PT. HIJAS LINE TUJUH TUJUH - HIJAS TRANS 77

Nilai-Nilai Keraton Nusantara dalam Perkembangan Peradaban

Oleh Ahmad Salehudin*

Dalam sebuah diskusi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Desember 2010, seorang narasumber dengan “nada bercanda” mengatakan bahwa keraton adalah kera yang ditonton. Tak pelak, candaan tersebut memantik protes dari masyarakat Yogyakarta. Bahkan sang narasumber dilaporkan ke polisi dan rumahnya digerebek massa. Kejadian empat tahun yang lalu tersebut sangat menarik untuk melihat bagaimana “orang” melihat keraton. Ada banyak yang mendukung, namun tidak sedikit yang mencibirnya. Mereka yang mendukung menggap bahwa keraton merupakan simbol “peradaban” dan identitas sebuah daerah sehingga bersikap tidak hormat dianggap melecehkan dan menghina daerah tersebut. Dan untuk itu semua, tidak sedikit orang yang berela hati untuk mengorbankan jiwaraganya. Sedangkan mereka yang mencibir beranggapan bahwa keraton merupakan simbol feodalitik yang tidak cocok dengan alam modern yang demokratis, sehingga keraton harus “ditiadakan”, baik secara langsung atau tidak langsung. Namun demikian, kita patut mengajukan pertanyaan, apakah keraton tidak boleh hidup di Negara ini? Bukankah di negara-negara Eropa, seperti Inggris dan Belanda, sistem kerajaan masih tetap dipelihara?

Jika diamati secara serius mendalam, munculnya kelompok pendukung dan kontra keraton dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dan ekonomi politik. Faktor sosial budaya dan ekonomi politik memberikan referensi mereka yang mendukung ataupun yang kontra untuk melihat keraton dan bagaimana cara “memperlakukannya”. Keraton –dengan sekian macam variannya—merupakan tapak sejarah (baca: prasasti) peradaban manusia. Keraton –bagi bangsa Indonesia-- merupakan “masalalu” yang membentuk masakini dan masa depan. Sebagai prasasti, maka untuk memahami keraton kita harus masuk ke dalam kosmologi keraton, dan menggunakan worldview mereka untuk memahaminya. Mereka yang menggunakan kacamata modernitas tidak akan mampu melihat, memahami dan menilai keraton secara benar dan tepat, karena memiliki paradigma yang berbeda. Misalnya, bagi para pendukung demokrasi, keberadaan Keraton dimana sistem kepemimpinanya diwariskan secara turun-temurun pastilah bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Pemahaman yang benar dan tepat atas keraton bukan untuk “membekukan” dan menjaga keraton untuk tidak berubah sama sekali, tetapi bagaimana pemahaman tersebut dapat digunakan sebagai bekal dan landasan untuk melakukan transformasi keraton yang selaras dengan perkembangan zaman namun tanpa kehilangan jatidirinya. Selain itu, sebagai tapak sejarah peradaban, pemahaman yang benar dan tepat terhadap keraton dapat menjadi sumber inspirasi untuk membangun bangsa Indonesia agar mencapai kejayaan dan terselamatkan dari kesesatan. Misalnya dengan melakukan kajian atas kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, kita akan tahu bagaimana kedua kerajaan tersebut membangun kejayaannya dengan berlandaskan kepada kondisi alamnya. Selain itu, kita juga dapat mengambil pelajaran agar tidak “karam” sebagaimana yang dialami oleh Sriwijaya dan Majapahit. Namun demikian, harus disadari bahwa keraton tidak mungkin bertahan untuk tidak berubah sama sekali, tetapi bagaimana keraton berdialog dengan masa kini, untuk merumuskan masa depan tanpa kehilangan ke-jatidirian-nya.

Tulisan ini akan dimulai dengan pembahasan tentang keraton sebagai simbol peradaban, dan dilanjutkan dengan pembahasan tentang nilai-nilai yang menopang keraton-keraton di Nusantara.  Setelah itu dilanjutkan dengan pembahasan tentang bagaimana nilai-nilai tersebut ditransformasikan baik untuk kepentingan keraton, maupun untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Penutup dari tulisan ini adalah kesimpulan yang merupakan ekstraksi dari pemaparan-pemaparan dari pembahasan sebelumnya.

Keraton-keraton Nusantara merupakan tapak sejarah perjalanan hidup bangsa Indonesia. Sebagai bagian dari sejarah perjalanan bangsa, maka sudah sewajar dan seharusnya jika kita memposisikan keraton sebagai bagian untuh dari perjalanan bangsa ini. Namun demikian, ada juga pihak-pihak yang terus berupaya untuk menegasikan keberadaan keraton karena beranggapan keraton “tidak sejalan” dengan perkembangan zaman. Dalam sejarah Indonesia misalnya, walaupun dalam buku-buku sejarah dituliskan dan diajarkan peran penting keraton-keraton dalam kemerdekaan Indonesia, bahkan menjadi sumber inspirasi bagi Indonesia dalam membangun ideologi bangsanya, peran keraton sempat dimarginalkan. Baru pada zaman reformasi, ketika setiap kelompok masyarakat memiliki kebebasan untuk menyatakan pendapat dan menunjukkan eksistensinya, keberadaan keraton-keraton Nusantara mulai kembali diakui.

“Mengangkat batang terendam” bukan persoalan mudah. Pun demikian dengan upaya untuk mengembalikan eksistensi keraton-keraton Nusantara tersebut juga bukan persoalan yang mudah, karena setting sosial budaya dan ekonomi politik yang menopangnya sudah jauh berbeda dari zaman dimana keraton-keraton tersebut dulunya eksis. Misalnya terkait dengan kekuasan raja atau sultan, tentu tidak dimungkinkan mengembalikan kekuasaan raja atau sultan seperti sebelum kemerdekaan. Revitalisasi keraton tentu saja harus berlandaskan kepada tata-aturan perundangan yang berlaku, sehingga keberadaan keraton dapat menjadi sumbangan positif dalam upaya mendorong kejayaan Indonesia. Namun demikian, perlu juga dipahami bahwa dalam merevitalisasi keraton juga harus didasarkan nilai-nilai yang dimiliki oleh keraton.

Keraton tidak semata-mata sebuah sistem pemerintahan yang hidup pada zaman dan wilayah tertentu. Keraton adalah manifestasi dari multi-nilai yang hidup dan diyakini oleh masyarakat pendukungnya. Keraton adalah simbol dari tapak peradaban. Menurut Geertz (1992: 3), simbol berfungsi untuk mensintesiskan suatu etos bangsa. Dengan memposisikan keraton sebagai simbol peradaban, maka melalui keraton kita dapat mengetahui bagaimana etos masyarakat yang menjadi pendukung dari keraton tersebut. Menurut Geertz, etos bangsa tersebut meliputi nada, ciri, dan kualitas kehidupan mereka, moralnya dan gaya estetis dan suasana hati mereka, dan pandangan dunia mereka, yaitu gambaran yang mereka miliki tentang cara bertindak, gagasan-gagasan paling komprehensif tentang gagagsan.

Dengan memposisikan keraton sebagai manifestasi dari etos “bangsa” yang mendukungnya, maka untuk memahaminya kita perlu masuk dan menggunakan bahasa dan istilah-istilah yang digunakan oleh keraton. Kita tidak mungkin memahami keraton hanya berdasarkan sistem nilai modernitas. Misalnya melihat penting tidaknya merevitalisasi keraton dengan menggunakan semata-mata ukuran demokrasi hanya akan menghasilkan kesimpulan yang kurang tepat dan tidak bermanfaat untuk keraton. Dengan memposisikan keraton sebagai sebuah simbol dari sebuah tahapan proses peradaban, maka kita senantiasa akan menyadai betapa pentingnya keberadaan keraton. Keberadaan bangsa Indonesia saat ini, dengan Pancaila sebagai ideologinya, merupakan gerak lanjut dari proses dari perdaban untuk menjadi lebih baik. Jika saat ini lebih baik, bukan berarti yang lebih dulu menjadi tidak baik, tetapi dapat menjadi sumber informasi bagaimana sebuah nilai tersebut berproses dan menjadi seperti saat ini.

Untuk memhami nilai-nilai yang terkandung dalam keraton, harus dibangun kesadaran bahwa keraton-keraton Nusantara yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia tidak hanya tumbuh dalam setting historis tertentu, tetapi juga berkembang berdasarkan interaksinya dengan lingkungannya. Perkembangan historis dapat dilihat dari sejarah bagaimana sebuah keraton dibangun dan didirikan. Ada sebuah ide yang hendak dibangun dan direalisasikan dibalik pendirian sebuah keraton. Munculnya ide-ide tersebut merupakan hasil dari proses interaksi dengan lingkungannya. Keraton-keraton yang berada di daerah pesisir cenderung memiliki karakter yang berbeda dengan keraton-keraton yang berada di daerah pedalaman. Interaksi antara keraton dengan lingkungaannya tersebut menyebabkan setiap keraton memiliki keunikan-keunikan tersendiri dalam proses pembentukan dan perkembangannya.

Jika masih sepakat memposisikan keraton sebagai “simbol” sebagaimana diajukan oleh Geertz di atas, yaitu sebagai manifestasi etos bangsa, maka keraton adalah potret dari salah satu pencapaian kebudayaan masyarakat.  Kebudayaan menurut Geertz (1992: 3) adalah suatu pola makna-makna yang diteruskan secara historis yang terwujud dalam simbol-simbol. Keraton dengan demikian adalah pola makna-makna. Dengan kata lain, dengan memahami pola makna-makna tersebut, kita akan mengetahui apa yang terkandung dalam simbol keraton. Lebih lanjut, Geertz mengatakan bahwa kebudayaan adalah suatu sistem konsep-konsep yang diwariskan yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis yang dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan dan memperkembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan.

Keraton adalah cara sebuah masyarakat berkomunikasi, melestarikan dan memperkembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan. Membicarakan tentang kehidupan dan sikap-sikap kehidupan keraton, ada empat model interaksi yang menjadi pembentuknya, yaitu interaksi keraton dengan lingkungan alamnya, interaksi keraton dengan keraton yang lain, dan interaksi keraton dengan kebudayaan global.

Interaksi keraton dengan lingkungan alamnya maksudnya membentuk dan menumbuhkan kesadaran kosmologi keraton-keraton Nusantara yang unik. Ada tiga hal yang menjadi perwujudan dari kosmologinya. Pertama, kesadaran untuk membangun budaya bahari. Keraton menyerap pengetahuan dari alam sekitarnya, tidak saja untuk merumuskan strategi dalam menyikapi alamnya, tetapi juga bagaimana membangun pengetahuan untuk merumuskan strategi bagaimana meraih kejayaannya. Sejarah awal keraton-keraton di Nusantara menunjukkan hal tersebut. Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit membangun kejayaanya dengan memanfaatkan potensi alamnya, yaitu membangun budaya maritim. Memperkuat budaya maritimnya sebagai pengejawantahan dari kesadaran atas lingkungannya telah menjadikan kerajaaan Sriwijaya dan Majapahit memiliki pengaruh yang luar biasa dalam percaturan sosial budaya dan ekonomi politik tidak saja di asia tenggara, tetapi juga di dunia. Dalam konteks Indonesia kini, kerajaan Sriwijaya dan Majapahit telah menjadi sumber inspirasi bagaimana mengembangkan dan memperkembangkan Indonesia.

Kedua, merumuskan tata ruang keraton. Berdasarkan pengalaman mengunjungi berbagai situs keraton-keraton Nusantara, penulis mengetahui bahwa keraton-keraton berdekatan dengan air besar: lautan atau sungai-sungai besar. Selain kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, kita dapat menyaksikan situs-situs keraton nusantara berada dekat dengan sungai-sungai besar, seperti Kesultanan Yogyakarta, Solo, kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat dan di Sumatera Timur. Pemahaman atas kosmologinya dapat juga dilihat dari karya seni dan lukisan-lukisan yang terdapat di keraton. Ketiga, kesadaran kosmologi keraton-keraton Nusantara juga menjadi landasan dalam pengembangan teknologinya, khususnya teknologi transportasi laut. Dari relief-relief candi yang ada di Indonesia, dapat kita ketahui bahwa perahu dan kapal-kapal dari kerajaan Nusantara dapat menjelajah hingga daerah-daerah yang sangat jauh. Pelaut-pelaut Bugis dengan kapal Pinisinya mampu menjelajahi berbagai macam belahan dunia. Dengan berdasarkan kepada teknologi kapal lautnya, Mahapatih Gajah Mada berobsesi menyatukan Nusantara.

Berdasarkan kemajuan teknologi kapal yang dimiliki kerajaan-kerajaan Nusantara saat itu, penulis ingin mengajukan tesis baru terkait sejarah masuknya agama-agama “asing” ke Indonesia. Jika selama ini kita menganggap bahwa budaya India dengan Agama Hindu dan Buddhanya yang datang ke Nusantara, maka dengan kenyataan bahwa India saat itu tidak memiliki teknologi kapal yang canggih, kita perlu mengajukan tesis baru terkait masuknya budaya India ke Nusantara. Yaitu bahwasannya bukan India yang datang ke Indonesia, tetapi orang-orang dari Nusantara yang dengan sengaja mengunjungi dan belajar India. Akibat dari proses yang demikian itu, agama Hindu dan Buddha yang ada di Indonesia relative berbeda dengan yang ada di tanah asalnya India. Hal ini semakin membuktikan bahwa bukan India yang mempengaruhi masyarakat Nusantara, tetapi masyarakat Nusantara yang secara kreatif “menyerap” budaya India sesuai dengan kebutuhannya.

Kejayaan kerajaan-kerajaan Nusantara sebagai bangsa bahari lambat laun mulai tergerus seiring masuknya kolonialisme ke bumi Nusantara. Kaum penjajah merekonstruksi ulang kesadaran masyarakat Nusantara dari kesadaran bahari menjadi kesadaran berbasis daratan. Proses ini ditandai dengan mulai berkembangnya sistem pertanian dan perkebunan. Kaum penjajah memaksa masyarakat untuk memalingkan muka dari lautan menuju daratan. Jika pada awalnya peradaban dibangun dengan memangku air (baca: lautan), maka pasca masuknya kolonialisme berubah menjadi memunggungi lautan. Setelah sekian lama terlupakan, saat ini muncul kembali kegairahan untuk memangku laut, dan semoga nyanyian nenek moyangku seorang pelaut kembali terdengar membanggakan.

Sedangkan interaksi keraton dengan masyarakatnya maksudnya keberadaan keraton sebagai sebuah simbol yang berpusat kepada raja atau sultan, tidak dapat dipisahkan dari komunitas pendukungnya. Sebagai sebuah simbol, keraton akan tetap bernilai dan tetap memiliki fungsi legitimasi selama masih didukung oleh masyarakatnya. Sedangkan apabila ditinggalkan, maka dengan sendirinya simbol itu akan kehilangan fungsinya. Sebagai pusat kosmos dan wakil Tuhan di muka bumi misalnya, seorang sultan atau raja tidak semata-mata mendapatkan “pengabdian” dari rakyatnya, tetapi juga harus membayar pengabdian rakyatnya tersebut dengan memberikan dan menyediakan kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakatnya. Jika fungsi-fungsi tersebut hilang,  maka raja atau sultan akan kehilangan legitimasinya dan ditinggalkan pengikutnya. Dalam konteks ini maka benar apa yang disampaikan oleh Raja Ali Haji dalam karyanya Gurindam Duabelas: raja adil disembah raja lalim disanggah.

Dalam sejarah perkembangan keraton-keraton Nusantara, kita banyak menemukan keraton-keraton yang runtuh karena ditinggalkan oleh para pendukungnya. Dalam perjalanan mengunjungi salah satu situs keraton di Kalimantan Barat, penulis bertemu dengan seorang raja. Sang raja bercerita bahwa lembaga adat yang menaungi keraton-keraton di Kalimantan Barat menghimbau agar ritual-ritual keraton yang kurang sesuai dengan ajaran agama ditinggalkan. Merespon himbauan tersebut, sang raja mengatakan bahwa dia lebih baik  keluar dari lembaga adat tersebut jika harus menghilangkan tradisi keraton karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama. Sikap lain misalnya disampaikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang mendedikasikan “tahtanya” kepada rakyat. Apa yang dilakukan sang Raja merupakan hasil dari interaksinya dengan masyarakatnya.

Dalam sejarah keraton Nusantara, masuknya penjajahan asing yang hanya berorientasi ekonomi telah menyebabkan perubahan interaksi antara keraton dengan masyarakatnya. Keraton yang pada awalnya “melayani” rakyat, berubah haluan dengan menjadi “pelayan” kaum penjajah. Pemimpin yang seharusnya “hanya” didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting, menjadi sangat jauh dan bahkan melupakan kepentingan-kepentingan rakyatnya.

Interaksi keraton dengan keraton yang lain maksudnya Dalam membangun nilai-nilainya, keraton tidak hanya terpaku dengan wilayahnya sendiri, tetapi berinteraksi dengan keraton-keraton lainnya. Interaksi ini dapat dilihat dari adanya jaringan-jaringan antara keraton-keraton di Nusantara. Di Kerajaan Sintang misalnya, terdapat “patung” burung garuda, seperangkat gamelan, dan tanah yang diberikan Majapahit untuk pernikahan Patih Logender yang merupakan prajurit Majapahit dengan Dara Juanti putri kerajaan Sintang. Dalam perkembangannya, patung burung garuda tersebut menginspirasi Sultan Kadriyah Pontianak untuk menjadikannya sebagai lambang negara Indonesia.

Interaksi antara keraton tersebut, telah memunculkan kesadaran baru tentang perlunya menumbuhkan semangat persatuan, kerjasama, dan saling menghormati. Selain aspek tersebut, interaksi keraton dengan keraton lainnya telah menyebabkan adanya sharing kebudayaan sehingga masing-masing kerajaan dapat saling belajar. Mungkin bukan sebuah kebetulan gelar raja, struktur pemerintahan, ritual-ritual antara keraton yang satu dengan keraton yang lainnya seringkali terdapat kemiripan.

Interaksi keraton dengan kebudayaan global maksudnya Interaksi keraton dengan kebudyaan global telah ikut memperkaya nilai-nilai keraton. Teknologi kapal laut yang dimiliki kerajaan Sriwijaya dan Majapahit misalnya, --dan tentu saja kerajaan-kerajaan lainnya juga—telah memunculkan semangat internasionalisasi. Keberhasilan Sriwijaya dan Majapahit membangun peradabannya selama berabad-abad merupakan bukti nyata adanya semangat global ini. Kita tidak boleh terjebak untuk hanya bangga menjadi bangsa “lokal”, tetapi harus mampu membelah lautan untuk membangun peradaban yang lebih baik. Namun demikian, juga harus dibarengi dengan kesadaran bahwa yang dari luar belum tentu lebih baik, dan yang dari dalam lebih jelek. Dalam masyarakat global kita tidak mungkin menolak datangnya kebudayaan-kebudayaan asing, yang dapat dan harus dilakukan adalah menyikapinya agar kebudayaan asing tersebut memperkaya peradaban dalam negeri, bukan malah menggerusnya.

Dalam sejarah keraton Nusantara, kita dapat menemukan betapa interaksi keraton dengan kebudayaan global telah mampu meningkatkan “nilai” dan martabat Nusantara. Pertemuan dengan budaya India, telah menghasilkan peradaban kerajaan serta agama Hindu-Buddha yang khas Indonesia. Pertemuan dengan kebudayaan Arab menghasilkan kebudayaan Kesultanan serta hadirnyanya agama Islam yang khas Nusantara, pertemuan dengan Tioangkok mengahasilkan peradaban seni yang luarbiasa, dan pertemuan keraton dengan dunia Barat mengahasilkan peradaban negara modern serta hadirnya agama Kristen dan teknologi-teknologi lainnya.

Interakasi keraton dengan budaya global tersebut menunjukkan bahwa keraton Nusantara dapat menyikapinya dengan cerdas, yaitu melakukan penyikapan terhadap asing secara kreatif berdasarkan kebutuhan lokal. Hindu-Buddha di Nusantara misalnya, relatif berbeda dengan Hindu-Buddha di daerah asalnya India. Bahkan jika di India kedua agama tersebut sering berkelahi dan saling meniadakan, di Nusantara keduanya saling memperkaya. Potret bagaimana keduanya dapat hidup rukun dapat dilihat dari Hindu Bali yang merupakan agama Ciwa Buddhisme, serta candi Plaosan di Klaten Jawa Tengah. Struktur bangunan dan lokasi candi Plaosan yang Buddha menunjukkan toleransi dan akomodasi terhadap Hinduisme.

Keempat interaksi keraton tersebut mengalami perubahan ketika hadirnya penjajah di bumi Nusantara. Peran-peran kerajaan mulai dihilangkan, bahkan dihilangkan sama sekali. Jika sebelumnya  raja atau sultan merupakan “pelayan” rakyat, maka penjajah telah menjadikan raja atau sultan menjadi pelayan penjajah. Kondisi ini terus berlanjut seiring masuknya ide negara modern yang demokratis ke bumi Nusantara. Keraton yang diidentikkan dengan sistem monarkhi yang feodalistik semakin dijauhi, dan bahkan tidak jarang dianggap sebagai “dosa” yang harus dihindari.

Benarkah keraton harus dikubur seiring masuknya sistem ketatatnegaraan baru dengan demokrasi sebagai ruhnya? Eksistensi kerajaan Inggris, kerajaan Belanda, kekaisaran Jepang, dan kerajaan-kerajaan dunia lainnya dapat menjadi basis argumen untuk mengatakan bahwa sistem ketatanegaraan baru tidak harus diikuti dengan “pemusnahan” keraton Nusantara. Menurut hemat penulis, yang harus dilakukan keraton adalah melakukan transformasi ulang dengan mempertimabngkan konteks sosial budaya dan ekonomi politik yang telah berubah. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubowo IX ---untuk menyebut salah satu contoh saja-- ketika ambil bagian dalam gerakan kemerdekaan Indonesia.

Keraton-keraton Nusantara, sebagaimana telah penulis sampaikan sebelumnya, memiliki kemampuan untuk bertransformasi sesuai dengan perubahan sosial budaya dan ekonomi politik, namun penjajahan telah menjadikan keraton-keraton nusantara kehilangan “jati dirinya”. Penjajah telah menjadikan keraton-keraton Nusantara kehilangan kesadaran kosmologinya sebagai bangsa bahari, kehilangan semangat persatuan, dan kesadaran pluralisme. Celakanya, mentalitas penjajahan tersebut tidak hanya dimiliki oleh para penjajah, tetapi mereka yang “dididik” dan bangga dengan penjajah. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan pimpinan negara masalalu yang cenderung membuat kebijakan yang tidak berpihak kepada keraton. Dalam buku-buku sejarah dituliskan betapa peran-peran keraton sangat besar dalam meraih kemerdekaan Indonesia, tetapi hanya ada sedikit affirmative action untuk “melestarikan” keraton.

Bagaimana seharusnya keraton melakukan transformasi sesuai dengan konteks sosial-budaya dan ekonomi-politik saat ini? Tentu saja tidak dengan mengembalikan keraton sebagai basis kekuasaan, karena seiring Proklamsi 1945 kekuasan keraton bertransformasi menjadi kekuasan negara modern bernama Indonesia. Peran yang dapat diambil adalah melakukan transformasi agar nilai-nilai keraton dapat menjadi penopang kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Sedikitnya ada tiga hal yang harus diperhatikan. Pertama, bangsa Indonesia telah memilih untuk menjadi negara modern dengan Pancasila sebagai dasarnya. Kedua, kehidupan masyarakat yang semakin menjauh dari nilai-nilai luhur bangsa. Ketiga, melemahnya institusi-institusi kebudayaan yang seharusnya berperan dalam pembentukan, pemeliharaan, dan pengembangan nilai-nilai dan praktek sosial. Ketiga konteks tersebut yang harus menjadi landasan pijak keraton untuk mentransformasikan dirinya.

Berdasarkan ketiga konteks tersebut, ada tiga hal yang harus dilakukan keraton. Pertama, dalam kehidupan bernegara, keraton dapat menjadi jangkar agar negara tidak keluar dari nilai-nilai luhur bangsanya. Kedua, keraton harus kembali menjadi bagian masyarakat, yaitu agar nilai-nilai luhur keraton dapat menjadi referensi masyarakat dalam bertindak. Ketiga, keraton harus memposisikan diri sebagai pembentuk, pengembang, dan pemelihara kebudayaan masyarakat. Secara keseluruhan, penulis membayangkan keraton nusantara beperan seperti agama Tokugawa di Jepang, yaitu menjadi landasan pijak negara Jepang untuk menjadi negara maju. Kepatuhan dan jiwa Busido ditransformasikan menjadi kerelaan untuk berjuang sampai “mati” untuk meraih dan memenangkan persaingan ekonomi. 

 * Kepala Peneliti Budaya Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKKBM) Yogyakarta, Dosen Antropologi Agama dan wakil kepala Inclusive and Sustainable Development Institute (ISD Institute) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dan makalah ini disampaikan dalam Lokakarya “Festival Agung Keraton Se-Dunia”, yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata Pemprov DKI Jakarta bekerjasama dengan Forum Silaturrahmi Keraton Nusantara, 12-14 Desember 2014.

0 comments:

Posting Komentar