat gugatan. 
Undang-Undang tidak melarang penggugat mengajukan gugatan terhadap beberapa orang tergugat, sesuai dengan pasal 4, 81, 107 Rv, 127 HIR, 151 RBg, 1283, 1284 BW, 18 WvK.  Terhadap komulasi subyektif ini tergugat dapat mengajukan keberatannya kepada hakim, demikian pula sebaliknya tergugat diberikan hak untuk meminta dilakukan komulasi subyektif, yaitu mengikutsertakan tergugat-tergugat lain dalam satu gugatan yang sama.

Tangkisan tergugat ini yang menyatakan bahwa masih ada orang lain yang diikutsertakan dalam sengketa sebagai pihak yang berkepentingan disebut dengan exception plurium litis consortium. Seyogyanya tuntutan-tuntutan yang diajukan terhadap banyak tergugat harus ada hubungan atau koneksitas satu sama lain.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir, Prof. Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
Kamarusdiana, S.Ag., MH., Buku Daras Hukum Acara Perdata, Ciputat: Fakultas Syari’ah dan Hukum, 2006.
Makaro, Moh. Taufik, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Mertokusumo, Prof. DR. Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1977.
Rasaid, SH., M. Nur, Hukum Acara Perdata, Padang: Sinar Grafika, 1995.

*Mahasiswa Program Studi Peradilan Agama Jurusan Akhwal Asy-Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2008.