PT. HIJAS LINE TUJUH TUJUH - HIJAS TRANS 77

UUD 1945: Penetapan Sebagai Konstitusi Negara dalam Pendekatan Hukum Islam

Oleh Dr. Sudirman Abbas

HUKUM ISLAM VIS-À-VIS NEGARA-BANGSA
SEBUAH LATAR PERSOALAN

Negara-bangsa (nation-state) merupakan kenyataan sejarah yang tidak bisa dihindari oleh bangsa Indonesia dalam proses perumusan dasar negara dan konstitusinya. Selain karena tuntutan global, negara-bangsa saat itu menjadi konsep negara modern yang menjanjikan penyelesaian bagi setiap bangsa dalam menghadapi pluralisme. Karena itu, bisa dipahami jika Indonesia, sebagai bangsa yang pluralistik, kemudian mengikuti konsep ini. Hubungan antara agama (Islam) dan keharusan negara-bangsa pada dasarnya telah menjadi perhatian para pemikir dari zaman ke zaman. Semenjak Jamal al-Din al-Afghani (Mesir) hingga Abdurrahman Wahid (Indonesia), para pemikir Islam telah mencurahkan berbagai tawaran solutifnya tentang relasi reciprocal atau mutual Islam-negara-bangsa ini.

Adalah positivisme yuridis,[1] mainstream madzhab hukum yang dianut oleh konsep negara-bangsa (nation-state) dewasa ini. Madzhab ini secara tegas menyatakan bahwa yang dapat diterima sebagai hukum yang sebenarnya hanyalah yang telah ditentukan secara positif oleh negara. Menurutnya, hukum hanya berlaku karena hukum itu mendapatkan bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang. Norma-norma kritis yang ada hubungannya dengan keinsyafan keadilan dalam hati nurani manusia (yang dapat disamakan dengan hukum alam zaman dahulu) tidak mempunyai tempat dalam sistem sosiologi hukum ini.

Dengan demikian, dalam pandangan positivisme yuridis keberadaan hukum di tengah-tengah kehidupan masyarakat mesti tidak bebas nilai, tidak bebas kepentingan, dan tidak bebas kekuasaan. Hukum senantiasa dipenuhi dan diliputi dengan nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, dan kuasa-kuasa tertentu sesuai dengan kehendak pembuatnya, aparatur negara. Bahkan, hukum itu sendiri merupakan akumulasi dan formulasi dari sinergi ketiga hal tersebut.

Oleh karena itu, mengikuti logika ini hukum tidaklah netral dan tidak pula obyektif. Hukum diciptakan dan dibuat untuk memihak dan membela, bukan semata-mata untuk memberikan perlindungan dan pengayoman bagi masyarakat demi tegaknya keadilan dan kebenaran.[2]  Demikian ini wujud peran hukum sebagai a tool of social engineering.[3] Tetapi, pandangan yang demikian tidak sepenuhnya benar, karena kalaui dilihat secara jernih hukum itu sesungguhnya adalah pisau bermata dua. Di satu pihak, hukum bisa menjadi hukum yang menindas (repressive laws), dan di lain pihak ia bisa menjadi hukum yang membantu ke arah perubahan (facilitative laws), atau sebagai alat perubahan sosial (agent of social change).[4]

Hukum memang bukan sekedar kumpulan teks-teks semata, ia mempunyai tujuan, jangkauan, dan kehendak-kehendak sosial tertentu. Untuk itu berbicara hukum, apapun bentuk dan labelnya, tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial politik di mana hukum itu diciptakan, atau bagaimana konteks politik hukum berkembang saat hukum itu muncul.

Karenanya benar, Moh. Mahfud MD. dalam disertasi doktornya menyatakan bahwa karakter produk hukum senantiasa dipengaruhi atau ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkannya. Artinya, konfigurasi politik tertentu dari kelompok dominan (penguasa) selalu melahirkan karakter produk hukum tertentu pula sesuai dengan visi politiknya.[5] Teori ini berlaku bila didasarkan pada asumsi bahwa hukum merupakan produk politik, atau ia diberlakukan atas legitimasi politik, sehingga karakter hukumnya akan sangat tergantung pada imbangan kekuatan politik (konfigurasi politik) yang melahirkannya.

Mempertimbangkan teori di atas, jelaslah bahwa UUD 1945 merupakan produk politik yang diberlakukan dan mendapatkan kewenangan dari negara sebagai hukum dasar (konstitusi) bagi negara Indonesia. Karena itu, keberadaannya inheren dengan nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, dan kuasa-kuasa tertentu dari negara sebagai alat perekayasa sosial negara. Paralel dengan itu, UUD 1945 bisa dipastikan mempunyai suatu karakter hukum yang spesifik sesuai dengan konfigurasi politik yang melahirkannya saat itu.[6]

Penting pula dicatat bahwa UUD 1945 lengkap dengan model redaksi dan substansinya merupakan jawaban dari tuntutan hukum negara modern yang sering disebut negara-bangsa. Kenyataan ini tampak dalam sejarah saat UUD 1945 dirumuskan setengah abad lalu.

Persoalan kemudian muncul, terutama bagi umat Islam, bagaimana dengan status hukum Islam dan pelaksanaannya dalam pelataran konsep negara-bangsa seperti Indonesia ini. Tidakkah cukup UUD 1945 sebagai hukum dasar atas keberadaan dan penyelenggaraan negara ini. Ataukah hukum Islam dengan Al-Qur’an dan As-Sunnahnya perlu tampil tersendiri dalam masyarakat pluralistik ini. Karena itu, studi tentang pandangan hukum Islam atas kenyataan UUD 1945 sebagai dasar negara di negeri ini penting dilakukan sebagai sikap kompromis-kritis.[7] Penulis dalam tulisan ini ingin mencoba menjawabnya dengan melihat agama secara sosiologis dan dengan pendekatan filosofis, yakni filsafat hukum. 

HUKUM ISLAM SEBAGAI PRODUK POLITIK: 
PENDEKATAN SOSIOLOGIS

Perspektif sosiologis memandang agama, termasuk Islam, di samping terkandung unsur ilahiah sebagai unsur yang asasi di dalamnya, juga terdapat “campur tangan” unsur manusia dalam implementasinya. Dan agama wahyu yang suci (sacred) kemudian karena perkembangan sejarahnya menjadi agama manusia biasa (interpreted) dengan seluruh darah dagingnya. Keputusan dan penafsiran para penganutnya dengan demikian mempengaruhi warna agama dalam sejarah, dan menentukan sosok agama itu dalam realitas konkret. Agama yang berangkat dari sejarah wahyu akhirnya menjadi sejarah manusia. Penganutnya dengan demikian mempunyai kompetensi untuk menerapkan prinsip agama sesuai dengan konteks historis zamannya.[8]

Hukum Islam[9] diketahui sebagai bagian integral dari ajaran agama Islam seperti itu. Pada hakekatnya tampak jelas bahwa hukum Islam bukan produk politik, karena ia berasal dari Allah SWT dan bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah, akan tetapi dalam sejarahnya tidak jarang ditemukan; sebagai upaya menerapkan dan memberlakukan hukum Islam dalam suatu wilayah politik tertentu, ia membutuhkan legitimasi kekuasaan politik, bahkan dibahasakan dan dirumuskan dengan formulasi dan modifikasi politik tertentu seperti cara legislasi.[10] Dalam konteks seperti itu, bisa dikatakan bahwa dalam batas-batas tertentu hukum Islam merupakan produk politik juga.[11]

Secara tekstual, memang tidak ada keharusan pemberlakuan aturan hukum Islam melalui keputusan politik atau legalitas penguasa, baik berupa Undang-Undang (taqnin) atau instrumen peraturan perundang-undangan lainnya.[12] Namun, dalam batas-batas tertentu legitimasi ini bisa merupakan suatu keharusan, karena besarnya manfaat bagi kepastian dan kekuatan hukum secara legal-positif sebagaimana yang digambarkan Ibn Taimiyah dalam pernyataannya:[13]

فـمـن عـد ل عـن الـكـتـا ب قـوّم بـا لـحـد يـد ولهـذا كان قـوام الـد يـن بالمـصحـف والـسـيـف

Dalam statemen ini, Ibn Taimiyah menekankan bahwa kekuasaan politik yang disimbolkan dengan pedang menjadi sesuatu yang essensial dan mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan itu sendiri bukan agama. Dengan ungkapan lain, politik atau negara hanyalah sebagai alat bagi agama; ia bukan suatu ekstensi dari agama.[14] Dalam kaitan ini, kita pun sering mendengar pernyataan umum: “Islam adalah agama dan negara”.[15] Tak terkecuali, Hassan al-Banna dalam prinsip-prinsip organisasinya, al-Ikhwan al-Muslimun, menyatakan Islam itu adalah tata aturan yang lengkap, meliputi semua segi kehidupan. Islam adalah negara dan bangsa atau pemerintahan dan masyarakat. Moral dan kekuasaan, rahmat dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu pengetahuan dan hukum....[16]

Dalam kancah keilmuan, hubungan agama dan negara, Islam dan politik atau hukum Islam dan kekuasaan politik memang selalu menjadi wacana yang menarik, baik oleh kalangan Islam sendiri maupun para orientalis.

Wacana tersebut muncul berpangkal dari historitas Islam itu sendiri, terutama pasca kepemimpinan Rasulullah SAW. Sejarah mencatat, bahwa permasalahan pertama yang mengemuka pada generasi awal umat Islam sesudah Rasulullah SAW wafat adalah masalah kekuasaan politik atau pengganti Rasulullah SAW yang akan memimpin umat, baik dalam urusan politik murni maupun urusan keagamaan.[17] Semenjak inilah dalam pendekatan sosiologi sejarah, (hukum) Islam sesungguhnya mulai melakukan dialektika dengan kekuasaan politik, yang hari ini kita sebut negara. Namun, tantangan yang dihadapi saat itu tidak sekompleks sekarang. Corak masyarakat itu relatif homogen dan komunal. Karena itu, wacana yang mengemuka dari dialektika itu lebih didominasi aspek teologis.

Kenyataan pluralisme, baik dalam agama, suku, ras, bangsa, maupun golongan menuntut lain. Kebutuhan sosial dari pluralisme adalah terwujudnya tatanan perikehidupan bersama yang damai, egalitarian, berkeadilan, demokratis, dan rukun. Karena itu, Pancasila hadir dan dirumuskan sebagai solusi terbaik atas persoalan ini. Selain karena mampu memberikan kesamaan persepsi dan memupuk integrasi atas pluralitas bangsa, Pancasila pun bisa menjadi way of life bagi bangsa Indonesia tanpa harus memperlihatkan unsur pluralitas tadi. Melihat kenyataan ini rupanya Islam yang merupakan agama mayoritas penduduk dalam peraturan sosial politik negara ini, dianggap bukan yang terbaik bagi bangsa Indonesia dalam membentuk nation-state yang mampu memayungi pluralitas bangsa.[18] Ini tampaknya selaras dengan doktrin Islam sendiri yang tak pernah mengajarkan Islam untuk dijadikan sebagai sebuah ideologi, apalagi bagi suatu negara yang penuh dengan kepentingan dan kuasa-kuasa relasional.

UUD 1945 DAN HUKUM ISLAM:
PENYELESAIAN PARADIGMATIK

UUD 1945 dalam wacana ini merupakan derivasi-konstitusional dari penetapan ideologi Pancasila sebagai dasar negara. Karena itu, keberadaannya tak terpisahkan dari keberadaan Pancasila. Penafsiran dan penjabarannya tidak lepas dari parameter nilai Pancasila. Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, jika Pancasila diposisikan sebagai dasar negara, maka UUD 1945 adalah hukum dasarnya (droit constitutionnel). Pemahaman terhadap UUD 1945 harus diletakkan dalam konteks penjiwaan terhadap nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, seperti disarankan KH. Achmad Siddiq, mantan Ketua Umum (Ra’is ‘Aam) PBNU, tatkala kita mengucapkan atau menulis tentang relasi Pancasila UUD 1945, sebaiknya tulislah: “Pancasila menurut UUD 1945, bukan Pancasila dan UUD 1945”.[19]

Diskursus-akademis lebih jauh dari penghadapan hukum Islam (agama) terhadap instrumen-instrumen negara-bangsa (UUD 1945) dengan mempertimbangkan kemungkinan hukum Islam memetamorfosis menjadi produk politik, maka kerangka yang mungkin baik untuk dikembangkan saat ini adalah mendudukkan agama (hukum Islam) dan UUD 1945 pada sebuah pola relasional yang jelas dan fungsional. Selama ini UUD 1945 hanya dilihat sebagai pengatur lalu lintas ketatanegaraan dan tameng relasi agama negara atau antar agama dengan agama lain belaka, agar tidak timbul pertentangan hebat antara para pemeluk berbagai agama dengan negara, maupun antar pemeluk agama itu sendiri.

Diskusi tentang agama vis-a-vis Pancasila dan UUD 1945, bagi umat Islam Indonesia sudah selesai. Memang Pancasila dan UUD 1945 di satu pihak dan agama di pihak lain tidak bisa diidentikkan secara menyeluruh, karena fungsi masing-masing saling berbeda. Pancasila dan UUD 1945 berfungsi sebagai landasan hidup dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, menjadi kerangka kemasyarakatan yang mengatur hidup kita sebagai kolektifitas yang disebut bangsa (nation). Dalam keadaan demikian, Pancasila dan UUD 1945 haruslah mewadahi aspirasi agama dan menopang kedudukannya secara fungsional dalam kehidupan bersama. Sedangkan agama memberikan kepada kolektifitas tersebut suatu tujuan kemasyarakatan (social purpose) yang trasedental. Spriritualitas dan religiositas kehidupan ini diatur dan diberi arahan oleh ajaran yang disebut agama. Tanpa tujuan kemasyarakatan yang jelas dan nyata, hidup bangsa ini hanya akan berputar-putar pada siklus pertentangan antara cita pemikiran dan kecenderungan naluri alamiah belaka.

Penyelesaian paradigmatik semacam inilah yang diselesaikan NU dalam Keputusan Muktamarnya ke-26 di Situbondo 1984. Argumen ini disampaikan oleh KH. Achmad Siddiq pada MUNAS NU 1983, yang kemudian dikukuhkan menjadi “Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila”. Deklarasi ini pulalah yang menyelesaikan penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Deklarasi itu selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
  1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama, dan tidak dapat diperguanakan untuk menggantikan agama.
  2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) UUD 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
  3. Bagi NU, Islam adalah aqidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
  4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya.
  5. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban menjaga pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Oleh Nurcholish Madjid dinyatakan bahwa apa yang terkandung dalam UUD 1945 dan Pancasila bukanlah titik akhir dari kontroversi ideologis di Indonesia. Walaupun UUD 1945 ini oleh mayoritas rakyat, dari sudut agama telah dianggap netral, orang-orang Islam terbiasa memandangnya sebagai bentuk lain dari kompromi antara mereka dengan orang-orang sekularis. Walaupun dilihat dari perspektif orang-orang Muslim, hal itu diakui sebagai kompromi yang lemah, tapi sedikit banyaknya undang-undang ini tetap memberikan manfaat yang utama bagi status Islam di negeri ini.[20]

Lebih jauh dari itu, Harun Nasution melalui kacamata filsafatnya mengakui bahwa Pancasila tidak bertentangan, melainkan sejalan dengan Islam. Bahkan, sila-sila yang dikandung Pancasila adalah juga ajaran-ajaran dasar yang terdapat dalam Islam. Mengutip Almarhum Zainal Abidin Ahmad, seeorang pemimpin Islam yang pada masa akhir hayatnya memangku jabatan Rektor PTIQ Jakarta, Harun menyetujui bahwa negara Pancasila merupakan bentuk final bagi umat Islam Indonesia.[21] Konklusi Zainal Abidin Ahmad tentang keislaman negara Pancasila didasarkan pada ciri-ciri negara Islam dalam pandangannya, yaitu:[22]
  1. Penduduk mayoritas Islam.
  2. Kepala negara Islam.
  3. Ideologi negara sejalan dan tidak bertentangan dengan Islam, sungguh pun di bawah nama lain, seperti Pancasila.
  4. Undang-undang tidak bertentangan dengan Islam.
  5. Undang-Undang Dasar mengandung prinsip musyawarah dan dasar-dasar demokratis lainnya.
Menegaskan paradigma ini, benar pernyataan Abdurrahman Wahid, bahwa antara agama dan Pancasila terdapat hubungan simbiotik, yang satu tak dapat hidup di Indonesia tanpa yang lain. Hubungan simbiotik itulah yang memunculkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, bukannya hanya sekedar ideologi formal negara belaka.[23]

Kesimpulan ini diperkuat dengan kenyataan sejarah Muslim (moslem history) dan pemikiran politik ilmuwan Muslm (political thought of moslem intelectuals) sepanjang zaman yang tidak pernah menawarkan konsep tunggal tentang negara dan sistem pemerintahan.[24] Bahkan doktrin Islam, baik Al-Qur’an dan Al-Sunnah, pun dalam berbagai teksnya tidak pernah mengajarkan sistem pemerintahan (negara) tertentu yang harus dianut oleh umat Islam dalam mengatur kehidupan bersama. Islam, terlebih dicontohkan Piagam Madinah, hanya memberikan pedoman ajaran berupa seperangkat prinsip dan tata nilai etik bagi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Prinsip-prinsip ini bersifat universal sesuai dengan watak dasar Islam yang transhistoris dan eternal.[25] Karena itu, umat Islam mempunyai kebebasan dan keleluasaan untuk merumuskan konsep kenegaraannya sendiri, asalkan tetap mengacu pada prinsip dan tata nilai etik Islam. UUD 1945 merupakan upaya maksimal para the founding fathers negeri ini, yang sebagian besar cendekia Muslim (ulama), dalam merumuskan prinsip-prinsip dasar, ketatanegaraan, dan sistem pemerintahan negara Indonesia yang berpenduduk plural, baik agama, suku, ras, maupun budaya.

Kiranya tidak berlebihan dan apologetik, dengan berbagai kekurangan dan kelemahan UUD 1945 dalam takaran tuntutan HAM dan demokrasi kontemporer, dikatakan bahwa UUD 1945 yang ada sekarang ini dalam batas minimal, setidaknya telah memenuhi beberapa prinsip dasar dan tata nilai etik Islam dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, dan tidak bertentangan dengannya. Beberapa prinsip dasar dan tata nilai etik tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Musyawarah.
  2. Kesatuan umat (bangsa).
  3. Kolektifitas dan solidaritas.
  4. Pembelaan dan perlindungan terhadap yang lemah.
  5. Keadilan sosial.
  6. Perdamaian antar sesama dan lingkungan.
  7. Persamaan di depan hukum.
  8. Kebebasan beragama.
  9. Menjunjung tinggi HAM.
  10. Nasionalisme.
  11. Equalitas sosial.
Prinsip-prinsip semacam ini secara teknis bisa dilihat pada keseluruhan pasal-pasal dan penjelasan UUD 1945.

Sedangkan perihal tidak adanya kata “Islam” maupun “Al-Qur’an” di dalam UUD 1945 tidak mengurangi penilaian Islami tadi. Sebab, dalam naskah Piagam Madinah yang dibuat Nabi Muhammad SAW sekalipun tidak terdapat di dalamnya kata “Islam” dan “Al-Qur’an” sebagai dasar bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sekiranya dalam suatu dustur atau Undang-Undang Dasar harus dituliskan kata “Islam” atau “Al-Qur’an”, tentu Nabi Muhammad SAW mencantumkan kata-kata itu dalam Piagam Madinah.[26] Justeru dalam perspektif redaksional, UUD 1945 dicurigai sebagai tafsir ulama dan negarawan Muslim Indonesia terhadap khazanah ketatanegaraan kreasi umat dahulu. Secara nyata pasal 29 ayat (1) UUD 1945 merupakan pergantian redaksi dari “Negara berdasar Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.[27] Selain itu, juga banyak ditemukan redaksi yang mungkin mencerminkan kekhasan (politik) Islam, di antaranya: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”, “Majelis”, “Permusyawaratan”, “Wakil”, “Demi Allah”, dan sejenisnya.

Penting diberi catatan, bahwa analisis di atas merupakan kajian pada tataran idiil dan konseptual. Sebab diakui secara jujur, Islam baik doktrin maupun sejarah, tidak pernah menawarkan suatu sistem negara dan kepemerintahan tertentu yang harus diratifikasi umatnya, sebagaimana UUD 1945 ini. Karena itu, harus dibedakan dengan analisis empiris-operasional. Pada tataran yang terakhir ini juga penting dipertimbangkan untuk menilai suatu kondisi negara disebut Islami atau tidak. Pelaksanaan dan implementasi UUD 1945 dalam kehidupan nyata dengan demikian juga semestinya menjadi bagian yang integral dalam penilaian, apakah negara Indonesia dengan UUD 1945-nya ini bisa disebut Islami atau tidak. Keterkaitan erat konsep dengan pelaksanaan, karena “negara” yang dicita-citakan Islam tidak saja berhenti pada tataran ide dan prinsip, melainkan juga dituntut untuk dilaksanakan demi kemaslahatan dan keadilan semesta.

POSTWACANA: CATATAN KRITIS

Maka jelaslah dalam tataran paradigmatik, UUD 1945 sebagai hukum dasar negara Indonesia, tidak bertentangan dengan hukum Islam. UUD 1945, dengan berbagai kelebihan dan kelemahannya, sengaja dikontruksi dalam makna dan bahasa yang inklusif mengingat kenyataan masyarakatnya yang pluralistik.

Eksistensi UUD 1945 sebagai hukum dasar bagi negara Indonesia dalam pandangan Islam dianggap absah. Kendati dalam takaran “Islam historis”, UUD 1945 secara konseptual telah terselesaikan, namun untuk menyongsong zaman “Islam Mendepan” yang lebih demokratis, manusiawi, egalitarian, dan senantiasa mendasarkan pada kemaslahatan dan keadilan semesta, maka substansi UUD 1945 tidak ada salahnya bila dilakukan penyempurnaan sesuai dengan tuntutan HAM dan demokrasi, terutama dalam pelaksanaan (law enforcement) dan instrumen perwujudannya dalam sistem kehidupan nyata.

FOOTNOTE

[1] Positivisme Yuridis dipelopori oleh aliran hukum humanisme, antara lain oleh Jean Bodin dengan ide-idenya tentang kedaulatan Raja. Tokohnya ialah Rudolf von Jhering (1818-1892 M). Sebagaimana positivisme sosiologis, positivisme yuridis menganut apa yang ditetapkan sebagai kenyataanlah yang dapat diterima sebagai kebenaran. Positivisme sebagai sistem filsafat muncul pada awal abad XIX M. Tokohnya adalah Auguste Comte (1798-1857 M) dan Herbert Spencer (1820-1903 M). Lihat Theo Huijbers, Filsafat Hukum Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm. 122-130.

[2] Ibid, hlm. 293.

[3] Konsep law as a tool of social engineering diramu oleh Roscoe Pound. Konsep ini didasarkan pada keadaan masyarakat Amerika yang senjang. Pound ingin memperbaiki kesenjangan ini dengan mendayagunakan hukum. Jadi, di samping berakar pada liberalisme, konsep ini juga terlalu memistifikasikan hukum. Konsep ini mengarah pada terjadinya perbaikan sosial bukan pada perubahan sosial, sama dengan pola trickle down effect bagi strategi pencapaian kemakmuran ekonomi. Lihat T. Mulya Lubis, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan, (Jakarta: YLBHI, 1987), hlm. 22.

[4] Ibid, hlm. 21.

[5] Moh. Mahfud MD., “Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia”, Disertasi Doktor dalam Ilmu Hukum pada UGM, (Yogyakarta: tidak diterbitkan, 1993), hlm. 675.

[6] Mengenai bagaimana bentuk nilai, kepentingan, kuasa, dan karakter hukum tersebut perlu dilakukan studi tersendiri.

[7] Diskursus Islam vis-a-vis Negara-Bangsa atau wujud negara Indonesia dengan Pancasila dan UUD 1945, sebetulnya telah dapat diselesaikan lama, terutama oleh Nahdhatul Ulama (NU). Dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan hukum fiqh, NU mampu melakukan sebuah proses penyesuaian dengan tuntutan sebuah negara modern. Semenjak masa perang kemerdekaan, NU melalui fatwa Ra’is Akbar KH. M. Hasyim Asy’ari (yang kemudian dikukuhkan sebagai Keputusan Muktamar NU ke-16 di Purwokerto, 26-29 Maret 1946) telah mengeluarkan “Fatwa Resolusi Jihad”, 22 Oktober 1945, yang mempunyai hukum ikat “furdl ‘ain” bagi setiap orang Islam dalam radius 94 km untuk mendukung bentuk negara baru Republik Indonesia, juhad fii sabilillah melawan Belanda. Bahkan penting dicatat, jauh sebelum itu, Muktamar NU tahun 1936 di Banjarmasin, bahwa daerah Jawa (ardl Jawa) dalam arti Nusantara adalah Dar Al-Islam, padahal ketika itu daerah tersebut dikuasai oleh pemerintah Belanda. Keputusan yang sama juga, NU menolak kehadiran “Negara Islam Indonesia (NII)” yang didirikan oleh Kartosuwiryo dkk., bahkan sejak semula para ulama NU telah menyatakannya sebagai bughat (pemberontak) yang harus di basmi. Untuk keperluan itulah, NU dalam Muktamar Konferensi Alim Ulama di Cipanas 1954 mengukuhkan kedudukan Kepala Negara Republik Indonesia (Ir. Soekarno) sebagai waliy Al-amri Al-dlaruri bi Al-syaukah (pemegang pemerintahan sementara (defakto) dengan kekuasaan penuh). Kemudian terkahir pada Keputusan Muktamar NU XXVII di Situbondo menegaskan keabsahan secara fiqh Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan UUD 1945 sebagai hukum dasarnya. Hubungan Pancasila dan Islam diselesaikan NU dalam Keputusan MUNAS Alim Ulama 1983 di Situbondo dengan “Deklarasi Hubungan Pancasila dan Islam”. Lebih tegas KH. Achmad Siddiq dinyatakan bahwa wujud negara Republik Indonesia merupakan upaya final seluruh bangsa, terutama kaum muslimin, untuk mendirikan negara di wilayah Nusantara. Bagi NU, tidak ada alasan apapun untuk menolak Pancasila dan UUD 1945, selama ia tidak berfungsi menggantikan kedudukan agama dan mengganggu pengalaman agama bagi pemeluknya. Baca Abdurrahman Wahid, “Nahdhatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fiqh dalam Politik", (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 4-5.

[8] Denny J.A., “Legislasi Hukum Islam dan Integrasi Nasional”, PESANTREN No. 2/Vol. VII/1990, (Jakarta: P3M, 1990), hlm. 7-8.

[9] Penulis merasa kesulitan untuk membedakan term “hukum Islam” (bahasa Indonesia) dengan term Fiqh, Syari’ah, dan Al-Syar’i. Dalam ilmu ushul Al-Fiqh dan ilmu Al-Fiqh masing-masing term tersebut mempunyai ta’rifnya. Tampaknya, term “hukum Islam” (istilah Indonesia) dalam konteks hukum positif Indonesia hanyalah untuk membedakan dari term hukum Barat, hukum Adat, dll. Pembedaan ini untuk menunjukkan bahwa hukum tersebut adalah hukum yang berasal dari agama Islam. Karena itu, hukum Islam yang dilihat oleh sistem positivisme yuridis adalah hukum Islam yang real menyejarah hidup di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia (living law), bukan hukum yang ideal dan doktrinal.

[10] Seperti yang terjadi di Turki Usmani, pada tahun 1876 pmerintah Turki membuat kodifikasi hukum Islam dengan nama Mejellet-i Ahkam Adiliye.

[11] Bandingkan dengan Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, alih bahasa Yudian W. Asmin, dkk., (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 191-192.

[12] Al-Qur’an tidak mengatur hal itu. Bahkan bentuk pemerintahan pun tidak diatur. Argumen yang menyatakan wajib adanya pemerintahan dalam rangka memberlakukan hukum Islam adalah konsensus sahabat. Malah menurut Hatim Al-‘Asam, seorang zahid yang hidup pada abad III H., dari kalangan Mu’tazilah, yang penting adalah berjalannya peraturan hukum dan berlakunya keadilan dalam masyarakat. Bagi Al-Muhakkimah dan Al-Najdah dari kalangan Khawarij, kalau semua itu sudah berjalan dengan baik, pemerintahan pun tak perlu diadakan. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: 1972), hlm. 41. Lihat pula H. Zaeni Ahmad Noeh, “Lima Tahun UU Peradilan Agama: Sebuah Kilas Balik”, Mimbar Hukum No. 17 Tahun V 1994, (Jakarta: Al-Hikmah & Ditbinbapera Islam, 1994), hlm. 13.

[13] Ibn Taimiyah, Al-Siyasah Al-Syar’iyyah Fi Ishlah Ar-Ra’yi Wa Al-Ra’iyyah, Cet. IV, (Mesir: Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, 1979), hlm. 26. Lihat juga Qamaruddin Khan, The Political Thought of Ibn Taimiyah, (Islamabad: Islamic Research Institute, 1973), hlm. 54.

[14] Fazlur Rahman, seperti yang dikutip A. Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 14-15. 

[15] Pernyataan semacam itu lantang menggema di dunia internasional tatkala Ayatullah Imam Khomeini melakukan perjuangan dengan Revolusi Irannya. Baca John J. Donohue & John L. Esposito (Penyunting), Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah, alih bahsa Drs. Machnun Husein, Cet. IV, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 456.

[16] Al-Imam Al-Syahid Hassan Al-Banna, Al-‘Aqdid, Syarkh Ushul Al-‘Isyrin, Ila Al-Syabab, (Kuwait: Al-Manar Al-Islamiyah, 1371 H), hlm. 1.

[17] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: LSIK, 1994), hlm. Ix; Abd. Muin Salim, Konsepsi Politik dalam Al-Qur’an, (Jakarta: LSIK, 1994), hlm. 1.

[18] Terbukti, tatkala BPUPKI telah berhasil menyusun “Piagam Jakarta” pada tanggal 22 Juni 1945, yang menempatkan syari’at Islam pada sila pertama, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan piagam itu diprotes tegas oleh kalangan Kristen dari Sulawesi Utara, tanah kelahiran A.A. Maramis. Lalu, sila tersebut diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Anak kalimat “...dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus. Bukti lain adalah kegagalan kelompok-kelompok Islam untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara pada Sidang Konstitunste 1959. Kegagalan ini karena tidak disetujuinya oleh kelompok-kelompok nasionalis, komunis, dan sekuler. Diskusi mengenai ini baca Endang Saefuddin Anshori, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekuler” Tentang Dasar Negara RI 1945-1959, (Bandung: Pustaka Perpustakaan Salman ITB, 1981).

[19] KH. Achmad Siddiq, Pemulihan Khittah NU 1926, makalah disampaikan pada MUNAS Alim Ulama NU 1983 di Situbondo. Makalah ini juga disampaikan kembali dalam Muktamar NU XXVII di tempat yang sama.

[20] Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 7.

[21] Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Jakarta, 1995), hlm. 223.

[22] Zainal Abidin Ahmad, Membentuk Negara Islam, (Jakarta: Wijaya, 1956), hlm. 155-156.

[23] Abdurrahman Wahid, Pancasila dan Kondisi Obyektif Kehidupan Beragama, Artikel pada KOMPAS, 20 Juli 1985.

[24] Untuk kesejarahan Islam, lihat mislanya corak pemerintahan zaman Rasulullah, Khulafa’ Rasyidun, Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, Bani Fathimiyyah, Mesir, Turki, Arab Saudi, Iran, Irak, dan sebagainya. Sepanjang zaman itu, corak dan sistem ketatanegaraannya berbeda. Tak ada sistem satu pun yang menjadi keniscayaan bagi zaman yang lain. Sedangkan untuk pemikiran politik Islam, baca misalnya: karya Ibn Abi Rabi’ (w. 840 M) tentang Suluk Al-Malik Fi Tadbir Al-Mamalik; Ibn Qutaybah (w. 889 M) tentang Al-Imamah Wa Al-Siyasah; Al-Mawardi (w. 450 H/1058 M) tentang Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah dan Adab Al-Dunya Wa Al-Din; Abu Ya’la Ibn Al-Farra’ (w. 458 H) tentang Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah; Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) tentang Al-Iqtishad Fi Al-‘Itiqad dan Al-Tibr Al-Masbuk Fi Nashihat Al-Muluk; Ibn Taimiyah (w. 728 H/1328 M) tentang Al-Siyasah Al-Syar’iyyah Fi Ishlah Al-Ra’iy Wa Al-Ra’iyyah dan Minhaj Al-Sunnah; Ibn Khaldun (w. 808 H/1406 M) tentang Muqaddimah; dan ulama-ulama kontemporer, seperti Ali Abd. Raziq, Al-Maududi, Muhammad Husein Haikal, dan sebagainya. Sederetan pemikir-pemikir politik ini tak satu pun yang menawarkan konsep ketatanegaraan dan kepemerintahan yang tunggal. Ini artinya, memang perihal sistem negara dan pemerintahan dalam Islam bersifat kultural dan sosiologis. Karenanya, bisa saja sekelompok kaum Muslimin membuat sistem negara dan ketatanegaraan tersendiri yang berbeda dari semuanya, asalkan tetap mengacu pada prinsip dasar dan tata nilai etik yang telah ditentukan Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

[25] Munawir Sjdzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Edisi V, (Jakarta: UI-Press, 1993), hlm. 233. Bandingkan dengan Harun Nasution dan Azyumardi Azra, (ed.), Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 2.

[26] Bandingkan dengan Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: UI-Press, 1995), hlm. 173-174.

[27] Notonagoro, Pemboekaan Undang-Undang Dasar 1945, (Yogyakarta: UGM, 1956), hlm. 54.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Zainal Abidin, Membentuk Negara Islam, Jakarta: Wijaya, 1956.
Al-Banna, Al-Imam Al-Syahid Hassan, Al-‘Aqdid, Syarkh Ushul Al-‘Isyrin, Ila Al-Syabab, Kuwait: Maktabah Al-Manar Al-Islamiyah, 1371 H.
Anshori, Endang Saefuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis “Sekuler” tentang Dasar Negara RI 1945-1959, Bandung: Pustaka Perpustakaan Salman ITB, 1981.
Donohue, Jhon J. & Jhon L. Esposito (Penyunting), Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah, Alih Bahasa Drs. Machnun Husein, Cet. IV, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
Haidar, M. Ali, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982.
J. A., Denny, Legislasi Hukum Islam dan Integrasi Nasional, PESANTREN No. 2/Vol. VII/1990, Jakarta: P3M, 1990.
Khan, Qamaruddin, The Political Thought Of Ibn Taimiyah, Islamabad: Islamic Research Institute, 1973.
Lubis, T. Mulya, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan, Jakarta: YLBHI, 1987.
Ma’arif, A. Syafi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1987.
Madjid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995.
MD., Moh. Mahfud, Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia, Disertasi Doktor dalam Ilmu Hukum pada UGM, Yogyakarta: tidak diterbitkan, 1993.
Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Alih Bahasa Yudian W., Asmin, dkk., Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.
Nasution, Harun dan Azyumardi Azra (ed.), Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985.
    , Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI-Press, 1972.
    , Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Jakarta, 1995.
Noeh, H. Zaeni Ahmad, Lima Tahun UU Peradilan Agama: Sebuah Kilas Balik, MIMBAR HUKUM No. 17 Tahun V 1994, Jakarta: Al-Hikmah & Ditbinbapera Islam, 1994.
Notonagoro, Pemboekaan Oendang-Oendang Dasar 1945, Yogyakarta: UGM, 1956.
Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: LSIK, 1994.
Salim, Abd. Muin, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, Jakarta: LSIK, 1994.
Siddiq, KH. Achmad, Pemulihan Khittah NU 1926, makalah disampaikan pada MUNAS Alim Ulama NU 1983 di Situbondo, 1983.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Edisi V, Jakarta: UI-Press, 1993.
Sukardja, Ahmad, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, Jakarta: UI-Press, 1995.
Taimiyah, Ibn, Al-Siyasah Al-Syar’iyyah Fi Ishlah Ar-Ra’yi Wa Al-Ra’iyyah, Cet. IV, Mesir: Dar Al-Kitab Al’Arabi, 1979.
Wahid, Abdurrahman, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa Ini, PRISMA No. 4, Jakarta: LP3ES, 1984.
Wahid, Abdurrahman, Pancasila dan Kondisi Obyektif Kehidupan Beragama, Artikel pada KOMPAS, 20 Juli 1985, 1985.

Diketik oleh Moh. Hibatul Wafi dalam penyajian makalah.

0 comments:

Posting Komentar